Cerita

Sri Mujiati Perjuangkan Penyandang Difabel Korban Kekerasan Seksual

28 Desember 2014
Penulis: admin

Sri Mujiati (42), yang akrab disapa Sri, adalah seorang ibu rumah tangga dari empat anak. Pada awalnya, Sri menganggap tabu membicarakan seks dalam sebuah forum. Ia menganggap hal tersebut sebagai tindakan pelanggaran dan tidak sopan karena keluarganya mendidik untuk tidak membicarakan seks di mana pun.

Sri menjadi pengurus Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (RBM) sejak 2011 dan bergabung di CIQAL pada Juni 2014 yang kegiatannya didukung oleh MAMPU. Ia kerap mengikuti pelatihan untuk mendapatkan pemahaman yang baik terhadap isu kekerasan seksual. Semua wawasan, ilmu dan apa yang disampaikan narasumber saat penyuluhan, dicernanya. Hal ini menggugah nuraninya untuk lebih peduli terhadap berbagai kasus yang dihadapi oleh penduduk di sekitar lingkungannya.

Sehari-harinya, Sri lebih banyak mengurus keempat anaknya terutama mengantar ke sekolah. Ia mengantar anaknya yang berlainan sekolah dan waktu yang berbeda. Lebih kurang 30 Kilometer jarak tempuh dilalui dari rumahnya ke sekolah. Walau sibuk mengurus keempat anaknya, Ia masih menyempatkan diri aktif di RBM dan mendampingi beberapa korban kekerasan seksual pada perempuan penyandang difabel.

Sri merasa harus bergerak, sebagai sesama manusia. Apalagi dirinya juga mempunyai anak yang difabel. Ia memosisikan diri, jika sebagai korban tentu sangat berat. Sudah menyandang difabel, mengalami kekerasan seksual pula.

Salah satu korban kekerasan seksual yang didampinginya adalah “R” (29). Korban diperkosa oleh sepupunya sendiri sampai mempunyai satu anak laki-laki yang kini berusia 1,5 tahun dan anaknya mengalami kelumpuhan. “R” seorang difabel dengan Tuna Grahita dan Low Vision. Ia ditelantarkan pelaku sampai kini. “R” hanya tinggal bersama ibunya yang sudah lanjut usia.

“R” bercerita, bahwa dirinya dulu punya cita-cita untuk pandai membatik dan bekerja menjadi PRT.

“Saya ingin bekerja membatik atau bekerja di rumah-rumah orang, tapi sampai saat ini tak ada yang mau menerima saya,” katanya sambil tertunduk. 

Jika anak “R” kambuh kejang-kejangnya, “R” dan ibunya yang sudah sangat tua harus berjalan kaki ke puskesmas yang jaraknya sangat jauh dan melalui medan berliku dan curam. Namun semua dijalaninya dengan ikhlas.

Melihat kondisi “R”, Sri tergerak untuk mendampinginya. Setiap akan mengantar atau jemput anaknya ke sekolah, Sri selalu menyempatkan diri mampir ke rumah “R” untuk menengok.

“Tak ada satu pun yang peduli terhadap “R”, bahkan keluarga dan tetangganya. Saya ikhlas ingin membantu. Jika ada panggilan hati untuk datang ke rumahnya, seperti ikatan batin saja, pas ke sana pasti ada yang sakit atau sedang memerlukan bantuan,” kata Sri.

“Kader sudah lepas tangan, jadi saya memberanikan diri melaporkan hal ini ke Jamkesos dan diterima dengan baik, kemudian dirujuk ke LSM penanggulangan kekerasan keluarga. Sempat ada yang mau mengadopsi anak “R”, tetapi “R” berontak. Hal ini terjadi karena sebelumnya tidak ada pendekatan secara psikologis. Jadi “R” kaget ketika ada yang mau ambil anaknya,” tambah Sri.

Melihat perkembangan “R” dan anaknya yang kian memburuk, Sri berinisiatif meminta bantuan pemerintah untuk mengurus sementara anak “R” yang membutuhkan perawatan dan biaya yang intensif. Hasilnya, anak “R” akan dititipkan di Panti Asuhan untuk sementara.

Sri kerap mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan dari tetangga “R” dan juga keluarga pelaku yang tinggal tak jauh dari rumah “R”. Bahkan saat CIQAL dan sebuah lembaga bernama Sigap, datang ke rumah “R” untuk menindaklanjuti perlindungan hukum dan pendampingan yang maksimal, tetangga dan keluarga pelaku sempat mengancam akan mengusir “R” dari kampung tersebut. Akhirnya “R” menutup kasusnya, dengan alasan tak ingin terancam dan ingin hidup tenang.

Akhirnya, dengan segenap kekuatan diri, Sri memberanikan diri berinisiatif untuk berkumpul dengan kepala dusun dan warga setempat untuk membahas kesulitan “R” yang terpojok, sedangkan pelaku tak ada tanggung jawabnya. Hasil perundingan membuahkan hasil. Pelaku akhirnya mau bertanggung jawab atas biaya hidup “R” dan anaknya. Ia memberikan Rp.400.000,- per bulannya.

Perjuangan Sri tak sampai di sini. Ia tetap memberikan pendampingan kepada “R” dan terus berkomunikasi dengan CIQAL serta pejabat di desa tersebut.

Sri mengungkapkan, “Meskipun anak “R” sudah berada di Panti, tapi hukum tetap berjalan. Karena korban kekerasan seksual ini, bebannya seumur hidup. Dipastikan pula pelaku tak lalai dalam memberikan tanggung jawab nya.”

Keberanian Sri dalam memperjuangkan “R” ini merupakan hasil dari menimba ilmu dari pelatihan dan diskusi rutin yang diadakan CIQAL melalui program MAMPU. Dari memahami permasalahan kekerasan seksual pada perempuan difabel dan akhirnya peduli.

Penyempurnaan dari cerita Most Significant Change yang ditulis oleh Dwitanto dari Pajangan, Bantul di DIY