Publikasi
Berita MAMPU PhotoVoice di Kompas
Author: Mediana – Kompas
Keyword: PhotoVoice, YKS, PPK, Migrant Care
Ibu Menatap Ratapan Rakyat
MEDIANA
Sebanyak 24 ibu rumah tangga di Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat dibekali kamera. Lalu mereka diminta memotret keprihatinan yang mereka rasakan di desa-desa. Hasil jepretan itu disuguhkan dalam pameran “Suara Buruh Migran dalam Foto” di Balai Soetardjo, Universitas Negeri Jember, Jawa Timur, 23-25 November 2015.
KOMPAS/MEDIANAKelompok perempuan asal Nusa Tenggara Timur yang tergabung dalam komunitas fotografi Photo Voice. Latar belakang mereka adalah ibu rumah tangga, berpendidikan rata-rata sekolah dasar, dan sebagian berasal dari keluarga buruh migran.
Bagi para ibu itu, mengoperasikan kamera menjadi kegembiraan baru. Di balik jendela bidik, kedua puluh empat perempuan itu mengabadikan kondisi desa, keluarga dan lingkungan alam. Kejujuran dalam berkarya itulah yang membuat makna foto terasa berbeda.
Setiap foto menceritakan keprihatinan dan harapan masyarakat di desa kantong penyumbang tenaga kerja Indonesia dan pekerja rumah tangga. Mereka berlatar belakang keluarga miskin, rata-rata berpendidikan sekolah dasar, dan ada yang berasal dari keluarga purna TKI. Mereka berasal dari Desa Darek Gerunung, Jonggat, Beutaran, Tagawiti, dan Dulitukan.
Sejak Maret 2015, ke-24 ibu rumah tangga tersebut mengikuti pelatihan fotografi dari PhotoVoice, agensi foto yang bermarkas di Inggris. Agensi ini memang fokus mengangkat permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat. Fasilitas pelatihan dilakukan oleh Migrant Care, Yayasan Kesehatan untuk Semua, Lembata, Perkumpulan Panca Karsa, Lombok, serta dukungan dari Maju Perempuan Indonesia untuk Memerangi Kemiskinan.
Gelar karya ini menjadi satu rangkaian kegiatan Jambore Nasional Buruh Migran Indonesia 2015.
Sulitnya kehidupan
Emiliana Wae Balawala (33), ibu rumah tangga Desa Tagawiti, Ile Ape, NTT, mengaku, dia tidak pandai menulis ataupun membaca. Kehidupan tetangga sekitar dia dipenuhi cerita kemalangan dan keberhasilan menjadi TKI di luar negeri. Berangkat dari pengalaman tersebut, dia memutuskan bergabung di pelatihan PhotoVoice.
Kamera diberi panitia. Materi pelatihan meliputi teknik fotografi selama dua minggu, lalu obyek foto, dan pesan yang ingin disampaikan. “Dengan foto, saya bisa bercerita betapa susahnya desa kami dan bagaimana masyarakat harus menjadi TKI agar hidup lebih layak,” kata Emiliana.
Emiliana menceritakan karya fotonya berjudul “Anak yang Butuh Perhatian”. Foto ini memperlihatkan bocah laki-laki yang berdiri di balik kerangka jendela rumah. Kata dia, sebagian besar anak dari orangtua TKI kurang mendapat pendidikan dan perhatian.
Perempuan memiliki keterampilan apa pun yang tidak bisa dilakukan oleh laki-laki. Di Ile Ape, ungkap Martina, mayoritas perempuan bekerja sebagai petani kacang-kacangan dan jagung. Selain itu, seorang ibu rumah tangga harus mengerjakan urusan domestik, seperti mengasuh anak, mencuci, mengangkat air, dan menjual hasil ladang.
Kerja keras tersebut sering kali tidak menghasilkan, bahkan cenderung sia-sia. Martina, melalui fotonya tentang kacang tanah, ingin bercerita tentang hasil bumi yang lekat dengan kehidupannya. Curah hujan yang sedikit biasanya membuat tanaman kacang tanah tidak bisa dipanen dengan sempurna.
Merantau
Teresia Tuto, ibu rumah tangga yang juga berasal dari Ile Ape, merupakan salah satu peserta pelatihan yang memiliki kedekatan langsung dengan keluarga TKI. Ada sanak saudaranya pergi merantau ke Malaysia. Profesi pekerja migran dilakoni dengan tujuan bisa menyekolahkan anak.
KOMPAS/MEDIANAEmiliana, anggota komunitas fotografer perempuan “Photo Voice” Nusa Tenggara Timur.
“Di lingkungan desa kami, wisuda merupakan prosesi istimewa. Bisa dikatakan itu hasil kerja keras dari bekerja di luar negeri,” ungkap dia menceritakan salah satu fotonya yang memotret seorang wisudawan.
Suka duka menjadi PRT migran bisa diceritakan secara gamblang oleh Kresensiana Teri, perempuan yang kini menjadi kader pemberdayaan TKI di Desa Bautaran, Kecamatan Ile Ape. Selama kurun 2011-2012, dia pernah menjadi PRT migran. Kemiskinan di desanya menyebabkan perempuan sering kali tidak mampu menempuh pendidikan lebih tinggi dari sekolah dasar. Keinginan mendapat penghidupan lebih baik menjadi alasan kuat dia merantau.
“Kalau merantau, ada uang untuk membangun rumah berdinding bata. Fakta itu bisa dilihat di kampung kami. Dinding jerami atau bata merupakan tanda nyata kehidupan warga sebelum dan sesudah merantau,” ujar Kresensiana tentang foto yang dia hasilkan. Dengan keterampilan fotografinya, dia mampu menggunakan foto- foto jepretannya untuk program pemberdayaan yang ia lakoni.
Bermain simbol
Pelatihan fotografi PhotoVoice di NTT ataupun NTB memiliki keunikan tersendiri. Meski setiap wilayah diwakili 12 fotografer, masing-masing menciptakan kekhasan karya foto. Jika di NTT, gambar yang dihasilkan cenderung lebih realis, di NTB lebih banyak bermain simbol. Di sini, captionmenjadi penting untuk memberikan konteks sebuah gambar.
Simak foto karya Noviana (23),perempuan yang sehari-hari bekerja sebagai anggota staf pemerintah Desa Darek, Praya Barat Daya (NTB). Fotonya melukiskan pemandangan sebuah pantai dan matahari yang bersinar terang di balik pulau. Foto ini ingin menggambarkan harapan para TKI. Matahari adalah simbol harapan. Pulau ibarat daerah perantauan atau tujuan migrasi. Adapun, laut berarti simbol perjalanan menuju lokasi kerja ke luar negeri yang sering kali harus dilalui dengan susah payah. Saat ini, dia aktif terlibat di kader Desa Peduli Buruh Migran.
Pengalaman kadang tidak mudah diungkapkan, bahkan melalui simbol. Untuk menggambarkan kehidupan buruh migran, Erlina, mantan TKI yang bekerja di Arab Saudi, menceritakan pengalamannya ketika bergabung di pelatihan PhotoVoice.
“Menulis dan memotret itu susah sekali, tetapi menjadi TKI jauh lebih susah dan menguras tenaga serta pikiran. Selama kurun 2006-2008, saya pikir sudah cukup saya merantau. Keinginan saya berbagi cukup besar,” katanya.
Ada sekitar tiga karya foto dia yang dipamerkan. Salah satunya adalah sebatang pohon di tepi pantai yang ingin menggambarkan pasang surut kehidupan TKI.
Kor Sakeng, tenaga pendamping dari YKS Lembata, menyebutkan, foto memiliki kekuatan cerita lebih besar dibandingkan tulisan. Jika menulis, seseorang lebih mudah mengarang kebohongan. Tidak demikian dengan gambar.
Para ibu rumah tangga tersebut malah bisa mencari nafkah dari memotret. Suryaning (29), peserta dari Kecamatan Ile Ape, mengaku bahagia karena bisa menenteng kamera ke mana-mana, termasuk pergi ke ladang. Jika ada obyek menarik, dia akan memotret. “Saya terus belajar agar foto dan captioncerita saya bertambah matang,” katanya.
Karen Emmons (54), jurnalis dan rekan kolaborasi McCurry, mengatakan, sulitnya kehidupan kaum migran harus ditunjukkan kepada masyarakat luas. Foto-foto para ibu itu setidaknya berbicara jujur.