Nawala MAMPU Kita Edisi 9 (Mei-Juni 2019)

Nawala MAMPU Kita terbit setiap dua bulan sekali, menyampaikan kabar capaian serta kegiatan Program MAMPU bersama kedua pemerintah dan mitra organisasi masyarakat sipil (OMS).

Program MAMPU adalah program inisiatif bersama antara Pemerintah Australia dan Pemerintah Indonesia. Program ini mendukung Pemerintah Indonesia dalam mencapai Target Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dengan membangun kepemimpinan dan pemberdayaan perempuan, sehingga akses perempuan terhadap pelayanan dasar dan program pemerintah meningkat.

Edisi MAMPU Kita kali ini mengulas partisipasi Program MAMPU dan mitranya dalam konferensi Women Deliver 2019, sejumlah kegiatan mitra yang juga menjadi ajang pernyataan sikap seputar isu perempuan pekerja dan perlindungan perempuan dari kekerasan, serta upaya peningkatan kapasitas mitra MAMPU lewat pelatihan tentang disabilitas serta bisnis sosial.

Nawala dapat diakses melalui tautan berikut

Bahasa Indonesia | Bahasa Inggris

Mitra MAMPU di Aceh Sambut Kunjungan Perwakilan Kedubes Australia

Mitra-mitra Program MAMPU (Kemitraan Australia-Indonesia untuk Pemberdayaan Perempuan dan Kesetaraan Gender) menyambut kunjungan Kirsten Bishop, Minister Counsellor Tatakelola dan Pembangunan Manusia Kedutaan Besar Australia, ke Kota Banda Aceh, Rabu (10/4).

Sambil bersantap siang, perwakilan para mitra memaparkan kerja-kerja mereka.

“Kami bekerja dalam pendampingan dan layanan bagi perempuan, termasuk bermitra dengan perempuan akar rumput dalam membantu kemajuan berbagai pergerakan perempuan di Aceh,” ujar Direktur Flower Aceh Riswati. Flower Aceh adalah salah satu organisasi masyarakat sipil (OMS) dalam Konsorsium PERMAMPU (Perempuan Sumatera MAMPU), mitra MAMPU untuk tema peningkatan status kesehatan dan gizi perempuan.

Dengan bekerja bersama OMS, MAMPU mendorong perempuan agar mereka dapat bersuara dan mempengaruhi kebijakan pemerintah.

“Berkat dukungan MAMPU, kami bekerja sama dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan mengadopsi program peningkatan kapasitas perempuan dengan membentuk komunitas di tiga desa di Kota Lhokseumawe, dua di Kabupaten Aceh Utara, dan dua di Kabupaten Bener Meriah,” ungkap Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Aceh Roslina Rasyid. LBH APIK Aceh adalah salah satu OMS dalam Forum Pengada Layanan (FPL), mitra MAMPU untuk tema pengurangan kekerasan terhadap perempuan.

Peningkatan kapasitas perempuan turut mempengaruhi kemampuan mereka mengakses layanan penting dari pemerintah, seperti Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan Program Keluarga Harapan (PKH).

“Kami berfokus pada pengembangan JKN khusus perempuan. Bersama MAMPU, kami mendorong agar perempuan mendapatkan hak-hak mereka lewat PKH,” jelas Ketua Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Wilayah Aceh Evani Clara Yanti. KPI adalah salah satu mitra MAMPU untuk tema peningkatan akses perlindungan sosial.

Sementara itu, meski tidak bermitra langsung, sejumlah OMS turut mendukung kerja-kerja MAMPU, misalnya Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) yang bekerja sama dengan Yayasan Kesehatan Perempuan.

“Sejak 2015, kami terlibat penelitian tentang layanan kesehatan yang terkait dengan Program MAMPU, baik di Provinsi Aceh maupun tingkat nasional,” tutur Agus Agandi, staf PKBI Aceh.

 

Dukung Perempuan Bersuara

Jelang pemilihan umum serentak 17 April mendatang, mitra-mitra MAMPU turut bekerja memberdayakan perempuan agar dapat menggunakan hak politiknya untuk memilih maupun dipilih.

“Kami melakukan pendampingan bagi perempuan terkait hak berpolitik mereka, dan mendukung perempuan caleg agar dapat memperbanyak perempuan di parlemen,” papar Erna Wati dari Flower Aceh.

Hal ini diamini Rasyidah, Sekretaris Forum Komunitas Perempuan Akar Rumput (FKPAR) Provinsi Aceh. Bersama Flower Aceh, FKPAR Provinsi Aceh bekerja dekat dengan masyarakat tentang permasalahan layanan kesehatan dan kasus KDRT yang seringkali sulit dilaporkan korban. Kini, Rasyidah mencalonkan diri sebagai anggota legislatif untuk Dewan Perwakilan Rakyat Kota Banda Aceh.

“Tantangan pasti ada, tetapi motivasi juga harus ada. Kekuatan itu ada untuk menguatkan para perempuan,” tegas Rasyidah, yang pascatsunami 2004 di Aceh membentuk Balai Inong (balai perempuan) untuk peningkatan kualitas perempuan di bidang ekonomi, kesehatan, dan politik.

“Dalam rangka meningkatkan dukungan pada perempuan caleg, mitra MAMPU menggandeng media untuk bersama-sama memantau pelaksanaan Pemilu,” tambah Clara.

Di luar itu, mitra MAMPU juga mendorong partisipasi aktif perempuan dalam pembangunan, seperti musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang).

“Musrena (musrenbang khusus perempuan) sudah diadakan di Desa Blang Oi. Di sana juga diadakan pelatihan seperti pembuatan nugget dan bakso, yang 20 persen hasil penjualannya disumbangkan ke kas desa untuk pemberdayaan perempuan,”kata Khairat dari FKPAR Kota Banda Aceh.

Di akhir kunjungan, Kirsten Bishop mengungkapkan harapannya agar kerja sama ini dapat berlanjut.

“Bantuan kerja sama seperti Program MAMPU diharapkan dapat ditingkatkan, dan melanjutkan hubungan baik antara kedua pemerintah. Semua program dievaluasi secara strategis, dan sampai saat ini berjalan optimal,” pungkasnya.

Ketika Lelaki Mendampingi Kasus Kekerasan terhadap Perempuan

Di masyarakat, peran pemimpin kerap dipercayakan pada laki-laki, termasuk dalam struktur kepemimpinan daerah seperti kepala desa. Sementara itu, sebagai pelayan masyarakat, kepala desa tidak hanya bertugas mengurusi perihal administrasi pemerintahan, namun juga melindungi warganya.

Berperan sebagai mediator kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan pun turut menjadi tanggung jawab mereka. Namun, pekerjaan ini tidaklah mudah, apalagi di tengah pandangan umum bahwa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah urusan pribadi dalam keluarga.

Di Aceh, Hasan dan Hermansyah merupakan dua kepala desa yang mendobrak tabu tersebut dengan mendudukkan perkara KDRT di tempat terang. Mereka pun mencari alternatif solusi yang tidak melulu menempatkan perempuan pada posisi korban. Perempuan sering kali menjadi korban ganda dalam penyelesaian kasus-kasus seperti ini, yakni menjadi korban KDRT itu sendiri sekaligus korban penghakiman masyarakat.

“Banyak hal yang tidak efektif ketika korban dengan pelaku dinikahkan,” ujar Hasan, Kepala Desa Ulee Glee, Kecamatan Jambo Aye, Kabupaten Aceh Utara. Di desa ini, kasus-kasus kekerasan seksual, termasuk perkosaan, kerap diselesaikan dengan menikahkan korban dengan pelaku.

Sebelum dinikahkan, kadang-kadang korban perkosaan diarak keliling kampung dan dimandikan di meneusah (pesantren) di hadapan orang banyak. Penyelesaian semacam ini disebut sebagai penyelesaian adat. Namun penyelesaian seperti ini mengusik Hasan.

“Tindakan masyarakat seperti itu tidak manusiawi dan justru melakukan kekerasan ganda terhadap korban,” ungkapnya.

Ketika di desanya terjadi kasus perkosaan inses antara kakak dengan adik kandungnya, Hasan makin yakin bahwa penyelesaian adat tidak berpihak pada korban. Hasan pun memutuskan mendampingi korban dan keluarganya ke Polres, dan menyelesaikan kasusnya melalui jalur hukum.

Dalam proses pendampingan inilah, Hasan bertemu dengan  para pendamping dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Aceh Utara dan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Aceh. LBH APIK Aceh merupakan bagian dari Forum Pengada Layanan (FPL), mitra MAMPU untuk tema pengurangan kekerasan terhadap perempuan.

Hasan pun mulai melakukan koordinasi dan konsultasi bersama aparatur desa terkait kasus‐kasus yang terjadi. Mereka memilah kasus mana yang bisa diproses secara adat dan yang harus diproses secara hukum. Di saat yang sama, mereka juga membangun pemahaman masyarakat, bahwa ada jenis kasus-kasus kekerasan yang harus diselesaikan secara hukum.

Sementara itu, di Desa Tumpok Teungoh, Kecamatan Banda Sakti, Kota Lhokseumawe, di mana Hermansyah telah menjadi geuchik (kepala desa) untuk tiga periode, kasus KDRT merupakan kasus yang membuat aparat desa kewalahan. Hampir setiap dusun di Tumpok Teungoh terjadi kasus KDRT.  Mulai dari kekerasan ekonomi di mana suami tidak memberikan nafkah yang cukup untuk istri dan anaknya; kekerasan fisik, maupun kekerasan psikologis.

“Pengaduan masyarakat yang datang tidak mengenal waktu, terkadang hingga tengah malam pun ada yang mengetuk rumah untuk melapor,” ungkap Hermansyah.

Masing-masing kasus ini rata-rata menjalani proses mediasi 1-6 kali di kantor desa.

Ada juga kasus KDRT di desa tersebut yang langsung ditangani polisi karena korban tidak lapor ke aparat desa, melainkan langsung ke polisi. “Tiba-tiba kami dipanggil polisi, bahwa ada warga kami yang sedang berurusan proses hukum,” kisah Hermansyah.

Pada 2016, Hermansyah berkenalan dengan LBH APIK, saat salah satu warganya mendapat pendampingan dari lembaga tersebut. Pendamping LBH APIK juga mulai hadir di beberapa acara pertemuan mediasi, apabila ada warga desa yang mengalami KDRT.

Dalam proses ini, pendamping LBH APIK juga kerap memberikan informasi dan pengetahuan hukum kepada warga dan aparatur desa. Misalnya, mengenai informasi hukum tentang pengurusan cerai, hak asuh anak, dan juga mengenai pembagian harta waris lewat proses hukum.

Hal ini cukup melegakan buat Hermansyah karena setidaknya kasus KDRT tidak lagi hanya menjadi urusannya sendiri. “Sekarang, saya selalu bicarakan bagaimana urusan penyelesaian kasus KDRT itu harus diselesaikan dulu di tingkat dusun,” pungkas Hermansyah.

Ruslita, Tak Goyah Diterpa Ancaman

Ruslita Makauntung, pendamping korban kasus kekerasan terhadap perempuan dari Posko Lestari di Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara.

 

Ketika menjadi korban kekerasan, ke mana perempuan bisa mengadu? Di Desa Arakan, Kecamatan Tatapaan, Kabupaten Minahasa Selatan, pos komando (Posko) Lestari adalah tempat yang dituju. Di sana pulalah Ruslita Makauntung giat berperan menciptakan ruang aman untuk melawan kekerasan terhadap perempuan.

Posko Lestari hadir di Desa Arakan sejak Desember 2014, tetapi kiprah Ruslita dalam mendampingi korban kekerasan terhadap perempuan sudah dimulai jauh sebelumnya. Pengalaman Ruslita berhadapan dengan kasus kekerasan seksual yang menimpa dua keponakannya pada 2005 membuatnya bertekad mendalami bidang hukum, terutama terkait isu perempuan.

Ruslita bergabung dengan Swara Parangpuan, bagian dari Forum Pengada Layanan, mitra program MAMPU untuk tema pengurangan kekerasan terhadap perempuan, pada 2011. Setelah mengikuti sejumlah pelatihan di Swara Parangpuan, Ruslita mampu menangani kasus-kasus. Semangatnya membesar sejak Posko Lestari berdiri atas inisiatif Swara Parangpuan, dan kemudian mengantungi Surat Keputusan Kepala Desa.

Menurut ibu dua anak ini, sejak berdirinya Posko Lestari, kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) jauh berkurang. Selain menyediakan pendampingan bagi korban, para aktivis di posko rajin melakukan sosialisasi peraturan-peraturan tentang perlindungan perempuan dan anak. Para lelaki di desa kini menyadari, ada risiko hukum yang mengintai ketika mereka melakukan kekerasan pada anggota keluarga perempuan, seperti anak dan istri.

Meski begitu, kata perempuan berusia 49 tahun ini, bukan tak ada kaum laki-laki yang menentang kegiatan posko. Beberapa kali para aktivis dihadang orang-orang yang merasa terganggu.

“Jika mereka mabuk, kami lari saja. Tapi kalau tidak mabuk, kami hadapi. Meskipun datang dengan bawa parang, biasanya mereka curhat,” cerita Ruslita.

 

Melampaui Tentangan dan Tantangan

Masih segar dalam ingatan Ruslita, bagaimana mulanya ia aktif mendampingi korban kekerasan terhadap perempuan.

“‘Ma Ade, bantu saya, Ma Ade, saya sudah malu,’” kenang Ruslita dengan getir, mengingat kata-kata keponakannya, yang saat itu berusia 13 tahun. Tak hanya gadis itu yang mengalami kekerasan seksual  pada 2005, namun juga sang adik, yang masih berusia lima tahun.

Ruslita dan suami pun turun tangan, membawa pulang kedua keponakan mereka dan melaporkan kejadian itu ke polisi. Pelaku pun segera ditahan dan diproses ke jalur hukum. Namun, perkara belum selesai di sana. Ternyata, keluarga pelaku memberi uang berjumlah Rp2,5 juta kepada orang tua korban.

“Saya menangis karena ibu dan bapak mereka malah tak bantu. Mereka marah karena saya tetap bersikeras untuk maju sidang,” tutur Ruslita.

Meski saat itu ia merasa buta hukum, permohonan sang keponakan meneguhkan perempuan yang sehari-harinya berjualan sembako dan memproduksi olahan ikan ini. Ia tak gentar menghadapi tekanan sepanjang proses hukum berlangsung, termasuk saat keluarga pelaku menawarinya uang Rp5 juta agar ia mundur. Akhirnya, pelaku dihukum 10 tahun penjara.

Kini, dengan adanya Posko Lestari, Ruslita dan rekan-rekannya memiliki ruang untuk memberikan pendampingan yang lebih luas dan beragam. Ketika terjadi kasus pemerkosaan, para aktivis posko akan langsung mendatangi korban tanpa diminta. Sementara itu, untuk kasus KDRT, mereka menunggu laporan korban.

Saat KDRT terjadi dan sang istri melapor, ada beberapa solusi yang mereka tawarkan. Jika sudah tidak mau rukun, lebih baik berpisah. Tetapi kalau masih bisa dipertahankan, mereka harus berubah.

“Setelah itu, mereka bikin surat pernyataan. Kalau tidak mau, kami akan serahkan pelaku ke Polres,” kata Ruslita.

Bagaimanapun, Ruslita mengakui, pendampingan yang dilakukannya lewat posko tak selalu mulus. Kerap kali keluarga awalnya menggebu-gebu melaporkan pelaku, tapi begitu proses hukum berjalan, mereka malah mengendur dengan berbagai alasan, termasuk kekhawatiran soal uang untuk membayar pendamping kasus dari posko.

Ia juga pernah mengalami dilema, ketika yang menjadi pelaku kekerasan adalah keponakannya sendiri. Meski dicecar karena dianggap tidak berpihak pada keluarga sendiri, Ruslita tetap teguh menempuh jalur hukum, yang berujung pada vonis kurungan bagi pelaku.

“Saya tetap pada prinsip saya, yaitu harus berpihak pada korban,” pungkas Ruslita, tegas.

Forum Pengada Layanan (FPL)

Forum Pengada Layanan

Forum Pengada Layanan (FPL) adalah jejaring 112 organisasi di 32 provinsi di Indonesia yang menyediakan layanan penanganan kasus, perujukan, bantuan hukum dan crisis centre bagi perempuan korban kekerasan.

FPL terbagi atas tiga daerah untuk mengoptimalkan kerja-kerja mereka untuk menangani perempuan korban, yaitu Regional Barat (Sumatra), Regional Tengah (Jawa, Bali, Kalimantan, dan Nusa Tenggara Barat), dan Regional Timur (Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, Maluku, dan Papua). Pembagian daerah ini dilakukan untuk memfasilitasi koordinasi, saling mendukung, mengembangkan keanggotaan, menyediakan layanan, dan membangun kerja sama antaranggota jaringan.

MAMPU mendukung 20 FPL yang bekerja di 15 provinsi, 31 kabupaten/kota, dan 102 desa/kelurahan.

Pendekatan yang dikembangkan sebagai mitra MAMPU:

  • Melakukan advokasi untuk pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS)
  • Membentuk kelompok perempuan akar rumput untuk membangun kapasitas kolektif mereka untuk mengadvokasi peraturan dan anggaran daerah untuk meningkatkan layanan bagi perempuan korban kekerasan, dan mengembangkan kapasitas mereka sebagai paralegal berbasis-komunitas.
  • Mengembangkan basis data daring (online database) untuk meningkatkan pencatatan dan penanganan kasus kekerasan oleh jejaring FPL, serta menguatkan bukti untuk mendukung upaya advokasi di tingkat daerah dan pusat.
  • Mendukung Sistem Peradilan Pidana Terintegrasi untuk Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP) di wilayah-wilayah kerja FPL.
  • Melakukan advokasi perbaikan layanan pemerintah bagi perempuan korban kekerasan melalui Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) di wilayah-wilayah kerja FPL.

Capaian dalam Program MAMPU:

  • RUU PKS telah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sejak 2016.
  • Advokasi untuk Peraturan Daerah No.9 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan dari Kekerasan di Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Peraturan Daerah No.12 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan dan Anak dari Kekerasan di Kota Ambon.
  • Mendukung uji coba Sistem Peradilan Pidana Terintegrasi untuk Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP) di Jawa Tengah pada 2015.
  • Memberdayakan dan melatih lebih dari 700 perempuan sebagai paralegal berbasis-komunitas. Hal ini memungkinkan FPL menjangkau dan mendampingi lebih dari 2.000 kasus kekerasan terhadap perempuan pada 2018.
  • Mendukung revitalisasi P2TP2A di 20 kabupaten/kota dengan melakukan percontohan Rencana Strategi dan Standar Operasional Prosedur (SOP).
  • Mendorong terintegrasinya P2TP2A dengan Sistem Layanan dan Rujukan Terpadu (SLRT), yang telah membantu korban kekerasan mengakses layanan dan program perlindungan sosial pemerintah
  • Advokasi untuk replikasi SPPT-PKKTP lewat empat Nota Kesepahaman (MoU) tingkat provinsi antara gubernur, kepolisian, asosiasi pengacara, dan departemen kehakiman di Provinsi Maluku, Sulawesi Utara, Jawa Tengah, dan Kalimantan
  • Center for Improving Qualified Activity in Life of People with Disabilities (CIQAL), anggota FPL, menyediakan layanan untuk korban kekerasan termasuk perempuan dan anak dengan disabilitas di dua desa di dua distrik di Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta. Di Kabupaten Sleman, CIQAL telah:
    • mengadvokasi Kepala Desa Sariharjo untuk mendanai Forum Keluarga Difabel Sariharjo (FKDS) untuk meningkatkan kesadaran dan aksesibilitas layanan bagi korban kekerasan dengan disabilitas
    • melakukan pemetaan hambatan inklusi disabilitas dengan FKDS dan mengadakan konsultasi publik dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kab. Sleman, menghadirkan 70 orang dengan disabilitas dari 5 desa untuk mengadvokasi peraturan dan anggaran untuk mendukung proposal tersebut.

Mengurangi Kekerasan terhadap Perempuan

Mengapa isu ini penting

Kekerasan terhadap perempuan berakar dari ketidakseimbangan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan. Perempuan korban kekerasan menghadapi berbagai tantangan dalam pemenuhan hak mereka atas keamanan, pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan. Dalam survei Badan Pusat Statistik pada 2017, satu dari tiga perempuan Indonesia pernah mengalami kekerasan dalam hidupnya, terutama yang dilakukan oleh pasangan atau orang yang dekat dengan mereka.

Angka kasus kekerasan pada perempuan terus meningkat. Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan) mencatat 348,446 kasus pada 2017, 312 kasus di antaranya adalah pernikahan usia dini. Namun, hukum yang mengatur kekerasan seksual masih memberikan perlindungan yang terbatas bagi perempuan. Akibatnya, perempuan korban kekerasan terus menghadapi diskriminasi, disalahkan atas kekerasan yang terjadi pada mereka (re-viktimisasi), dan kesulitan mengakses layanan dan dukungan yang mereka butuhkan.

 

Pendekatan kami

Mengakhiri kekerasan pada perempuan adalah prioritas Pemerintah Indonesia, seperti tercantum dalam Nawa Cita dan rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN 2015-2019). Hal ini sejalan dengan tujuan ke-5 dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) untuk mengakhiri segala jenis diskriminasi terhadap perempuan di mana pun.

MAMPU mendukung KOMNAS Perempuan, Forum Pengada Layanan (FPL) dan Yayasan Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI) untuk bekerja sama dengan pemerintah dan parlemen di tingkat lokal dan nasional untuk membuat kebijakan, program, dan sistem yang dapat melindungi perempuan dari kekerasan.

Para Mitra MAMPU menghubungkan perempuan pada layanan yang mereka butuhkan ketika dihadapkan pada kekerasan. Hal ini dilakukan dengan membentuk kelompok perempuan, melatih perempuan dalam penjangkauan dan pengorganisasian masyarakat sebagai paralegal, melakukan advokasi dan kampanye publik, menyediakan penanganan kasus, pendampingan hukum, dan pengumpulan data untuk mengadvokasi perlindungan hukum yang lebih kuat.

Salah satu upaya advokasi ini adalah mengawal pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), yang menjadi bagian dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas sejak 2016.

Mitra MAMPU bekerja dengan pemerintah untuk mengembangkan dan menguji model Sistem Peradilan Pidana Terpadu dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan (SPPT-PKKTP) untuk meningkatkan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan di Jawa Tengah.

Mitra MAMPU juga telah mengembangkan inisiatif ‘Reses Partisipatif’ yang membawa kelompok konstituen ikut serta dalam konsultasi publik bersama anggota parlemen di daerah mereka. Model yang dikembangkan oleh Yayasan BaKTI ini telah diuji coba oleh anggota DPRD Kota Parepare, Ambon, Kendari, dan Kabupaten Lombok Timur, dan kini direplikasi oleh FPL.

 

Capaian area tematik ini:

Project Brief: SPPT-PKKTP

Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP) adalah sistem terpadu penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan, yang mengutamakan kerjasama antarpihak yang berwenang menangani kasus kekerasan terhadap perempuan serta membuka akses ke pelayanan yang mudah dan terjangkau bagi perempuan dalam setiap proses peradilan kasus kekerasan terhadap perempuan.

Guru di Batam Tangkal Bahaya Narkoba dan Kekerasan terhadap Perempuan di Sekolah Bersama Yayasan Embun Pelangi

Berbicara mengenai permasalahan kekerasan terhadap perempuan di Batam, hal ini selalu terkait dengan permasalahan penggunaan narkoba dan prostitusi terselubung. Kedua hal ini adalah rahasia umum di wilayah ini. Pulau Belakang Padang, Batam dimana Ibu Guru Dewi Mesra mengajar pun tidak bebas dari permasalahan ini. Ibu Dewi sedikit-banyak mengetahui mengenai gejolak yang terjadi di sana. Sudah empat tahun setengah Ibu Dewi mengajar di SMA 2 Batam Belakang Padang—sekolah yang harus ditempuhnya dengan menaiki perahu dari Batam setiap pukul 6 pagi.

“Itu cuma bukti-buktinya saja yang nggak ada,” ujar Ibu Dewi. “Kalau rahasia umum sih semua memang sudah tahu. Di sana kan memang pengguna narkoba itu banyak. Saya kan merangkap guru BP (Bimbingan & Penyuluhan). Jadi yang ngaku penggunan narkoba banyak juga. Biasanya saya pancing, kalau kamu mau kasih info sama Ibu, Ibu lindungi kamu, deh. Supaya saya bisa tahu pengedarnya siapa. Tapi kebanyakan anak-anak itu takut.”

Untuk Ibu Dewi, mengajar di Belakang Padang memang menjadi tantangan tersendiri. Selain tempat ini terkenal sebagai tempat ‘transit’ untuk segala macam jenis narkoba, anak-anak yang telah terekspos dengan pergaulan bebas pun kerap tak peduli akan budi pekerti dan tata-krama. “Kebebasan berpacaran seperti sudah hal biasa, nggak malu lagi nampaknya,” ujar Ibu Dewi. “Dari narkoba sampai pacaran sudah nggak malu lagi.”

Pada suatu kesempatan, Ibu Dewi akhirnya menghubungi Yayasan Embun Pelangi (YEP), salah satu mitra Program MAMPU atas saran salah satu rekan kerjanya sesama guru. Kiprah YEP dalam memberikan pendampingan dan penyuluhan kepada para guru di Batam sehubungan dengan narkoba dan kesehatan reproduksi, membuat Ibu Dewi merasa perlu menghadirkan YEP untuk memberikan penyuluhan kepada murid-muridnya. “Memang ini sudah direncanakan, dan karena ini berhubungan dengan materi sekolah oleh Kepala Sekolah dianggarkan biayanya.”

Irwan dari YEP bercerita kalau mereka segera merespon permintaan Ibu Dewi. “Ya, waktu itu kita respon langsung,” ujar Irwan dari YEP. “Kita mengirimkan tim kita, Yoris dan Boboy. Boboy kasih penyuluhan terkait trafficking dan seks dibawah umur, Yoris tentang HIV/AIDS dan narkoba. Anak-anak muridnya Ibu Dewi ini pintar-pintar semua, kok. Aktif-aktif.”

“Kita sudah memutuskan akan terus melakukan pendampingan di sekolah kami,” tambah Ibu Dewi. “Saya sebagai guru PKN (Pendidikan Kewarganegaraan) dan moral sangat setuju sekali pendampingan ini. Pihak sekolah dan YEP juga kerja sama untuk pembentukan satgas (satuan tugas). Satgas ini sosialisasi tentang kesehatan reproduksi, kekerasan terhadap perempuan dan bahaya narkoba kepada guru-guru dan anak murid, ada 40 anggota satgas. Super aktif mereka.”

Secara mandiri, Ibu Dewi pun sigap mengamati perubahan perilaku anak-anak muridnya di sekolah. Ia tahu bahwa ada beberapa ciri-ciri penggunaan narkoba yang bisa menjadi indikasi. “Biasanya saya panggil kalau ada yang ciri-cirinya mulai nggak bagus. Misalnya dia mulai terlalu bandel di kelas. Suka pemarah. Suka minder. Sensitif. Itu saya panggil dan saya tanya,” ujar Ibu Dewi. Semangat Ibu Dewi ini diharapkan menular ke guru-guru lain di berbagai wilayah Indonesia (***)

Kegiatan Bersama Feminist Participatory Action Research (FPAR)

Feminist Participatory Action Research (FPAR) adalah program penelitian yang berpusat pada pemenuhan hak asasi perempuan dengan cara mengolah dan menganalisa pengalaman serta pengetahuan perempuan dan partisipasi perempuan sebagai agen perubahan. Istilah ini diperkenalkan oleh peserta workshop FPAR di Chiang May, Thailand pada tahun 2009.

Dalam pelaksanaannya, FPAR melibatkan kelompok dan masyarakat. Keterlibatan masyarakat sangat penting sebagai upaya merumuskan aksi bersama dalam pemenuhan hak-hak perempuan. Dalam kelompok yang dibina KJHAM, Program FPAR berjalan dengan baik jika permasalahan muncul. Maka dari itu, pendekatan kepada korban harus lebih mengutamakan rasa kekeluargaan.

Endang Cici Widayati, perempuan energik yang biasa dipanggil Cici ini, mengungkapkan bahwa dalam mengadvokasi korban kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga, harus menganggap korban sebagai partner kerja atau teman. Jadi, upaya pendekatan tak harus resmi.

Banyak cara untuk melakukan pendekatan secara kekeluargaan kepada para korban, salah satunya dengan membentuk kelompok atau komunitas penyintas. Semua dapat bergabung untuk melakukan kegiatan bersama.

Cici menggagas Kelompok Sekartaji pada tahun 2012. Kelompok ini beranggotakan para penyintas dan korban yang saling berbagi dan memberi dukungan terhadap aksi anti kekerasan pada perempuan. Kelompok Sekartaji mempunyai kegiatan pemberdayaan ekonomi, mendukung mitra dalam proses pengadilan, memberi dukungan serta terlibat dialog dengan pemerintah kota terkait PERDA tentang kekerasan seksual dan Kesehatan Reproduksi.

Kelompok Sekartaji yang merupakan bagian dari kegiatan FPAR, mempunyai kegiatan yang rutin dilakukan, seperti piknik bersama, membuat kerajinan tangan, mengolah sampah daur ulang dan diskusi bersama di suatu tempat yang mereka sepakati. Pertemuan kelompok di KJHAM yang didukung Program MAMPU ini, sering dimanfaatkan sebagai sarana untuk diskusi rutin.

Nunuk, salah satu anggota kelompok Sekartaji, menjadikan rumahnya sebagai posko pengaduan bagi perempuan yang bermasalah. Dengan senang hati Nunuk menampung pengaduan dan berusaha mencarikan solusinya. Jika masalahnya tak berhasil dipecahkan sendiri, Ia akan meminta bantuan kelompok dan melaporkan ke KJHAM.

Cici mengatakan bahwa pendekatan berbasis komunitas lebih efektif daripada shelter. Dengan pendekatan ini, para penyintas dan korban dapat leluasa berbagi masalah dengan nyaman tanpa sekat sehingga mudah memunculkan masalah ke permukaan untuk dicarikan solusinya.

“Menggali masalah dengan cara piknik dan membuat kegiatan bersama sambil diskusi, memberikan nuansa keakraban tersendiri.” Pungkas Cici.

Nota Kesepahaman Akses Keadilan Perempuan dan Anak dalam Sistem Peradilan Pidana di Maluku Ditandatangani

Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Pemberdayaan Perempuan (GASIRA) Maluku merupakan penyelenggara salah satu program prioritas MAMPU pada tahun 2017, yaitu program peningkatan dan perluasan implementasi Sistem Peradilan Pidana Terpadu dalam Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP). Program tersebut akan mendorong lahirnya kesepakatan di tingkat provinsi antara pemerintah daerah dan lembaga-lembaga penegak hukum dengan SPPT-PKKTP.

Turut memeringati kampanye 16 Hari Antikekerasan terhadap Perempuan (16 HAKtP), Nota Kesepahaman tentang akses keadilan bagi perempuan dan anak dalam sistem peradilan pidana terpadu di Provinsi Maluku telah ditandatangani pada 11 Desember 2017. Penandatanganan dilakukan oleh Gubernur Maluku Said Assagaf, Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Maluku Deden Juhara, Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku Manumpak Pane, Ketua Pengadilan Tinggi Ambon Respatun Wisnu Wardoyo, Ketua Pengadilan Tinggi Agama Ambon Nurdin Juddah, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Maluku Priyadi, Rektor Universitas Pattimura M. J. Saptenno, dan Kepala Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Perwakilan Maluku Benediktus Sarkol.