Kegiatan

 

Mitra MAMPU Berkonsolidasi untuk Tingkatkan Perlindungan Pekerja Rumahan Perempuan

22 April 2016
Penulis: admin

Akhir-akhir ini, pertumbuhan pekerja rumahan mengalami peningkatan yang signifikan di berbagai sektor industri dan jasa. Hal ini terjadi seiring berkembangnya jumlah angkatan kerja perempuan dalam pekerjaan berbayar. Sejak pertumbuhan industri di Asia yang mengalami peningkatan akibat globalisasi dan permintaan konsumen di negara-negara maju, kebutuhan strategis di berbagai sektor industri turut meningkat. Kebutuhan strategis itu dijawab dengan cara memindahkan sebagian aktivitas usahanya ke beberapa negara berkembang, seperti Indonesia.

Negara berkembang menjadi salah satu tujuan pemindahan aktivitas usaha karena tersedianya jumlah tenaga kerja yang banyak dengan upah buruh yang relatif murah. Hal tersebut menarik investor asing untuk untuk mengalihkan produksinya di negara-negara tersebut sehingga membentuk pola hubungan kerjasama antara negara industri pemilik modal dan negara tempat produksi. Hubungan produksi antara negara pemilik modal dan negara tempat produksi membentuk rantai pasok (supply chain) global.

Selain itu, peningkatan penggunaan pekerja rumahan juga disebabkan oleh adanya tekanan pasar terhadap pengusaha untuk mendapatkan cara yang murah, fleksible dan produktif untuk menghasilkan produk yang kompetitif. Untuk lebih menekan biaya produksinya, perusahaan mengeluarkan pekerjaan ke luar pabrik dan memberikannya kepada pekerja-pekerja di luar pabrik, atau disebut juga dengan pekerja rumahan.

Menurut Konvensi ILO No. 177 tahun 1996 tentang Kerja Rumahan, Kerja Rumahan adalah kerja yang dilakukan oleh seseorang di dalam rumahnya atau di tempat lain yang dipilihnya, di luar tempat kerja milik majikan/ pengusaha untuk memperoleh upah, dan hasilnya berupa produk atau jasa yang ditetapkan oleh majikan/ pengusaha terlepas dari siapa yang menyediakan bahan baku, peralatan, dan masukan lain yang dipergunakan.

Tidak seperti pekerja di dalam pabrik, pekerja rumahan dibayar berdasarkan target kerja, seperti jumlah produk yang mampu dihasilkannya (satuan), bukan berdasarkan lama kerja atau jam kerja, tanpa memperhitungkan penyediaan alat dan bahan tambahan yang harus disiapkan oleh pekerja rumahan.  Upah yang didapatkan langsung dari perusahaan atau pemberi kerja di mana ia mengambil barang untuk diproduksi. Biasanya, para pekerja rumahan menerima pekerjaan dari sub-kontraktor perusahaan tertentu atau perantara.

Berangkat dari kondisi di atas, program MAMPU (Maju Perempuan Indonesia untuk Penanggulangan Kemiskinan) mendukung peningkatan akses perempuan terhadap pekerjaan, khususnya Perempuan Pekerja Rumahan, dengan melakukan kerja sama dengan Mitra Wanita Pekerja Rumahan Indonesia (MWPRI) di Malang, Yayasan Bitra Indonesia di Medan, Trade Union Right Center (TURC) di Jakarta dan Yayasan Annisa Swasti (YASANTI) di Yogyakarta untuk melakukan pengorganisasian, penguatan dan advokasi untuk Pekerja Rumahan sejak 2013 sampai sekarang. Hasil dari kegiatan untuk pekerja rumahan ini adalah terdata dan terbentuknya organisasi pekerja rumahan di Indonesia, khususnya di 7 provinsi di Indonesia. Saat ini, terhitung sebanyak 4.778 orang pekerja rumahan di tujuh provinsi tersebut yang sudah dijangkau oleh jaringan mitra Pekerja Rumahan.

MWPRI, didukung oleh Program MAMPU, melaksanakan konsolidasi nasional Perempuan Pekerja Rumahan yang dilaksanakan selama dua hari, dari tanggal 19-20 April 2016 di Fave Hotel, Jakarta. Acara ini dihadiri oleh 24 perwakilan pekerja rumahan dari 7 Provinsi (Sumatra Utara, Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur). Kegiatan ini menjadi ruang berbagi cerita dan pengalaman terkait pengorganisasian, penguatan kapasitas dan advokasi pekerja rumahan yang sudah dilaksanakan, mulai dari tingkat lokal, kabupaten, kota, provinsi maupun tingkat nasional. Hal ini diharapkan dapat menjadi pembelajaran untuk memperkuat pengorganisasian, penguatan dan advokasi yang selama ini sudah dilakukan.

Dalam kesempatan tersebut, disampaikan pula materi advokasi nasional berupa “Kerangka Kertas Kebijakan: Pengakuan dan Perlindungan Bagi Pekerja Rumahan di Indonesia”, yang merekomendasikan kepada kementrian terkait untuk melakukan tindakan dan langkah nyata untuk memberikan pengakuan dan perlindungan bagi Pekerja Rumahan.

Pekerja Rumahan yang menjadi mayoritas tenaga kerja sektor informal, keberadaannya tidak terlindungi oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan sehingga mereka sangat rentan terhadap praktik eksploitasi, perbudakan modern dan pelanggaran HAM. Kondisi pekerja rumahan masih jauh dari standar upah minimum yang berlaku serta tidak adanya perlindungan kesehatan, keselamatan dan keamanan kerja, maupun jaminan sosial.

Sampai sekarang, belum ada kebijakan lokal maupun nasional yang secara jelas mengarah pada perlindungan dan pemberdayaan pekerja rumahan. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan hanya menyinggung secara implisit mengenai pekerja rumahan, sehingga pekerjaan rumahan yang berada di sektor informal tidak dapat dijangkau oleh aturan tersebut.  Pekerjaan rumahan dikenal sebagai area yang sulit untuk diawasi, dipantau dan ditegakkan hukum ketenagakerjaannya.

Pemerintah diharapkan dapat memberikan pengakuan dan perlindungan melalui aturan hukum bagi pekerja rumahan yang menyandang posisi hukum, sosial dan ekonomi sangat lemah. Bentuk aturan hukum yang dimaksudkan adalah melalui kebijakan dan perlindungan bagi pekerja rumahan di Indonesia, pendataan pekerja rumahan dan memasukkan pekerja rumahan dalam program-program pembangunan di Indonesia.

Konsolidasi Pekerja Rumahan Indonesia ini juga menyepakati untuk melakukan advokasi dan aksi terkait advokasi kebijakan, yaitu dengan melakukan audiensi ke tiga kementerian, antara lain: Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta Kementerian Dalam Negeri.

Dilaporkan oleh: Dardiri Dardak (MWPRI)