Cerita
Ketika Pendeta dan Tokoh Adat Nias Bicara Kesehatan Seksual dan Reproduksi Perempuan
31 Desember 2016Penulis: admin
BUKAN hal baru bagi Pendeta Yarniwati Mendrofa S.Th jika khotbahnya di gereja menuai protes. Pendeta perempuan yang tinggal di Desa Sisobahili I Tanese’o Kecamatan Hiliduho, Kabupaten Nias, Sumatera Utara ini memang dikenal cukup lantang menyuarakan berbagai isu seputar kesehatan seksual dan reproduksi yang tak ingin didengar jemaatnya.
“Kok Ibu Pendeta ini khotbah melenceng dari Alkitab. Kok malah cerita tentang pergaulan bebas, diberi contoh dan ilustrasi yang hamil di luar nikah, itu kan tabu!”, Pendeta Yarni menirukan protes jemaatnya. “Sebelumnya saya pun tidak berani bicara masalah ini di mimbar gereja, tapi kejadian nyata sudah banyak terjadi di jemaat saya. Jadi saya tantang habis mereka, marilah kita bicarakan hal ini, jangan lagi ditutupi karena dianggap aib.”
Setelah mengikuti pelatihan mengenai hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR) dari PESADA beberapa waktu lalu, Pendeta Yarni menyadari betapa pentingnya informasi ini bagi jemaat yang ia gembalakan. Dengan wawasan yang semakin bertambah, ia pun giat melakukan pendekatan kepada penatua gereja lainnya agar dapat bersama-sama bergandeng tangan dalam mengatasi berbagai permasalahan seputar HKSR, khususnya bagi jemaat di Pulau Nias.
“Dan memang sudah ada kerja sama dengan agama juga, karena sekarang di resor kita sudah ada kerja sama dengan kesehatan,” ujar Pendeta Yarni. Sebelum menikah, kesehatan reproduksi laki-laki dan perempuan yang datang untuk minta dinikahkan perlu diperiksa terlebih dulu. Bagi Pendeta Yarni, ini diperlukan agar pelayan gereja tak menyalahi aturan dan berbuat dosa dengan menyatukan orang yang sudah melakukan hubungan seksual sebelum menikah. “Jadi kumpulan gereja pun sudah canangkan itu jadi program,” Pendeta Yarni menegaskan.
Hal ini pun, ketika ia sampaikan dalam khotbah, kemudian menuai banyak protes, terutama dari para lelaki. “Apakah Ibu akan periksa semua orang?” Pendeta Yarni menirukan protes-protes yang diterimanya. “Padahal kan bukan saya yang nanti periksa, itu hak asasi juga kalau ada yang bilang ‘jangan pegang saya’! Barusan tadi saya terima telepon, ada kasus perempuan yang tidak bisa bicara, dihamili oleh laki-laki beristri yang masih saudara bapaknya sendiri. Jadi perempuan ini ditanya tidak keluar kan suaranya.”
Untuk hal-hal seperti ini, Pendeta Yarni bertekad terus memberikan pemahaman kepada jemaatnya, meski menuai protes. “Dia dinikahkan dengan lelaki itu padahal ini kan kehamilan tidak diinginkan, karena itu pemerkosaan yang terjadi. Saya pun sudah mendapatkan pelatihan tentang menikah yang dipaksakan, apalagi kalau perempuan itu ada keterbatasan, kan, jangan sampai kita juga melanggar sebagai hama Tuhan. Apakah ini dosa karena hamil di luar nikah, sementara hamilnya bukan keinginan dia? Selalu yang jadi korban perempuan, tidak pernah laki-lakinya—yang biasanya malah melarikan diri.”
Di tengah protes yang masih saja menghujaninya, Pendeta Yarni masih tetap bertekad untuk mengangkat isu mengenai HKSR di mimbar gereja, demi jemaatnya. “Kalaupun karena itu saya dipecat dari menjadi pendeta, ya tidak apa-apa, saya nanti cari pekerjaan lain. Karena saya percaya isu ini penting untuk diangkat, jangan lagi disimpan jadi aib, tapi mari kita bersama-sama tangani ini.”
Sejalan dengan Pendeta Yarni, Benyamin Harefa pun punya pandangan yang tak jauh berbeda—perihal hak-hak perempuan. Sebagai Ketua Lembaga Budaya Nias (LBN) Kota Gunungsitoli, Benyamin memang memiliki posisi yang cukup penting dalam tatanan adat masyarakat Nias.
“Perempuan itu dalam adat Nias sebenarnya sangat dihargai. Tempo dulu kedip mata sama perempuan, dihukum,” kata Benyamin. “Cubit-cubit tangan, dihukum. Menghamili orang itu juga dulu dihukum, potong leher. Pancung. Perempuan itu dulu dijaga, kalau berjalan selalu ditemani orang-orang tua. Jadi perempuan itu sebenarnya dihargai, sekarang sudah bergeser.”
Meski demikan, Benyamin juga menyadari adanya berbagai pergeseran dan kesalahpahaman terkait aturan-aturan adat yang telah ditetapkan sebelumnya; misalnya mengenai jujuran dalam pernikahan adat Nias. Jujuran atau mas kawin merupakan syarat yang diminta oleh keluarga perempuan kepada keluarga laki-laki; untuk menggantikan anak perempuan mereka yang akan diboyong ke dalam keluarga laki-laki.
Biaya jujuran yang besar dan bisa menghabiskan puluhan bahkan ratusan juta rupiah ini kemudian kerap membelit pasangan pengantin baru dengan hutang untuk membayar jujuran; dan menyeret mereka ke dalam kemiskinan. Di sisi lain, karena pihak lelaki merasa bahwa ia telah membeli pihak perempuan dengan harga mahal—ia berhak memperlakukan pihak perempuan sesuka hatinya, dan hal ini memicu terjadinya berbagai kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Pulau Nias.
“Padahal secara adat, simbi (babi) untuk pernikahan itu sebenarnya berjumlah 2 ekor babi. Paling besar bisa 200 kilo itu. Tapi sekarang semua orang yang dianggap dihormati secara adat pun diberikan 1 ekor babi. Ada juga, saya datang ke pesta pernikahan, dan semua tamu undangan kemudian diberikan potongan daging babi untuk dibawa pulang. Ini membuat biaya pernikahan jadi begitu besar,” kata Benyamin. “Dan kalau dulu itu, pesta pernikahan ada 10 tahap. Jadi biaya besar sekali. Nah, sekarang sudah digabung tahap pertama sampai kedelapan sudah digabung. Lalu yang sembilan dan sepuluh juga. Jadi biaya bisa ditekan.”
Papan bunga dan musik keyboard yang biasa dijumpai dalam pesta pernikahan pun sebenarnya bukanlah budaya Nias. Namun kini kedua hal itu sudah dianggap sebagai bagian wajib dari pesta. Budaya sokhi mate moroi aila (lebih baik mati daripada malu) memang membuat masyarakat Nias ingin meniru pesta-pesta yang dilakukan tetangganya. “Dulu pun kita bungkus makanan pesta itu dengan daun saja. Sekarang orang bungkus itu makanan dengan kotak-kotak, berapa uang yang dikeluarkan untuk itu? Mahal itu,” Benyamin menambahkan.
Bersama dengan sesama tokoh adat Nias, Benyamin pun masih terus berupaya menyelaraskan tatanan adat dengan nilai-nilai yang terus berkembang di masyarakat. “Kan kita sebagai tokoh adat yang menetapkan aturan-aturan itu, misalnya untuk jujuran. Tapi mengapa akibat ketetapan kita, kita jadi melarat? Jadi sebenarnya kita bisa saja bermufakat, bersepakat, mana aturan yang akan kita pakai. Berapa besaran jujuran yang mau disepakati supaya kita bisa turunkan nilainya,” Benyamin menjelaskan.
“Ini juga masih ada tokoh yang ngomel-ngomel, bagaimana katanya jika cucu perempuan kamu tidak diberikan jujuran yang mahal,” kata Benyamin. “Saya bilang akan saya terima, bukan saya tidak mau, asal laki-lakinya cocok dengan cucu saya, karakternya bagaimana, sekolahnya bagaimana. Jadi inilah yang masih saya musyawarahkan. Kita tidak mengubah adat, hanya mari nilai jujuran ini coba kita turunkan.”