Cerita
PEKKA Menyelaraskan Adat dalam Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga di NTT
31 Desember 2016Penulis: admin
Kekuatan adat istiadat di Lembata, Nusa Tenggara Timur, masih sangat kuat dan tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari perempuan di daerah tersebut. Perdebatan tentang kepemilikan dokumen legal pemerintah seperti Kartu Keluarga dan Akta Kelahiran anak bagi perempuan kepala keluarga (pekka) masih sering terjadi karena secara adat umumnya kepala keluarga adalah laki-laki. Selain itu, kuatnya adat yang mewajibkan warga tanpa pengecualian untuk memberi materi untuk pesta keluarga, kerap membebani kehidupan perempuan dan keluarganya. Kuatnya adat ini yang menurut perempuan menghambat gerak mereka.
PEKKA, dengan dukungan Program MAMPU, hadir untuk membuka pemahaman program-program perlindungan sosial pemerintah dan pentingnya dokumen legal pemerintah bagi perempuan kepala keluarga untuk mengakses program-program tersebut. Selain itu, PEKKA rutin melakukan diskusi dengan kelompok perempuan kepala keluarga di Lembata. Melalui diskusi-diskusi ini, PEKKA juga memberikan pelatihan keterampilan agar para mereka mempunyai keahlian dalam berbagai bidang.
Agnes Peni adalah ketua kelompok salah satu kelompok pekka di Lembata. Agnes bertugas untuk membuat dan melaksanakan program kerja kelompok. Agnes yang ditinggal suaminya merantau ke Batam ini merasakan tantangan menjadi seorang kepala keluarga tanpa dokumen legal. Oleh karena itu, pendampingan para perempuan kepala keluarga untuk memiliki dokumen legal adalah salah satu kegiatan yang dilakukannya.
“Di Desa Lemau ini, sebagian besar perempuan kepala keluarga sudah memiliki dokumen sah seperti kartu keluarga dan akta kelahiran anak yang boleh menyantumkan nama ibu dan anak saja. Keberhasilan ini berkat mediasi antara warga, pemerintah daerah dan kepala adat. Sekarang kita gunakan dokumen-dokumen tersebut untuk mengakses program sosial pemerintah.” Kata Agnes.
Ada beberapa kegiatan rutin yang dilakukannya dalam program kerja kelompoknya. Yang pertama adalah “Koperasi Sembilan Bahan Pokok” (sembako). Perempuan pekka dapat meminjam sembako yang dibutuhkannya, dan “membayar kembali” pinjaman tersebut dengan bahan pokok yang sama.
Kedua, PEKKA mengenalkan asuransi berbasis masyarakat. Pekka wajib mengumpulkan satu kali simpanan wajib sebesar Rp.50.000 (AUD$ 50), selanjutnya simpanan sukarela mulai Rp.1.000 (AUD 10c) sampai Rp.5.000 (AUD 50c) tergantung kesanggupan masing-masing anggota.
Ketiga, Agnes juga membuat program “Arisan Kayu Bakar”. Melalui arisan ini, setiap anggota kelompok mengumpulkan ranting-ranting kering dari kebun atau hutan dan hasilnya bergilir diberikan ke setiap anggota yang membutuhkan.
“Kayu yang kami ambil bukan hasil tebangan dengan sengaja. Kami hanya memungut ranting-ranting kering yang sudah jatuh jadi tak merusak lingkungan. Setelah semua dikumpulkan, kita membagikan hasilnya ke anggota yang membutuhkan kayu bakar.”Agnes menjelaskan.
Anggota kelompok juga bebas memberikan ide untuk Agnes dalam berkegiatan. Sebagian besar perempuan pekka adalah penenun dan berladang. Untuk ladang kopi dan jagung yang mereka punya, mereka membutuhkan pupuk. Oleh karena itu, atas kesepakatan bersama, mereka membuat “Bank Sampah”. Sampah yang dapat diperbaharui dikumpulkan menjadi bahan untuk kerajinan tangan yang dapat dijual, seperti membuat tas dan taplak meja. Sedangkan sampah organik, ditampung di bak penampungan pinggir sungai yang jauh dari pemukiman untuk dibakar dan hasilnya dijadikan pupuk yang digunakan untuk kepentingan bersama anggota kelompok.
“Sebelumnya kami membeli pupuk di luar, sejak ada bank sampah kami tertolong karena terhindar dari harga pupuk mahal dan kandungan bahan kimia pada pupuk yang biasa dibeli.” ujar Agnes.
Semua kegiatan kelompok bermaksud untuk meningkatkan kepercayaan diri dan kemandirian para perempuan kepala keluarga. Menurut Agnes, pemahaman yang diberikan dalam diskusi rutin MAMPU memberi dampak banyak perubahan baik, dalam hal kemandirian untuk memenuhi kebutuhan perempuan kepala keluarga.
“Melalui kelompok, pemahaman-pemahaman itu berhasil memberi pembeda namun bisa diselaraskan, antara memenuhi hak dasar dan memelihara adat. Sehingga dua-duanya bisa berjalan. Adat pun merupakan warisan leluhur yang patut dipelihara,” pungkasnya.