Cerita
Silma Desi, Tidak Surut karena Keterbatasan
3 Desember 2018Penulis: admin
“Kami bukan meminta perlakuan khusus, tapi meminta perlakuan dan pelayanan sesuai kebutuhan kami,” tegas Silma Desi.
Perempuan asal Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatra Barat, ini memang lantang menyuarakan ketidakadilan yang kerap dialami penyandang disabilitas saat mengakses layanan kesehatan. Semangat itu terus menyala sejak ia bergabung dengan Balai Perempuan (BP) Kemuning yang digagas Koalisi Perempuan Indonesia, mitra MAMPU untuk tema akses kepada perlindungan sosial.
Menyandang pembengkokan tulang belakang (skoliosis) sejak kecil, Silma tak asing dengan rasa nyeri, juga fisioterapi rutin minimal sebulan sekali untuk mengendalikan kondisinya. Saat kondisi tubuhnya menurun, Silma bahkan membutuhkan terapi 3-6 kali sebulan.
Untuk menjalani fisioterapi, Silma memanfaatkan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Meski demikian, prosedur penggunaan JKN dirasakan cukup berat untuk diakses oleh perempuan kelahiran 1994 ini. Tercatat sebagai penduduk Kabupaten Pesisir Selatan, ia harus bolak-balik ke kampung halamannya untuk mengurus rujukan. Padahal, sejak kuliah, gadis yang baru lulus dari jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas ini menetap di Kota Padang.
Bolak-balik Pesisir Selatan-Padang bukan hal gampang buat Silma. Kelelahan fisik akan membuat Silma susah bergerak. “Akhirnya, saya sempat memilih berobat alternatif dengan biaya sendiri,” kenang Silma. Adanya layanan mendaftar JKN via daring (online) kini sedikit mempermudah dirinya.
Kendala lain yang dihadapi Silma adalah posisi meja pendaftaran rumah sakit yang terlalu tinggi untuk postur tubuhnya yang mungil. Seringkali ia sudah mengantre di depan meja pendaftaran, tapi karena petugas tidak melihatnya, pasien lain yang berada di belakang Silma yang didahulukan.
“Mereka juga sama-sama sakit dan ingin didahulukan sehingga tidak melihat ada kelompok lain yang punya kebutuhan khusus,” jelas Silma. Sebagai penyandang disabilitas, Silma merasa kurang mendapatkan perhatian.
Menurut Silma, banyak orang dengan disabilitas merasa tidak berdaya untuk bersuara, dan akhirnya pasrah dengan kondisi mereka, sehingga enggan menggunakan fasilitas JKN. Padahal, banyak para penyandang disabilitas datang dari keluarga sangat sederhana sehingga sulit mengakses biaya rumah sakit yang tinggi.
“Ada yang obatnya harus berkelanjutan, terpaksa terhenti karena biaya yang tinggi sehingga berisiko terhadap kesehatan bahkan jiwanya,” kata Silma.
Berdaya Bersama BP Kemuning
Menjadi bagian dari BP Kemuning, sebuah kelompok pendukung bagi perempuan penyandang disabilitas di Sumatra Barat, Silma telah berkembang pesat. Pada 2016, ia menjadi perwakilan untuk pelatihan Training of Trainer (ToT) Kader Dasar mengenai JKN yang diselenggarakan MAMPU. Setelahnya, Silma beberapa kali menjadi fasilitator JKN untuk menyampaikan informasi mengenai hak-hak kesehatan masyarakat, termasuk alur pemanfaatan JKN, pada anggota Balai Perempuan di sejumlah desa di Sumatra Barat dan Jambi.
Sebagai fasilitator JKN, Silma juga menerima pengaduan masyarakat terkait akses JKN, meneruskan keluhan tersebut ke pihak tenaga kesehatan maupun instansi terkait, dan mendampingi pasien bila dibutuhkan. Ia juga ikut mendata teman-temannya sesama penyandang disabilitas yang belum memiliki kartu JKN, dan membantu mereka mengurusnya. Lewat berbagai kegiatan ini pulalah, rasa percaya diri Silma untuk mengungkapkan pemikirannya kian terbangun.
Peran Silma ini sejalan dengan kegiatan pemberdayaan dan advokasi yang dilakukan BP Kemuning bagi para penyandang disabilitas. Mereka kemudian dipercaya menjadi penyuluh, baik untuk penyandang disabilitas maupun non-disabilitas.
“Ini menjadi salah satu bentuk kegiatan yang menunjukkan penyandang disabilitas juga punya kemampuan yang sama dengan orang lain,” tutur Silma.
Dalam menjalankan perannya sebagai fasilitator JKN, penggemar karya-karya Chairil Anwar dan Buya Hamka ini sempat pula mengalami berbagai tantangan. Di antaranya ketika menemukan para penyandang disabilitas yang tidak diakui oleh keluarganya sendiri, karena mereka dianggap sebagai aib keluarga.
“Mereka tidak punya KTP karena tidak dimasukkan dalam Kartu Keluarga. Kalau sudah begitu, sulit bagi mereka untuk mendapatkan akses JKN,” cerita Silma.
Silma pun bertekad akan terus menjadi aktivis kemanusiaan selama diizinkan oleh Tuhan. “Semua orang berhak memperoleh informasi. Ketika kita bekerja, kita juga punya tanggung jawab terhadap orang lain, bukan bekerja hanya untuk diri kita sendiri,” katanya.
Silma pun berharap, para penentu kebijakan publik, terutama pemerintah, dapat lebih jeli melihat kebutuhan para penyandang disabilitas untuk mengakses JKN. Agar sesuai namanya, JKN benar-benar dapat menjamin kesehatan seluruh warga negara Indonesia, tanpa kecuali.