Cerita

Pendamping Penyintas dalam Komunitas Bantu Tangani Kekerasan Seksual terhadap Perempuan Difabel

30 Desember 2015
Penulis: admin

Ratna Dewi Setyaningsih (38), yang akrab disapa Ratna, adalah salah satu pendamping kelompok organisasi penyandang disabilitas. Ratna mendedikasikan waktunya di Center for Improving Qualified Activity in Live of People with Disabilities (CIQAL) untuk memperjuangkan hak-hak perempuan difabel yang semakin tersingkir. Saat ini, ia menjabat sebagai Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Provinsi Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta.

Menurut Ratna, mendampingi para penyintas walau sudah sesuai prosedur yang standar, tetap banyak tantangan. Salah satunya adalah sulitnya mengedukasi keluarga dalam memberikan pemahaman bahwa memiliki anggota keluarga penyandang difabel tak perlu disikapi dengan malu. Namun, masih banyak keluarga korban yang menganggapnya sebagai aib berlapis: sudah difabel, menjadi korban kekerasan seksual pula. Akhirnya, pihak keluarga membiarkannya dan tak peduli lagi.

Akan tetapi, dengan adanya program MAMPU, ada peningkatan pendamping melalui komunitas. Dengan banyaknya tempat pengaduan yang dibentuk, membuat masyarakat lebih leluasa untuk berbagi cerita. Karena komunitas di posko terdekat lebih dikenal mereka. Pendamping yang ada di komunitas tersebut akan menindaklanjuti permasalahan para korban ke organisasi tingkat atas jika diperlukan.

“Permasalahan untuk mendapatkan fasilitas konseling, pemeriksaan kesehatan dan perlindungan hukum bagi para korban sudah tak terlalu menghambat karena Organisasi Penyandang Difabel dan Komunitas sudah bermitra dengan organisasi lain dan saling melengkapi. Permasalahan yang ada hanya untuk kaderisasi. Kami harus lebih bekerja keras lagi,” kata Ratna.

Ada dua komunitas di Sleman yang merupakan bagian dari Organisasi Penyandang Disabilitas (OPD). Komunitas ini sudah bersedia menjadi posko pengaduan bagi masyarakat yang menemui kekerasan seksual pada perempuan penyandang difabel, yakni di Kecamatan Ngaglik dengan koordinator Waluyo dan Kecamatan Mlati dengan koordinator Dodi.

Waluyo mengungkapkan bahwa untuk menjadi pendamping memerlukan komitmen tinggi dari diri sendiri. “Dalam menampung keluhan masyarakat harus punya empati, rasa percaya diri serta sikap membuka diri,” kata Waluyo.

“Kendala Sumber Daya Manusia, waktu dan finansial terus terang saja, masih menjadi hambatan dalam proses pendampingan yang maksimal,” tambahnya.

Hariyanti (40), Humas, Sekretaris dan Bendahara Organisasi Difabel Mlati (ODM) juga berbagi pengalaman ketika mendampingi penyintas. Ia menjadi koordinator di Kelurahan Telogo Hati. Hariyanti selalu siap menampung pengaduan dari perempuan difabel di daerahnya. Dalam setiap diskusi rutin tiga bulan sekali, Ia memberikan pemahaman dan mendiskusikan temuan masalah sampai mencari solusi. Aspirasi dari perempuan-perempuan difabel dan masyarakat sekitarnya, ditampung dan dilaporkan ke CIQAL jika masalah tak dapat diselesaikan di daerahnya.

Kegiatan pendampingan kepada para penyintas yang dilakukan CIQAL perlu diapresiasi dan didukung. Maka, diperlukan partisipasi dari para pemangku kepentingan dalam bentuk tindakan nyata untuk berperan serta dalam mencegah dan menangani kekerasan seksual terhadap perempuan disabilitas.

Dengan adanya program MAMPU, diharapkan pendampingan kepada para penyintas melalui peran komunitas akan terus semakin meningkat dan tingkat kekerasan seksualitas terhadap perempuan penyandang disabilitas dapat diminimalkan.