Publikasi
Otonomi Daerah Hambat Penanganan
Author: Kompas (Cetak) Jakarta
Keyword: CSIS, AKI
Otonomi Daerah Hambat Penanganan
JAKARTA, KOMPAS — Penerapan otonomi daerah bisa menghambat upaya menurunkan angka kematian ibu di sejumlah daerah. Itu terjadi jika kepentingan politik sesaat mendominasi dalam pencapaian target pembangunan. Karena itu, pemerintah pusat perlu mengawal program nasional dijalankan berkelanjutan di daerah.
Hal itu disampaikan peneliti senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Vidhyandika D Perkasa, dalam seminar nasional “Memetakan Kebijakan dan Program AKI di Indonesia”, Kamis (28/1), di Jakarta. Itu menjadi tema riset CSIS bersama Maju Perempuan Indonesia untuk Penanggulangan Kemiskinan pada 2014-2016.
Tim peneliti menganalisis kebijakan penurunan AKI di 5 provinsi dan 10 kabupaten/kota, yakni Kota Pekanbaru dan Kabupaten Kampar (Riau), Kabupaten Serang dan Pandeglang (Banten), Kota Surabaya dan Kabupaten Sidoarjo (Jawa Timur), Kabupaten Kupang dan Manggarai Timur (Nusa Tenggara Timur), serta Kabupaten Jayapura dan Keerom (Papua).
“Di sejumlah daerah, konsep otonomi daerah yang bagus lemah di praktik. Faktor politik dan kepentingan sempit mendominasi,” ucap Vidhyandika. Itu terlihat dari soal rotasi dan mutasi terlalu singkat yang jadi kendala di semua daerah yang diteliti.
Mutasi dan rotasi amat cepat membuat kebijakan penurunan AKI tak efektif karena tak berkelanjutan. Misalnya, kepala dinas kesehatan dan kepala badan pemberdayaan perempuan melatih sumber daya manusia dan merancang kegiatan, tetapi itu berhenti setelah mereka diganti.
Pergantian yang menimbulkan masalah tidak hanya di tingkat pemimpin satuan kerja perangkat daerah (SKPD), tetapi juga pemimpin bidang atau bagian di bawah SKPD dan staf. Misalnya, dari riset di Sidoarjo, pemindahan dokter terlatih menghancurkan kerja sama tim tenaga kesehatan di puskesmas mengingat kaderisasi butuh waktu lama.
Hambatan lain ialah lemahnya kewenangan lembaga tingkat provinsi pada kabupaten/kota sehingga mempersulit pemerataan tenaga kesehatan. Misalnya, di Provinsi Riau, jumlah dokter di Pekanbaru 60 orang, di Meranti hanya satu orang. “Dinas kesehatan kabupaten lebih tunduk pada bupati daripada dinas kesehatan provinsi,” ujarnya.
Pemerintah pusat
Namun, Wakil Direktur Eksekutif CSIS Medelina K Hendytio menekankan, riset itu hanya berlaku untuk 5 provinsi dan 10 kabupaten/kota sasaran. Riset tak menggambarkan kondisi kebijakan penurunan AKI nasional. Masalah setiap daerah khas.
Selain soal politik, menurut Vidhyandika, hambatan lain ialah minimnya kapasitas dan anggaran penerapan kebijakan penurunan AKI. Jadi, pemerintah pusat harus mengawal otonomi daerah agar fungsi desentralisasi sesuai meski ruang keterlibatan pusat di daerah kian sempit, misalnya dengan pemberian insentif bagi daerah berprestasi.
Sementara itu, mantan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi menilai, tak tercapainya target Tujuan Pembangunan Milenium untuk penurunan AKI menjadi rapor merah pada masa jabatannya, 2012-2014. Menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia 2012, AKI 359 per 100.000 kelahiran hidup. Target MDG, AKI 108 per 100.000 kelahiran. Ke depan, pendataan AKI perlu dibenahi. (JOG)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Januari 2016, di halaman 13 dengan judul “Otonomi Daerah Hambat Penanganan”.