Cerita

Kelompok Konstituen LPP Bone Bekerja Sama dengan Perangkat Desa Selesaikan Isu Masyarakat

30 Desember 2016
Penulis: admin

Sekilas, Ibu Ria dari pesisir laut Bonrae nampak seperti pengusaha ikan yang biasa-biasa saja. Namun kesehariannya ternyata jauh dari ‘biasa-biasa saja’. Sudah beberapa kali ia menindaklanjuti pengaduan dan laporan dari masyarakat perihal Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

“Biasanya saya kejar visum dan pendampingannya dulu,” ujar Ibu Ria, salah satu anggota kelompok konstituen Lembaga Pemberdayaan Perempuan (LPP) Bone. “Di tempat saya memang isu KDRT ini banyak.”

Awalnya, perempuan yang mengalami penganiayaan di Bonrae tak tahu ke mana harus melapor. Mereka merasa malu membawa aib untuk dilaporkan ke Lurah dan perangkat desa.

“Sekarang mereka sudah tahu bahwa ada perwakilan LPP Bone di Bonrae tempat mereka bisa melapor.”

Ibu Ros, anggota kelompok konstituen di Desa Watu, lain lagi. Masalah di desanya berkisar seputar pembagian raskin.

“Banyak masyarakat yang berhak dapat tapi tidak dapat,” ujarnya. “Lalu kami lapor ke Kepala Desa. Kepala Desa juga bisa lihat bahwa ini ada masyarakat yang memang benar-benar berhak dapat, tapi tidak dapat KPS untuk terima raskin. Jadi Kepala Desa mengerti itu dan masyarakat  bisa dibagi raskin. Sekarang raskin sudah tidak jadi masalah. Kita juga baru tahu kalau raskin itu berkutu, ternyata bisa ditukar. Kalau dulu kan kita terima-terima saja,” ia terbahak.

Di Desa Watu sendiri, Ibu Ros mengelola dana dari CU Pamasse dari Lembaga Pemberdayaan Perempuan (LPP) Bone bagi masyarakat miskin yang membutuhkan modal usaha.

“Di Desa Watu sudah ada 7 kelompok dengan 67 anggota dan dana yang diputar sekitar 290 juta setiap bulannya. Pengembaliannya tidak ada yang pernah menunggak. Tiap habis pembayaran uang diputar lagi ke masyarakat supaya ada usaha dan di desa tidak menganggur, kebanyakan mereka di dekat pasar jual campuran (sembako),” terang Ibu Ros.

Sebelum pencairan dana, verifikasi dilakukan untuk memastikan apakah peminjam benar-benar memiliki usaha. Ketua kelompok pun memberikan pelatihan untuk mengelola dana.

“Kalau sudah di-acc harus satu-satu dipanggil ke rumah Kades. Kades mau aktif kerja sama dengan masyarakat, jadi kami banyak koordinasi,” ujar ibu Ros. “Dulu juga permasalahan dusun adalah WC-ya. Di Desa Watu sudah keras tata-tertibnya, dilarang buang sampah dan BAB di sungai. Masyarakat pun usulkan WC, tahun ini ada 10 unit WC keluar hasil advokasi kelompok konstituen.”

Para anggota kelompok konstituen binaan LPP Bone memang biasa bertemu secara teratur. Mereka bukan hanya bertukar informasi dan ‘trik’ untuk melakukan berbagai kegiatan advokasi dan memecahkan masalah desa, namun juga mengaku sudah menganggap satu sama lain sebagai teman. Ibu Ros dan Ibu Eda, misalnya, seringkali berboncengan motor ketika tengah mengunjungi desa sasaran.

Dalam menjalankan tugas mereka, para anggota konstituen menganggap pemerintah sebagai rekan. Mereka membantu Kepala Desa melakukan penguatan kelompok, pemetaan kekuatan dan kelemahan desa, sampai mengidentifikasi warga miskin dan anak putus sekolah.

“Kita bangun komunikasi antara pemerintah dengan warga. Misalnya kalau kita butuh bangun WC dan di desa kita punya tukang batu, mungkin biaya bangun WC yang tadinya 5 juta bisa jadi 3 juta saja, karena ada masyarakat yang swadaya menyumbang tenaga sebagai tukang batu. Jadi jika pemerintah ada keterbatasan dana, kita lihat bagaimana masyarakat bisa bantu, mungkin ada yang bisa sumbang tenaga, bahan bangunan, dan sebagainya. Jadi ada sinergi dengan pemerintah,” tukas Ibu Ros.

Ibu Tsanawiyah dari kelompok Makamase juga bersinergi dengan Lurah di desanya untuk mengoreksi daftar penerima raskin.

“Saya ajak Lurah jalan-jalan untuk lihat sendiri ada orang-orang yang masih tinggal di kolong-kolong, mengapa mereka tidak dapat raskin, sedangkan yang lebih mampu menerima raskin?” ujarnya. “Lurah pun lihat sendiri dan bisa mengoreksi daftar penerima raskin. Hanya saja kalau soal BLT (Bantuan Langsung Tunai) itu masih sulit karena kartunya langsung dari pusat. Jadi tidak bisa diganti langsung walau ada yang tidak tepat sasaran, karena ada prosesnya.”

Untuk Ibu Ratna, Direktur LPP Bone, menentukan wilayah sasaran pembentukan kelompok konstituen baru yang akan dibina merupakan tantangan tersendiri. Ia sengaja memilih daerah-daerah yang aksesnya paling sulit.

“Kita cari desa yang benar-benar terpencil, yang masuk gunung-gunung. Karena menurut kita ini yang paling sulit dan paling timpang, jadi kita pikir perlu masuk advokasi di sana,” ujarnya.

Desa Malusetasi, tempat Pak Hasanuddin tinggal, adalah salah satu desa dengan akses yang sulit, karenanya desa ini jarang diintervensi program pemerintah maupun program non-pemerintah lainnya.

“Ya, sebelumnya mereka masih takut berkelompok dan tidak mau datang pelatihan,”ujar Ibu Ratna.

“Awalnya karena waktu itu setelah pelatihan kita ada audit dari Jakarta. Jadi mereka ditelepon untuk ditanya bagaimana hasil pelatihannya dari Jakarta. Di situ ketika mereka terima telepon, mereka merasa tidak pernah punya kenalan di Jakarta. Mereka takut dapat masalah, lalu langsung ditutup teleponnya, dan tidak mau datang pelatihan lagi karena takut!” Ibu Ratna tertawa.

Namun, penguatan dari LPP Bone yang terus-menerus membuat Pak Hasanuddin dan kelompoknya kemudian mampu mengajukan proposal kepada Dinas Pertanian agar warga desanya yang kebanyakan bertani bisa mendapatkan bantuan berupa hand tractor.

“Ternyata berkelompok itu ada manfaatnya, sekarang masyarakat bisa merasakan, karena sudah kita pakai hand tractor itu bersama-sama,” ujar Pak Hasanuddin.