Kegiatan

 

Memahami Tahapan dan Penerapan Peraturan Daerah Sesuai Kaidah

23 Desember 2016
Penulis: admin

Salah satu jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan adalah Peraturan Daerah (Perda) (Pasal 7 ayat 1 poin g UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan). Karenanya, Perda secara langsung terintegrasi dari peraturan perundang-undangan di atasnya dan memiliki daya sentuh yang kuat dalam kehidupan masyarakat (Hamidi & Mutik, 2011).

Menurut UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Perda memuat dan mengatur penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 14).  Dengan demikian, pembuatan Perda menjadi strategis dan penting karena faktor kekhususan daerah dan penjabaran perundang-undangan yang lebih tinggi. Beberapa undang-undang hanya memuat hal-hal umum yang harus dijabarkan sesuai dengan kondisi daerah, antara lain terkait perempuan, anak, suku dan masyarakat adat terpencil, penganut agama dan kepercayaan lokal, kelompok-kelompok minoritas, kaum disabilitas, serta hal-hal yang khusus dan spesifik di daerah.

 

Implementasi Perda

Beberapa daerah sudah sangat maju dalam membuat Perda. Namun, banyak sekali Perda yang telah dibuat di suatu daerah hanya menjadi dokumen hukum tanpa atau minim implementasi. Sebagai contoh, sebuah kabupaten memiliki Perda terkait perempuan dan anak yang sangat lengkap, namun masih sedikit implementasi. Hal serupa terjadi di sebuah kota, dimana pemerintah dan DPRD telah mengesahkan sejumlah Perda mengenai hak dan perlindungan perempuan dan anak, namun pelaksanaan perda tersebut belum terlihat. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah penataan dan pengarsipan dokumen Perda agar mudah ditelusuri dan diakses oleh pihak yang membutuhkan.

Beberapa faktor yang menjadi penyebab lemahnya implementasi Perda yang telah disahkan, antara lain:

  1. Masih terbatasnya kemampuan dalam membuat Perda. Dalam beberapa kasus, banyak Perda yang meniru Perda di daerah lain, tanpa menyesuaikan dengan situasi lokal di daerah tersebut. Hal ini berdampak pada sulitnya pelaksanaan suatu Perda karena ketidaksesuaian situasi dan kondisi setiap daerah.
  2. Ketidaksesuaian Perda dengan kebutuhan masyarakat dan daerah. Hal ini berdampak pada timbulnya Perda yang diskriminatif SARA. Dalam beberapa kasus lain, pembuatan Perda tidak sesuai rencana dan tidak disepakati dalam Properda (Program Peraturan Daerah) atau Prolega (Program Legislasi Daerah).
  3. Kurangnya pemahaman substansi dan konteks Perda oleh pembuat kebijakan, baik pemerintah daerah, DPRD maupun tim yang ditunjuk. Hal ini terlihat dari jumlah Perda yang dibatalkan sepanjang tahun 2010-2014, yaitu 1.501 Perda oleh pemerintah pusat.

 

Tahapan Pembuatan Perda

Untuk membuat dan mengimplementasikan Perda yang sesuai dengan kaidah dan kebutuhan, kita perlu mengetahui bagaimana proses dan tahapan pembuatan Perda tersebut.

Pertama, Perda dimulai dari perencanaan penyusunan Perda melalui Properda atau Prolegda. Properda memuat program pembentuk Perda, materi yang diatur dan keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Penyusunan Properda didasarkan atas: (a) perintah perundang-undangan yang lebih tinggi; (b) rencana pembangunan daerah; (c) penyelenggaran otonomi daerah dan tugas pembantuan; (d) aspirasi masyarakat daerah (Pasal 35 UU No. 12/2011).

Kedua, pada tahap penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) yang berasal dari pemerintah daerah (Gubernur atau Bupati/Walikota) atau DPRD disertai dengan Naskah Akademik (NA). Apabila suatu Perda yang rancangannya didahului dengan penyusunan NA, yang tentu saja dilakukan sesuai prosedur yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan, hal ini telah memberi ruang atau media nyata bagi partisipasi masyarakat dalam pembentukan Perda tersebut.

Persoalannya, tidak semua rancangan Perda didahului dengan penyusunan NA, dan ada kemungkinan hanya dilakukan untuk sekadar memenuhi prosedur dan dilaksanakan tanpa memenuhi standar akademik yang wajar dan kompeten (Hamidi & Mutik, 2011). Banyak pembahasan Perda tanpa NA atau pembuatan NA setelah Draft Raperda dibuat, sehingga pembuatan NA mengikuti draf Raperda, bukan sebaliknya. Ada juga NA yang dibuat sekadar sebagai kelengkapan, yang proses pembuatannya hanya meniru tanpa dikaji lebih lanjut.

Dalam proses pembentukan perundang-undangan, NA merupakan bahan awal (first draft) bagi perancangan suatu RUU (Rancangan Undang-Undang) atau suatu pemikiran baru. Perda juga harus didahului dengan penyusunan NA, dengan adanya NA diharapkan akan memudahkan para perancang untuk membuat perumusan dari RUU atau Raperda yang sedang disiapkan (Hamidi & Mutik, 2011).  NA memuat gagasan-gasan konkrit yang langsung dapat dioperasionalkan untuk merumuskan norma-norma hukum sebagai materi muatan RUU atau Raperda. Gagasan-gagasan di dalam NA di dasarkan pada hasil pengkajian, penelitian ilmiah, analisis dan evaluasi peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dengan demikian, NA akan terjaga netralitasnya sebagai sebuah kajian yang murni karena tuntutan akademik, bukan karena tuntutan kepentingan pihak-pihak tertentu melalui politik hukum. Karena itulah NA dibuat sebagai “bandul penyeimbang” Raperda yang dibuat oleh pemerintah dan DPRD atau sebaliknya agar lebih obyektif, sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah keilmuan hukum dan tata aturan pembuatan Perda.

 

Pembuatan Perda sesuai Kaidah

Masih banyak pembuatan Perda tidak sesuai dengan kaidah-kaidah yang ada. Dalam Pelatihan Legal Drafting yang dilaksanakan oleh Yayasan BaKTI dalam Program MAMPU (Maju Perempuan Indonesia untuk Penanggulangan Kemiskinan), masih banyak anggota DPRD yang belum mengetahui tata aturan pembuatan Perda, salah satunya pentingnya NA sebelum pembuatan Perda. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan anggota DPRD yang membahas Raperda tanpa NA.

Menyadari hal tersebut, beberapa anggota DPRD mencoba mendorong perbaikan dan melakukan langkah-langkah untuk melahirkan Perda sesuai dengan tata aturan. Beberapa inisiatornya adalah anggota DPRD dari beberapa daerah, seperti Andi Nurhanjayani, dan Hj. Apriyani Djamaluddin dari DPRD Parepare, Haeriah Rahman dan Fitriani dari DPRD Maros, serta Elly Toisutta, Juliana Pattipeilohy, dan  Leonara Farfar DPRD Ambon. Beberapa upaya membuat Perda yang sesuai dengan kaidah, telah dipraktekkan dalam proses pembuatan Perda. Beberapa di antaranya adalah DPRD Kota Parepare dengan Perda Perlindungan Perempuan dan Anak (sudah disahkan), DPRD Kabupaten Maros dengan Perda Pendidikan Anak Usia Dini (dalam pembahasan), DPRD Kota Ambon dengan Perda Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan dan Anak (sudah disahkan), dan DPRD Kabupaten Tana Toraja melalui Perda Sistem Ketenagakerjaan (dalam pembahasan).

Pembuatan Perda tersebut dimulai dengan pengajuan materi Perda di dalam Properda. Baik Raperda yang berasal dari pemerintah maupun inisiatif DPRD. Anggota DPRD mengikuti proses sejak awal sehingga dapat memahami substansi maupun permasalahan yang harus diatur.

Di DPRD Parepare, Ambon, dan Maros, Perda yang dibuat merupakan inisiatif DPRD, sehingga anggota DPRD sejak awal mengikuti proses pembuatan. Membersamai tim pembuat NA, anggota DPRD Parepare dan Maros melakukan penelitian di lapangan. Sepanjang pembahasan NA hingga pembuatan draft Raperda, anggota DPRD mengikuti tahapan tersebut. Bahkan draft Raperda disosialisasikan oleh anggota DPRD ketika melakukan reses, sehingga mendapatkan masukan dari konstituen.

Mengingat Perda adalah aturan hukum yang nantinya akan diimplementasikan, dan anggota DPRD berfungsi mengawasi implementasinya, maka proses pembuatan Perda harus sesuai dengan kaidah, termasuk melibatkan pihak-pihak terkait sejak awal. Anggota DPRD merupakan pihak yang berperan penting dalam pembuatan Perda, sehingga pemahaman substansi dan permasalahan yang di-Perda-kan harus dimiliki.

Oleh karena itu, apa yang dilakukan anggota parlemen di DPRD Parepare,  Maros, Tana Toraja, dan Ambon, yang mendorong dan menerapkan pembuatan Perda sesuai dengan kaidah dan kebutuhan, adalah langkah maju yang perlu diapresiasi dan ditiru.

Dilaporkan oleh:  M. Ghufron H. Kordi K. (Database & Media Publication Officer MAMPU-BaKTI)