Cerita
Memberantas Kekerasan Seksual pada Perempuan Disabilitas lewat Kerjasama Komunitas
30 Desember 2016Penulis: admin
Kurniati adalah salah satu penyintas asal desa Rejodani, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta. Jika baru bertemu dengannya, tidak terlihat bahwa ia penyandang disabilitas. Dia sangatlah aktif. Menjahit pesanan usaha jahitan adalah kegiatannya sehari-hari. Selain menjahit, Ia pun aktif di organisasi CIQAL, sebuah organisasi di Sleman, DI Yogyakarta yang fokus melayani perempuan disabilitas yang mengalami kekerasan seksual.
Kurniati sendiri pernah merasakan titik terendah dalam hidupnya, ketika ia mengalami kekerasan dalam rumah tangga bahkan beberapa kali diselingkuhi dan ditelantarkan bersama kedua orang anaknya. Keadaan ini tak diratapinya, ia bangkit dan ikut aktif dalam organisasi CIQAL yang didukung oleh program MAMPU. Ia berkeinginan untuk membantu sesama penyandang disabilitas yang memiliki pengalaman kelam seperti dirinya untuk keluar dari titik terendah mereka.
Awalnya Kurniati diajak oleh teman-temannya untuk mengikuti mengikuti berbagai penyuluhan, seminar dan pertemuan lainnya tentang isu-isu perempuan yang diselenggarakan oleh CIQAL. Semenjak itu, Ibu dua anak ini merasa tertarik untuk mengikuti kegiatan-kegiatan berikutnya. Ia merasa mampu mencerna materi yang diberikan.
“Saya merasa paham dengan apa yang mereka sampaikan dalam berbagai seminar, bahkan saya lebih tahu detailnya karena saya mengalami sendiri. Oleh karena itu,saya jadi merasa harus menyampaikan apa yang ada dalam pikiran saya, agar bisa menambahkan solusi bagi mereka. Maka, saya memberanikan diri untuk berbicara membagi pengalaman hidup saya di forum.” Ujar Kurniati. Sekarang Ia aktif memberikan solusi-solusi bagi kasus-kasus kekerasan yang dialami penyandang disabilitas di wilayahnya.
Kurniati adalah satu dari banyak penyandang disabilitas yang dibina oleh CIQAL. CIQAL muncul ketika Nuning Suryatiningsih melihat meningkatnya jumlah kasus kekerasan seksual pada perempuan penyandang disabilitas di Yogjakarta. Nuning pun tergerak untuk memberikan solusi bagi para penyintas dengan membentuk CIQAL. Nuning, yang sekarang menjabat sebagai Ketua Umum dibantu oleh rekan-rekannya yang mempunyai satu visi dan misi.
Dalam membantu penyandang disabilitas menangani kasus kekerasan seksual, CIQAL bekerja sama dengan berbagai pihak, yaitu Organisasi Penyandang Disabilitas (OPD), komunitas masyarakat dan keluarga penyandang disabilitas (Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat – RBM) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH).
CIQAL menampung laporan masyarakat. Kasus-kasus yang ditanganinya pun beragam mulai dari psikologis, ekonomi hingga kesehatan. Sejak Juni 2014, CIQAL melalui Program MAMPU, berhasil melakukan pendampingan untuk 4 OPD dan 4 RBM yang tersebar di enam kecamatan yaitu Kecamatan Banguntapan, Kasihan, Pajangan, Mlati, Ngaglik dan Depok. Enam kecamatan ini tersebar di dua kabupaten yang berbeda yaitu Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman.
Kegiatan yang dilakukan meliputi diskusi rutin yang dihadiri oleh Organisasi Penyandang Disabilitas (OPD) dan melibatkan masyarakat penyandang disabilitas, perangkat desa, aparat keamanan serta masyarakat setempat. Kegiatan ini bertujuan untuk mengedukasi dan memberikan pemahaman yang mendalam terhadap kasus kekerasan seksual sehingga diharapkan seluruh elemen masyarakat dapat lebih mengerti dan bersinergi. Selain itu, diharapkan masyarakat dan berbagai pemangku kepentingan menjadikan masalah kekerasan seksual terhadap perempuan penyandang disabilitas sebagai tanggung jawab bersama.
Menurut Ibnu Sukaca, salah satu pengurus dan koordinator program MAMPU dalam organisasi CIQAL, perubahan signifikan mulai terlihat pada masyarakat sekitarnya, setelah CIQAL memfasilitasi diskusi rutin.
“Masyarakat sekitar kini telah memahami langkah-langkah penting yang harus diambil ketika ada kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, khususnya perempuan disabilitas di sekitarnya.” Ungkapnya. “Kini OPD dan komunitas masyarakat sudah paham akan alur penanganannya, seperti melakukan pengumpulan data penyintas, langkah merujuk ke puskesmas untuk pendampingan psikologi dan kesehatan seperti Visum atau VCT/Volume Computed Tomography hingga langkah merujuk ke rumah aman jika diperlukan.” tambahnya.
Selain itu, Ibnu menambahkan bahwa saat ini semakin banyak tempat pengaduan yang didirikan dan dikelola masyarakat. Hal ini membuat masyarakat lebih leluasa untuk berkomunikasi seputar kekerasan seksual yang diketahui maupun yang dialaminya. Selanjutnya para pendamping di komunitas tersebut akan menindaklanjuti permasalahan para korban dan apabila diperlukan, dibawa ke tingkat organisasi yang lebih tinggi.
Peran OPD yang bersinergi dengan kelompok, aparat keamanan dan masyarakat, perlu terus dikuatkan agar terus menjadi salah satu solusi terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi penyandang disabilitas.