Cerita

Tiga Aktivis Mantan Buruh Migran asal Wonosobo Berbagi Keterampilan dan Pengalaman

21 April 2016
Penulis: admin

Siang itu di Istana Rumbia, Wonosobo, Jawa Tengah, tiga mantan buruh migran di Wonosobo berbagi cerita kehidupan mereka sekarang. Ketiga perempuan tersebut kini aktif membantu kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan lembaga SARI Solo di Wonosobo, Jawa Tengah. SARI Solo adalah mitra kerja Migrant CARE, salah satu mitra utama MAMPU yang bekerja untuk memastikan jaminan perlindungan bagi buruh migran perempuan. Hadirnya Program MAMPU melalui SARI Solo di Wonosobo, membuat tiga mantan buruh migran ini tergerak untuk memperjuangkan hak-hak Buruh Migran yang akan berangkat, yang masih bekerja di luar negeri dan yang sudah kembali ke Indonesia melalui program Desa Peduli Buruh Migran (DESBUMI).

Yang pertama adalah, Retno Palupi. Ada tiga kesibukan Retno setelah pulang ke Indonesia. Pertama, sekarang menjadi pengajar Bahasa Inggris di Istana Rumbia, sebuah perpustakaan atau ruang belajar terutama bagi anak-anak buruh migran yang sedang bekerja di luar negeri. Retno yang dulu bekerja selama lima tahun di Singapura, mempunyai keterampilan berbahasa Inggris yang baik. Oleh karena itu, Retno mengajar anak-anak tersebut setiap hari Minggu dengan metoda percakapan dan menulis.

“Anak-anak di sini sangat senang belajar Bahasa Inggris, mereka selalu menagih ingin belajar. Saya jadi terbawa semangat mengajar mereka,” kata Retno.

Kedua, Retno sehari-hari bekerja di warung makan. Pekerjaan ini adalah sumber utama pendapatan Retno sekarang. Terakhir, Retno sangatlah aktif dalam kelompok mantan buruh migran binaan SARI Solo sebagai Ketua Kelompok MUIWO (Migrant Care United Indonesia Wonosobo). Dalam organisasi tersebut, Retno berperan sebagai penentu kebijakan dan koordinasi anggota yang mayoritas merupakan mantan Buruh Migran Indonesia. Posisi ini adalah posisi yang sangat strategis bagi Retno untuk melindungi para calon dan mantan buruh migran.

“Melalui organisasi ini, saya berharap bisa selalu berbagi ilmu, pengalaman dan menggali masalah para anggota untuk membantu mencarikan solusinya.”

Mantan buruh migran yang kedua adalah Siti Mariam Ghozali atau akrab dipanggil Maria. Ia adalah penggagas Istana Rumbia, perpustakaan tempat Retno mengajar Bahasa Inggris. Maria, mantan buruh migran Hong Kong dan Taiwan ini, mengerti bagaimana pentingnya mendampingi anak-anak para buruh migran Indonesia yang sedang bekerja di luar negeri.

“Perpustakaan ini ada sebagai tempat belajar dan berbagi ilmu bagi semua masyarakat. Tapi terutama anak-anak yang sedang ditinggalkan ibu-ibu mereka untuk bekerja di luar negeri,” ungkap Maria.

Selain itu, Maria membimbing mantan Buruh Migran Indonesia di Wonosobo untuk berwirausaha. Ia sehari-hari bekerja di Badan Permusyawaratan Desa sebagai Sekretaris dan Narasumber UKM.

“Saya melihat banyak mantan buruh migran binaan saya yang sekarang berwirausaha. Ada yang membuka warung makan, membuat industri rumahan, seperti manisan salak, Batik, keripik tempe dan lain-lain,” ungkap Maria yang sekarang pun ikut aktif menjadi peserta pelatihan di organisasi Migrant Information Center.

Terakhir adalah Anissa Hanifa. Anissa yang merupakan mantan buruh migran di Malaysia dan Hong Kong ini sekarang mempunyai usaha salon kecantikan. Salon ini adalah pendapatan utama dari Anissa. Keterampilan merias dan membuka usaha salon kerap ia bagikan kepada para mantan buruh migran yang tertarik mencoba berkarya seperti dirinya.

Selain itu, Anissa bertugas sebagai enumerator Koordinator Wilayah Wonosobo. Melalui tugasnya ini, ia aktif menampung keluhan para calon dan mantan Buruh Migran Indonesia. Ia membantu menyalurkan para mantan buruh migran ke Balai Latihan Kerja atau Lembaga Pelatihan Kursus di Wonosobo, agar mereka punya keterampilan dan bisa dimanfaatkan untuk berusaha.

Ketiga aktivis mantan buruh migran ini aktif membina para mantan buruh migran agar punya keterampilan dan memanfaatkannya untuk membuat usaha.

“Saya ingin para mantan buruh migran terutama yang perempuan mempunyai usaha dan sumber pendapatan sendiri di wilayah mereka, jadi mereka tak harus kembali lagi ke luar negeri meninggalkan negara dan keluarganya.” Ungkap Annisa.

Harapan mereka melalui program DESBUMI, agar para mantan buruh migran yang telah mempunyai keterampilan bisa bersemangat membangun daerah mereka sendiri sehingga bisa mendatangkan manfaat bagi dirinya sendiri, keluarga, komunitas dan negara.