Kunjungan Kedutaan Australia ke Serikat Pekerja Rumahan di Tanjung Morawa, Sumatera Utara

Pada 26 Juli 2016, Perwakilan Kedutaan Besar Australia untuk Indonesia bersama-sama dengan Program MAMPU melakukan kunjungan ke Serikat Pekerja Rumahan (SPR) di Tanjung Morawa, Deli Serdang, Sumatera Utara.

Dalam kesempatan tersebut, Patricia Bachtiar dari Kedutaan, melakukan dialog dan diskusi bersama-sama dengan para anggota Serikat Pekerja Rumahan.

Ibu Rosita Limbong, wakil ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) SPR Kota Medan, bercerita tentang pengalaman mengadvokasi kenaikan upah kepada perantara. Beliau bekerja membungkus cabe yg biasa menjadi bumbu pelengkap mie instant.

Kelompok perempuan Pekerja Rumahan di Tanjung Morawa ini merupakan salah satu kelompok dampingan dari Yayasan Bina Keterampilan Pedesaan Indonesia (BITRA). BITRA memfasilitasi dan mengarahkan pelaksanaan untuk memberdayakan masyarakat terutama marginal di daerah pedesaan dan mengembangkan pelayanan publik di berbagai tingkatan. BITRA telah melakukan kegiatan mereka di beberapa daerah, termasuk Sumatera Utara (Langkat, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Tapanuli Selatan) dan Aceh (Bener Meriah Bireuen, Aceh Barat Daya, Aceh Tenggara, Aceh Singkil, Simeulue).

Dilaporkan oleh: Qorihani (Partner Engagement Officer – Program MAMPU)

Kisah SPR Sejahtera Tingkatkan Wawasan Pekerja Rumahan

Hasnidah, seorang pekerja rumahan yang tinggal di Tanjung Morawa, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Ia bekerja sebagai pembungkus sedotan untuk air minum kemasan. Sudah hampir satu tahun ia bekerja sebagai pekerja rumahan. Ia bekerja sekitar 8-9 jam per hari. Dalam satu hari, ia bisa menyelesaikan 1 goni pipet dengan upah sebesar Rp 8.000 ,-.

Menurut Hasnidah, masyarakat di daerahnya tinggal menganggap pekerja rumahan adalah pekerjaan sepele karena upah yang mereka terima tidaklah layak.  Berusaha untuk memperbaiki keadaan pekerja rumahan ini, ia bergabung dengan Serikat Pekerja Rumahan (SPR) Sejahtera.

Sebelum bergabung dengan SPR Sejahtera, ia tidak mengetahui standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Sekarang, setelah mengikuti berbagai pertemuan kelompok, ia menyadari bahwa pekerja rumahan perlu memperhatikan K3 saat bekerja. Ia paham dengan kondisi kesehatan yang baik, maka pekerja rumahan dapat bekerja dengan baik pula. Selain itu, pengetahuannya mengenai isu – isu yang berkembang juga bertambah. Contoh lain yang ia alami setelah bergabung dengan SPR Sejahtera adalah bertambahnya wawasan dan pengetahuan tentang isu-isu yang sedang berkembang. Ia bersyukur karena SPR Sejahtera mendorong pekerja rumahan untuk terus maju dan mengangkat derajat mereka.

“Sejak aktif ikut pertemuan bulanan SPR Sejahtera, semangat kerja kami meningkat. Wawasan kami pun bertambah. Sekarang, kami berani untuk berbicara di depan publik,”  ujar Hasnidah.

Tidak hanya sampai di situ, Hasnidah dan Mislam, ketua SPR Sejahtera DPC Deli Serdang mengajak para pekerja rumahan untuk berorganisasi dan mengikuti pertemuan SPR Sejahtera.

“Pekerja rumahan yang saya jumpai sangat antusias bergabung ke SPR Sejahtera. Mereka menyaksikan banyak  perubahan-perubahan yang dialami oleh anggota SPR Sejahtera, terutama di Tanjung Morawa. Mereka berharap dapat menjadi pribadi yang lebih baik dengan dampingan SPR Sejahtera,” ujar Hasnidah.

Mereka berharap SPR Sejahtera terus tumbuh dan tetap semangat mendampingi para pekerja rumahan di Deli Serdang.

 

Penyempurnaan dari cerita Most Significant Change yang ditulis oleh Dewi Bernike Tampubolon (BITRA), dari Tanjung Morawa, Deli Serdang, Sumatera Utara

Mitra MAMPU Berkonsolidasi untuk Tingkatkan Perlindungan Pekerja Rumahan Perempuan

Akhir-akhir ini, pertumbuhan pekerja rumahan mengalami peningkatan yang signifikan di berbagai sektor industri dan jasa. Hal ini terjadi seiring berkembangnya jumlah angkatan kerja perempuan dalam pekerjaan berbayar. Sejak pertumbuhan industri di Asia yang mengalami peningkatan akibat globalisasi dan permintaan konsumen di negara-negara maju, kebutuhan strategis di berbagai sektor industri turut meningkat. Kebutuhan strategis itu dijawab dengan cara memindahkan sebagian aktivitas usahanya ke beberapa negara berkembang, seperti Indonesia.

Negara berkembang menjadi salah satu tujuan pemindahan aktivitas usaha karena tersedianya jumlah tenaga kerja yang banyak dengan upah buruh yang relatif murah. Hal tersebut menarik investor asing untuk untuk mengalihkan produksinya di negara-negara tersebut sehingga membentuk pola hubungan kerjasama antara negara industri pemilik modal dan negara tempat produksi. Hubungan produksi antara negara pemilik modal dan negara tempat produksi membentuk rantai pasok (supply chain) global.

Selain itu, peningkatan penggunaan pekerja rumahan juga disebabkan oleh adanya tekanan pasar terhadap pengusaha untuk mendapatkan cara yang murah, fleksible dan produktif untuk menghasilkan produk yang kompetitif. Untuk lebih menekan biaya produksinya, perusahaan mengeluarkan pekerjaan ke luar pabrik dan memberikannya kepada pekerja-pekerja di luar pabrik, atau disebut juga dengan pekerja rumahan.

Menurut Konvensi ILO No. 177 tahun 1996 tentang Kerja Rumahan, Kerja Rumahan adalah kerja yang dilakukan oleh seseorang di dalam rumahnya atau di tempat lain yang dipilihnya, di luar tempat kerja milik majikan/ pengusaha untuk memperoleh upah, dan hasilnya berupa produk atau jasa yang ditetapkan oleh majikan/ pengusaha terlepas dari siapa yang menyediakan bahan baku, peralatan, dan masukan lain yang dipergunakan.

Tidak seperti pekerja di dalam pabrik, pekerja rumahan dibayar berdasarkan target kerja, seperti jumlah produk yang mampu dihasilkannya (satuan), bukan berdasarkan lama kerja atau jam kerja, tanpa memperhitungkan penyediaan alat dan bahan tambahan yang harus disiapkan oleh pekerja rumahan.  Upah yang didapatkan langsung dari perusahaan atau pemberi kerja di mana ia mengambil barang untuk diproduksi. Biasanya, para pekerja rumahan menerima pekerjaan dari sub-kontraktor perusahaan tertentu atau perantara.

Berangkat dari kondisi di atas, program MAMPU (Maju Perempuan Indonesia untuk Penanggulangan Kemiskinan) mendukung peningkatan akses perempuan terhadap pekerjaan, khususnya Perempuan Pekerja Rumahan, dengan melakukan kerja sama dengan Mitra Wanita Pekerja Rumahan Indonesia (MWPRI) di Malang, Yayasan Bitra Indonesia di Medan, Trade Union Right Center (TURC) di Jakarta dan Yayasan Annisa Swasti (YASANTI) di Yogyakarta untuk melakukan pengorganisasian, penguatan dan advokasi untuk Pekerja Rumahan sejak 2013 sampai sekarang. Hasil dari kegiatan untuk pekerja rumahan ini adalah terdata dan terbentuknya organisasi pekerja rumahan di Indonesia, khususnya di 7 provinsi di Indonesia. Saat ini, terhitung sebanyak 4.778 orang pekerja rumahan di tujuh provinsi tersebut yang sudah dijangkau oleh jaringan mitra Pekerja Rumahan.

MWPRI, didukung oleh Program MAMPU, melaksanakan konsolidasi nasional Perempuan Pekerja Rumahan yang dilaksanakan selama dua hari, dari tanggal 19-20 April 2016 di Fave Hotel, Jakarta. Acara ini dihadiri oleh 24 perwakilan pekerja rumahan dari 7 Provinsi (Sumatra Utara, Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur). Kegiatan ini menjadi ruang berbagi cerita dan pengalaman terkait pengorganisasian, penguatan kapasitas dan advokasi pekerja rumahan yang sudah dilaksanakan, mulai dari tingkat lokal, kabupaten, kota, provinsi maupun tingkat nasional. Hal ini diharapkan dapat menjadi pembelajaran untuk memperkuat pengorganisasian, penguatan dan advokasi yang selama ini sudah dilakukan.

Dalam kesempatan tersebut, disampaikan pula materi advokasi nasional berupa “Kerangka Kertas Kebijakan: Pengakuan dan Perlindungan Bagi Pekerja Rumahan di Indonesia”, yang merekomendasikan kepada kementrian terkait untuk melakukan tindakan dan langkah nyata untuk memberikan pengakuan dan perlindungan bagi Pekerja Rumahan.

Pekerja Rumahan yang menjadi mayoritas tenaga kerja sektor informal, keberadaannya tidak terlindungi oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan sehingga mereka sangat rentan terhadap praktik eksploitasi, perbudakan modern dan pelanggaran HAM. Kondisi pekerja rumahan masih jauh dari standar upah minimum yang berlaku serta tidak adanya perlindungan kesehatan, keselamatan dan keamanan kerja, maupun jaminan sosial.

Sampai sekarang, belum ada kebijakan lokal maupun nasional yang secara jelas mengarah pada perlindungan dan pemberdayaan pekerja rumahan. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan hanya menyinggung secara implisit mengenai pekerja rumahan, sehingga pekerjaan rumahan yang berada di sektor informal tidak dapat dijangkau oleh aturan tersebut.  Pekerjaan rumahan dikenal sebagai area yang sulit untuk diawasi, dipantau dan ditegakkan hukum ketenagakerjaannya.

Pemerintah diharapkan dapat memberikan pengakuan dan perlindungan melalui aturan hukum bagi pekerja rumahan yang menyandang posisi hukum, sosial dan ekonomi sangat lemah. Bentuk aturan hukum yang dimaksudkan adalah melalui kebijakan dan perlindungan bagi pekerja rumahan di Indonesia, pendataan pekerja rumahan dan memasukkan pekerja rumahan dalam program-program pembangunan di Indonesia.

Konsolidasi Pekerja Rumahan Indonesia ini juga menyepakati untuk melakukan advokasi dan aksi terkait advokasi kebijakan, yaitu dengan melakukan audiensi ke tiga kementerian, antara lain: Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta Kementerian Dalam Negeri.

Dilaporkan oleh: Dardiri Dardak (MWPRI)

Juliani: Magang Pengurus SPR Sejahtera, Membawa Manfaat

Aku Juliani, seorang wakil ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Serikat Pekerja Rumahan (SPR) Sejahtera di Deli Serdang, Sumatera Utara. Sudah setahun ini aku menjabat sebagai wakil ketua DPD SPR Sejahtera. Aku senang sekaligus bangga karena para anggota SPR Sejahtera telah memberikan kepercayaan dan tanggung jawab kepadaku.

Pada awalnya, aku masih belum mengerti harus menjalankan program taktis apa sebagai wakil ketua DPD SPR Sejahtera. Mengetahui kekhawatiranku ini, SPR Sejahtera memberikan kesempatan untuk magang di Serikat Buruh Bersatu Indonesia (SBBI) dengan didampingi oleh Bapak Dahlan Ginting, ketua SBBI. Selama masa magang tersebut banyak hal yang aku pelajari. Peristiwa yang paling berkesan adalah saat aku ikut serta dalam agenda penanganan kasus di kantor Pengadilan Negeri Medan. Aku jadi mengetahui bagaimana proses penyerahan bukti tertulis dari penggugat dan tergugat.

Pada hari berikutnya, SPR Sejahtera mengajakku ke kantor Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Medan untuk mengikuti sidang mediasi. Sepulang dari Disnaker Kota Medan, aku dan Bapak Dahlan Ginting langsung bergegas menuju ke kantor Serikat Pekerja Nasional (SPN) untuk mengikuti rapat Aliansi Serikat Pekerja Se‐Sumatera Utara untuk membicarakan agenda Penolakan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Sungguh pengalaman luar biasa yang membuka mataku tentang perundang-undangan dalam pengupahan pekerja.

Pengalaman ini tidak hanya mengajarkanku tentang bagaimana melakukan pengaduan dan penyelesaian kasus tetapi juga bagaimana cara mengorganisir anggota SPR untuk tujuan bersama. Aku juga semakin handal menyuarakan pendapat untuk kebaikan pengurus Serikat Pekerja, terutama dalam hal upah. Aku semakin bersemangat untuk belajar bagaimana menjadi seorang pemimpin yang baik. Semoga aku dapat membawa SPR Sejahtera mencapai kesuksesan.

Salam, Juliani.

Ditulis oleh: Juliani

I`ve always wanted to help pro essay writer others through my writing

Kisah Pekerja Rumahan Berhasil Dapatkan Kenaikan Gaji Berbekal Pelatihan BITRA

September 2014 merupakan bulan tak terlupakan bagi Juliani, seorang pekerja rumahan dari Deli Serdang, Sumatera Utara. Untuk pertama kalinya, ia dan beberapa pekerja rumah lainnya mempunyai keberanian untuk menuntut kenaikan gaji. Pekerja rumahan ini telah mulai bekerjasama untuk memperbaiki kondisi kerja mereka.

 

Juliani sekarang menjadi wanita yang berbeda. Tiga bulan lalu, dia bahkan tidak tahu bahwa apa yang telah ia lakukan selama delapan tahun di rumahnya adalah kategori pekerjaan yang disebut pekerjaan rumah. Pekerja rumahan istilah digunakan untuk merujuk kepada pekerja di luar industri yang melakukan pekerjaan di rumah-rumah mereka, untuk perusahaan atau perantara mereka, biasanya upah dibayarkan berdasarkan jumlah yang mereka hasilkan. Pekerja rumahan bekerja di dalam rumah, dan sering terpisah dari pekerja lain dan masyarakat setempat. Kegiatan ini cenderung tidak terlihat dengan mata publik meskipun kontribusinya besar terhadap perekonomian.

 

Juliani telah menjahit kursi bayi di rumah untuk sebuah perusahaan di dekatnya, menerima Rp.7000 (AUD 70c) per lusin. Perusahaan ini menyediakan bahan yang diperlukan (kain, busa dan pinggiran kain), dan selain mesin jahit, dia mempersiapkan peralatan sendiri seperti jarum, benang dan gunting. Rata-rata, dia bisa menjahit sampai tujuh lusin kursi bayi per hari, memperoleh penghasilan bulanan mulai dari Rp 400.000 (AUD$ 40) untuk 1.500.000 (AUD$ 150) tergantung pada pesanan. Pendapatannya telah membuat kontribusi yang signifikan terhadap pendapatan rumah tangga nya selain itu dari suaminya Sudiono. Suaminya bekerja sebagai pekerja konstruksi kasual dan menerima antara Rp. 600.000 (AUD$ 60) dan Rp.2.000.000 (AUD$ 200) per bulan.

 

“Saya tidak pernah memiliki keberanian untuk berbicara dengan majikan saya tentang masalah saya sebelumnya. Tapi saya merasa memiliki lebih banyak pengetahuan dan keberanian sekarang berkat pelatihan yang saya terima dari BITRA, “katanya.

 

Yayasan BITRA, salah satu mitra MAMPU, mengatakan bahwa pekerja rumahan, yang sebagian besar perempuan, sangat rentan karena mereka kurang dalam perlindungan hukum yang memadai dan bekerja dalam isolasi dengan daya tawar yang lemah. Mereka bekerja dengan sistem informal tanpa kontrak tertulis, sering menerima kurang dari upah minimum, jam kerja yang sangat panjang dan tidak memiliki keamanan kerja. Penggunaan peralatan dan bahan-bahan tertentu yang mungkin berbahaya dapat mengekspos tidak hanya pekerja tetapi juga anggota keluarga, termasuk anak-anak, ke berbagai risiko keselamatan dan kesehatan.

 

Sejak bergabung, Juliani berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh BITRA. Dia belajar tentang banyak hal termasuk hak-haknya sebagai pekerja, undang-undang ketenagakerjaan yang relevan, kesetaraan gender, perlindungan sosial dan bagaimana berkomunikasi dan bernegosiasi yang lebih baik.

 

“Pada awalnya, saya sangat kewalahan dan takut kehilangan pekerjaan saya, saya bahkan berpikir tentang meninggalkan BITRA. Tapi mentor saya meyakinkan untuk tetap bergabung dan terus mengembangkan diri.”

 

Dengan lebih banyak pengetahuan tentang hak-hak mereka sebagai pekerja, Juliani dan rekan-rekan kerjanya merasa cukup percaya diri untuk mendekati majikan mereka untuk menuntut kenaikan gaji.

 

“Perantara, sebagai perwakilan dari perusahaan, kesal dengan permintaan kami untuk naik gaji. Mereka tidak ingin membicarakannya,” kata Juliani.

 

Namun, ia menolak untuk menyerah. Dia kemudian secara pribadi mendekati perantara lagi dan membicarakannya dengan cara yang masuk akal, menjelaskan bahwa kenaikan yang sedang menuntut adalah untuk menutupi biaya peningkatan transportasi dan bahan.

 

“Menerapkan apa yang saya pelajari dari pelatihan, saya meminta mereka untuk mempertimbangkan permintaan kami karena sebelumnya kami tidak pernah meminta kenaikan gaji,” tambahnya. Akhirnya, keberanian tersebut menghasilkan kebaikan. Perantara memberi kabar bahwa perusahaan akan meningkatkan tingkat Rp 8.000 (AUD 80c) per lusin, tidak hanya untuk dirinya tapi juga untuk seluruh anggota kelompoknya.

 

“Kami semua sangat gembira dengan kabar baik ini.”

 

Juliani sekarang seorang wanita berubah. Dia terinspirasi untuk menjadi kuat, cerdas dan berani. Dia juga menetapkan tujuan pribadi untuk terus memperkuat keterampilan, meningkatkan pendapatan, dan meningkatkan kondisi kerja nya. Dia bahkan berbicara dengan suaminya tentang kesetaraan dan bagaimana dia menghargai kontribusi suaminya untuk pekerjaan rumah tangga dan kontribusinya terhadap ekonomi rumah tangga mereka.

 

“Maju terus, pantang mundur. Prinsip hidup saya saat ini,” kata Juliani.

 

Didokumentasikan oleh Novita Hendrina (eks ILO-MAMPU)

Deli Serdang, Sumatera Utara