Project Brief: Reses Partisipatif

Reses Partisipatif adalah suatu inisiatif di mana anggota parlemen dan kelompok konstituennya diundang untuk duduk bersama untuk membahas isu-isu yang mempengaruhi perempuan di tingkat akar rumput.

Reses partisipatif dikembangkan dengan bantuan MAMPU, dan sudah dilaksanakan di tingkat kabupaten dan provinsi pada saat reses parlemen sebanyak dua hingga tiga kali dalam setahun.

Project Brief: Balai Sakinah ‘Aisyiyah

Balai Sakinah ‘Aisyiyah (BSA) adalah kelompok perempuan yang dibentuk oleh Mitra MAMPU, ‘Aisyiyah yang bertujuan sebagai wadah pemberdayaan komunitas dalam hal pendidikan, konsultasi serta pengaduan layanan kesehatan reproduksi.

BSA berada di tingkat desa, dilaksanakan secara rutin di tempat yang mudah dijangkau oleh para anggotanya, seperti balai desa, rumah warga, maupun tempat ibadah. Setiap kelompok BSA memiliki kader BSA yang bertugas menggerakkan anggota BSA, masyarakat serta menjalin kerja sama dengan perangkat desa dan penyedia layanan kesehatan setempat.

RFP: Penyusunan Rencana Strategis Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan dan Pemenuhan Hak Korban Tahun 2020-2025

Program MAMPU bertujuan untuk meningkatkan akses perempuan miskin di Indoensia terhadap layanan penting dan program pemerintah lainnya dalam rangka mewujudkan kesetaraan gender dan pemberdayan perempuan. Melalui MAMPU, organisasi masyarakat sipil (OMS) bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia, parlemen dan berbagai pemangku kepentingan lainnya di tingkat pusat dan daerah untuk menyempurnakan kebijakan, peraturan dan akses terhadap layanan pemerintah yang berdampak pada perempuan miskin dalam lima area tematik berikut; (1). Meningkatkan akses terhadap program perlindungan sosial Pemerintah Indonesia (2). Meningkatkan kondisi pekerjaan dan penghapusan diskriminasi di tempat kerja (3). Meningkatkan kondisi buruh perempuan untuk migrasi keluar negeri (4). Meningkatkan status kesehatan dan gizi perempuan; dan (5). Mengurangi kekerasan terhadap perempuan.

Dalam Tematik-5: Mengurangi kekerasan terhadap perempuan, MAMPU bekerjasama dengan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan / Komnas Perempuan, sebuah lembaga negara yang independen untuk penegakan hak asasi manusia perempuan Indonesia.

Periode kepemimpinan Komnas Perempuan ke depan (2020-2024) akan bersamaan dengan periode terakhir pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN 2000-2025). Periode ini merupakan momen yang tepat untuk merefleksikan perubahan-perubahan yang terjadi terkait perlindungan dan pemenuhan HAM perempuan terutama hak untuk bebas dari kekerasan dan diskriminasi, baik dalam tataran  regulasi, perspektif dan infrastruktur untuk penghapusan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan, serta bagaimana Komnas Perempuan sebagai mekanisme nasional HAM berkontribusi terhadap perubahan tersebut. Untuk itu, perlu adanya penyusunan Rencana Strategis (Renstra) Komnas Perempuan yang akan menjadi pedoman bagi Komnas Perempuan untuk menetapkan program berdasarkan mandatnya, serta akan menjadi rujukan bagi Pemerintah dalam mengembangkan kerangka kerja penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Dokumen Renstra ini akan diserahkan kepada BAPPENAS agar dapat menjadi rujukan dalam pengembangan Program-Program Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan terhadap Perempuan.

MAMPU mengundang konsultan / organisasi yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang pengembangan organisasi, fasilitasi penyusunan rencana kerja organisasi atau bidang lain yang terkait untuk menyampaikan proposal sebagai tim konsultan pelaksana Penyusunan Rencana Strategis Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan dan Pemenuhan Hak Korban Tahun 2020–2025 sebagaimana dijelaskan dalam RFP dan TOR terlampir.

 

Proposal dikirimkan ke kantor MAMPU selambatnya tanggal 7 Juli 2019, melalui alamat email berikut ini: mnurwaskito@mampu.or.id

 

 

“MAMPU is a child-safe organisation. We have strong recruitment procedures to make sure the safest and most suitable people work with the children in our programs. MAMPU also encourage people with disabilities and from other diverse backgrounds to apply. We do not discriminate based on disability

Project Brief: MAMPU di Aceh

Program MAMPU bekerja di 27 provinsi, 147 kota/kabupaten, mencapai lebih dari 1.100 desa di Indonesia. Di Provinsi Aceh, MAMPU bermitra dengan 5 organisasi masyarakat sipil (OMS) di 52 desa di 8 kabupaten/kota.

Kenali lebih lanjut kerja-kerja Program MAMPU di Aceh lewat publikasi berikut.

Mitra MAMPU di Aceh Sambut Kunjungan Perwakilan Kedubes Australia

Mitra-mitra Program MAMPU (Kemitraan Australia-Indonesia untuk Pemberdayaan Perempuan dan Kesetaraan Gender) menyambut kunjungan Kirsten Bishop, Minister Counsellor Tatakelola dan Pembangunan Manusia Kedutaan Besar Australia, ke Kota Banda Aceh, Rabu (10/4).

Sambil bersantap siang, perwakilan para mitra memaparkan kerja-kerja mereka.

“Kami bekerja dalam pendampingan dan layanan bagi perempuan, termasuk bermitra dengan perempuan akar rumput dalam membantu kemajuan berbagai pergerakan perempuan di Aceh,” ujar Direktur Flower Aceh Riswati. Flower Aceh adalah salah satu organisasi masyarakat sipil (OMS) dalam Konsorsium PERMAMPU (Perempuan Sumatera MAMPU), mitra MAMPU untuk tema peningkatan status kesehatan dan gizi perempuan.

Dengan bekerja bersama OMS, MAMPU mendorong perempuan agar mereka dapat bersuara dan mempengaruhi kebijakan pemerintah.

“Berkat dukungan MAMPU, kami bekerja sama dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan mengadopsi program peningkatan kapasitas perempuan dengan membentuk komunitas di tiga desa di Kota Lhokseumawe, dua di Kabupaten Aceh Utara, dan dua di Kabupaten Bener Meriah,” ungkap Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Aceh Roslina Rasyid. LBH APIK Aceh adalah salah satu OMS dalam Forum Pengada Layanan (FPL), mitra MAMPU untuk tema pengurangan kekerasan terhadap perempuan.

Peningkatan kapasitas perempuan turut mempengaruhi kemampuan mereka mengakses layanan penting dari pemerintah, seperti Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan Program Keluarga Harapan (PKH).

“Kami berfokus pada pengembangan JKN khusus perempuan. Bersama MAMPU, kami mendorong agar perempuan mendapatkan hak-hak mereka lewat PKH,” jelas Ketua Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Wilayah Aceh Evani Clara Yanti. KPI adalah salah satu mitra MAMPU untuk tema peningkatan akses perlindungan sosial.

Sementara itu, meski tidak bermitra langsung, sejumlah OMS turut mendukung kerja-kerja MAMPU, misalnya Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) yang bekerja sama dengan Yayasan Kesehatan Perempuan.

“Sejak 2015, kami terlibat penelitian tentang layanan kesehatan yang terkait dengan Program MAMPU, baik di Provinsi Aceh maupun tingkat nasional,” tutur Agus Agandi, staf PKBI Aceh.

 

Dukung Perempuan Bersuara

Jelang pemilihan umum serentak 17 April mendatang, mitra-mitra MAMPU turut bekerja memberdayakan perempuan agar dapat menggunakan hak politiknya untuk memilih maupun dipilih.

“Kami melakukan pendampingan bagi perempuan terkait hak berpolitik mereka, dan mendukung perempuan caleg agar dapat memperbanyak perempuan di parlemen,” papar Erna Wati dari Flower Aceh.

Hal ini diamini Rasyidah, Sekretaris Forum Komunitas Perempuan Akar Rumput (FKPAR) Provinsi Aceh. Bersama Flower Aceh, FKPAR Provinsi Aceh bekerja dekat dengan masyarakat tentang permasalahan layanan kesehatan dan kasus KDRT yang seringkali sulit dilaporkan korban. Kini, Rasyidah mencalonkan diri sebagai anggota legislatif untuk Dewan Perwakilan Rakyat Kota Banda Aceh.

“Tantangan pasti ada, tetapi motivasi juga harus ada. Kekuatan itu ada untuk menguatkan para perempuan,” tegas Rasyidah, yang pascatsunami 2004 di Aceh membentuk Balai Inong (balai perempuan) untuk peningkatan kualitas perempuan di bidang ekonomi, kesehatan, dan politik.

“Dalam rangka meningkatkan dukungan pada perempuan caleg, mitra MAMPU menggandeng media untuk bersama-sama memantau pelaksanaan Pemilu,” tambah Clara.

Di luar itu, mitra MAMPU juga mendorong partisipasi aktif perempuan dalam pembangunan, seperti musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang).

“Musrena (musrenbang khusus perempuan) sudah diadakan di Desa Blang Oi. Di sana juga diadakan pelatihan seperti pembuatan nugget dan bakso, yang 20 persen hasil penjualannya disumbangkan ke kas desa untuk pemberdayaan perempuan,”kata Khairat dari FKPAR Kota Banda Aceh.

Di akhir kunjungan, Kirsten Bishop mengungkapkan harapannya agar kerja sama ini dapat berlanjut.

“Bantuan kerja sama seperti Program MAMPU diharapkan dapat ditingkatkan, dan melanjutkan hubungan baik antara kedua pemerintah. Semua program dievaluasi secara strategis, dan sampai saat ini berjalan optimal,” pungkasnya.

Laporan Tematik Studi Midline MAMPU Tema 5: Pengurangan Kekerasan terhadap Perempuan

Studi akses perempuan miskin terhadap layanan publik merupakan bagian dari studi longitudinal yang dijalankan selama enam tahun (2014–2020) atas kerja sama antara The SMERU Research Institute dan Program Kemitraan Australia-Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan (MAMPU).

Dengan mempelajari upaya-upaya pengurangan kekerasan terhadap perempuan dalam ranah rumah tangga di lima kabupaten di Indonesia (Deli Serdang, Cilacap, Timor Tengah Selatan, Kubu Raya, serta Pangkajene dan Kepulauan) pada 2014 dan 2017, studi ini berupaya menangkap perubahan akses perempuan miskin terhadap layanan perlindungan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Hanya dalam Bahasa Indonesia.

Laporan Sintesis Studi Midline MAMPU: Akses Perempuan Miskin terhadap Layanan Publik pada Lima Tema Penghidupan

Studi tentang akses perempuan miskin terhadap layanan publik ini merupakan bagian dari studi MAMPU, sebuah studi longitudinal yang dijalankan selama enam tahun (2014–2020) atas kerja sama The SMERU Research Institute dan Program Kemitraan Australia-Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan (MAMPU).

Laporan sintesis ini bertujuan menarik benang merah dari lima laporan tematik Studi Midline MAMPU yang dimaksudkan untuk melihat perubahan akses perempuan miskin terhadap layanan publik sepanjang 2014–2017.

Hanya tersedia dalam Bahasa Indonesia.

Ketika Lelaki Mendampingi Kasus Kekerasan terhadap Perempuan

Di masyarakat, peran pemimpin kerap dipercayakan pada laki-laki, termasuk dalam struktur kepemimpinan daerah seperti kepala desa. Sementara itu, sebagai pelayan masyarakat, kepala desa tidak hanya bertugas mengurusi perihal administrasi pemerintahan, namun juga melindungi warganya.

Berperan sebagai mediator kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan pun turut menjadi tanggung jawab mereka. Namun, pekerjaan ini tidaklah mudah, apalagi di tengah pandangan umum bahwa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah urusan pribadi dalam keluarga.

Di Aceh, Hasan dan Hermansyah merupakan dua kepala desa yang mendobrak tabu tersebut dengan mendudukkan perkara KDRT di tempat terang. Mereka pun mencari alternatif solusi yang tidak melulu menempatkan perempuan pada posisi korban. Perempuan sering kali menjadi korban ganda dalam penyelesaian kasus-kasus seperti ini, yakni menjadi korban KDRT itu sendiri sekaligus korban penghakiman masyarakat.

“Banyak hal yang tidak efektif ketika korban dengan pelaku dinikahkan,” ujar Hasan, Kepala Desa Ulee Glee, Kecamatan Jambo Aye, Kabupaten Aceh Utara. Di desa ini, kasus-kasus kekerasan seksual, termasuk perkosaan, kerap diselesaikan dengan menikahkan korban dengan pelaku.

Sebelum dinikahkan, kadang-kadang korban perkosaan diarak keliling kampung dan dimandikan di meneusah (pesantren) di hadapan orang banyak. Penyelesaian semacam ini disebut sebagai penyelesaian adat. Namun penyelesaian seperti ini mengusik Hasan.

“Tindakan masyarakat seperti itu tidak manusiawi dan justru melakukan kekerasan ganda terhadap korban,” ungkapnya.

Ketika di desanya terjadi kasus perkosaan inses antara kakak dengan adik kandungnya, Hasan makin yakin bahwa penyelesaian adat tidak berpihak pada korban. Hasan pun memutuskan mendampingi korban dan keluarganya ke Polres, dan menyelesaikan kasusnya melalui jalur hukum.

Dalam proses pendampingan inilah, Hasan bertemu dengan  para pendamping dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Aceh Utara dan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Aceh. LBH APIK Aceh merupakan bagian dari Forum Pengada Layanan (FPL), mitra MAMPU untuk tema pengurangan kekerasan terhadap perempuan.

Hasan pun mulai melakukan koordinasi dan konsultasi bersama aparatur desa terkait kasus‐kasus yang terjadi. Mereka memilah kasus mana yang bisa diproses secara adat dan yang harus diproses secara hukum. Di saat yang sama, mereka juga membangun pemahaman masyarakat, bahwa ada jenis kasus-kasus kekerasan yang harus diselesaikan secara hukum.

Sementara itu, di Desa Tumpok Teungoh, Kecamatan Banda Sakti, Kota Lhokseumawe, di mana Hermansyah telah menjadi geuchik (kepala desa) untuk tiga periode, kasus KDRT merupakan kasus yang membuat aparat desa kewalahan. Hampir setiap dusun di Tumpok Teungoh terjadi kasus KDRT.  Mulai dari kekerasan ekonomi di mana suami tidak memberikan nafkah yang cukup untuk istri dan anaknya; kekerasan fisik, maupun kekerasan psikologis.

“Pengaduan masyarakat yang datang tidak mengenal waktu, terkadang hingga tengah malam pun ada yang mengetuk rumah untuk melapor,” ungkap Hermansyah.

Masing-masing kasus ini rata-rata menjalani proses mediasi 1-6 kali di kantor desa.

Ada juga kasus KDRT di desa tersebut yang langsung ditangani polisi karena korban tidak lapor ke aparat desa, melainkan langsung ke polisi. “Tiba-tiba kami dipanggil polisi, bahwa ada warga kami yang sedang berurusan proses hukum,” kisah Hermansyah.

Pada 2016, Hermansyah berkenalan dengan LBH APIK, saat salah satu warganya mendapat pendampingan dari lembaga tersebut. Pendamping LBH APIK juga mulai hadir di beberapa acara pertemuan mediasi, apabila ada warga desa yang mengalami KDRT.

Dalam proses ini, pendamping LBH APIK juga kerap memberikan informasi dan pengetahuan hukum kepada warga dan aparatur desa. Misalnya, mengenai informasi hukum tentang pengurusan cerai, hak asuh anak, dan juga mengenai pembagian harta waris lewat proses hukum.

Hal ini cukup melegakan buat Hermansyah karena setidaknya kasus KDRT tidak lagi hanya menjadi urusannya sendiri. “Sekarang, saya selalu bicarakan bagaimana urusan penyelesaian kasus KDRT itu harus diselesaikan dulu di tingkat dusun,” pungkas Hermansyah.

LRC-KJHAM Selenggarakan Dialog Publik “Kupas Tuntas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual”

“RUU ini dibuat untuk melindungi perempuan dan memberikan efek jera. Kami berkomitmen di akhir periode ini akan segera menyelesaikan RUU P-KS agar segera menjadi Undang-Undang.” (Drs. KH Khoirul Muna, POKJA RUU P-KS Komisi VIII DPRI RI)

 

Peringatan Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret di seluruh dunia merupakan salah satu bentuk pengakuan terhadap hak-hak perempuan, dan bertujuan untuk mengakhiri diskriminasi yang dialami oleh perempuan. Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional, sejumlah Mitra Program MAMPU di Jawa Tengah yakni Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) bersama Dinas Perberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Provinsi Jawa Tengah, Fatayat NU Jawa Tengah, Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Seruni, PPT Kecamatan Semarang, Komunitas Perempuan, dan Support Group Sekartaji menyelenggarakan serangkaian kegiatan yang dimulai dengan dialog publik tentang RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Dialog Publik ini bertujuan untuk menghimpun pendapat dan pandangan dari berbagai elemen masyarakat termasuk ulama, parlemen, pemerintah, universitas, dan organisasi masyarakat sipil sehubungan dengan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai salah satu produk hukum yang akan mendorong upaya perlindungan korban kekerasan seksual.

Acara yang berlangsung pada 12 Maret 2019 di aula DP3AKB Jawa Tengah ini menghadirkan KH. Choirul Muna dari Tim Panitia Kerja RUU P-KS Komisi VIII DPRI RI, Hindun Anisah dari Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari Bangsri, Jepara, dan Dian Puspitasari dari LRC KJHAM Semarang. Sekurangnya 150 peserta dari berbagai organisasi termasuk universitas dan media menghadiri dialog publik ini.

Data monitoring LRC-KJHAM di Jawa Tengah sejak tahun 2013 – 2018 mencatat 2.289 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan 4.427 perempuan menjadi korban, dan 50 % nya yaitu 2.454 perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Artinya di Jawa Tengah setiap hari ada 1 sampai 2 perempuan menjadi korban kekerasan seksual, dengan sebagian besar pelakunya adalah orang terdekat yang memiliki relasi kuasa seperti ayah tiri, ayah kandung, paman, pacar, tetangga, guru ngaji dan atasan atau majikan.

Berbagai hambatan dialami perempuan korban kekerasan seksual selama proses hukum diantaranya didamaikannya kasus kekerasan seksual oleh oknum aparat penegak hukum, ditolaknya laporan korban kekerasan seksual, mandeknya proses penyidikan karena hambatan pembuktian, putusan rendah untuk kasus kekerasan seksual, korban kekerasan seksual mengalami kriminalisasi dan korban kekerasan seksual dinikahkan dengan pelaku.

Selain itu, keterbatasan rumusan pidana kekerasan seksual yang terdapat dalam KUHP, Undang-undang PKDRT, Undang-undang Perlidungan anak serta Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang juga belum mampu mewadahi seluruh bentuk kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan korban kekerasan. Berdasarkan pertimbangan inilah penyelenggara dan  peserta dialog menilai pembahasan & pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan seksual sangat mendesak dilakukan.