Laporan Tematik Studi Midline MAMPU Tema 2: Akses Perempuan Miskin Pekerja Rumahan terhadap Perlindungan Sosial Tenaga Kerja

Studi akses perempuan miskin terhadap layanan publik merupakan bagian dari studi longitudinal yang dijalankan selama enam tahun (2014–2020) atas kerja sama antara The SMERU Research Institute dan Program Kemitraan Australia-Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan (MAMPU).

Studi ini berfokus pada pekerja rumahan kategori subkontrak/putting out system/borongan, dan bertujuan mendalami perubahan akses perempuan miskin pekerja rumahan terhadap perlindungan sosial tenaga kerja antara 2014–2017.

Hanya tersedia dalam Bahasa Indonesia.

Nawala MAMPU Kita Edisi 7 (Januari-Februari 2019)

Nawala MAMPU Kita terbit setiap dua bulan sekali, menyampaikan kabar capaian serta kegiatan Program MAMPU bersama kedua pemerintah dan mitra organisasi masyarakat sipil. Program MAMPU adalah program inisiatif bersama antara Pemerintah Australia dan Pemerintah Indonesia. Program ini mendukung Pemerintah Indonesia dalam mencapai Target Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dengan membangun kepemimpinan dan pemberdayaan perempuan, sehingga akses perempuan terhadap pelayanan dasar dan program pemerintah meningkat.

Edisi ke-7 ini meliput berbagai kegiatan berbasis akar rumput yang diadakan oleh Mitra MAMPU di berbagai daerah. Mulai dari pendidikan politik di Jakarta, perencanaan keberlanjutan, hingga catatan tentang perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan di Solo. Kepesertaan MAMPU dan Mitra dalam kegiatan yang diselenggarakan melalui kerja sama Australia Award dengan University of Sydney juga turut mewarnai agenda MAMPU selama bulan Januari-Februari 2019.

Silakan klik tautan di bawah untuk mengunduh MAMPU Kita Newsletter Edisi ke-7.

Bahasa Indonesia | Bahasa Inggris

Kongres III SPR-Sejahtera Dorong Pengesahan Ranperda Ketenagakerjaan Sumatra Utara

Serikat Pekerja Rumahan Sejahtera (SPR-Sejahtera) yang kini telah berdiri selama empat tahun mengadakan Kongres III pada 24 Januari 2019 di Medan, Sumatra Utara. Acara ini bertujuan untuk menetapkan program strategis SPR-Sejahtera, memilih dewan pimpinan daerah periode 2019-2022, dan secara khusus membahas perkembangan Rancangan Peraturan Daerah Ketenagakerjaan Sumatra Utara.

 

Selain dihadiri oleh ratusan perempuan pekerja rumahan dari Deli Serdang, Binjai, dan Medan, Kongres SPR-Sejahtera juga dihadiri oleh perwakilan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatra, perwakilan Dinas Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, perwakilan Program MAMPU, Yayasan BITRA Indonesia, serta Pimpinan Serikat Pekerja/Buruh yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Peduli Pekerja Rumahan.

Juliani, Ketua SPR-Sejahtera, menyampaikan, “Pekerja rumahan merupakan bagian dari warga negara yang berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi Indonesia. SPR-Sejahtera akan terus memperjuangkan hak-hak pekerja rumahan dan negara juga harus hadir untuk melindungi pekerja rumahan.”

 

Perjuangan pekerja rumahan untuk mendapat pengakuan hukum dan perlindungan terus digaungkan. Saat ini, Ranperda Ketenagakerjaan yang mengandung aturan perlindungan pekerja rumahan telah menjadi Ranperda Inisiatif 2019. Anggota Komisi E DPRD Sumatra Utara Danil Siregar yang turut menghadiri Kongres III SPR-Sejahtera berjanji akan terus memperjuangkan Ranperda Ketenagakerjaan agar segera disahkan.

 

Pengurus SPR-Sejahtera terpilih untuk periode 2019-2022 adalah: Juliani (Ketua), Susiani (Wakil Ketua), Mislam (Sekretaris), Lisna Nasution (Wakil Sekretaris), Samsiah Harahap (Bendahara).

 

SPR-Sejahtera berdiri pada 2015 di Medan, berawal dari keinginan 10 kelompok  perempuan pekerja rumahan di Kabupaten Deli Serdang dan Kota Medan yang mengalami dan melihat kondisi pekerja rumahan yang buruk dan perlu perjuangan bersama-sama untuk memperbaiki kondisi pekerja rumahan tersebut. Kini, SPR-Sejahtera telah beranggotakan sekitar 1.200 pekerja rumahan.

 

Erika Rosmawati, Koordinator Program Yayasan BITRA, menuturkan, “Kami menaruh harapan pada pengurus terpilih agar dapat terus memperjuangkan hak-hak perempuan pekerja rumahan dan khususnya mengawal pengesahan Ranperda Ketenagakerjaan Sumatera Utara.”

 

Sementara Diana Johannis, Koordinator Tema Perbaikan Kondisi Kerja Program MAMPU, berharap seiring bertambahnya pengalaman, kapasitas SPR Sejahtera akan semakin meningkat dalam berjejaring, memperluas kepemimpinan perempuan, serta memberi pengaruh dan dampak bagi pekerja rumahan, serikat, dan pembangunan daerah.

Festival Perempuan Pekerja Rumahan Kembali Digelar, Perlindungan Hukum Jadi Tuntutan Utama

Trade Union Rights Centre (TURC) didukung Program MAMPU kembali menggelar Festival Perempuan Pekerja Rumahan (FPPR) pada 14-15 Desember 2018 di Kerta Niaga, Kawasan Kota Tua, Jakarta. FPPR 2018 diselenggarakan untuk mensosialisasikan keberadaan pekerja rumahan yang tersembunyi dari rantai pasok industri, serta mendorong keterlibatan masyarakat, akademisi, pemerintah, dan media terkait perlindungan pekerja rumahan.

Ani Marissa, perwakilan pekerja rumahan dari Solo, Jawa Tengah, menyampaikan harapannya agar pekerja rumahan diakui undang-undang sehingga bisa mendapatkan jaminan sosial seperti tenaga kerja lainnya.

“Regulasi khusus mengenai pekerja rumahan mutlak dibutuhkan untuk memberikan pengakuan akan statusnya dan perlindungan sebagai pekerja. Hal ini sekaligus menunjukkan negara hadir memberikan perlindungan kepada warga negaranya dengan jenis pekerjaan apapun tanpa diskriminasi,” ujar Andriko Otang, Direktur Eksekutif TURC.

Dalam sambutannya, Umar Kasim, Kepala Bagian Penelaahan Hukum dan Konvensi, Biro Hukum Kementerian Ketenagakerjaan RI, mengatakan usulan Rancangan Peraturan Menteri tentang Pekerja Rumahan sudah disampaikan kepada Kementerian. Langkah selanjutnya adalah mengkaji dan menuangkannya dalam pasal-pasal yang konkret agar tidak multitafsir.

Berbagai kegiatan menarik mengisi agenda FPPR 2008, seperti pemutaran film Angka Jadi Suara bersama sutradara Dian Septi Trisnanti, pameran karya pekerja rumahan, berbagi pengetahuan oleh peneliti feminis Ruth Indiah Rahayu dan pendiri majalah Magdalene Devi Asmarani, diskusi bersama ILO dan peneliti pekerja rumahan, diakhiri pertunjukan musik oleh Sister in Danger dan Ridlo Sorak.

FPPR 2018 diharapkan dapat menggalang dukungan lebih besar dari publik dan berbagi pihak terkait. Harapannya melalui kegiatan ini, masyarakat menjadi lebih paham dan mengenal siapa pekerja rumahan dan ikut berkontribusi dalam mendorong perlindungan hukum bagi pekerja rumahan.

Derap Kepemimpinan Sang Penggunting Bawang

Hidup Lisna Nasution, seorang penggunting bawang di Medan, perlahan berubah setelah bergabung dalam jaringan pekerja rumahan.

Pada 2015, Lisna bersama rekan-rekan pekerja rumahan di Sumatra Utara membentuk Serikat Pekerja Rumahan (SPR) Sejahtera. Selain didaulat menjadi Sekretaris DPD SPR Sejahtera Sumatra Utara, ia juga diminta menjadi fasilitator dalam pertemuan rutin kelompok pekerja rumahan dan melakukan kaderisasi.

Pada Mei 2018, kiprah Lisna bersama SPR Sejahtera meluas ke tingkat nasional. Ketika itu serikat pekerja rumahan dari tujuh provinsi yaitu Sumatra Utara, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta bertemu di Medan membentuk Jaringan Pekerja Rumahan Indonesia (JPRI). Berhasil meraih suara terbanyak, Lisna pun terpilih sebagai ketuanya.

Perjalanan Lisna dari penggunting bawang menjadi Ketua JPRI berawal pada 2014. Diana Silalahi, fasilitator lapangan Bina Keterampilan Pedesaan (BITRA) Indonesia, mitra MAMPU untuk tema perbaikan kondisi kerja, mengajak Lisna membentuk kelompok pekerja rumahan di wilayah tempat tinggalnya. Meski sempat ditolak, Diana tak patah arang.

“Awalnya saya meminta Diana mengajak tetangga saya yang juga penggunting bawang. Akhirnya, saya dan tetangga saya sama-sama ikut,” kenang Lisna, tertawa.

Sementara itu, Diana punya alasan tersendiri untuk bersikukuh mengajak Lisna berorganisasi dalam kelompok pekerja rumahan. Ia yakin, Lisna memiliki potensi sebagai calon pengurus serikat pekerja rumahan.

“Saya melihat Lisna orang yang mengenal hampir semua warga di lingkungan rumahnya. Ia juga orangnya polos dan bertanggung jawab. Kalau diminta melakukan sebuah tugas, pasti dijalankan dengan baik,” jelas Diana.

Dari berbagai kegiatan yang diikutinya dalam kelompok pekerja rumahan, yang paling berkesan di hati Lisna adalah pelatihan hukum dan hak asasi manusia, terutama yang terkait pekerja rumahan.

“Ternyata sebagai manusia, kami pekerja rumahan juga punya hak asasi. Seperti soal upah. Kalau dulu mikirnya, ‘Terima nasib sajalah, yang penting gajian setiap bulan,’” kenang Lisna. Berbekal pengetahuan baru ini, Lisna bisa mendapatkan kenaikan upah menggunting bawang. Kini, ia diupah Rp150 per kg, naik Rp50 dari upah tahun pertama.

 

Ikut Merancang Strategi Advokasi

Keterlibatan Lisna dalam merancang strategi advokasi untuk pekerja rumahan melalui proses yang panjang. Mulanya, ia mengikuti pelatihan ROCCIPI (Rules, Opportunity, Capacity, Communication, Interest, Process, and Ideology), sebuah metode untuk melakukan identifikasi masalah dalam perancangan perundang-undangan. Dari 30 peserta pelatihan, enam orang termasuk Lisna didapuk sebagai perwakilan pekerja rumahan dalam tim perumus rancangan peraturan daerah (Raperda) mengenai pekerja rumahan pada 2016.

Bersama rekan-rekannya sesama pekerja rumahan, Lisna mengidentifikasi berbagai permasalahan yang mereka hadapi dalam bekerja. Selain upah yang tidak layak, pekerja rumahan juga harus menyediakan alat kerja sendiri. Bahkan ada pekerjaan yang alat kerjanya membutuhkan biaya besar, seperti pembuatan kursi balita yang mengharuskan mereka memiliki mesin jahit sendiri. Hal ini tentu sangat memberatkan para calon pekerja rumahan. Mereka juga tidak memperoleh jaminan kesehatan dari pemberi kerja, padahal pekerjaan mereka pun ada yang berisiko tinggi.

“Misalnya, penganyam panggangan dari kawat. Ada teman saya yang tangannya terluka karena tertusuk kawat saat bekerja,” kata Lisna.

Nasib Lisna pun tak jauh berbeda. Demi mengejar target setoran ke agen, ia tak jarang harus begadang semalaman. Kulit di jemari kanannya mengeras akibat terus-menerus menggunting bawang. Para pekerja pun harus mengolah limbah bawang sendiri. Meminta petugas sampah mengangkut limbah bawang butuh biaya, sehingga para penggunting bawang terpaksa membakar limbah di halaman rumah masing-masing, sehingga asapnya mengganggu tetangga.

“Bila ada peraturannya, akan ada jaminan bagi perlindungan dan kesejahteraan pekerja rumahan,” tegas Lisna, yang bekerja dalam tim perumus bersama perwakilan dari berbagai pihak, seperti organisasi masyarakat sipil, serikat buruh, akademisi, Dinas Ketenagakerjaan, dan lembaga bantuan hukum.

Kini, sebagai ketua JPRI, ia memiliki tanggung jawab lebih besar.  Lisna mengenang betapa kagetnya dia saat mendapatkan amanah sebagai ketua.

“Tapi, karena teman-teman menyemangati dan janji untuk mendukung, saya optimis. Yang penting ikhlas hati, agar nanti gampang menjalaninya,” pungkas Lisna sambil tersenyum. (*)

Yayasan Annisa Swasti (Yasanti)

Yayasan Annisa Swasti (Yasanti)

Sejak 1982, Yayasan Annisa Swasti (Yasanti) memberdayakan perempuan, khususnya perempuan pekerja, lewat pengorganisasian komunitas, pendidikan, advokasi, dan memperkuat kemandirian ekonomi perempuan. Pada pertengahan 2014, Yasanti dan mitra-mitra MAMPU untuk Area Tematik 2 didukung oleh International Labour Organization (ILO) melakukan studi pemetaan kondisi pekerja rumahan dan dan pekerja informal lainnya yang bekerja dari rumah, untuk memperkuat advokasi demi pengakuan atas mereka di peraturan daerah maupun nasional. Sejak 2015, didukung Program MAMPU, Yasanti memberdayakan perempuan pekerja rumahan di 2 provinsi, yakni Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta dan Jawa Tengah, 4 kabupaten/kota, dan 30 desa/kelurahan.

 

Program organisasi sebagai mitra MAMPU:

  • Advokasi tingkat daerah dan nasional untuk mendorong perlindungan hukum, jaminan sosial, kesehatan dan ketenagakerjaan, akses program pemerintah bagi perempuan pekerja rumahan dan keluarganya.
  • Mengorganisir lebih dari 395 perempuan pekerja rumahan yang tergabung dalam 15 kelompok/serikat di 30 desa/kelurahan di Provinsi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta.
  • Penguatan kapasitas bagi perempuan pekerja rumahan melalui pendidikan dan pelatihan.
  • Program sekolah kepemimpinan feminis yang diimplementasikan di Provinsi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta
  • Penguatan program ekonomi melalui usaha bersama kelompok.

 

Capaian dalam Program MAMPU:

  • Telah adanya dokumen lembar kebijakan hasil analisa, berupa naskah akademik dan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) ketenagakerjaan pekerja rumahan, yang menjadi acuan bagi Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta dan Jawa Tengah untuk memberikan pengakuan dan perlindungan bagi perempuan pekerja rumahan.
    • DPRD Provinsi DI Yogyakarta telah melakukan kajian terkait perlindungan dan pengakuan sebagai dasar penyusunan Ranperda ketenagakerjaan pekerja informal.
    • Provinsi DI Yogyakarta melalui Biro Hukum dan Disnakertrans Propinsi DIY telah berkomitmen untuk penyelesaikan Peraturan Gubernur (Pergub) pekerja rumahan pada 2020.
    • Kelompok/serikat di desa/kelurahan di kabupaten/kota di DI Yogyakarta dan Jawa Tengah mendapat akses program pelatihan, pemeriksaan kesehatan, dukungan dari Dewan Pengurus Daerah Ikatan Wanita Pengusah Indonesia DI Yogyakarta (IWAPI DPD DIY) terkait kesehatan dan keselamatan kerja (K3), dukungan usaha kelompok dan lainnya dari desa/kalurahan, dinas terkait di kabupaten/kota dan provinsi.
  •  Dilibatkannya pekerja rumahan dalam perencanaan, pelaksanaan dan monitoring pembangunan desa dalam Musrengbang dusun/desa di Kabupaten Bantul dan Kota Yogyakarta, DI Yogyakarta dan Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
  • Kelompok/serikat di desa/kelurahan di kabupaten/kota di DI Yogyakarta dan Jawa Tengah mendapat akses program pelatihan, pemeriksaan kesehatan, kesehatan dan keselamatan kerja (K3), dukungan usaha kelompok dan lainnya dari desa/kalurahan, dinas terkait di kabupaten/kota dan provinsi.Dengan dukungan advokasi dari Yasanti yang bekerja sama dengan lembaga bantuan hukum setempat, Pengadilan Hubungan Industrial Provinsi Jawa Tengah telah memenangkan pekerja rumahan terkait kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan oleh perusahaan terhadap pekerja rumahan.

 

Yayasan Bina Keterampilan Pedesaan Indonesia (BITRA)

Yayasan Bina Keterampilan Pedesaan Indonesia (BITRA)

Didirikan pada 1986, BITRA bekerja untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat di pedesaan melalui advokasi kebijakan, aliansi strategis, pendidikan dan pelatihan. Didukung Program MAMPU, BITRA bekerja 30 desa/kelurahan di 4 kabupaten di Sumatra Utara.

 

Program yang dilakukan sebagai Mitra MAMPU:

  • Mengorganisir lebih dari 1.700 perempuan miskin untuk membentuk ‘Serikat Pekerja Rumahan’ di wilayah kerja mereka sejak 2014.
  • Mengembangkan kapasitas pekerja rumahan melalui diskusi rutin, pelatihan, peningkatan kesadaran, Sekolah Peningkatan Kapasitas, dan pembentukan serikat pekerja dan kelompok Credit Union (CU).
  • Mewakili dan mendampingianggotanya dalam diskusi dan negosiasi dengan pengusaha dan perusahaan untuk meningkatkan upah dan kesejahteraan pekerja rumahan.
  • Advokasi kebijakan dengan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatra Utara untuk mengembangkan peraturan daerah yang melindungi pekerja rumahan.
  • Advokasi akses Jaminan Kesehatan Nasional/Kartu Indonesia Sehat (JKN/KIS) sebanyak 1,841 orang pekerja rumahan dan keluarganya.

 

Capaian melalui Program MAMPU:

  • Jaringan pekerja rumahan telah membentuk 28 credit union di Sumatra Utara beranggotakan 500 orang, dengan tujuh kelompok di antaranya telah memulai usaha mikro.
  • Melakukan pengumpulan dan pemetaan data pekerja rumahan di Sumatra Utara (Binjai, Langkat, Deli Serdang, dan Medan).
  • Hasil-hasil kerja telah digunakan oleh mitra Area Tematik 2 untuk menyusun naskah akademik dan rancangan peraturan nasional untuk melindungi pekerja rumahan yang diajukan kepada Menteri Tenaga Kerja pada tahun 2018 (dipimpin oleh TURC).
  • Mengadvokasi Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Perlindungan Pekerja Rumahan. Pada 2018, Ranperda Perlindungan Pekerja Rumahan berganti nama menjadi Ranperda Ketenagakerjaan dan masuk dalam Program Legislasi Daerah (Prolegda) 2018.
  • Pada 2018, mengadvokasi kenaikan upah untuk 150 pekerja rumahan di Sumatra Utara dan tunjangan untuk menutupi biaya produksi dan listrik.

Didukung SPR Sejahtera, Pekerja Rumahan Kini Hidup Lebih Layak

Saya Nurhayati, seorang pekerja rumahan yang sehari-hari menganyam kawat untuk alat panggang di Tanjung Morawa, Sumatra Utara. Dulunya, saya tinggal di daerah Tapanuli Selatan, tetapi karena kehidupan ekonomi yang kurang mencukupi di sana, saya dan suami memutuskan untuk merantau ke Tanjung Morawa pada 2014.

Sejak itu pula, suami saya bekerja sebagai buruh pabrik. Saya ikut membantu mencari penghasilan tambahan sebagai penganyam kawat di sebuah bisnis rumahan. Sebagai pekerja rumahan, saya hanya menerima upah atas setiap produk yang saya kerjakan. Namun demikian, waktu pengerjaan anyaman kawat tersebut sungguh menyita waktu, sehingga upah yang saya terima setiap hari tidaklah besar. Saya merasa sistem pembagian upah ini merugikan pekerja rumahan.

Berusaha untuk memperbaiki keadaan pekerja rumahan ini, saya mencari bantuan ke beberapa pihak. Beberapa kawan yang mengetahui kondisi saya menyarankan untuk bergabung di Serikat Pekerja Rumahan (SPR) Sejahtera, salah satu kelompok dampingan Yayasan Bina Keterampilan Pedesaan Indonesia (BITRA) dan Program MAMPU. Setelah bergabung dengan SPR Sejahtera, saya mengikuti berbagai kegiatan kelompok seperti pendampingan untuk pekerja rumahan, pendidikan musyawarah bagi kelompok masyarakat dan pengorganisasian. Saya berharap dapat meningkatkan potensi diri melalui berbagai kegiatan tersebut.

Sebelum bertemu SPR Sejahtera dan BITRA, saya takut untuk bicara  di depan publik dan selalu gugup ketika menghadiri pertemuan-pertemuan di desa. Saya juga tidak mengerti hak-hak pekerja rumahan. Bahkan di rumah pun saya tidak berani mengkomunikasikan perasaan pada suami terkait pembagian pekerjaan rumah yang saya rasa tidak adil.

Tapi semua itu telah berubah semenjak mengikuti pelatihan-pelatihan yang diadakan oleh kedua kelompok tersebut. Saya merasa ada perubahan positif pada diri saya dan suami. Saya menemukan keberanian untuk bernegosiasi dengan atasan mengenai upah yang diberikan. Berkat hal tersebut, saya kini mendapat upah yang lebih layak.

Selain itu, saya mampu untuk mengkomunikasikan perasaan pada suami, terutama dalam hal pembagian pekerjaan rumah. Kini, ia memahami perasaan saya dan mau membantu pekerjaan di rumah. Saya merasa bahagia karena pembagian peran yang dijalankan dengan baik di dalam keluarga kami ini menimbulkan rasa saling menghormati. Kami sekarang hidup layak dan harmonis.

Saya berterima kasih pada SPR Sejahtera dan BITRA, berkat bantuan mereka kini kami memiliki kualitas hidup yang lebih baik.

Maju terus SPR Sejahtera! Maju terus BITRA!

Ditulis oleh: Nurhayati (SPR Sejahtera)

TURC Menyelenggarakan Women Home Workers Festival 2017

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), angkatan kerja bagi pekerja rumahan atau pekerja informal per-Februari 2017 adalah 131,55 juta orang. Dari angka tersebut tercatat laki-laki yang berada di sektor ekonomi informal sebesar 54,94%, sedangkan perempuan yang bekerja di sektor ekonomi formal sebesar 36,52% dan di sektor ekonomi informal sebesar 63,48%. Data dari BPS di atas menunjukkan bahwa tenaga kerja sektor informal didominasi oleh perempuan. Hal ini disebabkan oleh fleksibilitas jam kerja yang menjadi pesona dari sektor informal ini memungkinkan perempuan untuk dapat bekerja menghasilkan upah, namun masih tetap bisa menjalankan peran dan fungsi kulturalnya sebagai ibu rumah tangga. Sayangnya, perempuan pekerja rumahan masih mengalami berbagai persoalan seperti upah pekerjaan yang tidak sesuai dan jaminan perlindungan yang masih minim yang kesemuanya menambah daftar kerentanan perempuan dalam aspek ketenagakerjaan.

Bergerak dari keprihatinan di atas dan sebagai bagian dari program Tematik Area 2 yang berfokus pada peningkatkan kondisi pekerjaan dan penghapusan diskriminasi di tempat kerja, serta meningkatkan akses layanan pekerja rumahan terhadap kondisi kerja layak, MAMPU bekerjasama dengan Trade Union Rights Centre (TURC) sebagai pusat studi dan advokasi isu perburuhan menyelenggarkan Women Home Workers Festival 2017 yang dilangsungkan selama dua hari dari tanggal 22-23 Desember 2017 di Jakarta Creative Hub, Jakarta Pusat.

Women Home Workers Festival 2017 ini adalah wujud kampanye kreatif untuk menyuarakan isu-isu tentang perempuan-perempuan pekerja sektor informal untuk mengenal  lebih dekat mengenai isu-isu perempuan pekerja rumahan serta meningkatkan kesadaran akan fenomena informalisasi pekerjaan dan implikasinya pada perempuan pekerja rumahan. Kegiatan ini melibatkan publik, instansi pemerintah terkait, media dan  organisasi-organisasi masyarakat sipil seperti Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Jurnal Perempuan, MWPRI, BITRA dan SINDIKASI, PEKKA, Jaringan Buruh Migran, KIARA. serta serikat pekerja/ serikat buruh. Pada penyelenggaraan tahun ini, organisasi-organisasi peserta memamerkan berbagai produk hasil kerja perempuan pekerja rumahan seperti, bantal, hasil anyaman, kotak pembungkus dan lain-lain. Selain itu festival ini juga menyelenggarakan beberapa diskusi panel yang membahas berbagai topik seperti: tren infromalisasi pekerjaan dan home based worker oleh Ratna Saptari sebagai Penulis Buku Perempuan dan Perubahan Sosial; pemutaran film tentang perempuan pekerja rumahan serta booth informasi berbagi lowongan pekerjaan rumahan.

Salah satu daya tarik dari festival tahun ini adalah ditampilkannya bantal-bantal dan selimut sebagai media instalasi dengan berbagai gambar dan tulisan/cerita menarik seperti: ’Kerja Layak’, ‘Home Worker Festival’, ‘Perempuan Pekerja Rumahan’, dan lain-lain. Ide medium bantal dan selimut ini merupakan hasil kolaborasi antara TURC dan mahasiswa lintas jurusan Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Bantal dan selimut ini merepresentasikan kondisi para perempuan pekerja rumahan saat ini yang kurang mendapatkan waktu untuk beristirahat.

Evania Putri, Ketua Pelaksana Women Home Workers Festival mengatakan, “Women Home Workers Festival ini dapat menjadi jembatan dan ruang diskusi bersama untuk menemukan solusi perbaikan kondisi kerja bagi para pekerja sektor informal, serta menjadi wujud nyata dalam mendorong perlindungan hukum bagi pekerjaan berbasis rumahan yang banyak didominasi oleh pekerja perempuan.”

YASANTI Peringati Hari HAM Sedunia Bersama 500 Perempuan Pekerja Rumahan

Memeringati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) sedunia, Yayasan Annisa Swasti (Yasanti) menggelar perayaan bertajuk “Kami Ada dan Kami Pekerja Rumahan” di Taman Hiburan Rakyat (THR) Gabusan Square, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Minggu (10/12) silam. Sekitar 500 perempuan pekerja rumahan asal DIY dan Jawa Tengah menghadiri acara yang menyuguhkan pasar perempuan serta panggung seni dan budaya itu.

Ragam dukungan bagi perempuan pekerja rumahan pun turut disampaikan oleh pemerintah. Salah satunya adalah Bambang Guritno, Asisten Perekonomian dan Pembangunan Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul. Pemda mendukung para pekerja rumahan melalui layanan perizinan usaha yang lebih terbuka, mudah dan tidak dipungut biaya.

“Izin berusaha silakan diajukan ke (kantor) kecamatan. Itu semua kami buat gratis, supaya usaha ibu-ibu semua bisa berkembang,” ujarnya saat memberikan sambutan. “Membuka lapangan pekerjaan bisa mengurangi kemiskinan. Kami (Pemerintah Kabupaten Bantul) selama ini juga berusaha agar semakin banyak investasi dibuka, mulai dari tingkat dusun hingga ke kabupaten,” tambahnya.

Hal senada diutarakan oleh Isharyanto, Kepala Kelurahan Tahunan, Umbulharjo, Angga Suanggana, perwakilan dari Dinas Tenaga Kerja dan Transportasi, DIY, serta Farah dari BPJS Ketenagakerjaan. Ketiganya menyatakan bahwa pekerja rumahan, melalui momentum ini, telah mendobrak keadaan dari “tidak ada” menjadi “ada” atau “terlihat”.

Dengan dukungan Yasanti sebagai organisasi yang mewadahi, pekerja rumahan tidak perlu takut memerjuangkan hak mereka sebagai pekerja. Semangat ini ditunjukkan lewat Deklarasi Perempuan Pekerja Rumahan yang dipimpin Warisah, ketua Federasi Serikat Perempuan Pekerja Rumahan (PPR) Kabupaten Bantul. Deklarasi tersebut diwakili oleh 11 perempuan pekerja rumahan dari 11 serikat PPR, dan merupakan simbol pernyataan bahwa mereka adalah bagian dari pekerja. Mereka juga mendorong pemerintah, baik di tingkat lokal maupun nasional, untuk menjamin hak-hak mereka sebagai pekerja, serta memberikan perlindungan yang layak, termasuk akses terhadap program-program perlindungan sosial, kesehatan dan dukungan modal.

Sebagai ketua panitia, Warisah pun mengungkapkan rasa bahagia dan syukur atas terselenggaranya acara. Dengan adanya momentum ini, ia berharap dapat mempererat tali silaturahmi antarpekerja rumahan. Selain itu, ia juga memaparkan bahwa apa yang ia perjuangkan selama beberapa tahun ini membuahkan hasil di masa yang akan datang.

“Harapannya akan tumbuh kesadaran dari teman-teman buruh yang belum bergabung, mulai dari melihat keberhasilan teman-temannya yang sudah berserikat,” tuturnya, sambil tersenyum bangga. “Kita sama-sama satu perjuangan. Tidak ada yang terpisah-pisah antarburuh. Ini semua dari pekerja rumahan untuk pekerja rumahan,” tutupnya, sebelum kembali naik panggung.