Kegiatan
Kegiatan Bersama Feminist Participatory Action Research (FPAR)
29 Desember 2017Penulis: admin
Feminist Participatory Action Research (FPAR) adalah program penelitian yang berpusat pada pemenuhan hak asasi perempuan dengan cara mengolah dan menganalisa pengalaman serta pengetahuan perempuan dan partisipasi perempuan sebagai agen perubahan. Istilah ini diperkenalkan oleh peserta workshop FPAR di Chiang May, Thailand pada tahun 2009.
Dalam pelaksanaannya, FPAR melibatkan kelompok dan masyarakat. Keterlibatan masyarakat sangat penting sebagai upaya merumuskan aksi bersama dalam pemenuhan hak-hak perempuan. Dalam kelompok yang dibina KJHAM, Program FPAR berjalan dengan baik jika permasalahan muncul. Maka dari itu, pendekatan kepada korban harus lebih mengutamakan rasa kekeluargaan.
Endang Cici Widayati, perempuan energik yang biasa dipanggil Cici ini, mengungkapkan bahwa dalam mengadvokasi korban kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga, harus menganggap korban sebagai partner kerja atau teman. Jadi, upaya pendekatan tak harus resmi.
Banyak cara untuk melakukan pendekatan secara kekeluargaan kepada para korban, salah satunya dengan membentuk kelompok atau komunitas penyintas. Semua dapat bergabung untuk melakukan kegiatan bersama.
Cici menggagas Kelompok Sekartaji pada tahun 2012. Kelompok ini beranggotakan para penyintas dan korban yang saling berbagi dan memberi dukungan terhadap aksi anti kekerasan pada perempuan. Kelompok Sekartaji mempunyai kegiatan pemberdayaan ekonomi, mendukung mitra dalam proses pengadilan, memberi dukungan serta terlibat dialog dengan pemerintah kota terkait PERDA tentang kekerasan seksual dan Kesehatan Reproduksi.
Kelompok Sekartaji yang merupakan bagian dari kegiatan FPAR, mempunyai kegiatan yang rutin dilakukan, seperti piknik bersama, membuat kerajinan tangan, mengolah sampah daur ulang dan diskusi bersama di suatu tempat yang mereka sepakati. Pertemuan kelompok di KJHAM yang didukung Program MAMPU ini, sering dimanfaatkan sebagai sarana untuk diskusi rutin.
Nunuk, salah satu anggota kelompok Sekartaji, menjadikan rumahnya sebagai posko pengaduan bagi perempuan yang bermasalah. Dengan senang hati Nunuk menampung pengaduan dan berusaha mencarikan solusinya. Jika masalahnya tak berhasil dipecahkan sendiri, Ia akan meminta bantuan kelompok dan melaporkan ke KJHAM.
Cici mengatakan bahwa pendekatan berbasis komunitas lebih efektif daripada shelter. Dengan pendekatan ini, para penyintas dan korban dapat leluasa berbagi masalah dengan nyaman tanpa sekat sehingga mudah memunculkan masalah ke permukaan untuk dicarikan solusinya.
“Menggali masalah dengan cara piknik dan membuat kegiatan bersama sambil diskusi, memberikan nuansa keakraban tersendiri.” Pungkas Cici.