Cerita

Kartini di Mata Nani Zulminarni

21 April 2017
Penulis: admin

Menyambut Hari Kartini, MAMPU ingin memperlihatkan Kartini di mata perempuan-perempuan hebat masa kini yang berjuang demi kepentingan perempuan.

Salah satunya adalah Nani Zulminarni. Akrab dipanggil Nani, ia adalah Direktur Eksekutif Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), dan telah bekerja di berbagai program pemberdayaan perempuan di tingkat akar rumput sejak tahun 1987.

Lahir pada 10 September 1962, dan meraih gelar Sarjana Ilmu Perikanan dari Institut Pertanian Bogor serta gelar Master di Sosiologi dari North Carolina State University, Nani mengkhususkan diri dalam pengembangan masyarakat.

Nani telah menggunakan berbagai titik masuk yang berbeda untuk karya-karyanya, seperti kegiatan sosial ekonomi, kesehatan reproduksi dan masalah hak, dan pendidikan politik.

PEKKA adalah salah satu mitra MAMPU yang fokus pada peningkatan akses perempuan ke program-program perlindungan sosial pemerintah.

Berikut hasil duduk bareng MAMPU dengan Nani mengenai Kartini dan nilai-nilai perjuangan Kartini yang beliau ambil untuk perjuangannya bagi perempuan Indonesia.

 

Apa yang biasanya Mbak Nani dengar tentang Kartini dan Hari Kartini?

Selama ini hari Kartini diperingati sebagai hari lahirnya seorang pejuang perempuan Indonesia yang pertama merintis pendidikan untuk perempuan.  Peringatan ini kemudian diaktualisasikan dalam simbol-simbol “keperempuanan”misalnya pada hari itu kaum perempuan akan tampil berkebaya lengkap dengan sanggul sebagaimana Kartini berbusana, lomba memasak dan simbol-simbol lainnya.

 

Sisi mana yang sebenarnya Mbak Nani ingin masyarakat lebih tahu tentang perjuangan Kartini?

Saya ingin masyarakat lebih mengenal Kartini melalui pemikiran-pemikirannya yang progresif, menembus zamannya; yaitu kesetaraan hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan dan kebebasan.

Selain itu saya juga ingin masyarakat lebih memahami bagaimana Kartini mengorbankan cita-citanya sendiri untuk sekolah dan menjadi guru, takluk pada keinginan orang tua yaitu menikah diusia yang sangat muda dalam perkawinan poligami yang sesungguhnya ditentangnya.

Namun demikian dia tidak mematikan cita-citanya, bahkan dia menggunakan posisinya sebagai istri bupati untuk mewujudkan cita-citanya membuka pendidikan bagi perempuan di wilayahnya.  Kartini melawan sebuah sistem dengan cara yang memang hanya dapat dilakukan pada saat itu.  Kartini memanfaatkan semua kesempatan dan potensinya, yaitu menjadi perempuan pintar yang terdidik dengan kemampuan bahasa dan menulis yang baik namun harus tinggal dalam pingitan.

Dia tidak menyerah dalam keterkungkungan, namun menulis untuk menyampaikan perasaan dan pemikirannya pada sahabat-sahabat yang jauh di negeri orang.

 

Apa nilai-nilai dari perjuangan Kartini yang Mbak Nani ambil dan tuangkan dalam perjuangan yang Mba Nani lakukan sekarang?

Ada beberapa hal yang menginspirasi saya dalam melakukan apa yang saya kembangkan saat ini melalui PEKKA.

Pertama; pendidikan bagi perempuan adalah penting, yaitu pendidikan seumur hidup.

Kedua; perempuan tidak boleh menyerah pada sistem yang membelenggunya. Dalam situasi yang seolah tertutup, perempuan pasti bisa menemukan “celah” untuk meneruskan apa yang menjadi cita-citanya.

Ketiga; penting untuk selalu membagi perasaan, pemikiran dan gagasan yang muncul dari dalam diri pada orang lain yang mungkin dapat membantu.

Keempat; perempuan tidak boleh berputus asa, dan harus berfikiran maju melampaui zamannya.

 

Adakah capaian yang Mbak Nani rasa paling membanggakan yang pernah diraih dalam memperjuangkan hak dan kepentingan perempuan Indonesia?

Saya merasa capaian yang paling membuat saya bahagia dalam upaya berkontribusi pada kehidupan perempuan Indonesia yang lebih baik adalah dalam mengorganisir perempuan kepala keluarga (Pekka) miskin.

Pekka yang sebelumnya berada pada strata terendah dalam masyarakat saat ini telah mampu menjadi kelompok masyarakat yang dihormati dan diakui kiprah positif nya dalam masyarakat.

Melalui proses pendidikan pemberdayaan yang kami lakukan di PEKKA, kami melihat perubahan luar biasa; mereka bertransformasi dari korban menjadi pemimpin dan penjuang bagi kelompoknya.

Mereka yang awalnya buta huruf bisa menjadi tutor-tutor pendidikan yang handal.  Mereka yang tadinya tidak faham hak nya dan selalu terpinggirkan dalam berbagai akses, sekarang bahkan mampu memfasilitasi dan membantu masyarakat untuk mendapatkan akses berbagai sumberdaya penghidupan dan perlindungan sosial.

Mereka yang tadinya terkucil dan terpinggirkan, kini terorganisir dalam organisasi Serikat Perempuan Kepala Keluarga, yang telah ada di 20 provinsi, menjadi gerakan sosial yang cukup diperhitungkan. Mereka menjadi organisasi otonom yang mandiri. Ini sangat membanggakan dan membahagiakan saya.