Kegiatan

 

Konferensi Nasional MAMPU Soroti Kekerasan terhadap Perempuan

17 Februari 2020
Penulis: Amron Hamdi

MAMPU selenggarakan Konferensi Nasional bertajuk “Sinergi Multipihak untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan Indonesia” di Jakarta pada 27 November 2019. Konferensi ini bertujuan untuk membangun pemahaman dan komitmen bersama para anggota Legislatif dan Eksekutif periode 2019-2024, untuk mendorong kebijakan dan regulasi yang responsif gender pada setiap sektor pembangunan. Salah satu isu gender yang dihadapi perempuan yang dibahas secara mendalam dalam sesi break-out adalah kekerasan terhadap perempuan.

Sesi break-out ‘Kekerasan terhadap Perempuan’ menghadirkan enam narasumber dengan latar belakang beragam, yaitu Azriana Manalu (Komnas Perempuan), Edy Wibowo (Mahkamah Agung), Destri Handayani (Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan TPPO/ Kementrian PPPA), Sri Dewi Indajati (DP3AP2KB Jawa Tengah), Veni Siregar (Forum Pengada Layanan) dan Maria Ulfa Anshori (Kongres Ulama Perempuan Indonesia).

Azriana menekankan 3 prinsip The Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination against Women (CEDAW) yaitu non-diskriminasi, keadilan substantif dan kewajiban negara, yang sesuai dengan landasan Konstitusi Negara Indonesia, yang merujuk pada pentingnya pemajuan, pemenuhan, perlindungan dan penegakan HAM. Pada kenyataannya, walau saat ini telah hadir 290 kebijakan kondusif untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak, masih terdapat 381 kebijakan daerah dan 40 kebijakan nasional yang merugikan dan diskriminatif terhadap perempuan.

Menyambung Azriana, Edy Wibowo menjelaskan usaha Mahkamah Agung (MA) dalam menghapus kekerasan terhadap perempuan melalui Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 3 Tahun 2017
tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Edy menginformasikan bahwa PERMA inisiatif MA tersebut fokus pada 3 hal, yaitu pengaturan sikap hakim saat proses persidangan, penjatuhan putusan, serta pemeriksaan uji materiil.

Lima program prioritas Kementerian PPPA tahun 2019 – 2024 disampaikan Destri Handayani, menyangkut peningkatan pemberdayaan perempuan dalam kewirausahaan, peran perempuan dalam pendidikan anak, penurunan kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta penurunan angka pekerja anak dan pencegahan perkawinan anak.

Sri Dewi Indajati dari DP3AP2KB Jawa Tengah menyambung perbincangan dengan menyampaikan pengalaman implementasi inovasi Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP) di Jawa Tengah.

Sementara itu Veni Siregar dari Forum Pengada Layanan (FPL) berbagi pengalaman lapangan dalam menangani 3.500 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak pada tahun 2017. FPL terdiri dari 115 organisasi yang menangani langsung beragam kasus kekerasan di 32 provinsi di Indonesia. Veni menyinggung proses penanganan kasus yang sering tidak sensitif terhadap kondisi korban, seperti proses BAP dengan pertanyaan menyudutkan korban, korban tidak didampingi orang yang dipercaya, mediasi sepihak oleh polisi, dan menyuruh korban mencari sendiri pelakunya. Selain itu, secara sosial, kasus kekerasan masih sulit diatasi karena masih dianggap urusan privat, menjadi bahan gunjingan dan menimbulkan aib bagi keluarga. Maria Ulfa Anshori dari KUPI menutup perbincangan dengan tiga peran utama tokoh agama dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Pertama, sebagai agen perubahan memberikan edukasi pada masyarakat tentang dimensi kekerasan terhadap perempuan dan mendorong perubahan perilaku umat. Kedua, pendampingan dan pemulihan korban terutama di pesantren, dimana mereka bisa menerima pengaduan kasus dan mendampingi korban hingga kasus selesai. Ketiga, mendorong pembuatan kebijakan (keputusan) agama untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan. KUPI melakukan advokasi kebijakan dengan memberikan pengetahuan keagamaan untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan.

Empat rekomendasi dihasilkan dari sesi ini: 1) Perlunya sosialisasi PERMA No.3 Tahun 2017 di seluruh Indonesia dengan melibatkan lembaga penegak hukum, yaitu Jaksa dan Polisi serta DP3A, 2) Perlunya mendorong layanan yang komprehensif bagi perempuan korban kekerasan yang melibatkan lembaga terkait dan lintas daerah, 3) Perlunya melibatkan institusi dan tokoh agama dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan karena ulama memiliki potensi sebagai agen perubahan sosial untuk pencegahan secara sistemik, dan 4) Harmonisasi regulasi nasional dan daerah karena masih banyak kebijakan yang mendiskriminasi perempuan.

Melalui sesi ini diharapkan berbagai pihak yang hadir dapat saling bertukar pengalaman dan bekerjasama dalam usaha penghapusan kekerasan terhadap perempuan.