Project Brief: MAMPU di Aceh

Program MAMPU bekerja di 27 provinsi, 147 kota/kabupaten, mencapai lebih dari 1.100 desa di Indonesia. Di Provinsi Aceh, MAMPU bermitra dengan 5 organisasi masyarakat sipil (OMS) di 52 desa di 8 kabupaten/kota.

Kenali lebih lanjut kerja-kerja Program MAMPU di Aceh lewat publikasi berikut.

Mitra MAMPU di Aceh Sambut Kunjungan Perwakilan Kedubes Australia

Mitra-mitra Program MAMPU (Kemitraan Australia-Indonesia untuk Pemberdayaan Perempuan dan Kesetaraan Gender) menyambut kunjungan Kirsten Bishop, Minister Counsellor Tatakelola dan Pembangunan Manusia Kedutaan Besar Australia, ke Kota Banda Aceh, Rabu (10/4).

Sambil bersantap siang, perwakilan para mitra memaparkan kerja-kerja mereka.

“Kami bekerja dalam pendampingan dan layanan bagi perempuan, termasuk bermitra dengan perempuan akar rumput dalam membantu kemajuan berbagai pergerakan perempuan di Aceh,” ujar Direktur Flower Aceh Riswati. Flower Aceh adalah salah satu organisasi masyarakat sipil (OMS) dalam Konsorsium PERMAMPU (Perempuan Sumatera MAMPU), mitra MAMPU untuk tema peningkatan status kesehatan dan gizi perempuan.

Dengan bekerja bersama OMS, MAMPU mendorong perempuan agar mereka dapat bersuara dan mempengaruhi kebijakan pemerintah.

“Berkat dukungan MAMPU, kami bekerja sama dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan mengadopsi program peningkatan kapasitas perempuan dengan membentuk komunitas di tiga desa di Kota Lhokseumawe, dua di Kabupaten Aceh Utara, dan dua di Kabupaten Bener Meriah,” ungkap Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Aceh Roslina Rasyid. LBH APIK Aceh adalah salah satu OMS dalam Forum Pengada Layanan (FPL), mitra MAMPU untuk tema pengurangan kekerasan terhadap perempuan.

Peningkatan kapasitas perempuan turut mempengaruhi kemampuan mereka mengakses layanan penting dari pemerintah, seperti Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan Program Keluarga Harapan (PKH).

“Kami berfokus pada pengembangan JKN khusus perempuan. Bersama MAMPU, kami mendorong agar perempuan mendapatkan hak-hak mereka lewat PKH,” jelas Ketua Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Wilayah Aceh Evani Clara Yanti. KPI adalah salah satu mitra MAMPU untuk tema peningkatan akses perlindungan sosial.

Sementara itu, meski tidak bermitra langsung, sejumlah OMS turut mendukung kerja-kerja MAMPU, misalnya Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) yang bekerja sama dengan Yayasan Kesehatan Perempuan.

“Sejak 2015, kami terlibat penelitian tentang layanan kesehatan yang terkait dengan Program MAMPU, baik di Provinsi Aceh maupun tingkat nasional,” tutur Agus Agandi, staf PKBI Aceh.

 

Dukung Perempuan Bersuara

Jelang pemilihan umum serentak 17 April mendatang, mitra-mitra MAMPU turut bekerja memberdayakan perempuan agar dapat menggunakan hak politiknya untuk memilih maupun dipilih.

“Kami melakukan pendampingan bagi perempuan terkait hak berpolitik mereka, dan mendukung perempuan caleg agar dapat memperbanyak perempuan di parlemen,” papar Erna Wati dari Flower Aceh.

Hal ini diamini Rasyidah, Sekretaris Forum Komunitas Perempuan Akar Rumput (FKPAR) Provinsi Aceh. Bersama Flower Aceh, FKPAR Provinsi Aceh bekerja dekat dengan masyarakat tentang permasalahan layanan kesehatan dan kasus KDRT yang seringkali sulit dilaporkan korban. Kini, Rasyidah mencalonkan diri sebagai anggota legislatif untuk Dewan Perwakilan Rakyat Kota Banda Aceh.

“Tantangan pasti ada, tetapi motivasi juga harus ada. Kekuatan itu ada untuk menguatkan para perempuan,” tegas Rasyidah, yang pascatsunami 2004 di Aceh membentuk Balai Inong (balai perempuan) untuk peningkatan kualitas perempuan di bidang ekonomi, kesehatan, dan politik.

“Dalam rangka meningkatkan dukungan pada perempuan caleg, mitra MAMPU menggandeng media untuk bersama-sama memantau pelaksanaan Pemilu,” tambah Clara.

Di luar itu, mitra MAMPU juga mendorong partisipasi aktif perempuan dalam pembangunan, seperti musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang).

“Musrena (musrenbang khusus perempuan) sudah diadakan di Desa Blang Oi. Di sana juga diadakan pelatihan seperti pembuatan nugget dan bakso, yang 20 persen hasil penjualannya disumbangkan ke kas desa untuk pemberdayaan perempuan,”kata Khairat dari FKPAR Kota Banda Aceh.

Di akhir kunjungan, Kirsten Bishop mengungkapkan harapannya agar kerja sama ini dapat berlanjut.

“Bantuan kerja sama seperti Program MAMPU diharapkan dapat ditingkatkan, dan melanjutkan hubungan baik antara kedua pemerintah. Semua program dievaluasi secara strategis, dan sampai saat ini berjalan optimal,” pungkasnya.

Newsletter PERMAMPU Edisi VIII Semester 2 Tahun 2018

Sebagai bentuk publikasi dan informasi seputar aktivitas yang dilakukan, PERMAMPU (Perempuan Sumatera MAMPU) membuat Newsletter bernama “Suara PERMAMPU” yang diterbitkan secara berkala. Berikut ini adalah Newsletter PERMAMPU Edisi VIII Semester 2 tahun 2018 (unduh melalui tautan di samping).

PERMAMPU adalah sebuah konsorsium sejumlah lembaga swadaya masyarakat atau organiasai non-pemerintah yang didirikan atas dasar perjuangan untuk menguatkan kepemimpinan perempuan akar rumput dalam pemenuhan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi perempuan (HKSR) di Sumatera.

Konsorsium ini resmi didirikan di Medan pada 27 November 2012, dan memiliki anggota delapan LSM perempuan di Sumatera, yaitu Flower Aceh, Aceh; Perkumpulan Sada Ahmo (PESADA),  Sumatera Utara; Organisasi Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (LP2M), Sumatera Barat; Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita Sumatera (PPSW), Riau; Aliansi Perempuan Merangin (APM), Jambi; WCC Cahaya Perempuan, Bengkulu; WCC Palembang, Sumatera Selatan; dan DAMAR – Lampung.

Meningkatkan Status Kesehatan dan Gizi Perempuan

Mengapa isu ini penting

Perempuan Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan dalam mengakses pelayanan kesehatan. Tingkat kematian ibu masih tinggi di angka 305 kematian per 100.000 kelahiran hidup (SUPAS 2015). Kesulitan tersebut mencakup tingginya biaya perawatan, jarak ke fasilitas kesehatan, hingga norma sosial dan budaya yang menghambat pilihan dan kemampuan perempuan untuk mengakses layanan kesehatan.

Indonesia juga menghadapi tingginya angka stunting (kerdil) atau pertumbuhan anak yang terhambat. Sekitar 30% anak Indonesia menderita stunting (RISKESDAS 2018). Beberapa faktor penyebabnya antara lain gizi buruk, kondisi hidup yang buruk, infeksi yang sering terjadi, juga kurangnya sanitasi dan air bersih. Siklus malnutrisi berulang pada ibu muda yang miskin yang mengalami gizi buruk sebelum dan saat hamil, yang meningkatkan komplikasi selama kehamilan dan persalinan, melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah, yang tumbuh menjadi anak yang mengalami stunting.

Pendekatan kami

Pemerintah Indonesia sedang meningkatkan upaya mewujudkan target pembangunan nasional (RPJMN 2015-2019) yang sejalan dengan tujuan ke-2 (kelaparan) dan ke-3 (kesehatan) dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB), lewat layanan kesehatan dan program nutrisi nasional. Namun, masih ada tantangan dalam mengakses layanan kesehatan berkualitas, khususnya bagi perempuan dan perempuan muda yang miskin.

MAMPU mendukung ‘Aisyiyah, PERMAMPU dan Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) untuk meningkatkan akses perempuan terhadap pelayanan kesehatan nasional (JKN) dengan memberdayakan perempuan dan mengembangkan model layanan untuk meningkatkan akses.

Mitra MAMPU memberdayakan perempuan di akar rumput lewat advokasi berbasis-riset, membentuk kelompok perempuan yang menyediakan informasi, mendukung usaha kecil, dan mendirikan credit union atau layanan simpan pinjam, serta mengembangkan forum multipihak untuk melakukan advokasi untuk meningkatkan anggaran pemerintah bagi layanan kesehatan reproduksi.

 

Capaian Area Tematik ini:

PERMAMPU Rayakan Puncak Hari Kesehatan Seksual di Jambi

Tanggal 27-28 September lalu, Konsorsium PERMAMPU didukung oleh program MAMPU rayakan Hari Kesehatan Seksual 2017 di Jambi. Mengambil tema “Keluarga: Landasan Kesehatan Tubuh Perempuan & Negara”, perayaan ini adalah puncak dari perayaan Hari Kesehatan Seksual yang telah dilakukan sepanjang bulan September di 8 propinsi wilayah kerja konsorsium, yaitu Aceh, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan dan Lampung. PERMAMPU menekankan bahwa setiap orang termasuk anak melalui keluarga, berhak atas akses terhadap informasi yang akurat, relevan dan berbasis pengetahuan terkait kesehatan seksual dan reproduksi. PERMAMPU menggunakan kesempatan ini untuk juga menerima masukan dari para peserta untuk penyusunan Buku Pegangan untuk Orang Tua Mengenai Kesehatan Tubuh dan Reproduksi Anak.

Di tahun 2014, PERMAMPU melakukan sebuah penelitian terkait kesehatan seksual dan reproduksi perempuan. Temuan memperlihatkan minimnya pemahaman dan kesadaran perempuan mengenai seksualitas, serta otonomi perempuan terhadap tubuhnya. Salah satu sebabnya adalah tidak adanya pendidikan mengenai tubuh atau seksualitas di dalam keluarga, serta pendidikan di sekolah tidak menjawab permasalahan tersebut. Hal ini berimplikasi terjadinya hal-hal negatif bagi perempuan antara lain kekerasan dalam masa pacaran, incest, hubungan seks di luar pernikahan, pernikahan anak usia dini, Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD), tingginya Angka Kematian Ibu (AKI), tingginya angka penyakit menular seksual, pelecehan seksual.

Oleh karena itu, Konsorsium PERMAMPU melihat pentingnya peran keluarga terhadap kebutuhan anak dalam memberikan pendidikan kepada anak mengenai pengetahuan kesehatan seksual dan organ reproduksi guna mencegah hal-hal negatif terjadi terutama pada anak perempuan. Dihadiri lebih dari 65 peserta perwakilan dari 8 provinsi, wilayah dimana anggota konsorsium PERMAMPU bekerja; yaitu Aceh (Flower Aceh), Sumatera Utara (PESADA), Riau (PPSW Riau), Sumatera Barat (LP2M), Jambi (APM), Bengkulu (WCC Cahaya Perempuan), Sumatera Selatan (WCC Palembang) dan Lampung (DAMAR Lampung). Perwakilan ini terdiri atas Forum Komunitas Perempuan Akar Rumput (FKPAR), Forum Multi Stakeholder (FMS) yang terdiri dari beragam pemangku kepentingan; perempuan akar rumput, pemerintah, tokoh agama dan tokoh adat serta perempuan muda yang aktif dalam mendukung perjuangan isu kesehatan seksual dan reproduksi.

Acara dibuka oleh Asisten II Gubernur Provinsi Jambi Bapak Ir. Agus Sunaryo M.Si dengan pesan inti bahwa pemerintah provinsi Jambi sangat mendukung upaya untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang kesehatan kesehatan seksual dan reproduksi anak melalui keluarga sebagai salah satu usaha baik untuk menekan angka kematian ibu dan penyebaran penyakit menular seksual. Selain itu, ini sejalan dengan peran pemerintah Jambi yaitu 3M yaitu Melayani, Menggerakan dan Memberdayakan masyarakat.

Selain beliau, turut hadir sebagai narasumber yaitu Ibu Rika Oktavia – Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan (Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk / DP3AP2) provinsi Jambi. Ibu Rika memaparkan isu-isu perempuan yang ada di kota Jambi, seperti kekerasan, akses ke pendidikan, tingkat ekonomi dan usaha-usaha DP3AP2 memberikan solusi untuk isu-isu tersebut. Program prioritas DP3AP2 adalah 3 Ends; akhiri kekerasan terhadap perempuan & anak, akhiri perdagangan manusia dan akhiri kesenjangan ekonomi perempuan.

Sesi dilanjutkan oleh Ibu Christina yang berbagi tentang programKementerian Kesehatan yang menerapkan buku Raport Kesehatan Reproduksi yang kerjasama empat Kementerian untuk siswa/i kelas 1 Sekolah Dasar (SD) sampai dengan 3 Sekolah Menengah Atas (SMA)

Buku Raport Kesehatan Reproduksi untuk usia SMP dan SMA menjelaskan tentang kesehatan reproduksi dan mencegah prilaku-prilaku beresiko termasuk juga kesehatan jiwa karena saat ini kemenkes menerima banyak keluhan dari anak-anak yang merasa kesepian dan tidak diperhatikan.” Ungkap Ibu Christina. Kedepannya, Kemenkes akan mengembangkan versi digital dari buku ini agar dikembangkan ke daerah-daerah lain.

Sesi dilanjutkan oleh Komisioner Komnas Perempuan, Budi Wahyuni. Beliau memaparkan kondisi pemenuhan hak kesehatan seksual dan reproduksi di Indonesia. Beliau menegaskan pentingnya menyampaikan informasi tentang kesehatan seksual dan reproduksi ke masyarakat tanpa batas umur.  Sesi awal dari hari pertama ditutup oleh jabaran tentang solusi-solusi lokal yang sudah dilakukan komunitas di Jambi terkait isu-isu perempuan di wilayah Jambi yang disampaikan oleh Amin Abdullah.

Selain dari narasumber-narasumber tersebut, Konsorsium PERMAMPU juga mendengarkan paparan dari perwakilan Forum Perempuan Muda mengenai pentingnya peran orang tua dalam pendidikan kesehatan seksual dan organ reproduksi agar menjadi bekal bagi orang tua saat menyampaikan informasi kepada anak – anaknya.

Ufiah, salah satu perwakilan dari Forum Perempuan Muda Flower Aceh sangat mendukung perumusan buku pegangan untuk orangtua. Menurutnya pengetahuan dasar dan informasi yang benar mengenai kesehatan seksual dan organ reproduksi seharusnya diberikan oleh keluarga kepada anaknya bahkan sebelum informasi tersebut didapatkan anak di bangku sekolah. Ufiah menceritakan pengalamannya sendiri yang beruntung karena mulai dikenalkan dengan organ reproduksi dan kesehatan seksual saat ia berumur 4 tahun.

“Saya sangat bersyukur karena saya mendapatkan dampingan yang baik dari orang tua saya terutama dari Mamak contohnya menghadapi menstruasi, Saya berharap semua orang tua dapat melakukan hal tersebut kepada anak-anaknya karena hal itu sangat penting sebagai pendidikan dasar tentang pengetahuan kesehatan organ reproduksi.” Ujar Fia.

Tetapi menurut Fia panggilan akrab Ufiah, masih banyak teman-temannya yang belum mendapatkan pendidikan dan juga informasi yang tepat mengenai ketubuhan. Oleh karena itu, dia mendukung pembuatan buku pegangan untuk kesehatan seksual bagi keluarga.

Sepanjang hari kedua, semua peserta bersama-sama memberikan masukan untuk buku pegangan orangtua untuk menjelaskan tentang kesehatan reproduksi kepada anak-anak mereka. Masukan-masukan berharga dari berbagai macam pihak telah diterima. Setelah acara selesai, PERMAMPU akan segera menyusun buku pegangan dan menggunakannya di komunitas dampingan PERMAMPU.

Diharapkan melalui buku ini, pendidikan tentang kesehatan seksual dan ketubuhan  ini bukan lagi menjadi hal yang tabu dengan menggunakan bahasa yang ARSI (Akurat, Relevan, Scientific-based/berbasis pengetahuan) untuk diajarkan kepada anak tetapi pendidikan ini sangat penting sebagai bekal bagi anak dalam mejaga dirinya dikemudian hari.

Konsorsium Perempuan Sumatera MAMPU (PERMAMPU)

Konsorsium Perempuan Sumatera MAMPU (PERMAMPU)

PERMAMPU adalah konsorsium delapan organisasi perempuan Mitra MAMPU dari seluruh Pulau Sumatra, yaitu Flower Aceh dari Aceh, Perkumpulan Sada Ahmo (PESADA) dari Sumatra Utara, Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (LP2M) dari Sumatra Barat, Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita Sumatera (PPSW) dari Riau, Aliansi Perempuan Merangin (APM) dari Jambi, Women’s Crisis Centre (WCC) Cahaya Perempuan  dari Bengkulu, WCC Palembang dari Sumatra Selatan, dan DAMAR (Lampung).

Konsorsium PERMAMPU mengadvokasi tokoh strategis (pemimpin agama dan budaya, penyedia layanan kesehatan, sekolah, dan pemerintah daerah) untuk mempengaruhi norma sosial-budaya yang menghambat pemenuhan hak perempuan untuk mengakses informasi dan layanan kesehatan seksual dan reproduksi, dan gizi.

MAMPU mendukung PERMAMPU bekerja di 8 provinsi, 34 kabupaten dan 224 desa/ kelurahan.

 

Program organisasi sebagai mitra MAMPU:

  • Membentuk kelompok perempuan di tingkat desa dan mengembangkan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, serta kapasitas kelompok untuk melakukan aksi kolektif guna meningkatkan akses dan kualitas layanan kesehatan. Mengembangkan kapasitas ekonomi dengan membentuk kelompok credit union (CU) dan kelompok simpan-pinjam.
  • Melakukan penelitian tentang faktor-faktor penyebab kehamilan tidak diinginkan (KTD) di 8 provinsi.
  • Advokasi kebijakan secara langsung kepada Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat BAPPENAS, serta Direktorat Kesehatan Keluarga dan Pembiayaan Kesehatan dari Kementerian Kesehatan.
  • Advokasi untuk implementasi peraturan pemerintah tentang Standar Pelayanan Minimum (SPM) untuk kesehatan reproduksi di puskesmas.
  • Mengembangkan layanan One Stop Service and Learning (OSSL) di puskesmas untuk penyediaan informasi kesehatan reproduksi dan layanan pemantauan, termasuk mendampingi perempuan korban kekerasan dalam mengakses informasi, layanan konseling dan rujukan.

Capaian dalam Program MAMPU:

  • Advokasi Forum Multi Stakeholder (FMS) melalui OSSL telah berkontribusi terhadap pemenuhan hak kesehatan reproduksi perempuan dalam bentuk peraturan adat dan alokasi anggaran di 29 kabupaten/kota di Sumatera.
  • Mengembangkan sistem pencatatan kasus kekerasan seksual dan rujukan pada puskesmas di Kota Bandar Lampung.
  • Disahkannya 7 Nota Kesepahaman (MoU) antara PERMAMPU dengan 7 Puskesmas untuk memperkuat integrasi OSSL di unit puskesmas.
  • Membentuk 549 kelompok ekonomi perempuan beranggotakan lebih dari 20.000 perempuan, di 218 kelurahan, 31 kabupaten di 8 provinsi di Sumatra, dengan nilai total saham yang dikelola mencapai 40 milyar rupiah.
  • Pendidikan kesehatan reproduksi perempuan lewat sosialisasi PP 61/2014 dan SPM Kesehatan (Permenkes 43/2016) untuk kelompok perempuan, tokoh adat, tokoh agama dan pemerintah daerah.
  • Mitra konsorsium PERMAMPU, Women’s Crisis Center untuk korban kekerasan, WCC Palembang, di Sumatra Selatan telah dimasukkan ke dalam Pusat Informasi dan Konsultasi untuk Perempuan Penyandang Disabilitas di bawah Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) di Kota Palembang.
  • Berdasarkan penelitian yang dilakukan PERMAMPU di 8 provinsi, Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) disebabkan oleh faktor-faktor berikut: kegagalan kontrasepsi, kemiskinan, pengaruh media, perkawinan anak, dan stigma negatif masyarakat.

Kartini di Mata Dina Lumbantobing

Menyambut Hari Kartini, MAMPU ingin memperlihatkan Kartini di mata perempuan-perempuan hebat masa kini yang berjuang demi kepentingan perempuan.

Salah satunya adalah Dina Lumbantobing. Akrab dipanggil Dina, beliau adalah seorang aktivis wanita dan spesialis gender dan pemberdayaan perempuan pada pengembangan dan organisasi LSM pengarusutamaan gender. Selama lebih dari 30 tahun, Dia telah bekerja di berbagai proyek yang berkaitan dengan isu-isu di seluruh wilayah Indonesia dan Asia Tenggara.

Bergelar Master Gender & Development Studies dari Sussex University, Inggris, Dina berpengalaman luas bekerja dengan LSM di Indonesia dan Asia Tenggara telah dilakukannya. Antara lain, mengepalai penelitian dan kapasitas divisi pembangunan pesada dan orang yang bertanggung jawab untuk Women Crisis Center “Sinceritas” di Medan pada tahun 2004, menjadi Anggota Dewan Eksekutif untuk Asia Tenggara, koordinator Jaringan Aktivis Perempuan Sumatera Utara dan berfungsi sebagai Anggota Dewan Eksekutif untuk Asia Tenggara, Asosiasi Asia Pasifik Selatan untuk Pendidikan Dasar dan Dewasa (ASPBAE) antara Tahun 2007-2008.

Bersama MAMPU beliau Koordinator Tim Kerja PERMAMPU, sebuah konsorsium 8 organisasi perempuan yang tersebar di Sumatera.

Ini hasil duduk bersama dengan Dina tentang Kartini dan nilai-nilai perjuangannya.

 

Apa yang biasanya Kak Dina dengar tentang Kartini dan Hari Kartini?

Kartini yang selalu identik dengan kata persamaan hak, emansipasi, yang diartikan perjuangan untuk persamaan hak atas pendidikan bagi perempuan. Tidak banyak yang melihat betapa berat perjuangannya sebagai perempuan yang sudah tidak bebas sekolah, dipingit, dijodohkan dengan laki-laki yang tidak dikenal dan juga harus bersedia dimadu, dan secara ironis berisiko berpulang saat melahirkan.

 

Sisi mana yang sebenarnya Kak Dina ingin masyarakat lebih tahu tentang perjuangan Kartini?

Aku ingin orang lain tahu kalau pandangan Kartini jauh lebih luas dan dalam daripada sekedar ‘agar perempuan menikmati pendidikan’ atau sebagai ‘Ibu kita.

Di dalam surat-surat yang dituliskan kepada sahabat-sahabatnya di negeri Belanda, Rosa dan Stella Zeehandelaar. Kartini berbicara banyak hal mengenai sosial, budaya, agama bahkan korupsi. Dia mempunyai pemikiran mengenai isu kelas sosial dan cara-cara pikir saat itu yang merendahkan perempuan.

Dua kutipan surat-surat Kartini ini yang membuat aku kagum:

·       Bagi saya ada dua macam bangsawan, ialah bangsawan fikiran dan bangsawan budi. Tidaklah yang lebih gila dan bodoh menurut pendapat saya dari pada melihat orang yang membanggakan asal keturunannya. (Suratnya kepada Stella, 18 Agustus 1899)

·       Bagi saya hanya ada dua macam keningratan : keningratan pikiran dan keningratan budi. Tidak ada yang lebih gila dan bodoh menurut persepsi saya daripada melihat orang, yang membanggakan asal keturunannya. Apakah berarti sudah beramal soleh, orang yang bergelar Graaf atau Baron? Tidak dapat mengerti oleh pikiranku yang picik ini. (Surat Kartini kepada Stella, 18 Agustus 1899)

Ini kemudian menjadi bukti nyata betapa besarnya keinginan dari perempuan bernama Kartini untuk melepaskan perempuan dari diskriminasi yang sudah membudaya pada zamannya. Serta memperlihatkan betapa beratnya menjadi seorang pejuang yang bergerak di bidang hak kelompok yang selalu dianggap lebih rendah, baik karena jenis kelamin, maupun karena kelasnya.

 

Apa nilai-nilai dari perjuangan Kartini yang Kak Dina ambil dan tuangkan dalam perjuangan yang Kak Dina lakukan?

Banyak, soal kesetaraan, bahwa perempuan setara dengan laki-laki. Bahwa salah satu inti dari penguatan perempuan adalah pendidikan yang membuat perempuan berpikir kritis, mempertanyakan apakah pengalaman dan hidupnya adalah kodrat atau ada sistem yang membuatnya diperlakukan lebih rendah dan diskrimininatif.

Ini adalah inti dari penguatan perempuan yang kutuangkan melalui Pesada, lembaga tempat kubernaung, adalah cara berpikir yang mampu berubah secara radikal, agar perempuan mampu bergerak memperjuangkan haknya, mempunyai akses bukan hanya terhadap pendidikan, tetapi juga ke sumberdaya ekonomi dan politik, serta memutuskan untuk diri sendiri bukan untuk orang lain, khususnya untuk TUBUH DAN PIKIRANNYA.

Tidak semua dari Kartini pastinya, tetapi bagiku Kartini adalah nama pejuang perempuan yang pertama kukenal, meski hanya diawali dari cara berpakaian/berpenampilan. Dulu aku pernah jadi juara dua berkebaya waktu kelas 2 SD. Itu  dulu menjadi beban pikiran saya waktu kecil, kenapa harus membawa sanggul sebesar itu dan sarung seketat itu?

 

Adakah capaian yang Kak Dina rasa paling membanggakan yang kakak raih melalui organisasi kakak dalam memperjuangkan kepentingan perempuan Indonesia?

Sesuai dengan pendekatan Pesada, yang paling membanggakan adalah berkembangnya Credit Union Perempuan atau Koperasi Perempuan sebagai organisasi perempuan independen dan mempunyai kekuatan ekonomi sekaligus kesadaran kritis perempuan.

Walau diawali dengan kecurigaan perempuan pedesaan maupun penolakan para penguasa atas upaya pengorganisasian, Pesada menjadi organisasi yang kuat dan menjadi ‘rumah’ bagi perempuan-perempuan akar rumput. Organisasi ini tidak hanya dikenal sebagai Koperasi beranggotakan perempuan-perempuan yang mempunyai modal uang dan cerdas, para anggota juga menjadi perempuan yang berpotensi untuk menjadi pemimpin di lembaga-lembaga lokal, serta kader-kader Pesada yang juga bergerak untuk menghapuskan Kekerasan Terhadap Perempuan, khususnya Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Kekerasan Seksual.

Ketika Bicara Pendidikan Seks Tak Lagi Tabu

Nama lengkap saya Nurhasanah. Biasanya orang memanggil saya Nur. Saya lahir di Kampung Tengah pada 1965. Saat ini, saya tinggal di Kelurahan Pematang Kandis, Kecamatan Bangko, Kabupaten Merangin. Saya bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil dan duduk di posisi kepala bidang Pemberdayaan Perempuan di kantor Badan Pemberdayaan Perempuan Keluarga Berencana dan Perlindungan Anak (BPPKBPA) Kabupaten Merangin, Jambi.

Sudah banyak perubahan positif yang saya alami setelah terlibat dan mengikuti program Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) dari Aliansi Perempuan Merangin (APM). Perubahan yang paling mendasar yang saya alami adalah kesadaran dan pemahaman saya mengenai pendidikan seks yang dulu tabu untuk dibicarakan.

Ternyata pendidikan kesehatan reproduksi penting diberikan kepada seluruh elemen masyarakat secara gamblang agar tidak salah dalam menafsirkan masalah pendidikan seks. Bahkan pendidikan ini juga perlu diberikan kepada anak sejak usia dini, tentunya disesuaikan dengan tingkat usia dan kebutuhannya.

Saya sudah mengenal lembaga APM sejak tahun 2007 karena sering bersama-sama dalam mendampingi perempuan korban tindak kekerasan dan mendorong adanya Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) di Kabupaten Merangin.

Sejak tahun 2015, saya mengikuti kegiatan dan terlibat dalam program HKSR yang diadakan APM, baik kegiatan pendidikan maupun dalam diskusi reguler Forum Multi Stakeholders (FMS) dan Forum Perempuan Pejabat Publik. Saya juga pernah mendapat kesempatan untuk menjadi peserta kegiatan Lokakarya Penguatan Forum Multi Stakeholder (FMS) di Pematang Siantar, Sumatera Utara pada tanggal 22-23 Desember 2016 yang diadakan oleh PERMAMPU.

Saya merasakan bahwa APM berbeda dengan lembaga lainnya karena kerja-kerjanya konsisten dengan isu pemberdayaan perempuan. Mulai dari pendampingan perempuan dan anak korban tindak kekerasan, sampai mengentaskan perempuan dari kemiskinan serta upaya pemenuhan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi.

Melalui diskusi reguler di forum perempuan pejabat publik dan forum multi-stakeholders, banyak pengetahuan dan pemahaman baru yang saya peroleh. Sekarang saya sudah mulai terbiasa dengan istilah seks, seksualitas, gender, Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD), dan organ reproduksi laki-laki dan perempuan.

Melalui forum yang diinisiasi APM ini, saya bersama para pemangku kepentingan lainnya bertemu, berkomunikasi dan membicarakan serta menanggapi sesuatu sebagai upaya untuk mencapai tujuan bersama, yaitu berperan dalam upaya peningkatan efektifitas pelayanan publik, terutama pelayanan terhadap perempuan korban tindak kekerasan dan kesehatan reproduksi yang berbasis pada Hak.

Dulu ketika menjabat di kantor camat sebagai sekretaris Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), saya sering turun ke kecamatan dan desa – desa untuk memberikan penyuluhan program kesehatan. Saat itu saya belum berani untuk berbicara hal yang berkaitan dengan seks dan organ reproduksi meskipun materinya tentang alat reproduksi, KB, dan Kesahatan Ibu dan Anak (KIA).

Saat itu, saya masih beranggapan bahwa itu tabu dan tidak pantas untuk dibicarakan di depan umum. Namun setelah saya bergabung di APM dengan program HKSR ini, saya menjadi sadar dan paham kalau pendidikan kesehatan reproduksi penting diberikan kepada seluruh elemen masyarakat.

Selain itu, setelah terlibat dalam pelatihan penyadaran gender dan HKSR yang diadakan APM, ada proses yang terjadi dalam diri saya. Pandangan saya terhadap persoalan-persoalan HKSR Perempuan serta fakta-fakta di lapangan terkait dengan kekerasan seksual dan pernikahan pada usia anak semakin objektif. Ternyata kita sebagai orang tua tidak hanya cukup memberi nafkah secara materi, namun ada hal yang lebih penting yaitu mendampingi dan menjadi teman bagi anak.

Sangat penting membangun komunikasi yang baik sehingga jika anak memiliki masalah terkait kehidupan seksual dan reproduksinya, dia akan merasa nyaman dan terbuka dengan kita orang tuanya. Pengetahuan ini saya praktikkan pada diri saya di keluarga dan di lingkungan tempat saya bekerja (kantor).

Harapan saya, para perempuan perlu mempersiapkan diri dari sekarang dalam menghadapi hari tua, baik dari segi materi maupun fisik untuk tetap merasa bahagia. Adapun kepada APM, saya berharap agar APM mengembangkan Program HKSR ini ke lebih banyak desa dan wilayah kota lain. Agar informasi tentang kesehatan seksual dan reproduksi lebih banyak membawa manfaat baik bagi perempuan.

“Penyempurnaan dari cerita Most Significant Change yang ditulis oleh Sri Lestari”

MAMPU Gelar Lokakarya Hasil Temuan Penelitian tentang Aksi Kolektif Perempuan

Program MAMPU bekerja sama dengan lembaga riset Migunani mengadakan Workshop Hasil Temuan Penelitian Aksi Kolektif Perempuan (AKP) di Hotel The Alana, Sleman, Yogyakarta, pada Selasa (21/2). Acara ini bertujuan untuk menjamin mutu penelitian tentang peran 8 mitra MAMPU terpilih; ‘Aisyiyah, Konsorsium Perempuan Sumatra MAMPU (PERMAMPU), Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan), Migrant CARE, Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Institut KAPAL Perempuan dan mitra pekerja rumahan dalam membangun Aksi Kolektif Perempuan (AKP).

Diharapkan melalui workshop tersebut lembaga mitra MAMPU dapat mendiskusikan hasil studi dan memberikan umpan balik untuk perbaikan di masa mendatang.

Acara ini diisi dengan presentasi dari tim Program MAMPU dan Migunani tentang hasil penelitian dan draft laporan di depan mitra terpilih. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa pengorganisasian adalah elemen yang sangat penting dan efektif untuk membuka akses perempuan ke layanan publik. Sebagai bentuk rekomendasi dihasilkan langkah-langkah yang harus diambil untuk membuka akses perempuan ke layanan tersebut, yaitu; membangun kepercayaan diri, menguatkan kepemimpinan dan membuka akses terhadap program pemberdayaan dan pengorganisasian perempuan akar rumput. Ketiga hal ini merupakan komponen penting untuk keberlanjutan capaian dari AKP.

Ketika Pendeta dan Tokoh Adat Nias Bicara Kesehatan Seksual dan Reproduksi Perempuan

BUKAN hal baru bagi Pendeta Yarniwati Mendrofa S.Th jika khotbahnya di gereja menuai protes. Pendeta perempuan yang tinggal di Desa Sisobahili I Tanese’o Kecamatan Hiliduho, Kabupaten Nias, Sumatera Utara ini memang dikenal cukup lantang menyuarakan berbagai isu seputar kesehatan seksual dan reproduksi yang tak ingin didengar jemaatnya.

“Kok Ibu Pendeta ini khotbah melenceng dari Alkitab. Kok malah cerita tentang pergaulan bebas, diberi contoh dan ilustrasi yang hamil di luar nikah, itu kan tabu!”, Pendeta Yarni menirukan protes jemaatnya. “Sebelumnya saya pun tidak berani bicara masalah ini di mimbar gereja, tapi kejadian nyata sudah banyak terjadi di jemaat saya. Jadi saya tantang habis mereka, marilah kita bicarakan hal ini, jangan lagi ditutupi karena dianggap aib.”

Setelah mengikuti pelatihan mengenai hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR) dari PESADA beberapa waktu lalu, Pendeta Yarni menyadari betapa pentingnya informasi ini bagi jemaat yang ia gembalakan. Dengan wawasan yang semakin bertambah, ia pun giat melakukan pendekatan kepada penatua gereja lainnya agar dapat bersama-sama bergandeng tangan dalam mengatasi berbagai permasalahan seputar HKSR, khususnya bagi jemaat di Pulau Nias.

“Dan memang sudah ada kerja sama dengan agama juga, karena sekarang di resor kita sudah ada kerja sama dengan kesehatan,” ujar Pendeta Yarni. Sebelum menikah, kesehatan reproduksi laki-laki dan perempuan yang datang untuk minta dinikahkan perlu diperiksa terlebih dulu. Bagi Pendeta Yarni, ini diperlukan agar pelayan gereja tak menyalahi aturan dan berbuat dosa dengan menyatukan orang yang sudah melakukan hubungan seksual sebelum menikah. “Jadi kumpulan gereja pun sudah canangkan itu jadi program,” Pendeta Yarni menegaskan.

Hal ini pun, ketika ia sampaikan dalam khotbah, kemudian menuai banyak protes, terutama dari para lelaki. “Apakah Ibu akan periksa semua orang?” Pendeta Yarni menirukan protes-protes yang diterimanya. “Padahal kan bukan saya yang nanti periksa, itu hak asasi juga kalau ada yang bilang ‘jangan pegang saya’! Barusan tadi saya terima telepon, ada kasus perempuan yang tidak bisa bicara, dihamili oleh laki-laki beristri yang masih saudara bapaknya sendiri. Jadi perempuan ini ditanya tidak keluar kan suaranya.”

Untuk hal-hal seperti ini, Pendeta Yarni bertekad terus memberikan pemahaman kepada jemaatnya, meski menuai protes. “Dia dinikahkan dengan lelaki itu padahal ini kan kehamilan tidak diinginkan, karena itu pemerkosaan yang terjadi. Saya pun sudah mendapatkan pelatihan tentang menikah yang dipaksakan, apalagi kalau perempuan itu ada keterbatasan, kan, jangan sampai kita juga melanggar sebagai hama Tuhan. Apakah ini dosa karena hamil di luar nikah, sementara hamilnya bukan keinginan dia? Selalu yang jadi korban perempuan, tidak pernah laki-lakinya—yang biasanya malah melarikan diri.”

Di tengah protes yang masih saja menghujaninya, Pendeta Yarni masih tetap bertekad untuk mengangkat isu mengenai HKSR di mimbar gereja, demi jemaatnya. “Kalaupun karena itu saya dipecat dari menjadi pendeta, ya tidak apa-apa, saya nanti cari pekerjaan lain. Karena saya percaya isu ini penting untuk diangkat, jangan lagi disimpan jadi aib, tapi mari kita bersama-sama tangani ini.”

Sejalan dengan Pendeta Yarni, Benyamin Harefa pun punya pandangan yang tak jauh berbeda—perihal hak-hak perempuan. Sebagai Ketua Lembaga Budaya Nias (LBN) Kota Gunungsitoli, Benyamin memang memiliki posisi yang cukup penting dalam tatanan adat masyarakat Nias.

“Perempuan itu dalam adat Nias sebenarnya sangat dihargai. Tempo dulu kedip mata sama perempuan, dihukum,” kata Benyamin. “Cubit-cubit tangan, dihukum. Menghamili orang itu juga dulu dihukum, potong leher. Pancung. Perempuan itu dulu dijaga, kalau berjalan selalu ditemani orang-orang tua. Jadi perempuan itu sebenarnya dihargai, sekarang sudah bergeser.”

Meski demikan, Benyamin juga menyadari adanya berbagai pergeseran dan kesalahpahaman terkait aturan-aturan adat yang telah ditetapkan sebelumnya; misalnya mengenai jujuran dalam pernikahan adat Nias. Jujuran atau mas kawin merupakan syarat yang diminta oleh keluarga perempuan kepada keluarga laki-laki; untuk menggantikan anak perempuan mereka yang akan diboyong ke dalam keluarga laki-laki.

Biaya jujuran yang besar dan bisa menghabiskan puluhan bahkan ratusan juta rupiah ini kemudian kerap membelit pasangan pengantin baru dengan hutang untuk membayar jujuran; dan menyeret mereka ke dalam kemiskinan. Di sisi lain, karena pihak lelaki merasa bahwa ia telah membeli pihak perempuan dengan harga mahal—ia berhak memperlakukan pihak perempuan sesuka hatinya, dan hal ini memicu terjadinya berbagai kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Pulau Nias.

“Padahal secara adat, simbi (babi) untuk pernikahan itu sebenarnya berjumlah 2 ekor babi. Paling besar bisa 200 kilo itu. Tapi sekarang semua orang yang dianggap dihormati secara adat pun diberikan 1 ekor babi. Ada juga, saya datang ke pesta pernikahan, dan semua tamu undangan kemudian diberikan potongan daging babi untuk dibawa pulang. Ini membuat biaya pernikahan jadi begitu besar,” kata Benyamin. “Dan kalau dulu itu, pesta pernikahan ada 10 tahap. Jadi biaya besar sekali. Nah, sekarang sudah digabung tahap pertama sampai kedelapan sudah digabung. Lalu yang sembilan dan sepuluh juga. Jadi biaya bisa ditekan.”

Papan bunga dan musik keyboard yang biasa dijumpai dalam pesta pernikahan pun sebenarnya bukanlah budaya Nias. Namun kini kedua hal itu sudah dianggap sebagai bagian wajib dari pesta. Budaya sokhi mate moroi aila (lebih baik mati daripada malu) memang membuat masyarakat Nias ingin meniru pesta-pesta yang dilakukan tetangganya. “Dulu pun kita bungkus makanan pesta itu dengan daun saja. Sekarang orang bungkus itu makanan dengan kotak-kotak, berapa uang yang dikeluarkan untuk itu? Mahal itu,” Benyamin menambahkan.

Bersama dengan sesama tokoh adat Nias, Benyamin pun masih terus berupaya menyelaraskan tatanan adat dengan nilai-nilai yang terus berkembang di masyarakat. “Kan kita sebagai tokoh adat yang menetapkan aturan-aturan itu, misalnya untuk jujuran. Tapi mengapa akibat ketetapan kita, kita jadi melarat? Jadi sebenarnya kita bisa saja bermufakat, bersepakat, mana aturan yang akan kita pakai. Berapa besaran jujuran yang mau disepakati supaya kita bisa turunkan nilainya,” Benyamin menjelaskan.

“Ini juga masih ada tokoh yang ngomel-ngomel, bagaimana katanya jika cucu perempuan kamu tidak diberikan jujuran yang mahal,” kata Benyamin. “Saya bilang akan saya terima, bukan saya tidak mau, asal laki-lakinya cocok dengan cucu saya, karakternya bagaimana, sekolahnya bagaimana. Jadi inilah yang masih saya musyawarahkan. Kita tidak mengubah adat, hanya mari nilai jujuran ini coba kita turunkan.”