Semangat Berbagi Seorang Penyintas

Pertama bergabung dalam kelompok Balai Sakinah ‘Aisyiyah (BSA) Griya Citra Mas pada 2014, Nurhaeda mendapati sebagian besar anggotanya masih segan mendiskusikan kesehatan reproduksi (kespro) secara terbuka. Sebagai koordinator, Nurhaeda menjawab tantangan ini dengan memfasilitasi penyuluhan seputar kespro dalam pertemuan rutin kelompok. Pengalamannya sebagai seorang penyintas kanker payudara turut membekalinya untuk menyebarluaskan pesan tentang pentingnya deteksi dini kanker payudara dan serviks.

“Saya semangat menyebar pentingnya tes IVA (Inspeksi Visual dengan Asam Asetat), supaya ikut mengurangi kematian ibu,” ungkap perempuan asal Desa Biraeng, Kecamatan Minasate’ne, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan, ini.

Selain dalam hal pendampingan kesehatan, perempuan yang biasa dipanggil Eda ini aktif mendorong kegiatan ekonomi bagi perempuan di kampungnya. Pada September 2015 lalu, ia resmi diangkat sebagai Anggota Majelis Ekonomi Pimpinan Daerah ‘Aisyiyah Kabupaten Pangkep.

Semangat Nurhaeda terpupuk lewat sejumlah kegiatan pelatihan BSA yang difasilitasi ‘Aisyiyah, mitra MAMPU untuk tema peningkatan kesehatan dan gizi perempuan. Dari sanalah Nurhaeda memperoleh banyak ilmu baru mengenai kespro, termasuk metode deteksi dini SADARI (periksa payudara sendiri) dan gejala-gejala penyakit menular seksual hingga kanker.

Ia meyakini betul, pengetahuan adalah salah satu bekal penting bagi perempuan untuk menaklukkan berbagai tantangan dalam hidupnya. Di usianya yang sudah masuk kepala lima, Nurhaeda tak berhenti belajar, dan tak hanya untuk mencerdaskan dirinya sendiri.

“Kami ini kebanyakan hanya tamatan SD atau SMP. Jadi, harus ikut banyak pelatihan supaya dapat menambah ilmu untuk anak-anak kami ke depannya,” kata ibu tiga anak ini.

Nurhaeda mengakui, ajakan melakukan deteksi dini kanker seperti tes IVA maupun pap smear bagi perempuan tak selalu ditanggapi positif. Tes IVA yang pertama kali diadakan oleh BSA Griya Citra Mas hanya diikuti oleh tiga dari 20 anggota, termasuk dirinya. Menyadari bahwa mereka mungkin malu membicarakan masalah kespro di depan orang banyak, ia pun mencoba berbagai cara.

“Kalau ada kesempatan, saya main ke rumah mereka. Saya katakan, ‘Jangan malu, karena ini untuk kesehatan Ibu’,” tandasnya.

Kegigihan Nurhaeda membuahkan hasil. Saat ‘Aisyiyah Pangkep melaksanakan tes IVA, pap smear,  dan sadanis (periksa payudara klinis) massal gratis dalam rangka Hari Kanker Payudara Sedunia pada Oktober 2017, tak hanya hampir seluruh anggota BSA Griya Citra Mas yang ikut serta. “Dari luar anggota BSA juga ada yang ikut,” beber Nurhaeda bangga.

 

Deteksi Dini yang Mengubah Hidup

Sebagai penyintas kanker payudara, Nurhaeda gigih memberikan penyadaran pentingnya deteksi dini kanker. Ia telah dua kali menjalani operasi karena ditemukan benjolan di payudara kanannya, masing-masing tahun 2012 dan 2015. Pengalaman tersebut kerap digunakan Nurhaeda dalam menguatkan perempuan di sekitarnya untuk melakukan deteksi dini, yang tak jarang kemudian mengubah hidup mereka.

Setelah menjalani pemeriksaan deteksi dini gratis, dua anggota BSA Griya Citra Mas dapat segera memperoleh penanganan lanjutan. Untuk anggota yang terdeteksi kanker, Nurhaedah dan seluruh kader BSA di Kelurahan Biraeng bahu-membahu menggalang donasi yang dinamakan Gerakan IVA Sayang Ibu, yang kemudian digunakan untuk membiayai operasinya.

Konsistensi Nurhaeda mengampanyekan deteksi dini kanker lewat BSA berbuah banyak pengalaman mengesankan baginya. Lewat tes IVA, seorang perempuan yang didampingi Nurhaeda akhirnya mendapati bahwa ia menjadi korban malpraktek bidan yang menangani proses kelahiran anaknya. Akibat kesalahan jahitan pascamelahirkan, ia sering mengalami nyeri saat berhubungan suami-istri. Dengan ditemukannya pangkal permasalahan, kerenggangan hubungannya dengan suami pun dapat ditanggulangi.

Demikian pula saat Nurhaeda mendorong sesama anggota BSA untuk memeriksakan diri ketika merasakan nyeri payudara, dan meyakinkan mereka agar tak takut dioperasi apabila memang harus. Berkaca pada pengalaman pribadinya, Nurhaeda meyakini bahwa mencegah lebih baik daripada mengobati, namun ketika dibutuhkan, pengobatan medis tetap perlu ditempuh.

“Saya tidak ingin ada yang terlambat dalam melakukan pemeriksaan dini untuk penyakit kanker payudara ataupun kanker serviks. Saya tidak ingin perempuan lain mengalami hal yang sama seperti saya,” pungkasnya, mantap.

Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP)

Yayasan Kesehatan Perempuan

Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) didirikan pada 2001, dan berfokus pada pemenuhan hak-hak kesehatan reproduksi perempuan melalui penelitian dan advokasi berbasis-bukti. Dengan dukungan MAMPU, mereka membentuk jaringan yang terdiri dari dari 15 organisasi advokasi kesehatan untuk melakukan penelitian tentang akses dan kualitas layanan dalam skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

 

Program dan Capaian sebagai Mitra MAMPU:

  • Pada April 2018, bersama delegasi dari 17 organisasi masyarakat sipil (OMS) lainnya, YKP diwakili oleh Zumrotin K. Susilo memimpin dialog bersama Presiden RI Joko Widodo, untuk mengadvokasi Peraturan Presiden Pengganti UU (Perppu) tentang pencegahan perkawinan anak.
  • Melakukan studi longitudinal pada tahun 2015 hingga 2017 di 15 kabupaten. Data terkumpul dari 8.500 perempuan penerima manfaat, dan lebih dari 2.000 staf medis dan administratif.
  • Temuan studi telah dipaparkan dalam lokakarya nasional di hadapan media, BAPPENAS dan Kementerian Kesehatan.
  • YKP menggunakan hasil studinya untuk merumuskan proposal guna memperbaiki sasaran dan cakupan JKN, meningkatkan pengelolaan, kualitas dan inklusi layanan kesehatan reproduksi untuk perempuan.
  • Advokasi kebijakan secara langsung kepada Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat BAPPENAS, serta Direktorat Kesehatan Keluarga dan Pembiayaan Kesehatan dari Kementerian Kesehatan.
  • Berdasarkan temuan studi tentang JKN, pada 2018, YKP mendirikan Pusat Pengaduan BPJS-Kesehatan di 15 kabupaten lokasi studi.
  • Di tahun 2019, studi longitudinal JKN tersebut akan diperdalam dengan studi kualitatif.
  • Submitra YKP, Yayasan Perkumpulan Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR) di Kupang, NTT, melibatkan Persatuan Tunanetra Indonesia (PERTUNI) sebagai bagian dari konsultasi lokal Mitra MAMPU tentang Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

‘Aisyiyah

‘Aisyiyah

‘Aisyiyah didirikan pada 1917 sebagai organisasi perempuan di bawah Muhammadiyah, salah satu dari dua organisasi Islam terbesar di Indonesia. Sebagai organisasi perempuan yang otonom, ‘Aisyiyah berkontribusi pada pemberdayaan perempuan dengan memperkuat partisipasi perempuan di seluruh aspek sosial dan ekonomi.

Didukung oleh Program MAMPU, ‘Aisyisyah bekerja di 6 provinsi, 15 kabupaten dan 100 desa/kelurahan.

Program organisasi sebagai mitra MAMPU:

‘Aisyiyah melakukan advokasi untuk mengarahkan alokasi anggaran pemerintah untuk meningkatkan kualitas dan akses layanan kesehatan bagi perempuan. Hal ini mencakup:

  • Meningkatkan Standar Pelayanan Minimum (SPM) di tingkat nasional, bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan
  • Membentuk Balai Sakinah ‘Aisyiyah (BSA), kelompok perempuan di tingkat lokal, untuk mengembangkan pengetahuan dan kemampuan memimpin perempuan untuk menjangkau dan mengadvokasi masyarakat
  • Mengembangkan inisiatif Model Layanan dan Model Umpan Balik untuk meningkatkan kesadaran, akses dan kualitas layanan kesehatan reproduksi dan nutrisi termasuk tes Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA), skrining kanker payudara, konseling menyusui, layanan remaja, dan asuhan paliatif.
  • Mengembangkan Model Rumah Gizi untuk memberikan pendidikan dan layanan tentang gizi dan pemberian ASI eksklusif.

 

Capaian dalam program MAMPU:

  • Mendirikan 451 kelompok perempuan Balai Sakinah ‘Aisyiyah (BSA) beranggotakan lebih dari 8.000 perempuan, di mana 1.160 di antaranya terlatih sebagai kader.
  • Lebih dari 230 kader perempuan terlibat Musrenbangdes di 48 desa di 11 kelurahan
  • Lebih dari 12.000 perempuan telah mengakses layanan tes IVA dan pap smear; dan lebih dari 6.000 perempuan telah menjalani pemeriksaan kanker payudara klinis (sadanis).
  • 100 usulan advokasi anggaran untuk kesehatan reproduksi dalam APBDes.
  • Model Layanan ‘Aisyiyah telah diimplementasikan melalui puskesmas di 7 kecamatan.
  • Model Umpan Balik ‘Aisyiyah untuk mengumpulkan masukan dan umpan balik masyarakat tentang kualitas layanan kesehatan telah diimplementasikan di 7 puskesmas di 2 kota/kabupaten.
  • Mendampingi sekitar 750 warga miskin menjadi peserta JKN PBI (APBD) di Ngawi, Jawa Timur.
  • Inisiasi Kartu Menuju Sehat (KMS) untuk “Perempuan Sadar Kanker” guna meningkatkan akses terhadap layanan kesehatan dan kesadaran masyarakat terhadap kanker serviks dan kanker payudara.
  • Kabupaten Demak, Jawa Tengah telah mengadopsi pendekatan Model Layanan dan mengalokasikan anggaran untuk pelatihan layanan IVA bagi tenaga kesehatan.
  • Mendirikan 38 Rumah Gizi di 38 desa yang tersebar di 15 kabupaten/kota.
  • Buku saku pendidikan seksual dan reproduksi, keluarga berencana dan gizi telah diproduksi dan disebarkan kepada pemuka agama sebagai panduan memberikan dampingan dalam pertemuan dan forum masyarakat.

Meningkatkan Status Kesehatan dan Gizi Perempuan

Mengapa isu ini penting

Perempuan Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan dalam mengakses pelayanan kesehatan. Tingkat kematian ibu masih tinggi di angka 305 kematian per 100.000 kelahiran hidup (SUPAS 2015). Kesulitan tersebut mencakup tingginya biaya perawatan, jarak ke fasilitas kesehatan, hingga norma sosial dan budaya yang menghambat pilihan dan kemampuan perempuan untuk mengakses layanan kesehatan.

Indonesia juga menghadapi tingginya angka stunting (kerdil) atau pertumbuhan anak yang terhambat. Sekitar 30% anak Indonesia menderita stunting (RISKESDAS 2018). Beberapa faktor penyebabnya antara lain gizi buruk, kondisi hidup yang buruk, infeksi yang sering terjadi, juga kurangnya sanitasi dan air bersih. Siklus malnutrisi berulang pada ibu muda yang miskin yang mengalami gizi buruk sebelum dan saat hamil, yang meningkatkan komplikasi selama kehamilan dan persalinan, melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah, yang tumbuh menjadi anak yang mengalami stunting.

Pendekatan kami

Pemerintah Indonesia sedang meningkatkan upaya mewujudkan target pembangunan nasional (RPJMN 2015-2019) yang sejalan dengan tujuan ke-2 (kelaparan) dan ke-3 (kesehatan) dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB), lewat layanan kesehatan dan program nutrisi nasional. Namun, masih ada tantangan dalam mengakses layanan kesehatan berkualitas, khususnya bagi perempuan dan perempuan muda yang miskin.

MAMPU mendukung ‘Aisyiyah, PERMAMPU dan Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) untuk meningkatkan akses perempuan terhadap pelayanan kesehatan nasional (JKN) dengan memberdayakan perempuan dan mengembangkan model layanan untuk meningkatkan akses.

Mitra MAMPU memberdayakan perempuan di akar rumput lewat advokasi berbasis-riset, membentuk kelompok perempuan yang menyediakan informasi, mendukung usaha kecil, dan mendirikan credit union atau layanan simpan pinjam, serta mengembangkan forum multipihak untuk melakukan advokasi untuk meningkatkan anggaran pemerintah bagi layanan kesehatan reproduksi.

 

Capaian Area Tematik ini:

Berbekal Pengetahuan, Kader ‘Aisyiyah Melawan Mitos Tanak Lada di Kalimantan Barat

Informasi dapat mengubah perilaku manusia. Hal ini terbukti ketika program dari MAMPU ‘Aisyiyah datang. MAMPU ‘Aisyiyah hadir dengan segudang informasi dan memberikan dampak yang positif bagi kehidupan Ibu‐Ibu di Desa Lumbang, Sambas, Kalimantan Barat, salah satunya adalah Marlina (28 tahun).

Marlina yang merupakan ibu rumah tangga, adalah salah satu dari kader BSA Desa Lumbang yang merasakan dampak positif dari kegiatan MAMPU ‘Aisyiyah. Perempuan yang biasa dipanggil Ana ini, memiliki 2 orang anak yang masih duduk di bangku SD.

Mulanya, Ana tidak pernah bergabung dengan sebuah komunitas dikarenakan tidak ada izin dari sang suami. Namun, kini ia sudah bisa merasakan duduk berdampingan dengan para ibu lainnya, serta berbagi informasi tentang berbagai hal yang bermanfaat. Sejak bulan Maret 2016, Ana mulai bergabung dengan MAMPU ‘Aisyiyah melalui binaan tim kader Desa di Desa Lumbang.

Sebagai kader di komunitas BSA, Ana selalu menyempatkan waktu disela‐sela kesibukannya sebagai ibu rumah tangga untuk mengikuti kegiatan dari program MAMPU ‘Aisyiyah. Program yang berjalan merupakan wadah bagi perempuan usia subur (PUS), khususnya dhuafa Mustadhafin, untuk bersilaturahmi, berbagai informasi tentang kesehatan reproduksi.

Beberapa informasi kesehatan reproduksi diantaranya adalah sosialisasi masalah ASI, Inisiasi Menyusui Dini (IMD), Keluarga Berencana (KB), dan pemeriksaan IVA, Pap Smear, Sadari serta Sadarnis. Tidak hanya sampai di situ, program MAMPU ‘Aisyiyah juga mengangkat isu pemberdayaan ekonomi melalui berkebun sayuran, dan pembinaan keterampilan (life skill) serta pendidikan.

Tak ketinggalan, pendidikan keagamaan juga dilaksanakan di BSA Desa Lumbang, khususnya di komunitas Ibu Ana, yang mengadakan pembinaan belajar baca Al‐Quran. Adapun tujuan dari program ini adalah peningkatan kualitas kesehatan reproduksi, menciptakan komunitas Ta’awun (tolong menolong) dan mewujudkan ekonomi produktif, serta meningkatkan iman dan takwa.

“Semula suami saya tidak memberi izin saya ikut kegiatan ini. Akan tetapi sikapnya mulai berubah setelah melihat dampak positif kegiatan ini bagi saya”, ujar Ana.

Bahkan disampaikan oleh Ana, suaminya sebelumnya sering bersikap agak kasar. Namun, dengan pelan‐pelan Ana memberikan penjelasan terhadap suaminya tentang pengetahuan yang didapatnya dari komunitas tentang kesetaraan gender. Akhirnya suami Ana mulai menyadari dan mendukung Ana, bahkan suaminya kini siap mengantar jika ada kegiatan yang jaraknya jauh dari rumah mereka. Atas dukungan dari sang suami, maka Ana semakin semangat dalam mengikut kegiatan di komunitasnya.

Dampak lain yang dirasakan oleh Ana dari program ini adalah bertambahnya wawasan dan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi. Ana yang dulunya percaya dengan mitos‐mitos yang berkembang pada masyarakat setempat mengenai ASI dan IMD, kini bisa menjelaskan kepada keluarga dan tetangga terdekat tentang pentingnya ASI dan IMD, serta pentingnya asupan gizi bagi Ibu menyusui.

Dengan pengetahuan yang diperolehnya, Ana mematahkan mitos tanak lada yang dipercaya masyarakat. Tanak Lada artinya sambal dengan bahan lada. Tanak Lada berkembang di masyarakat sebagai makanan yang hanya diperbolehkan diberikan kepada ibu setelah melahirkan. Namun kemudian, Ana berbagi informasi dan juga fakta kepada masyarakat tentang pentingnya kesehatan bagi ibu menyusui. Ia berusaha meyakinkan masyarakat agar tidak mempercayai mitos tersebut.

Harapan Ana pada program ini tidak akan berhenti sampai di sini saja. Ana berharap program bisa berlanjut dengan program-program lain yang lebih mendidik, menambahkan wawasan dan pengetahuan, serta memberikan manfaat bagi masyarakat luas.

Ditulis oleh: Rosaleni diambil dari Most Significant Changes Stories

Klinik ‘Lima Ribuan’ Siti Khadijah Beri Layanan Imunisasi, Papsmear dan tes IVA di Bantaeng, Sulawesi Selatan

KLINIK Siti Khadijah binaan ‘Aisyiyah di Kelurahan Bontorita, Bantaeng – Sulawesi Selatan, hanya baru-baru ini saja ramai dikunjungi warga masyarakat yang hendak berobat.

“Sebelumnya sepi, bahkan sempat vakum. Dulu di sini tidak ada dokternya, dan tenaga kesehatan kurang. Jadi pasien pun hanya 1-2 orang saja begitu. Waktu sudah ada dokter, mulai banyak yang datang ke sini. Dokter jadi pemikat!” ujar Bidan Rahmi sambil melirik Dokter Yuli yang duduk tak jauh darinya.

Dokter Yuli memang belum lama bergabung sebagai dokter di Klinik Siti Khadijah. Ia baru saja pindah dari Palu karena mengikuti suaminya yang asli Bantaeng.

“Paling banyak memang pasien anak balita. Banyak juga masalah kolesterol tinggi di sini. Lalu ada juga pemeriksaan kandungan, Pap Smear, dan tes IVA,” ujar Dokter Yuli.

Bersama para bidan di klinik, Dokter Yuli pun membuat jadwal untuk mengunjungi desa-desa di sekitar klinik mereka secara rutin.

“Baru bulan lalu kami mulai keliling untuk sosialisasikan tentang kanker serviks, juga pentingnya melakukan tes IVA dan Pap Smear. Dalam satu minggu, bisa 3 desa yang kami datangi untuk penyuluhan dan pemeriksaan di tempat,” ujar Dokter Yuli .

Selama melakukan penyuluhan, Dokter Yuli dan para bidan klinik biasa membawa LCD untuk menunjukkan slide PowerPoint yang mengilustrasikan bahaya kanker serviks.

“Biasanya sih mereka mau langsung periksa saat itu juga, karena kita menyebutkan dampak negatif dari kanker itu, jadi ramai-ramai mereka mau memeriksakan diri,”Bidan Uni menambahkan. “Paling tantangannya kalau kita ke desa dan mereka sedang musim tanam. Paling yang muncul cuma 5 orang karena semua ke kebun.”

Dari pemeriksaan langsung di desa-desa sekitar Bontorita itulah, Dokter Yuli dan bidan klinik mendapatkan beberapa warga dengan hasil tes IVA positif. Mereka kemudian dianjurkan untuk datang ke klinik dan melakukan Pap Smear.

“Di sini, kalau untuk pasien yang pertama kali datang, tarifnya 10ribu rupiah,” ujar Bidan Rahmi. “Nanti mereka diberikan kartu berobat. Untuk datang selanjutnya, mereka hanya bayar 5ribu rupiah. Jadi cukup murah, memang. Itu pun harga sudah termasuk obat.”

Obat-obatan, sayangnya, masih menjadi masalah sehari-hari bagi klinik kecil ini. “Ya, dukanya kalau obatnya habis,” ujar Dokter Yuli. “Sekarang pun ini baru mau ke Puskesmas lagi ambil obat. Untuk obat kan kita dapat bantuan dari Dinas Kesehatan, jadi kita ambil obat di sana. Kadang obatnya terlambat datang, kadang kita dikasih jumlah terbatas—dijatah. Tidak semua yang kami minta diberikan.”

Lantas apa yang mereka lakukan jika obat habis sementara ada pasien yang membutuhkan? Salah satu pemecahannya adalah dengan membeli obat sendiri di apotek.

“Ya, kalau beli sendiri kan tarifnya berbeda, jauh lebih mahal. Ini pun kalau diberitahukan ke pasien, mereka menolak bayar lebih, karena mereka tahunya ini kan klinik 5ribuan. Ada juga sih yang kemudian mau menambah bayar obatnya, tapi lebih banyak yang menolak. Jadi, ya, biasanya kami nombok,” Dokter Yuli tertawa.

Untuk para bidan klinik, masalah kurangnya jatah vaksin untuk imunisasi juga masih menjadi kendala.

“Kita biasanya dikasih 1 botol saja untuk imunisasi,” ujar Bidan Rahmi. “Itu hanya cukup untuk imunisasi 6 orang. Pasien anak banyak, tapi kita jadi tidak bisa kasih imunisasi di sini. Sebenarnya pernah kita mau dikasih imunisasi TT, tapi kita nggak punya kulkas. Untuk imunisasi itu kita harus punya kulkas sendiri, naruhnya nggak boleh campur dengan kulkas makanan. Tapi, ya, itu, kulkasnya kami tidak punya.”

Ada 5 orang bidan perempuan, 1 orang dokter, dan 3 orang perawat laki-laki yang kini bekerja di Klinik Siti Khadijah binaan Aisyiyah.

“Tapi klinik kita juga belum 24 jam, kalau ada pasien melahirkan, biasanya nggak bisa ditangani di sini, karena rata-rata ibu hamil kan mules-mules tengah malam, dan di sini tidak buka,” kata Bidan Yuyun. “Banyak juga yang masih bersalin dengan dukun.”

“Di dinas ada juga pelatihan untuk dukun, namanya dukun terlatih,” Bidan Rahmi menjelaskan. “Cuma sekarang pun masih nggak boleh kalau dukun yang bantu melahirkan sebenarnya. Kalau urut masih bisa, tapi nggak boleh untuk melahirkan. Kalau ketahuan mereka bisa dihukum. Dukun bisa mendampingi, tapi harus ada bidannya.”

Bidan Rahmi sendiri belajar menjadi bidan karena melihat sepupunya yang bekerja sebagai perawat. “Saya suka melihat dia pakai baju putih-putih,” ujarnya sambil tersenyum. (***)

Bidan Murni Berkeliling Desa Serukan Deteksi Dini Kanker Serviks

Ada sekitar dua puluh perempuan Desa Bonto Maccini di Kecamatan Sinoa, Bantaeng, Sulawesi Selatan yang berkumpul di teras Posyandu siang itu. Kebanyakan berusia 20 – 30an, namun ada juga beberapa orang yang sudah berusia lanjut, atau justru masih remaja. Mereka serius menonton sebuah video mengenai bahaya kanker serviks: gejala-gejalanya, gaya hidup yang berpotensi memicunya, dan pentingnya melakukan deteksi dini terhadap kanker ini lewat tes IVA dan Pap smear. Sesekali, seorang perempuan paruh baya menekan tombol pause dan menjelaskan isi video yang baru saja mereka tonton dalam Bahasa Makassar. Perempuan itu adalah Bidan Murni.

“Kalau di desa kan beda dengan di kota, di sini lebih banyak tantangannya, terutama dari tingkat pemahaman dan pendidikan masyarakatnya. Kalau sedang dijelaskan, kadang saya tidak tahu mereka mengerti apa tidak. Kalau mengerti diam, kalau tidak mengerti juga diam. Jadi biasanya saya tes, saya tanya dan suruh ulang jawabannya, supaya saya tahu mereka sudah paham atau belum. Jadi ya, harus sabar pendekatannya,” terang Bidan Murni.

“Ada juga yang tidak terlalu paham jika dijelaskan dalam Bahasa Indonesia, jadi biasanya saya selingi juga dengan Bahasa Makassar”, tambahnya.

Di usianya yang sudah mendekati akhir empat puluhan, Bidan Murni masih bersemangat berkeliling dari satu desa ke desa lain untuk memberikan penyuluhan mengenai pentingnya melakukan deteksi dini kanker serviks—terutama bagi para perempuan usia subur. Siang itu, ia sedang menjenguk Posyandu di Desa Bonto Maccine. Ia sendiri sebenarnya bertugas sebagai bidan Poskesdes di Desa Bonto Tiro.

“Dulu kan untuk bisa tes IVA harus ke Makassar dulu, saya juga pernah melakukan tes ini di Makassar. Setelah sekian tahun berjalan, barulah ini diperkenalkan ke desa-desa. Pas, ada kegiatan program MAMPU-‘Aisyiyah untuk melatih bidan-bidan bagaimana cara melakukan tes IVA. Setelah itu kita bisa lakukan sosialisasi dan melakukan tes terhadap ibu-ibu yang ada di desa”, kata Bidan Murni.

Bersama bidan-bidan lain dari berbagai Puskesmas di beberapa desa di Kabupaten Bantaeng, Bidan Murni memang telah mendapatkan pelatihan mengenai cara-cara melakukan tes IVA. Pelatihan dilakukan selama 2 hari penuh.

“Ya, sosialisasi itu di awal-awal banyak tantangannya, karena orang belum tahu apa itu kanker serviks. Ada juga suami-suami yang melarang istrinya ikut tes IVA, karena mereka bilang kamu kan tidak sakit, kenapa harus ikut tes? Saya harus jelaskan bahwa justru tes ini untuk tahu, kamu sakit atau tidak. Karena gejala kanker serviks baru terasa benar ketika dia sudah masuk stadium 2,” Bidan Murni menjelaskan. “Kalau sudah diketahui sejak dini kan lebih bisa cepat diobati.”

Gejala kanker serviks biasanya melibatkan pendarahan di luar haid, nyeri saat berhubungan badan, nyeri panggul, atau pendarahan saat usai melakukan hubungan seks.

“Keputihan yang banyak juga bisa jadi gejala,” kata Bidan Murni. “Nah, seperti keputihan itu kan biasanya kalau orang keputihan malah keputihannya saja yang diobati. Padahal bisa jadi ini gejala.”

Mengetahui bahaya kanker serviks dan pentingnya melakukan deteksi dini ternyata tak lantas membuat perempuan-perempuan desa berbondong-bondong mengikuti tes IVA—walaupun di beberapa desa sasaran, biaya tes ini sepenuhnya gratis.

“Ya, mereka pikir tes IVA itu sakit. Karena dengar ada alat yang dimasukkan ke dalam kelamin. Lalu, karena mereka juga harus buka-bukaan memperlihatkan alat kelamin, mereka malu,” ujar Bidan Murni.

“Ini sama saja ketika misalnya mereka mau pasang KB. Maunya hanya suntik terus. Padahal mereka paham alat KB itu bisa dites, mana yang cocok dengan kita. Kalau tidak cocok kan kita bisa sakit kepala, ada nyeri haid, dan keluhan lainnya. Tapi mereka tidak mau pasang spiral atau IUD salah satunya karena untuk itu kan harus buka-bukaan juga, mereka malu.”

Sejauh ini, sudah ada sekitar 40 orang perempuan usia subur yang mengikuti tes IVA di daerah sasaran Bidan Murni.

“Kalau target dari program itu kan 90 orang,” ujarnya.

Jadi ini sudah hampir 50%-nya.”

Agar lebih banyak lagi perempuan melakukan deteksi dini kanker serviks lewat tes IVA, Bidan Murni pun mendorong perempuan-perempuan yang telah melakukan tes untuk bercerita tentang pengalaman mereka dengan kawan-kawannya.

“Nanti kan yang sudah pernah tes akan cerita, oh ternyata tidak sakit, dan tidak apa-apa buka alat kelamin karena kan yang lihat bidan saja. Jadi dari situ mereka sudah mulai mau tes, walaupun terkadang masih malu kalau datang sendiri, jadi harus berdua-dua, maunya ditemani oleh kawannya.”

Syamsiah, Tokoh Masyarakat dari ‘Aisyiyah, Dimuat di Kertas Putih Kebijakan Luar Negeri Australia

Sebagai perempuan asal Desa Kaili di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, yang dahulu pemalu, Syamsiah telah berkembang pesat. Kini, ia dikenal luas di lingkungannya sebagai kader ‘Aisyiyah yang aktif mengampanyekan isu-isu kesehatan perempuan. Cerita Syamsiah turut menjadi bagian dari Kertas Putih Kebijakan Luar Negeri 2017, yang diluncurkan 23 November lalu.

“Saya sudah lama ingin mendedikasikan hidup saya untuk melayani masyarakat,” kenang Syamsiah, sebagaimana dikutip dalam Kertas Putih. “Kemudian Program MAMPU dimulai. Lewat MAMPU, saya punya kesempatan untuk melakukan ini,” tambah Syamsiah, yang pernah mengikuti pelatihan kepemimpinan yang didukung oleh MAMPU.

Pada mulanya, Syamsiah kerap harus menghadapi penolakaan saat datang dari pintu ke pintu untuk meningkatkan kesadaran seputar isu-isu kesehatan reproduksi, termasuk deteksi dini kanker. Sekarang, ia tak hanya telah beroleh dukungan sang suami untuk berkegiatan di masyarakat. Syamsiah juga pernah berpartisipasi dalam musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) di tingkat desa dan kabupaten, untuk mewakili warga miskin dari desanya.

Diiringi rasa percaya diri dan semangat kepemimpinan yang terus berkembang, Syamsiah terus melangkah maju. Dalam wawancaranya dengan MAMPU tahun lalu, ia mengungkapkan bahwa banyak perempuan usia subur (PUS) yang kini tertarik untuk menjadi anggota Balai Sakinah ‘Aisyiyah. Mereka pun dengan senang hati berbagi pengetahuan baru ke lingkungan sekitar, termasuk para ayah yang bangga karena anaknya menikah dini.

“Mereka bisa berkata, ‘Di kampung saya tidak begitu, karena sudah ada sosialisasi. Kalau menikah dini, nanti bisa merusak organ tubuh anak kami,” ulang Syamsiah.

Pengalaman Syamsiah dalam mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan menjadi wujud semangat untuk meningkatkan status kesehatan dan gizi perempuan, salah satu area tematik MAMPU. Dalam Kertas Putih Kebijakan Luar Negeri 2017, Syamsiah tampil di antara mereka yang bermitra dengan program pendampingan pembangunan Australia untuk membantu masyarakat menjadi lebih sejahtera dan tentram.

Kertas Putih 2017 merupakan dokumen internasional yang komprehensif tentang kebijakan luar negeri Australia dalam 14 tahun terakhir. Pemberdayaan perempuan merupakan salah satu prioritas utamanya. Salah satu inisiatif pemberdayaan perempuan yang dilakukan adalah program pembangunan yang bekerja dengan mitra untuk mendorong kepemimpinan perempuan di masyarakat dan parlemen.

Baca cerita Syamsiah dalam Kertas Putih Kebijakan Luar Negeri 2017 selengkapnya (dalam Bahasa Inggris) di sini.

PERMAMPU Rayakan Puncak Hari Kesehatan Seksual di Jambi

Tanggal 27-28 September lalu, Konsorsium PERMAMPU didukung oleh program MAMPU rayakan Hari Kesehatan Seksual 2017 di Jambi. Mengambil tema “Keluarga: Landasan Kesehatan Tubuh Perempuan & Negara”, perayaan ini adalah puncak dari perayaan Hari Kesehatan Seksual yang telah dilakukan sepanjang bulan September di 8 propinsi wilayah kerja konsorsium, yaitu Aceh, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan dan Lampung. PERMAMPU menekankan bahwa setiap orang termasuk anak melalui keluarga, berhak atas akses terhadap informasi yang akurat, relevan dan berbasis pengetahuan terkait kesehatan seksual dan reproduksi. PERMAMPU menggunakan kesempatan ini untuk juga menerima masukan dari para peserta untuk penyusunan Buku Pegangan untuk Orang Tua Mengenai Kesehatan Tubuh dan Reproduksi Anak.

Di tahun 2014, PERMAMPU melakukan sebuah penelitian terkait kesehatan seksual dan reproduksi perempuan. Temuan memperlihatkan minimnya pemahaman dan kesadaran perempuan mengenai seksualitas, serta otonomi perempuan terhadap tubuhnya. Salah satu sebabnya adalah tidak adanya pendidikan mengenai tubuh atau seksualitas di dalam keluarga, serta pendidikan di sekolah tidak menjawab permasalahan tersebut. Hal ini berimplikasi terjadinya hal-hal negatif bagi perempuan antara lain kekerasan dalam masa pacaran, incest, hubungan seks di luar pernikahan, pernikahan anak usia dini, Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD), tingginya Angka Kematian Ibu (AKI), tingginya angka penyakit menular seksual, pelecehan seksual.

Oleh karena itu, Konsorsium PERMAMPU melihat pentingnya peran keluarga terhadap kebutuhan anak dalam memberikan pendidikan kepada anak mengenai pengetahuan kesehatan seksual dan organ reproduksi guna mencegah hal-hal negatif terjadi terutama pada anak perempuan. Dihadiri lebih dari 65 peserta perwakilan dari 8 provinsi, wilayah dimana anggota konsorsium PERMAMPU bekerja; yaitu Aceh (Flower Aceh), Sumatera Utara (PESADA), Riau (PPSW Riau), Sumatera Barat (LP2M), Jambi (APM), Bengkulu (WCC Cahaya Perempuan), Sumatera Selatan (WCC Palembang) dan Lampung (DAMAR Lampung). Perwakilan ini terdiri atas Forum Komunitas Perempuan Akar Rumput (FKPAR), Forum Multi Stakeholder (FMS) yang terdiri dari beragam pemangku kepentingan; perempuan akar rumput, pemerintah, tokoh agama dan tokoh adat serta perempuan muda yang aktif dalam mendukung perjuangan isu kesehatan seksual dan reproduksi.

Acara dibuka oleh Asisten II Gubernur Provinsi Jambi Bapak Ir. Agus Sunaryo M.Si dengan pesan inti bahwa pemerintah provinsi Jambi sangat mendukung upaya untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang kesehatan kesehatan seksual dan reproduksi anak melalui keluarga sebagai salah satu usaha baik untuk menekan angka kematian ibu dan penyebaran penyakit menular seksual. Selain itu, ini sejalan dengan peran pemerintah Jambi yaitu 3M yaitu Melayani, Menggerakan dan Memberdayakan masyarakat.

Selain beliau, turut hadir sebagai narasumber yaitu Ibu Rika Oktavia – Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan (Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk / DP3AP2) provinsi Jambi. Ibu Rika memaparkan isu-isu perempuan yang ada di kota Jambi, seperti kekerasan, akses ke pendidikan, tingkat ekonomi dan usaha-usaha DP3AP2 memberikan solusi untuk isu-isu tersebut. Program prioritas DP3AP2 adalah 3 Ends; akhiri kekerasan terhadap perempuan & anak, akhiri perdagangan manusia dan akhiri kesenjangan ekonomi perempuan.

Sesi dilanjutkan oleh Ibu Christina yang berbagi tentang programKementerian Kesehatan yang menerapkan buku Raport Kesehatan Reproduksi yang kerjasama empat Kementerian untuk siswa/i kelas 1 Sekolah Dasar (SD) sampai dengan 3 Sekolah Menengah Atas (SMA)

Buku Raport Kesehatan Reproduksi untuk usia SMP dan SMA menjelaskan tentang kesehatan reproduksi dan mencegah prilaku-prilaku beresiko termasuk juga kesehatan jiwa karena saat ini kemenkes menerima banyak keluhan dari anak-anak yang merasa kesepian dan tidak diperhatikan.” Ungkap Ibu Christina. Kedepannya, Kemenkes akan mengembangkan versi digital dari buku ini agar dikembangkan ke daerah-daerah lain.

Sesi dilanjutkan oleh Komisioner Komnas Perempuan, Budi Wahyuni. Beliau memaparkan kondisi pemenuhan hak kesehatan seksual dan reproduksi di Indonesia. Beliau menegaskan pentingnya menyampaikan informasi tentang kesehatan seksual dan reproduksi ke masyarakat tanpa batas umur.  Sesi awal dari hari pertama ditutup oleh jabaran tentang solusi-solusi lokal yang sudah dilakukan komunitas di Jambi terkait isu-isu perempuan di wilayah Jambi yang disampaikan oleh Amin Abdullah.

Selain dari narasumber-narasumber tersebut, Konsorsium PERMAMPU juga mendengarkan paparan dari perwakilan Forum Perempuan Muda mengenai pentingnya peran orang tua dalam pendidikan kesehatan seksual dan organ reproduksi agar menjadi bekal bagi orang tua saat menyampaikan informasi kepada anak – anaknya.

Ufiah, salah satu perwakilan dari Forum Perempuan Muda Flower Aceh sangat mendukung perumusan buku pegangan untuk orangtua. Menurutnya pengetahuan dasar dan informasi yang benar mengenai kesehatan seksual dan organ reproduksi seharusnya diberikan oleh keluarga kepada anaknya bahkan sebelum informasi tersebut didapatkan anak di bangku sekolah. Ufiah menceritakan pengalamannya sendiri yang beruntung karena mulai dikenalkan dengan organ reproduksi dan kesehatan seksual saat ia berumur 4 tahun.

“Saya sangat bersyukur karena saya mendapatkan dampingan yang baik dari orang tua saya terutama dari Mamak contohnya menghadapi menstruasi, Saya berharap semua orang tua dapat melakukan hal tersebut kepada anak-anaknya karena hal itu sangat penting sebagai pendidikan dasar tentang pengetahuan kesehatan organ reproduksi.” Ujar Fia.

Tetapi menurut Fia panggilan akrab Ufiah, masih banyak teman-temannya yang belum mendapatkan pendidikan dan juga informasi yang tepat mengenai ketubuhan. Oleh karena itu, dia mendukung pembuatan buku pegangan untuk kesehatan seksual bagi keluarga.

Sepanjang hari kedua, semua peserta bersama-sama memberikan masukan untuk buku pegangan orangtua untuk menjelaskan tentang kesehatan reproduksi kepada anak-anak mereka. Masukan-masukan berharga dari berbagai macam pihak telah diterima. Setelah acara selesai, PERMAMPU akan segera menyusun buku pegangan dan menggunakannya di komunitas dampingan PERMAMPU.

Diharapkan melalui buku ini, pendidikan tentang kesehatan seksual dan ketubuhan  ini bukan lagi menjadi hal yang tabu dengan menggunakan bahasa yang ARSI (Akurat, Relevan, Scientific-based/berbasis pengetahuan) untuk diajarkan kepada anak tetapi pendidikan ini sangat penting sebagai bekal bagi anak dalam mejaga dirinya dikemudian hari.

‘Aisyiyah Cianjur Kawal Isu Kesehatan Reproduksi di Rencana Kerja Pemerintah Desa

Berbagai risiko dalam kesehatan reproduksi (kespro) bagi perempuan, termasuk kanker payudara dan serviks, menjadikan upaya peningkatan kesadaran tentang hal ini sebagai salah satu fokus kerja ‘Aisyiyah di seluruh Indonesia. Langkah tersebut turut ditempuh Pimpinan Daerah ‘Aisyiyah (PDA) Cianjur melalui program Kemitraan Australia-Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan (MAMPU)-‘Aisyiyah, Rabu (6/9) lalu.

Pertemuan antara kader ‘Aisyiyah dengan pemangku kepentingan dari Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur, tersebut, menghasilkan beberapa usulan.

“Usulan yang diterima antara lain akan memasukkan kespro ke Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Desa 2018,” ungkap Titin Suastini dari PDA Cianjur. Titin melanjutkan bahwa kespro perlu hadir dalam kebijakan desa, agar dapat menjadi menjadi isu penting dan memberi dampak di masyarakat. Selama ini, Titin menilai, isu kespro masih dianggap sebagai isu minoritas.

Setelah menjadikan Kecamatan Ciwalen sebagai proyek percontohan untuk kebijakan desa terkait kespro, PDA Cianjur tengah melakukan pendekatan agar langkah ini bisa direplikasi di desa-desa lainnya.

“Alhamdulillah, dari sebelas desa lain, lima di antaranya ingin mengikuti jejak Ciwalen membentuk Perdes kespro,” papar Titin. Menindaklanjuti hal tersebut, tim MAMPU-‘Aisyiyah Cianjur merencanakan kunjungan ke desa-desa pada bulan September, untuk memperkenalkan kespro atas permintaan kepala desa selaku pengambil kebijakan.

Kanker payudara dan serviks termasuk penyebab kematian perempuan terbesar di Indonesia. Data World Health Organization (WHO) tahun 2014 mencatat, hampir 49 ribu perempuan didiagnosa mengalami kanker payudara, dan lebih dari 20 ribu perempuan mengalami kanker serviks. ‘Aisyiyah bermitra dengan Program MAMPU dalam mendorong peningkatan pelayanan dan akses kespro dengan pendekatan hak-hak perempuan bagi kelompok dhuafa mustadh’afin.

(Laporan oleh Suri Putri Utami)