Cerita

Klinik ‘Lima Ribuan’ Siti Khadijah Beri Layanan Imunisasi, Papsmear dan tes IVA di Bantaeng, Sulawesi Selatan

30 Desember 2017
Penulis: admin

KLINIK Siti Khadijah binaan ‘Aisyiyah di Kelurahan Bontorita, Bantaeng – Sulawesi Selatan, hanya baru-baru ini saja ramai dikunjungi warga masyarakat yang hendak berobat.

“Sebelumnya sepi, bahkan sempat vakum. Dulu di sini tidak ada dokternya, dan tenaga kesehatan kurang. Jadi pasien pun hanya 1-2 orang saja begitu. Waktu sudah ada dokter, mulai banyak yang datang ke sini. Dokter jadi pemikat!” ujar Bidan Rahmi sambil melirik Dokter Yuli yang duduk tak jauh darinya.

Dokter Yuli memang belum lama bergabung sebagai dokter di Klinik Siti Khadijah. Ia baru saja pindah dari Palu karena mengikuti suaminya yang asli Bantaeng.

“Paling banyak memang pasien anak balita. Banyak juga masalah kolesterol tinggi di sini. Lalu ada juga pemeriksaan kandungan, Pap Smear, dan tes IVA,” ujar Dokter Yuli.

Bersama para bidan di klinik, Dokter Yuli pun membuat jadwal untuk mengunjungi desa-desa di sekitar klinik mereka secara rutin.

“Baru bulan lalu kami mulai keliling untuk sosialisasikan tentang kanker serviks, juga pentingnya melakukan tes IVA dan Pap Smear. Dalam satu minggu, bisa 3 desa yang kami datangi untuk penyuluhan dan pemeriksaan di tempat,” ujar Dokter Yuli .

Selama melakukan penyuluhan, Dokter Yuli dan para bidan klinik biasa membawa LCD untuk menunjukkan slide PowerPoint yang mengilustrasikan bahaya kanker serviks.

“Biasanya sih mereka mau langsung periksa saat itu juga, karena kita menyebutkan dampak negatif dari kanker itu, jadi ramai-ramai mereka mau memeriksakan diri,”Bidan Uni menambahkan. “Paling tantangannya kalau kita ke desa dan mereka sedang musim tanam. Paling yang muncul cuma 5 orang karena semua ke kebun.”

Dari pemeriksaan langsung di desa-desa sekitar Bontorita itulah, Dokter Yuli dan bidan klinik mendapatkan beberapa warga dengan hasil tes IVA positif. Mereka kemudian dianjurkan untuk datang ke klinik dan melakukan Pap Smear.

“Di sini, kalau untuk pasien yang pertama kali datang, tarifnya 10ribu rupiah,” ujar Bidan Rahmi. “Nanti mereka diberikan kartu berobat. Untuk datang selanjutnya, mereka hanya bayar 5ribu rupiah. Jadi cukup murah, memang. Itu pun harga sudah termasuk obat.”

Obat-obatan, sayangnya, masih menjadi masalah sehari-hari bagi klinik kecil ini. “Ya, dukanya kalau obatnya habis,” ujar Dokter Yuli. “Sekarang pun ini baru mau ke Puskesmas lagi ambil obat. Untuk obat kan kita dapat bantuan dari Dinas Kesehatan, jadi kita ambil obat di sana. Kadang obatnya terlambat datang, kadang kita dikasih jumlah terbatas—dijatah. Tidak semua yang kami minta diberikan.”

Lantas apa yang mereka lakukan jika obat habis sementara ada pasien yang membutuhkan? Salah satu pemecahannya adalah dengan membeli obat sendiri di apotek.

“Ya, kalau beli sendiri kan tarifnya berbeda, jauh lebih mahal. Ini pun kalau diberitahukan ke pasien, mereka menolak bayar lebih, karena mereka tahunya ini kan klinik 5ribuan. Ada juga sih yang kemudian mau menambah bayar obatnya, tapi lebih banyak yang menolak. Jadi, ya, biasanya kami nombok,” Dokter Yuli tertawa.

Untuk para bidan klinik, masalah kurangnya jatah vaksin untuk imunisasi juga masih menjadi kendala.

“Kita biasanya dikasih 1 botol saja untuk imunisasi,” ujar Bidan Rahmi. “Itu hanya cukup untuk imunisasi 6 orang. Pasien anak banyak, tapi kita jadi tidak bisa kasih imunisasi di sini. Sebenarnya pernah kita mau dikasih imunisasi TT, tapi kita nggak punya kulkas. Untuk imunisasi itu kita harus punya kulkas sendiri, naruhnya nggak boleh campur dengan kulkas makanan. Tapi, ya, itu, kulkasnya kami tidak punya.”

Ada 5 orang bidan perempuan, 1 orang dokter, dan 3 orang perawat laki-laki yang kini bekerja di Klinik Siti Khadijah binaan Aisyiyah.

“Tapi klinik kita juga belum 24 jam, kalau ada pasien melahirkan, biasanya nggak bisa ditangani di sini, karena rata-rata ibu hamil kan mules-mules tengah malam, dan di sini tidak buka,” kata Bidan Yuyun. “Banyak juga yang masih bersalin dengan dukun.”

“Di dinas ada juga pelatihan untuk dukun, namanya dukun terlatih,” Bidan Rahmi menjelaskan. “Cuma sekarang pun masih nggak boleh kalau dukun yang bantu melahirkan sebenarnya. Kalau urut masih bisa, tapi nggak boleh untuk melahirkan. Kalau ketahuan mereka bisa dihukum. Dukun bisa mendampingi, tapi harus ada bidannya.”

Bidan Rahmi sendiri belajar menjadi bidan karena melihat sepupunya yang bekerja sebagai perawat. “Saya suka melihat dia pakai baju putih-putih,” ujarnya sambil tersenyum. (***)