Cerita
Perjalanan Pekerja Rumahan Menuju Kemandirian
2 Maret 2016Penulis: admin
Sriami adalah cerminan perempuan mandiri pinggiran kota. Ketua HI Kabupaten Malang ini, merupakan warga Dusun Kendedes, Kelurahan Candirenggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang. Ia mulai menjalani pekerjaan sebagai pekerja rumahan jahit selimut bayi sejak tahun 2008.
Ibu rumah tangga ini memiliki seorang anak laki-laki dan perempuan. Sekitar tahun 2011, biduk rumah tangganya kandas setelah suaminya berselingkuh. Walaupun sakit hati dan kecewa, sebagai seorang ibu, Ia harus tetap menyelamatkan kehidupan diri dan anak-anaknya. Putra pertama ikut suaminya tinggal di ibukota, sedangkan Sriami melanjutkan hidupnya bersama putrinya di Singosari.
Awal mula usaha Sriami menjahit dimulai saat ia ditawari temannya untuk bekerja sebagai penjahit selimut bayi dengan harga Rp. 1.250,-/lembar. Mulai saat itu, Sriami bersama 25 orang lainnya mengambil garapan di daerah Rogonoto Kecamatan Singosari.
Dalam kesempatan lainnya, Sriami diminta tetangganya untuk berjualan kopi pada malam hari untuk melayani warga dan tokoh masyarakat yang mengadakan kegiatan di gedung olahraga di samping rumahnya. Pekerjaan ini tidak membutuhkan banyak tenaga, karena konsumen tinggal mengirim SMS dan kopi dibuatkan di rumah. Kemudian, kopi diantar ke gedung. Barulah pada pagi harinya Sriami mengambil gelas kotornya. Bagi Sriami, pekerjaan ini menghasilkan cukup banyak pemasukan dan menjanjikan. Pada 2014, Sriami memberanikan diri mengambil cicilan sepeda motor.
Saat ini upah menjahit selimut mengalami penurunan dari Rp 1.250 menjadi Rp 1.000/ lembar. Meskipun sudah berusaha bernegosiasi untuk tidak menurunkannya, pemberi pekerjaan tidak dapat memenuhi permintaan para pekerja dengan alasan meningkatnya harga bahan dan sepinya order pembeli.
Dalam sehari, dari jam 8 pagi hingga jam 3 sore biasanya Sriami dapat menghasilkan 20-21 lembar selimut jika mengerjakan sendiri. Tapi jika dibantu anaknya, sehari bisa mendapatkan 30 lembar. Dengan upah sebesar Rp. 1.000/lembar, bisa diperkirakan uang yang didapat Sriami berkisar antara Rp 20.000,- hingga Rp 30.000,-. Pendapatan ini belum dipotong biaya benang Rp. 10.000 (1 lusin) per 100 lembar selimut.
Semenjak ikut kegiatan di Sekolah Perempuan Pekerja Rumahan (SPPR) dan membentuk kelompok pekerja rumahan, sedikit demi sedikit sikap Sriami mulai berubah. Ia mulai berani berbicara di hadapan orang banyak. Dalam acara PKK di RT 01 dan pengajian RT, Sriami sudah berani menjelaskan tentang apa itu pekerja rumahan yang dibagi atas POS dan SE. Karena itu, masyarakat di sekitar rumah Sriami menjadi tahu seputar pekerja rumahan.
Selain itu, Sriami juga menjelaskan dan mengadvokasi ke pihak RT, serta mengajak beberapa orang untuk ikut berkelompok. Hal ini ia lakukan karena tahu manfaat berkelompok.
Sewaktu kegiatan Jambore perempuan di Jakarta yang dilaksanakan oleh MWPRI dengan Institut Women for Empowerment (IWE), Sriami berani berbicara di hadapan Deputi Menaker untuk membahas tentang hak pekerja rumahan agar mendapatkan upah kerja yang layak dan jaminan kesehatan.
Sriami juga mulai melakukan pengembangan usaha di bidang selimut secara mandiri. Ia dan anaknya membuat selimut sendiri dan dipasarkan sendiri di Jakarta setiap bulannya.
Sampai saat ini, ia sudah melakukan pengiriman 30 selimut sebanyak 3 kali dalam kurun waktu 5 bulan. Di Jakarta, Sriami menjual dengan harga Rp. 40.000,- untuk selimut dengan ukuran sedang (1,5 x 1,5 m) dan Rp. 50.000,- untuk ukuran yang lebih besar (XL).
Dari sini, bisa kita lihat bagaimana proses perjuangan dan perubahan Sriami yang terus berusaha mandiri dan mengembangkan diri serta lingkungannya. Sebuah sikap yang bisa mejadi contoh bagi perempuan pekerja rumahan lainnya.
Ditulis oleh: Zuhro Rosyidah (Fasilitator Lapangan MWPRI)