LRC-KJHAM Selenggarakan Dialog Publik “Kupas Tuntas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual”

“RUU ini dibuat untuk melindungi perempuan dan memberikan efek jera. Kami berkomitmen di akhir periode ini akan segera menyelesaikan RUU P-KS agar segera menjadi Undang-Undang.” (Drs. KH Khoirul Muna, POKJA RUU P-KS Komisi VIII DPRI RI)

 

Peringatan Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret di seluruh dunia merupakan salah satu bentuk pengakuan terhadap hak-hak perempuan, dan bertujuan untuk mengakhiri diskriminasi yang dialami oleh perempuan. Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional, sejumlah Mitra Program MAMPU di Jawa Tengah yakni Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) bersama Dinas Perberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Provinsi Jawa Tengah, Fatayat NU Jawa Tengah, Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Seruni, PPT Kecamatan Semarang, Komunitas Perempuan, dan Support Group Sekartaji menyelenggarakan serangkaian kegiatan yang dimulai dengan dialog publik tentang RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Dialog Publik ini bertujuan untuk menghimpun pendapat dan pandangan dari berbagai elemen masyarakat termasuk ulama, parlemen, pemerintah, universitas, dan organisasi masyarakat sipil sehubungan dengan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai salah satu produk hukum yang akan mendorong upaya perlindungan korban kekerasan seksual.

Acara yang berlangsung pada 12 Maret 2019 di aula DP3AKB Jawa Tengah ini menghadirkan KH. Choirul Muna dari Tim Panitia Kerja RUU P-KS Komisi VIII DPRI RI, Hindun Anisah dari Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari Bangsri, Jepara, dan Dian Puspitasari dari LRC KJHAM Semarang. Sekurangnya 150 peserta dari berbagai organisasi termasuk universitas dan media menghadiri dialog publik ini.

Data monitoring LRC-KJHAM di Jawa Tengah sejak tahun 2013 – 2018 mencatat 2.289 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan 4.427 perempuan menjadi korban, dan 50 % nya yaitu 2.454 perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Artinya di Jawa Tengah setiap hari ada 1 sampai 2 perempuan menjadi korban kekerasan seksual, dengan sebagian besar pelakunya adalah orang terdekat yang memiliki relasi kuasa seperti ayah tiri, ayah kandung, paman, pacar, tetangga, guru ngaji dan atasan atau majikan.

Berbagai hambatan dialami perempuan korban kekerasan seksual selama proses hukum diantaranya didamaikannya kasus kekerasan seksual oleh oknum aparat penegak hukum, ditolaknya laporan korban kekerasan seksual, mandeknya proses penyidikan karena hambatan pembuktian, putusan rendah untuk kasus kekerasan seksual, korban kekerasan seksual mengalami kriminalisasi dan korban kekerasan seksual dinikahkan dengan pelaku.

Selain itu, keterbatasan rumusan pidana kekerasan seksual yang terdapat dalam KUHP, Undang-undang PKDRT, Undang-undang Perlidungan anak serta Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang juga belum mampu mewadahi seluruh bentuk kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan korban kekerasan. Berdasarkan pertimbangan inilah penyelenggara dan  peserta dialog menilai pembahasan & pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan seksual sangat mendesak dilakukan.

Kegiatan Bersama Feminist Participatory Action Research (FPAR)

Feminist Participatory Action Research (FPAR) adalah program penelitian yang berpusat pada pemenuhan hak asasi perempuan dengan cara mengolah dan menganalisa pengalaman serta pengetahuan perempuan dan partisipasi perempuan sebagai agen perubahan. Istilah ini diperkenalkan oleh peserta workshop FPAR di Chiang May, Thailand pada tahun 2009.

Dalam pelaksanaannya, FPAR melibatkan kelompok dan masyarakat. Keterlibatan masyarakat sangat penting sebagai upaya merumuskan aksi bersama dalam pemenuhan hak-hak perempuan. Dalam kelompok yang dibina KJHAM, Program FPAR berjalan dengan baik jika permasalahan muncul. Maka dari itu, pendekatan kepada korban harus lebih mengutamakan rasa kekeluargaan.

Endang Cici Widayati, perempuan energik yang biasa dipanggil Cici ini, mengungkapkan bahwa dalam mengadvokasi korban kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga, harus menganggap korban sebagai partner kerja atau teman. Jadi, upaya pendekatan tak harus resmi.

Banyak cara untuk melakukan pendekatan secara kekeluargaan kepada para korban, salah satunya dengan membentuk kelompok atau komunitas penyintas. Semua dapat bergabung untuk melakukan kegiatan bersama.

Cici menggagas Kelompok Sekartaji pada tahun 2012. Kelompok ini beranggotakan para penyintas dan korban yang saling berbagi dan memberi dukungan terhadap aksi anti kekerasan pada perempuan. Kelompok Sekartaji mempunyai kegiatan pemberdayaan ekonomi, mendukung mitra dalam proses pengadilan, memberi dukungan serta terlibat dialog dengan pemerintah kota terkait PERDA tentang kekerasan seksual dan Kesehatan Reproduksi.

Kelompok Sekartaji yang merupakan bagian dari kegiatan FPAR, mempunyai kegiatan yang rutin dilakukan, seperti piknik bersama, membuat kerajinan tangan, mengolah sampah daur ulang dan diskusi bersama di suatu tempat yang mereka sepakati. Pertemuan kelompok di KJHAM yang didukung Program MAMPU ini, sering dimanfaatkan sebagai sarana untuk diskusi rutin.

Nunuk, salah satu anggota kelompok Sekartaji, menjadikan rumahnya sebagai posko pengaduan bagi perempuan yang bermasalah. Dengan senang hati Nunuk menampung pengaduan dan berusaha mencarikan solusinya. Jika masalahnya tak berhasil dipecahkan sendiri, Ia akan meminta bantuan kelompok dan melaporkan ke KJHAM.

Cici mengatakan bahwa pendekatan berbasis komunitas lebih efektif daripada shelter. Dengan pendekatan ini, para penyintas dan korban dapat leluasa berbagi masalah dengan nyaman tanpa sekat sehingga mudah memunculkan masalah ke permukaan untuk dicarikan solusinya.

“Menggali masalah dengan cara piknik dan membuat kegiatan bersama sambil diskusi, memberikan nuansa keakraban tersendiri.” Pungkas Cici.

LRC-KJHAM Dukung RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Lewat Film dan Petisi

Tanggal 7 Desember 2017 bertempat di kantor Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB), LRC-KJHAM melakukan diskusi publik dengan mengambil tema situasi pelanggaran hak asasi perempuan korban kekerasan di Jawa Tengah dan peluncuran film “Pencegahan Trafficking.”

Narasumber yang hadir dalam kegiatan ini adalah Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB), klinik hukum ultra petita dan perwakilan dari LRC-KJHAM. Dalam kegiatan ini dilakukan juga prosesi penyematan pin sebagai simbol dukungan bagi para korban kekerasan seksual dan juga dukungan untuk mendorong disahkannya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual melalui petisi yang ditanda tangani oleh pemerintah, komunitas perempuan, NGO, mahasiswa, ormas keagamaan perempuan dan jurnalis.

LRC-KJHAM Tingkatkan Kesadaran Jurnalis untuk Publikasikan Kampanye 16 Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan

Tanggal 25 November 2017 ini LRC-KJHAM memulai kegiatan kampanye 16HAKtP dengan kegiatan media briefing bersama rekan-rekan media yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran kepada para rekan-rekan jurnalis dan meningkatkan publikasi pada kegiatan kampanye 16HAKtP 2017 serta menggalang dukungan kepada para jurnalis untuk pengesahan Rancangan Undang- Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.

LRC-KJHAM Bahas Layanan dan Data Kekerasan terhadap Perempuan di Radio

Pada tanggal 25 November 2017 LRC-KJHAM melakukan talkshow di Radio Imelda Semarang bersama dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana provinsi Jawa Tengah. Dalam kampanye 16 HAKTP tahun ini membahas mengenai layanan serta data kasus kekerasan terhadap perempuan yang mana pada tahun ini jenis kekerasan lebih banyak ditemukan adalah kekerasan seksual. Dalam talkshow radio ini LRC-KJHAM juga menyampaikan tentang advokasi untuk segera disahkannya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) dan membahas mengenai kebijakan pemerintah provinsi Jawa Tengah tentang perlindungan perempuan dan anak.

Penyintas KDRT Saling Menguatkan di Pertemuan Rutin Komunitas LRC-KJHAM

Siang yang menyengat di Bandarharjo, Semarang tak menghalagi semangat ibu-ibu untuk hadir di acara pertemuan rutin komunitas yang dibina LRC-KJHAM (Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia), salah satu mitra Program MAMPU, bernama kelompok Harapan Kita.

Ngatini adalah pemilik rumah yang menjadi tempat pertemuan kelompok ini. Rumahnya terlihat ramai dengan para sukarelawan yang mempersiapkan acara diskusi. Acara pun dibuka oleh LRC-KJHAM, dua puluh lima orang perempuan yang hadir dipersilakan untuk menceritakan pengalaman masing-masing anggota bersosialisasi tentang hak asasi manusia, terutama hak perempuan. Ini adalah upaya menghapus kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga.

Emilia Suci Suborini yang biasa dipanggil Suborini, mengawali sesi berbagi pengalamannya saat mengadvokasi tetangganya yang merupakan korban kekerasan dalam rumah tangga. Pada awalnya, Suborini mengalami banyak penolakan dan dipandang sebelah mata. Namun, dengan pendekatan Suborini yang baik, Ia berhasil meluluhkan suami dan keluarga korban untuk terbuka.

“Hambatan saat mendampingi korban pastinya banyak, apalagi saya bukan seorang pejabat atau tokoh masyarakat. Kalau mau diterima, sebaiknya kita lakukan pendekatan dengan guyon, berbicara halus tapi tegas dan lakukan dialog dengan kejujuran,” Suborini menjelaskan.

Ngatini sebagai perempuan yang mempunyai pengalaman pahit di masa lalu karena mengalami kekerasan dalam rumah tangga, ikut berbagi pengalaman. Ia menggunakan pertemuan rutin kelompok Harapan Indah sebagai tempat untuk menguatkan dirinya.

“Saya tak ingin berlarut-larut dalam keterpurukan, dalam kondisi tertekan saya berusaha bangkit dan melakukan pengaduan ke kelompok. Setelah mendapatkan penguatan, saya berkomunikasi dengan suami menanyakan langkah terbaik untuk kehidupan rumah tangga selanjutnya. Suami saya akhirnya paham dan ada perubahan, bahkan sekarang kami dapat berbagi peran dalam tugas rumah tangga,” kata Ngatini.

Pujiwati pun berbagi kisahnya, setelah memperoleh penguatan dari kelompok dan pendampingan kasusnya oleh LRC-KJHAM, Ia berusaha bangkit, aktif di kelompok dan ikut mendampingi korban lain.

“Melalui kelompok ini, saya menguatkan diri saya. Sekarang saya membantu mendampingi korban lain, agar mereka kuat,” ungkap Pujiwati.

Menurut Dian Puspitasari dari LRC-KJHAM adanya pertemuan rutin antar kelompok yang didukung Program MAMPU ini sangat bermanfaat karena masing-masing anggota kelompok dapat berbagi pengalaman dalam penguatan diri dan pendampingan kepada korban lain. Kegiatan ini pun menjadi ajang aktualisasi diri yang positif bagi para perempuan penyintas kekerasan.