Cerita

Saraiyah, Suara yang Kini Didengar

12 Oktober 2018
Penulis: admin

Minggu pagi itu, 29 Juli 2018, Saraiyah sedang menyiram tanaman sayur-mayur di pekarangannya di Dusun Lokok Buak, Desa Sukadana, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara, ketika tanah yang dipijaknya mendadak bergetar hebat, membuat dinding rumahnya retak. Gempa 6,4 skala Richter yang mengguncang Pulau Lombok itu membuat Saraiyah bergegas mengungsi ke Dusun Segenter, yang terletak di kaki Gunung Rinjani. Di pengungsian yang kemudian menjadi tempat berlindung warga dari lima dusun itu, mulanya hanya ada tenda dari satu terpal dan tikar seadanya.

“Saya menelepon semua anggota Sekolah Perempuan yang bisa dihubungi (untuk berkoordinasi), apa yang bisa kami lakukan. Nomor telepon saya pun disebar sebagai contact person,” cerita Ketua Sekolah Perempuan Desa Sukadana ini.

Di pengungsian di Dusun Segenter, Saraiyah dan sejumlah anggota Sekolah Perempuan lainnya kemudian mendirikan Pos Perempuan. Pos ini merupakan inisiatif bersama antara Sekolah Perempuan, Institut KAPAL Perempuan, dan Lembaga Pengembangan Sumber Daya Mitra (LPSDM) Nusa Tenggara Barat, dengan dukungan Program MAMPU. Di sana, Saraiyah turut mengatur pembagian logistik, menginisiasi dapur umum, mengkoordinir jadwal piket mengantar korban gempa yang sakit, juga melakukan pendataan administrasi kependudukan (adminduk) bagi warga yang kehilangan dokumen identitas diri.

Menyadari bahwa perempuan memiliki kerentanan tersendiri dalam situasi bencana, Saraiyah dan rekan-rekannya di Sekolah Perempuan mengambil sejumlah langkah untuk menciptakan rasa aman dan nyaman bagi perempuan saat mengungsi. Selain membangun tenda dengan sekat antara laki-laki dan perempuan untuk menghindari pelecehan seksual, mereka juga menggagas awig-awig (peraturan desa adat) darurat untuk menciptakan keteraturan di lokasi pengungsian.

“Karena keadaan darurat, kami tidak bisa menempel peraturan di tenda. Jadi, kami mengumpulkan para laki-laki di sekitar tenda untuk rapat, dan menyepakati pembuatan awig-awig,” papar Saraiyah.

“Ada beberapa hal yang diatur, misalnya larangan merokok di dalam tenda karena ada ibu hamil dan menyusui, juga mengatur jam tidur agar selalu ada laki-laki yang piket ronda,” tambah Saraiyah, yang kini tidur di tenda yang didirikan di teras rumahnya.

Suara Saraiyah, yang sekarang menggaungkan dampak, berawal dari berdirinya Sekolah Perempuan Desa Sukadana pada 22 Februari 2014. Namun, kala itu, perjuangannya jauh dari mulus.

“Di awal, kami sering dicap sebagai kelompok yang mengajak ibu-ibu untuk melawan suami dan menentang adat,” kenangnya.

Perempuan berusia 46 tahun itu sendiri mulanya kebingungan, ketika Institut KAPAL Perempuan, mitra MAMPU untuk tema akses kepada perlindungan sosial, mengajaknya mendirikan Sekolah Perempuan. “Saya pikir, seperti apa itu Sekolah Perempuan? Apakah harus berpakaian rapi seperti murid sekolah? Mau diapakan kami-kami yang sudah tua dan miskin begini?”

 

Bersuara untuk Perempuan

Setelah mengikuti kegiatan Sekolah Perempuan, keraguan Saraiyah sirna. Aktivitas belajar dilakukan dalam suasana santai. Tempatnya bisa bergantian di rumah anggota, bahkan di alam bebas seperti sawah dan pantai. Materi pembelajaran disesuaikan dengan kebutuhan anggota, berdasarkan hasil diskusi bulanan mereka.

“Sebelumnya, kami nggak berani ngomong di depan orang. Masalah keluarga dianggap sebagai aib yang tidak bisa diceritakan ke orang banyak,” cerita Saraiyah, yang mengaku berkesempatan belajar banyak hal baru di Sekolah Perempuan bersama para anggota lainnya. “Padahal kami banyak yang tidak sekolah tinggi, hanya lulus SD dan SMP, bahkan tidak tamat SD,” tambah perempuan yang berhasil menamatkan bangku SMA, meski keluarga tak mengizinkannya melanjutkan sekolah, ini.

Wawasan Saraiyah, terutama mengenai pemenuhan hak-hak perempuan, pun terus meluas. Manakala ada peristiwa yang mengakibatkan ketidakadilan bagi kaum perempuan di lingkungan sekitar, ia akan tergerak memperjuangkannya.

Perjuangan menegakkan keadilan bagi para perempuan ini mendorong Saraiyah berani menerabas sekat-sekat adat. Ia meyakini, adat masih bisa diubah jika justru merugikan posisi perempuan. “Hanya Alquran dan hadis yang tidak bisa diubah, tapi adat dan kebiasaan hidup bisa kita ubah,” tegasnya.

Saraiyah juga tak pandang agama dalam memperjuangkan nasib perempuan, misalnya untuk mengusulkan perbaikan jalan di Dusun Kebon Patu. Menurutnya, akses jalan yang curam dan sempit tak hanya menyumbangkan angka kematian ibu hamil, namun juga menghambat potensi ekonomi Dusun Kebon Patu sebagai sentra perkebunan coklat. Namun, sang kepala dusun (kadus) sempat mempertanyakan motivasi Saraiyah, karena mayoritas warga di sana menganut agama yang berbeda dengannya.

“Saya bilang ke Pak Kadus, pembangunan itu tidak hanya difokuskan untuk sedikit orang. Kita harus berusaha agar pembangunan bisa dinikmati masyarakat banyak tanpa memandang agama,” tegas salah satu anggota Tim 11 Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa Sukadana ini.

Usulannya itu kemudian dibawa tak hanya ke tingkat desa, namun juga disampaikan dalam musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) di tingkat kecamatan dan kabupaten. Kini, pembangunan jalan ke Dusun Kebon Patu menjadi salah satu program prioritas.

 

Membangun Dampak

Berkat kegigihan Saraiyah dan para anggota lainnya, Sekolah Perempuan Desa Sukadana kini telah mendapatkan pengakuan warga maupun pemerintah. Selain melaksanakan musrenbang khusus perempuan sejak 2015, pemerintah Kabupaten Lombok Utara juga merencanakan replikasi Sekolah Perempuan di sejumlah desa lainnya. Saraiyah pun ditunjuk sebagai salah satu fasilitator untuk membantu pelaksanaan replikasi.

“Dulu, perempuan tidak pernah didengar suaranya dan dipandang sebelah mata. Sekarang, kalau kami bicara, laki-laki sudah mau mendengarkan,” ujarnya.

Salah satu contoh nyata lainnya adalah inisiatif Saraiyah dan para anggota Sekolah Perempuan Desa Sukadana untuk merintis kebun sayur organik di halaman rumah masing-masing. Keberhasilan mereka bercocok tanam secara swadaya ternyata tak hanya mewujudkan peningkatan kapasitas maupun pemberdayaan ekonomi. Mei silam, Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Lombok Utara bertandang ke rumah Saraiyah, mengajak Sekolah Perempuan Desa Sukadana bermitra dalam program Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL).

Pascagempa, Saraiyah pun berupaya menghidupkan kembali program KRPL, agar perempuan di pengungsian dapat mengisi waktu luang. Dengan demikian, mereka tidak terlarut dalam kekhawatiran karena memikirkan situasi hidup saat ini.

Selain mengolah sayur-mayur dari kebun KRPL di dapur umum, Saraiyah juga bekerja sama dengan Dinas Pertanian setempat untuk mengadakan penyuluhan KRPL di Desa Sukadana pada pertengahan Agustus lalu. Minggu (7/10) lalu, sekitar 60 perempuan berkesempatan mengikuti pelatihan pengolahan pangan lokal bersama pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat dan LPSDM di lapangan Kecamatan Tanjung.

Menyaksikan langsung segala kepanikan akibat gempa di akhir Juli itu, yang dalam sebulan diikuti oleh lebih dari 1.900 gempa susulan, Saraiyah sadar bahwa kesedihan tak harus berujung pada keputusasaan. Dalam keadaan yang serba terbatas, ia tak lelah mendorong warga di pengungsian untuk menyisihkan waktu demi membicarakan hal-hal yang dibutuhkan untuk upaya pemulihan.

“Tidak selamanya kita hanya bisa duduk diam, ketakutan, dan menunggu bantuan,” pungkasnya, penuh tekad. (*)