Kegiatan

 

Mitra MAMPU Beri Rekomendasi bagi RUU Cipta Kerja

26 Agustus 2020
Penulis: Amron Hamdi

Sejak kemunculannya, Omnibus Law Ketenagakerjaan, yang biasa dirujuk RUU Cipta Kerja, mendapat sorotan publik cukup tajam, khususnya oleh para serikat buruh dan pekerja. Pembahasan RUU ini kian diperbincangkan terutama saat memasuki masa pandemi COVID-19 karena dianggap tidak peka terhadap kondisi masyarakat. Guna mendorong usaha untuk menyejahterakan pekerja, memenuhi hak-hak yang berkeadilan dan mengarusutamakan gender, beberapa mitra MAMPU yang terdiri dari Migrant Care, Trade Union Rights Center (TURC), Yayasan Annisa Swasti (Yasanti), dan Yayasan Bina Keterampilan Pedesaan Indonesia (BITRA) menyerahkan rekomendasi terhadap RUU Cipta Kerja melalui Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) untuk klaster ketenagakerjaan. Naskah DIM ini telah diserahkan oleh beberapa mitra MAMPU tersebut pada 20 Mei 2020 lalu kepada Panitia Kerja RUU Cipta Kerja. 

“Di masa pandemi seperti ini, pekerja informal semakin rentan karena tidak tercakup dalam skema Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. Kerentanan yang lebih tinggi juga dialami oleh perempuan pekerja informal yang kerap “tersembunyi” dalam jangkauan pendataan dan cakupan jaminan tersebut,” ujar Wahyu Susilo dari Migrant Care pada webinar “Apa Kabar Omnibus Law: Rekomendasi Masyarakat Sipil bagi RUU Cipta Kerja dan Perlindungan Pekerja” yang diselenggarakan pada 25 Juni lalu.

Sejumlah organisasi masyarakat sipil menolak disahkannya peraturan ini baik melalui aksi demonstrasi maupun mekanisme lainnya. Bagi beberapa organisasi, peraturan ini dianggap abai terhadap kepentingan kaum perempuan, alias tidak berperspektif gender. Tiasri Wiandiani, Komisioner Komnas Perempuan 2019 – 2024 di kesempatan yang sama menjelaskan bahwa perlindungan terhadap maternitas melemah dalam RUU ini. “Sebagai contoh, dalam rancangan peraturan tersebut, perusahaan tidak berkewajiban membayar upah atas cuti haid. Omnibus Law ini juga hanya menetapkan upah minimum provinsi yang biasanya lebih rendah dari upah minimum kabupaten/ kota, sehingga berdampak pada penurunan upah pada perempuan yang bekerja di sektor padat karya,” jelas Tiasri. Sedangkan pada regulasi yang berlaku saat ini, upah cuti saat haid dijamin oleh UU Ketenagakerjaan no. 13/ 2003.

Hampir 60% angkatan kerja di Indonesia merupakan pekerja informal seperti pekerja rumah tangga, buruh lepas dan pekerja rumahan. Dalam paparannya di seri webinar kedua “Apa Kabar Omnibus Law” berjudul “Perempuan Pekerja dan Pelaku UMKM dalam RUU Cipta Kerja” yang dilaksanakan via aplikasi daring pada 27 Juni lalu, Andi Misbahul Pratiwi, Peneliti dari TURC menyatakan bahwa RUU Ciker (Cipta Kerja) ini sangat mengancam perlindungan pekerja rumahan. “Menurut hasil pengamatan kami, terdapat dua pasal yakni  64 dan 65 dari RUU Cipta Kerja yang justru menghilangkan syarat-syarat mekanisme pekerjaan alih daya melalui perjanjian pemborongan kerja. Sistem kerja alih daya semakin masif dan tidak mengenal banyaknya satuan produk (seperti sistem borongan). Praktik kerja rumahan semakin masif terjadi, padahal dalam UU sebelumnya saja hak-hak pekerja rumahan belum terlindungi, apalagi dengan rancangan peraturan seperti ini,” jelas Andi.

Mengingat pro dan kontranya, saat ini pembahasan klaster ketenagakerjaan ditunda oleh Presiden Joko Widodo. Presiden mengatakan bahwa DPR dan pemerintah sepakat menunda pembahasan klaster ketenagakerjaan agar dapat memperdalam substansi pasal per pasal. Ia juga mengatakan penundaan ini dilakukan untuk mendapatkan masukan lebih lanjut dari para pemangku kepentingan.