Cerita

Istana Rumbia, Upaya Perangkat Desa Wonosobo Beri Buruh Migran Informasi yang Dibutuhkan

2 Januari 2015
Penulis: admin

Permasalahan buruh migran yang kompleks  di Wonosobo membuat Stevi Yean Marie tergerak untuk melakukan kontribusi dalam isu tersebut. Stevi sehari-hari bekerja sebagai perangkat desa Lipur Sari, Kepala Urusan Keuangan. Awalnya, Stevi hanya berpikir bagaimana caranya supaya bisa memberikan pemahaman yang tepat sasaran terkait segala informasi yang dibutuhkan Buruh Migran Indonesia (BMI). Stevi menggunakan kesempatan hadirnya Social Analysis and Research Institute (SARI) Solo, di bawah kemitraan Migrant Care dan MAMPU, untuk terlibat di dalam kegiatan terkait BMI.

SARI Solo didukung Migrant Care dan MAMPU, melakukan assessment sebaran BMI di beberapa desa di Kecamatan Leksono, Watu Malang dan Sukoharjo. Stevi berperan sebagai enumerator dalam pendataan BMI di wilayahnya, Kecamatan Leksono. Ia melihat ini adalah langkah awal untuk mengetahui jumlah, kondisi dan kebutuhan BMI.

Pekerjaannya sebagai perangkat desa justru memberikan kemudahan sebagai jembatan komunikasi dengan pihak pemerintah terhadap permasalahan ini. Misalnya, kemudahan kerjasama dengan Balai Latihan Kerja, Koperasi dan UMKM untuk para mantan buruh migran.

Dari enumerator, Stevi melangkah ke pemberdayaan buruh migran purna, yakni buruh migran yang telah kembali ke tanah air tetapi belum mempunyai arah tujuan untuk kehidupan selanjutnya.

“Banyak di sini buruh migran yang kebingungan menggunakan penghasilannya selama di luar negeri. Mereka kadang menggunakan uangnya tanpa tujuan, setelah habis balik lagi ke luar negeri,” kata Stevi.

Melihat permasalahan tersebut, ia berjuang tak sebatas menjadi enumerator. Stevi memanfaatkan perpustakaan pribadi di rumahnya, yang dinamai Istana Rumbia, sebagai tempat penyuluhan bagi buruh migran yang akan pergi atau sudah pulang dan keluarga buruh migran yang ditinggal.

“Di Istana Rumbia, semua anak bebas membaca dan belajar bahkan anak-anak buruh migran mendapatkan pelajaran Bahasa Inggris gratis, gurunya anak saya sendiri yang mantan buruh migran di Singapura,” ujar Stevi.

Para buruh migran yang sudah pulang, diberi keterampilan untuk usaha di rumah, misalnya membuat manisan salak, karena salak di sana tumbuh subur. Selain itu diberi pengetahuan wirausaha dan diberi penyuluhan  terkait informasi yang dibutuhkan. Sedangkan untuk buruh migran yang akan berangkat, di Istana Rumbia melalui Program MAMPU, Stevi dan tim terus menyosialisasikan “Migrasi Aman”, yaitu sumber informasi yang benar meliputi prosedur kelengkapan dokumen, informasi hak-hak selama bekerja, pembekalan wawasan serta perizinan yang sah dari keluarga, dari kepala desa, dan lain-lain.

Buruh migran yang sudah pulang, merasa tertolong dengan adanya binaan di Istana Rumbia melalui Program MAMPU. Muliah, mantan buruh migran di Korea dan Taiwan, merasa terarah untuk menggunakan modal hasil kerjanya di luar negeri.

“Sebelumnya saya kebingungan buat apa uang yang saya dapat ini, ketika pulang dari Singapura, uang saya habis tidak karuan membuat saya bolak balik ke luar negeri lagi. Kalau sekarang, saya  sudah mendapat jalan. Uang saya belikan tanah, saya tanami salak dan kayu albasiah, hasilnya lumayan dan tidak hanya numpang lewat,” ujarnya.

Suharti juga merasakan manfaat ikut program diskusi yang difasilitasi MAMPU, “Setelah saya bolak-balik Malaysia dan Taiwan selama dua belas tahun, sekarang saya memilih membeli tanah dan ditanami salak dan durian untuk dijual. Sebagian modal, saya gunakan untuk membuat tempe, lumayan bisa membantu suami saya yang petani. Saya juga dapat banyak ilmu dan teman dari acara diskusi MAMPU,” kata Suharti.

Perubahan terlihat dari hasil pendataan Stevi dan tim, kini jumlah buruh migran tak sebanyak dulu dan yang kembali lagi ke luar negeri juga bisa dihitung.

“Kebanyakan mereka bekerja memanfaatkan potensi yang ada di Wonosobo, seperti menjadi petani, mengelola rumah makan, membuat oleh-oleh makanan khas dan pemandu wisata,” kata Stevi.