Cerita

Belajar Tuntut Hak Warga di Sekolah Perempuan Pulau Sabangko dan Satando

30 Desember 2015
Penulis: admin

Teras di atas rumah panggung itu penuh sesak. Perempuan-perempuan Pulau Sabangko, tua dan muda, duduk melingkar secara berkelompok di atas lantai kayu, memegang kertas dan pensil. Semua nampak terlibat dalam diskusi seraya mencatat sesekali.

“Mereka sedang menulis artikel,” ujar Nurlina, salah seorang fasilitator Sekolah Perempuan di Pulau Sabangko. “Kali ini kami menulis tentang kesulitan-kesulitan apa saja yang dialami di pulau kami.”

Di Pulau Sabangko, Sekolah Perempuan memang menjadi ajang berkumpul yang paling ditunggu-tunggu oleh kaum perempuannya. Mereka mengaku akan meninggalkan pekerjaan rumah tangga untuk menghadiri sekolah yang jadwalnya tak selalu pasti ini.

“Terkadang hari Jumat, atau Sabtu, atau Minggu, tergantung juga jadwal dari fasilitator yang bisa hadir,” ujar Nurlina. “Tapi ya, pulau ini kan kecil, jadi tinggal nanti kasih tahu satu orang ada jadwal, nanti disebarkan ke yang lain.”

Para lelaki pun tak ada yang melarang mereka bersekolah. “Kalau larang pun, mereka tak berhak. Ini kan hak kami untuk sekolah,” seseorang menyeletuk dari sudut ruangan, disambut tepuk tangan dan riuh-rendah persetujuan dari peserta sekolah yang lain.

Di tengah keseharian mengurus anak, rumah, maupun membuat jaring ikan dan membersihkan kepiting untuk dijual, Sekolah Perempuan memang menjadi oasis bagi para perempuan Pulau Sabangko untuk mengembangkan diri.

“Kita belajar tentang gender. Sekarang kita tahu apa perbedaan seks dan gender, ada yang bisa diubah, ada yang tidak,” ujar Saidah, salah seorang peserta Sekolah Perempuan yang juga telah kerap menjadi fasilitator. “Kita juga tahu tentang kekerasan. Bahwa kita tidak bisa dipukul.”

Seorang nenek yang mengikuti Sekolah Perempuan dan tak bisa berbahasa Indonesia mengaku belajar menuliskan silsilah keluarganya dalam salah satu pertemuan sekolah. Dengan bahasa Bugis, ia berkata, bahwa hanya itulah satu-satunya materi pelajaran yang diingatnya. Yang lain, ia sudah lupa.

“Di sini kan setelah menulis nanti mereka membacakan artikel. Kita juga ada latihan biar peserta berani bicara sebagai perempuan. Dulu misalnya, kalau ada tamu datang ke sini kita pasti ragu-ragu dan malu-malu, sekarang sudah tidak lagi,” kata Nurlina sambil tertawa. “Sekarang setelah aktif di Sekolah Perempuan mereka sudah berani bicara dan menyampaikan keluhan mereka.”

Materi pelajaran di Sekolah Perempuan memang berbeda dari materi pelajaran sekolah formal. Banyak materi di sekolah dikhususkan untuk membangun kepercayaan diri perempuan-perempuan pulau—terutama untuk menuntut hak-hak mereka sebagai warga negara. Mereka belajar mengenai Undang-undang Desa, isu kesetaraan gender, hak asasi manusia, politik, sampai cara-cara menuliskan laporan jurnalistik dan seni berbicara serta bernegosiasi dengan perangkat desa dan aparat pemerintah demi mendapatkan pemenuhan hak-hak mereka.

“Di sini kan dulu orang kalau lihat petugas pakai seragam saja sudah langsung takut. Sekarang sudah berkuranglah, itu.” kenang Nurlina.

Menulis menjadi salah satu cara yang digunakan Sekolah Perempuan untuk melatih para peserta berpikir runut dan terstruktur dalam menyampaikan informasi. Siang itu, satu kelompok menyampaikan permasalahan mereka seputar pelayanan kesehatan di Pulau Sabangko yang masih jauh dari harapan. Karena tak ada tenaga kesehatan yang menetap di Pulau Sabangko, mereka seringkali kesulitan jika ada warga yang harus berobat tengah malam. Mereka mengharapkan tersedianya pelayanan kesehatan di pulau, dan warga yang tidak mampu bisa mendapatkan pelayanan dan obat-obatan secara gratis.

Tulisan-tulisan yang dibuat oleh peserta kelompok Sekolah Perempuan di Pulau Sabangko ini kemudian akan dikirimkan ke Majalah Pulau. Cerita yang dinilai baik, akan dipilih untuk dimuat.

“Ini ada cerita yang sudah dimuat tentang Kak Nurlina yang berhasil dapat bantuan kapal, pejuang Pulau Sabangko! Ini majalah edisi pertama,” ujar Nesti sambil memperlihatkan artikel di sebuah buletin cetak.

Di Pulau Satando, Sekolah Perempuan juga diadakan di rumah panggung milik warga. Perempuan-perempuan yang berkumpul tak kalah banyak dengan perempuan di Pulau Sabangko. Siang itu mereka mendiskusikan mengenai rumah warga yang akan ditentukan sebagai lokasi pos pengaduan bagi perempuan yang mengalami kesulitan. Ros, salah satu warga Pulau Satando, bertugas menjadi fasilitator.

“Mungkin lain kali bisa berganti-ganti itu yang jadi fasilitator,” ujar seorang ibu dalam kelompok. “Jadi jangan cuma itu-itu saja orangnya, supaya semua dapat kesempatan bisa latihan satu-satu bicara di depan dan menyampaikan materi.”

Usulan itu disambut baik oleh para peserta yang hadir, dan dituliskan sebagai salah satu catatan untuk pertemuan berikutnya. Sama seperti di Pulau Sabangko, pertemuan di Pulau Satando kali itu juga diisi dengan materi penulisan laporan jurnalistik. Peserta dibagi ke dalam dua kelompok dan diminta untuk membuat dua artikel berbeda. Yang satu berkisar seputar permasalahan di Pulau Satando, dan yang satu lagi tentang pengobatan tradisional yang biasa mereka gunakan sehari-hari.

Listrik, ternyata, merupakan permasalahan yang belum tuntas juga di Pulau Satando. Sudah 6 tahun listrik mereka mati. Sekarang, untuk pemakaian listrik lewat genset, mereka bisa mengeluarkan uang empat ribu sampai enam ribu rupiah per hari. Pada bulan puasa, tarifnya naik dua kali lipat menjadi sepuluh ribu sampai dua belas ribu rupiah per hari. Itupun, dengan catatan bahwa listrik hanya menyala selama 6 jam.

“Karenanya kami sangat berharap adanya bantuan listrik di Pulau Satando ini,” ujar Ibu Diana, salah satu peserta Sekolah Perempuan.

Kelompok satunya lagi telah menuliskan resep pengobatan tradisional menggunakan ‘daun pinggir air’. “Ah, bagaimana, ya, kami tak tahu apa nama bahasa Indonesianya. Karena di sini tumbuhnya di pinggir sungai, jadi kami sebutnya daun pinggir air.”ibu-ibu itu tertawa.

Daun-pinggir-air yang tumbuh liar dan tersedia dalam jumlah banyak di Pulau Satando itu ternyata cukup berkhasiat untuk menyembuhkan gatal-gatal. Setelah daun ditumbuk dan dicampur air hangat, campuran itu diperas dan diambil airnya. Air perasan ini yang bisa dicampurkan dengan air mandi untuk mengobati gatal-gatal; terutama baik digunakan untuk memandikan bayi yang mengalami masalah kulit.

Bukan itu saja, daun-pinggir-air ternyata juga berkhasiat menyembuhkan batuk pada anak-anak. Cukup campurkan daun-pinggir-air dengan asam dan gula merah, lalu diberi air secukupnya.

“Minumkan dua kali sebelum tidur dan dua kali di siang hari, hanya 3 hari anak sudah sembuh. Ini anak saya sendiri saya obati pakai ini,” seorang ibu menyeletuk dari sudut ruangan untuk meyakinkan peserta lainnya.