Cerita
Posko Pengaduan di Desa Korihi Perangi Kekerasan pada Perempuan
30 Desember 2016Penulis: admin
SEHARI-HARI, Kak Wa Lisi nampak seperti ibu rumah tangga biasa saja. Salah satu warga Desa Korihi, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara ini, juga bekerja sebagai pegawai honorer di Kabupaten Muna setiap hari Senin, Rabu, dan Jumat. Sebagaimana perempuan-perempuan di Desa Korihi, Wa Lisi juga mahir menganyam rotan dan nentu. Namun, di luar semua itu, Wa Lisi giat menjadi pendamping bagi perempuan korban kekerasan di Desa Korihi sejak tahun 2010.
“Dulu kita masih buta, cuma pernah dengar tentang kekerasan terhadap perempuan tapi tidak tahu bagaimana solusinya,” ujar Wa Lisi sambil tertawa. Baru ketika Yayasan Lambu Ina masuk ke Desa Korihi, Wa Lisi dan perempuan-perempuan desa paham akan hak-hak mereka sebagai perempuan; juga langkah-langkah yang perlu mereka ambil jika menjadi korban tindak kekerasan. Setiap sebulan sekali, biasanya pertemuan untuk membahas isu ini dilakukan di desa, berganti-ganti dari rumah ke rumah, atau di Balai Desa.
“Lalu saya dan teman-teman punya ide, kita harus bentuk Posko (Pos Komando), ide saya biar ada struktur kepengurusan Posko di desa. Alhamdulillah, ide saya diterima baik, maka terbentuklah Posko itu di bulan Mei 2015,” ujar Wa Lisi. Sejak terbentuknya Posko Pengaduan Desa Korihi, pertemuan bulanan pun banyak dilangsungkan di sana.
“Dan baru-baru ini kita juga sudah pemilihan Kepala Desa, dan yang terpilih perempuan. Saya lebih senang lagi, karena mungkin nanti bisa lebih mudah untuk meminta dana advokasi agar Posko bisa berjalan,” ujar Wa Lisi bersemangat. “Biasanya kalau ada korban kan kita swadaya, seikhlasnya kasih seribu atau dua ribu tiap pertemuan untuk dana Posko. Sekarang semoga bisa masuk anggaran desa. Karena kita ingin mandiri juga, tidak mau kalau nanti sampai program Lambu Ina selesai kami harus berhenti.”
Di Desa Korihi sendiri, kasus kekerasan terhadap perempuan kerap terjadi—meskipun dulu masyarakat masih enggan untuk melapor.
“Tapi sekarang sudah tidak lagi, sekarang perempuan sudah paham bahwa mereka bukannya tidak berdaya,” ujar Wa Lisi.
“Suami pun takut sekarang kalau mau tampar istri karena mereka sudah lihat itu bukti-bukti bahwa mereka bisa dilaporkan polisi dan dipenjara. Begitu tampar istri, istri langsung lari ke polisi. Apalagi laki-laki sudah dengar ada Undang-undang Perlindungan terhadap Perempuan, meskipun tidak tahu isinya, ya mereka takut juga,” Wa Lisi tertawa.
Lokasi Posko Pengaduan Desa Korihi sendiri bertempat di bagian depan rumah Ibu Nia—yang menjadi Wakil Ketua Posko. Posko itu dinamai Posko Lambu Kafetahapa, menempati sebuah ruangan bercat dinding biru yang dipenuhi berbagai produk anyaman hasil kerajinan ibu-ibu Desa Korihi.
“Biasanya di sini juga jadi tempat kumpul pengrajin,” ujar Ibu Nia. “Ibu-ibu ramai menganyam. Kita sudah buka dari jam 7 pagi sampai malam.”
Keramaian itu tak menganggu Ibu Nia, yang kini tinggal seatap dengan Posko. Ia justru mengaku senang karena bisa memberikan ruang depannya untuk kegiatan berkumpul. Karena Posko ini baru dibangun, mereka memang belum menerima pengaduan dari Desa Korihi, namun kemenakan Ibu Nia yang berasal dari Desa Lohia sempat mengadu di sini.
“Karena kan di Lohia tidak tahu ke mana harus mengadu, jadi ya dia datang ke sini,”ujar Ibu Hanafiah, Ketua Posko Pengaduan Desa Korihi. “Waktu itu kita bantu, untuk lapor ke polisi. Kita bantu juga untuk visum, dalam satu hari bisa selesai visum dan lapor polisi.” (***)