Rumpun Tjoet Njak Dhien (RTND) mendampingi dua organisasi, Serikat Pekerja Rumah Tangga (PRT) Tunas Mulia (berdiri 2003) dan Kongres Operata Yogyakarta (berdiri 2009) untuk melaksanakan Sekolah PRT mingguan. Sekolah PRT ini digagas Lita Anggraini, seorang aktivis Jala PRT sejak 1995.
Sejak terintegrasi dengan Jaringan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (JPPRT) DIY, Sekolah PRT mingguan ini mulai banyak peminatnya. Dalam JPPRT, ada perlindungan untuk mencegah terjadinya jam kerja berlebih, gaji tidak dibayarkan dan larangan berorganisasi.
Masuknya Program MAMPU pada Juni 2014, semakin menguatkan kurikulum Sekolah PRT mingguan dan menjadi lebih terstruktur. Kurikulum tersebut ditata sesuai dengan kebutuhan PRT dan fokus ke pokok masalah yang sering dihadapi mereka.
Menurut Retno Hartati, salah satu pengurus dan pendamping RTND, Sekolah PRT kian diminati karena isi edukasi tepat sasaran dan bervariasi, contohnya peserta Sekolah Minggu mendapatkan edukasi seputar Kesehatan Reproduksi, cara mengurus majikan orang tua (Pramurukti), public speaking dan advokasi jika ada yang bermasalah. Sesekali diberikan praktek keterampilan, seperti memasak dan membuat kerajinan tangan.
“Siapa saja boleh masuk di Sekolah PRT ini, tidak dipungut biaya dan sasaran utamanya adalah perempuan putus sekolah yang sudah tak sanggup melanjutkan pendidikannya. Semua dibina di sini, jika diperlukan, kami pun membantu menyalurkan mereka untuk bekerja.” Kata Retno.
Salah satu binaan yang mengalami perubahan setelah ikut Sekolah PRT Mingguan, adalah Siti Kholifah (20). Ia kini tercatat sebagai salah satu peserta Sekolah PRT di RTND. Awalnya Ia pemalu dan bicara seperlunya tapi selalu menyimak semua yang disampaikan pengajar.
Perubahan sikapnya dalam ranah pekerjaan pun semakin meningkat. Siti, bekerja untuk majikan yang mempunyai usaha katering, walaupun sebenarnya tugas katering ada PRT lain yang menangani. Tapi Ia sering merasa tidak enak dengan teman yang masih bekerja, padahal pekerjaannya untuk rumah tangga sudah selesai. Waktu istirahatnya pun terpangkas karena membantu pekerjaan katering tersebut. Kini, Siti sudah memperoleh pemahaman bahwa porsi kerja nya adalah sebagai PRT mengerjakan pekerjaan rumah, bukan katering. Ia mampu bernegosiasi dengan majikan soal waktu kerja dan haknya memperoleh libur mingguan. Komunikasi yang baik pun membuat majikan setuju.
Perubahan dari PRT lain setelah mengikuti Sekolah PRT di RTND adalah Sukini (33), PRT asal Wonosari, yang bekerja sebagai PRT freelance dan berjualan mainan anak-anak di rumahnya. Ia sekarang lebih memahami hak-haknya sebagai PRT dan memperoleh banyak pengetahuan yang bisa jadi bekal.
“Saya yang selama ini cuma dapat gaji 750.000 Rupiah, setelah nego akhirnya ditambah menjadi 1.000.000 Rupiah. Ini berkat cara penyampaian yang tepat, jadi majikan saya paham dan saya sangat berterima kasih kepada Sekolah PRT.” Ungkap Sukini.
Yuvita Dyah Retnani, selaku pengurus dan pendamping di RTND juga mengungkapkan bahwa dua organisasi, Serikat PRT Tunas Mulia dan Kongres Operata Yogyakarta tersebar di daerah DIY melakukan pengkaderan berbasis 8 komunitas yang dipimpin 4 Community Leader.
Dikatakan Yuvita, bahwa menggali masalah yang dihadapi PRT tak mudah, sehingga banyak masalah yang tak muncul ke permukaan. Dengan terbentuknya 8 komunitas tersebut, diharapkan para PRT yang mengalami kesulitan dapat melakukan pengaduan atau konseling melalui Community Leader di masing-masing wilayah.
“Dalam hal ini, Program MAMPU sangat membantu, karena frekuensi pertemuan dan diskusi semakin berkelanjutan dengan menghadirkan narasumber-narasumber yang kompeten, sehingga proses pemahaman terkait hak-hak PRT lebih tersampaikan dengan baik.” Kata Yuvita.
PRT yang telah terlatih, akan memberikan materi kepada teman-temannya yang belum sempat hadir di Sekolah PRT. Ada juga PRT yang waktu kerjanya lebih longgar, yang mendedikasikan dirinya untuk membantu pengurus RTND dengan menjadi pendamping dan Supporting System (SS) di Sekolah PRT mingguan.
Adalah Sargini (33) asal Gunungkidul dan Jumiyem (40) asal Bantul. Dua PRT ini, awalnya peserta dan telah menguasai materi tentang Gender, Kepemimpinan perempuan, Kesehatan Reproduksi, Hak Asasi Manusia dan Paralegal. Mereka ikut menjadi pendamping teman-teman PRT yang bermasalah. Jika hanya konseling, biasanya mereka lakukan sendiri. Jika masalah cenderung berat, mereka akan melapor ke RTND.
Sargini dan Jumiyem lebih kritis, bahkan kepada tanggung jawabnya di RTND, “Untuk para mahasiswa yang meminta data tentang PRT yang mengalami kekerasan seksual pun kami memberlakukan aturan supaya mereka terjun ke lapangan, melihat langsung kondisinya. Jadi, tak meminta data semata.” Ujar Sargini.
Yuvita menambahkan, dengan adanya program MAMPU, sangat membantu memberikan pemahaman yang lebih mudah kepada peserta Sekolah PRT terkait hak-hak mereka, baik dalam lingkup pekerjaan maupun kehidupan sehari-hari dalam keluarganya. Mereka merasa punya tempat yang tepat untuk berbagi beban. Karena para pendamping di komunitas juga pernah mengalami kekerasan baik dalam pekerjaan maupun rumah tangga, empatinya jadi terasa oleh kedua belah pihak.
Penyempurnaan dari cerita Most Significant Change yang ditulis dari Sleman, Provinsi DIY