Cerita
Siti Zamzanah: Gunakan Pengetahuan dan Pengalaman untuk Kerja yang Lebih Baik
31 Desember 2015Penulis: admin
Siti Zamzanah (58 tahun), atau akrab disapa Bu Siti, tinggal di desa Notoprajan, Ngampilan, Yogyakarta. Ia memiliki dua orang anak, menantu dan dua orang cucu. Mereka tinggal di sebuah rumah yang telah menjadi milik Bu Siti sejak suaminya meninggal pada tahun 2002. Setelah lulus dari SMA di pertengahan tahun 70-an, Bu Siti melakoni berbagai macam pekerjaan. Pada saat ia bertemu dengan suaminya pada akhir 70-an, Ia telah memiliki pengalaman kerja paruh waktu dan penuh waktu di sektor formal dan informal, yang sebagian besarnya adalah di industri garmen.
Setelah menikah, Bu Siti tetap bekerja penuh waktu sebagai penjahit di perusahaan fashion. Barulah ketika anak bungsunya menginjak remaja pada tahun 1998, Bu Siti ingin mendedikasikan waktu dan perhatiannya lebih banyak untuk keluarga. Ia keluar dari pekerjaan penuh waktunya, dan bekerja dari rumah sebagai pembuat lubang kancing pakaian dan penjahit kancing. Untuk memulai usahanya, Bu Siti meminjam uang dari koperasi untuk membeli mesin jahit dan bahan-bahan yang diperlukan seperti benang, jarum, dll. Kemudian, Bu Siti mendapat jaringan dengan agen yang ia ketahui dari rekan sesama pekerja rumahan dan rekan saat bekerja dulu.
Hingga sekarang, Bu Siti telah melakoni pekerjaannya sebagai pembuat lubang kancing baju dan penjahit kancing selama 16 tahun. Secara umum, Bu Siti sangat menikmati waktu dan kebersamaannya bersama keluarganya di rumah, walaupun ia tidak terlalu puas dengan pekerjaannya. Bu Siti hanya mendapat bayaran sebesar Rp 2.000,- per 10 lubang kancing dan Rp Rp 4.500,- per lubang kancing dan kancingnya. Dalam sebulan, Ia bisa mendapat Rp 1.000.000,- yang sebagian besar darinya ia gunakan untuk membeli peralatan menjahit, membayar listrik dan perawatan mesin jahitnya.
Anak dan menantunya juga bekerja, namun hanya paruh waktu dan di sektor informal pula. Jika seluruh pendapatan mereka digabungkan, itu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga mereka. Mereka tidak dapat mengakses program perlindungan sosial dari pemerintah seperti BPJS, namun di sisi lain mereka juga tidak dapat dikategorikan sebagai masyarakat miskin sehingga mereka tidak mendapatkan fasilitas perlindungan sosial pemerintah secara gratis.
Tahun 2008, Bu Siti bergabung dengan kelompok pekerja rumahan yang didampingi oleh Yasanti, sebuah LSM lokal yang bekerja di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah, dan salah satu Mitra Pelaksana ILO/ MAMPU. Sejak itu, Bu Siti aktif terlibat dalam diskusi dan kegiatan kelompok.
“Saya senang bisa mempelajari berbagai topik baru melalui kelompok ini, seperti isu gender, hak asasi manusia dan kualitas kerja,” katanya. Dari ilmu yang didapatnya, Bu Siti berusaha untuk memanfaatkan pengetahuan tersebut untuk meningkatkan kualitas produknya. “Sebelumnya, saya mengukur jarak antara dua lubang kancing dengan menggunakan jari saya, jadi dikira-kira. Tapi, setelah saya belajar tentang kualitas kerja, sekarang saya mengerti bahwa saya harus membuat barang-barang yang saya hasilkan dengan kualitas baik. Sejak itu, saya membeli pita pengukur dan pensil dan jarak antara dua lubang kancing sekarang seragam.”
Bu Siti mengungkapkan bahwa agennya tidak pernah menawarinya kenaikan upah. Selama 16 tahun bekerja, upah untuk satu lubang dan kancing memang naik secara perlahan, tapi hanya sedikit, dari yang sebelumnya Rp 150 menjadi Rp 450. Dan kenaikan upah ini terjadi karena Bu Siti memintanya, mengingat adanya kenaikan harga bahan dan juga tarif lisrik.
Bu Siti belajar berani untuk meminta haknya seorang diri, jauh sebelum bergabung di Yasanti. Sekarang, Bu Siti berbagi pengalaman dan kisahnya kepada anggota kelompok lainnya. “Saya senang bisa berbagi pengalaman masing-masing dan bisa saling mendukung dalam kelompok ini. Mudah-mudahan, kita semua mendapat kondisi kerja yang lebih baik”, ujar Bu Siti.