Cerita

Perbaikan Kondisi Kerja: Sebuah Cerita dari Pekerja rumahan di Yogyakarta

30 Desember 2016
Penulis: admin

Siti (58) tinggal di sebuah desa di kota Yogyakarta dengan dua anaknya yang sudah dewasa, seorang menantu dan dua cucu di sebuah rumah yang dimilikinya setelah suaminya meninggal dunia pada tahun 2002. Setelah tamat sekolah menengah atas pada pertengahan tahun 70-an, ia mulai mengerjakan beberapa pekerjaan yang berbeda.  Ketika ia bertemu dengan suaminya pada akhir tahun 70-an, ia telah menjalani pekerjaan paruh waktu dan penuh waktu, pekerjaan formal dan informal, sebagian besar di bidang garmen.

Ia tetap bekerja penuh waktu di sebuah rumah mode setelah menikah, tetapi ketika anak bungsunya tumbuh menjadi remaja, pada sekitar tahun 1998, ia merasa bahwa ia perlu menyediakan lebih banyak waktu dan perhatian kepada keluarganya.   Ia kemudian meninggalkan pekerjaan penuh waktunya dan mengerjakan pekerjaanya di rumah, membuat lubang kancing pakaian dan menjahit kancingnya.

Sebagai langkah pertama, Siti meminjam uang dari koperasi setempat untuk membeli mesin jahit sendiri dan bahan-bahan yang diperlukan.  Ia kemudian menghubungi perantara yang dikenalnya dari sesama pekerja rumahan dan dari tempat kerjanya yang terakhir.

Sampai sekarang, Siti telah bekerja sebagai pembuat lubang kancing dan menjahit kancing selama 16 tahun.  Secara umum ia menikmati hidupnya – menghabiskan waktu dengan keluarga dan bekerja dari rumah – tetapi ia tidak sepenuhnya puas dengan pekerjaannya. Ia menerima upah Rp 200 (AUD 1sen) untuk setiap lubang kancing dan Rp 450 (AUD 4sen) untuk setiap lubang kancing & untuk setiap kancing yang dijahitnya. Ia dapat mengantungi penghasilan sebesar Rp 1.000.000 (AUD $100) per bulan, yang harus disisihkannya untuk membeli bahan keperluan menjahit dan membayar listrik serta untuk pemeliharaan mesin jahitnya.  Anak dan menantunya melakukan pekerjaan yang berbeda, tetapi sama-sama di sektor informal dan bersifat paruh waktu.

Gabungan penghasilan mereka hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.  Mereka tidak mampu menjangkau program perlindungan sosial seperti Jamkesmas dan BPJS, tetap mereka tidak termasuk dalam kategori “miskin” menurut pemerintah, yang dalam kondisi sebaliknya akan memberikan perlindungan tersebut secara cuma-cuma.

Pada tahun 2008, Siti bergabung dengan kelompok pekerja rumahan yang diorganisir oleh Yasanti, sebuah LSM lokal yang beroperasi di DI Yogyakarta dan Jawa Tengah salah satu mitra MAMPU.

“Saya senang mempelajari topik-topik baru melalui grup ini, seperti masalah gender, hak asasi manusia dan kualitas kerja,” katanya. Ia telah memanfaatkan pengetahuannya, misalnya untuk meningkatkan kualitas produknya.

“Sebelumnya, saya mengukur jarak antara dua lubang kancing dengan menggunakan jari saya atau hanya berdasarkan perkiraan. Setelah saya belajar tentang kualitas kerja, saya memahami bahwa saya harus menawarkan produk-produk yang berkualitas tinggi. Sejak saat itu, saya membeli meteran kain dan pensil; dan jarak antara dua lubang kancing sekarang sudah sama.”

Siti menceritakan bahwa tidak pernah sekalipun  perantaranya menawarkan kenaikan upah.

Selama 16 tahun melakukan pekerjaan yang sama, upah membuat lubang kancing dan menjahit kancing yang diterimanya lambat laun naik dari Rp 150 (AUD 1sen) menjadi Rp 450 (AUD 4sen).  Kenaikan ini diberikan karena permintaannya.

Ia menekankan bahwa ia selalu mendukung permintaan kenaikan upahnya dengan fakta kenaikan harga bahan atau tarif listrik. Siti mempelajari hal ini sendiri, jauh sebelum ia bergabung dengan kelompok Yasanti.  Sekarang, dengan senang ia menceritakan pendekatan yang diterapkannya kepada para anggota kelompok lainnya.

“Saya senang karena kita semua dapat saling berbagi pelanggan dan mendukung satu sama lain dalam kelompok ini.  Dengan cara demikian, semoga kita semua dapat menciptakan kondisi kerja yang lebih baik.”  

– Siti adalah seorang pekerja rumahan yang telah bekerja selama 16 tahun.