Cerita
Radio Komunitas PEKKA, dari Kirim Salam, Mengaji, hingga Tersetrum
23 Desember 2016Penulis: admin
SETIAP malam Jumat, Ibu Rukiyah—yang usianya sudah mendekati akhir enam puluhan—melangkah menuju stasiun radio di Desa Sungai Ambangah, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Begitu memasuki ruang siaran, ia akan segera menyiapkan materi, duduk untuk mengatur volume suara, mengenakan headphone, kemudian mulai melantunkan Surat Yasin lewat mikrofon. Ya, setiap malam Jumat, Ibu Rukiyah ‘siaran’ di radio komunitas PEKKA (Perempuan Kepala Keluarga) Khatulistiwa 107.7 FM.
“Yang kelola ibu-ibu dan bapak-bapak,” Ibu Rukiyah menjelaskan. “Ibu-ibu siarannya dari jam 4 sampai setengah 6 sore. Nanti lepas maghrib lanjut lagi sampai tengah malam. Biasanya itu lanjut bapak-bapak yang buat pantun, puisi, atau sapa pendengar. Bisa kirim-kirim salam begitu.”
Ibu-ibu di Sungai Ambangah sendiri biasanya bergantian membacakan ‘materi’ ketika tengah siaran di radio. Mereka punya waktu sekitar satu jam untuk menyampaikan beragam isu terkait pendidikan, hukum, atau politik—yang mereka dapatkan dari pelatihan-pelatihan organisasi PEKKA. Untuk siaran radio dan mengurus radio komunitas sendiri, mereka sudah mendapatkan pelatihan dari Lembaga Penyiaran Swasta (LPS).
Awalnya mereka mengaku deg-degan juga ketika harus membacakan materi di radio, apalagi ketika mereka mengetahui bahwa ada banyak orang yang bisa mendengarkan siaran mereka—bahkan sampai di Pinang Dua, Kabupaten Kubu Raya.
“Susah itu ngomongnya kalau siaran. Beda dengan kalau ngomong sama ibu-ibu yang lain,” ujar Kak Kholilah, salah satu kader PEKKA. “Dulu saja itu Kak Magdalena (sekretaris PEKKA di Pontianak, Kalimantan Barat) sempat salah. Mau siaran dia bilang selamat-sore-menjelang-siang. Sama teman-teman komunitas langsung dikirim BBM (BlackBerry Messenger), ndak ada itu sore menjelang siang!” Kak Kholilah tertawa. “Ya, ternyata siaran kita itu selalu dipantau juga oleh sesama radio komunitas lain!”
Meski masih sebatas membacakan materi yang didapatkan dari pelatihan PEKKA, ibu-ibu ‘penyiar’ radio PEKKA Khatulistiwa mengaku senang karena bisa meneruskan materi yang mereka dapatkan kepada masyarakat. Siaran radio mereka anggap cara yang efektif untuk menyampaikan informasi mengenai undang-undang desa, pendidikan anak, asupan gizi, dan lain sebagainya kepada masyarakat luas. Pendengar pun bisa menelepon ke stasiun radio mereka.
Namun sudah sekitar empat bulan terakhir ini, radio komunitas PEKKA Khatulistiwa berhenti siaran. Frekuensi radio mereka tertimpa oleh radio lain. “Ada radio apa itu ya namanya. Jadi pas siaran suara kita tenggelam dengan suara radio lain yang masuk, ya tidak bisa dengar suara siaran kita. Sudah dilaporkan juga ke KPID (Komisi Penyiaran Indonesia Daerah), tapi belum dapat jadwal mediasinya,” Kak Kholilah menjelaskan.
“Sebelumnya juga banyak yang sudah sibuk berladang, jadi nggak sering siaran,” ujar Bu Rukiyah. “Belakangan itu alat radionya juga suka nyetrum, jadi kita agak takut-takut pegangnya.” (***)