Ciqal Yogyakarta Berdialog tentang Kekerasan terhadap Perempuan di Radio

Tanggal 5 Desember 2017, Ciqal Yogyakarta melakukan dialog interaktif di Radio Sonora FM Yogyakarta, membahas mengenai kebutuhan sarana yang meliputi fisik maupun regulasi dan peraturan dalam pelayanan, pendampingan pada perempuan disabilitas korban kekerasan seksual, serta menghimbau masyarakat agar berpartisipasi dalam mendukung segera disahkannya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.

Narasumber yang hadir dalam dialog interaktif tersebut adalah Iscahyawati dari P2TP2A Kabupaten Sleman, Tutik Purwaningsinh pewakilan dari Ciqal dan Bonie Kertaredja perwakilan dari pendamping lapangan Ciqal Yogyakarta.

Ciqal Yogyakarta Adakan Talkshow TV untuk Kampanye 16 Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (HAKtP)

Tanggal 27 November 2017 salah satu kegiatan yang dilakukan oleh Ciqal Yogyakarta dalam rangkaian kampanye 16HAKtP 2017 ini adalah melakukan Talkshow di Jogja TV mengenai kebutuhan sarana, layanan dan peraturan dalam penaganan kekerasan seksual pada perempuan disabilitas dan pembahasan mengenai segera disahkannya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.

Memberantas Kekerasan Seksual pada Perempuan Disabilitas lewat Kerjasama Komunitas

Kurniati adalah salah satu penyintas asal desa Rejodani, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta. Jika baru bertemu dengannya, tidak terlihat bahwa ia penyandang disabilitas. Dia sangatlah aktif. Menjahit pesanan usaha jahitan adalah kegiatannya sehari-hari. Selain menjahit, Ia pun aktif di organisasi CIQAL, sebuah organisasi di Sleman, DI Yogyakarta yang fokus melayani perempuan disabilitas yang mengalami kekerasan seksual.

Kurniati sendiri pernah merasakan titik terendah dalam hidupnya, ketika ia mengalami kekerasan dalam rumah tangga bahkan beberapa kali diselingkuhi dan ditelantarkan bersama kedua orang anaknya. Keadaan ini tak diratapinya, ia bangkit dan ikut aktif dalam organisasi CIQAL yang didukung oleh program MAMPU. Ia berkeinginan untuk membantu sesama penyandang disabilitas yang memiliki pengalaman kelam seperti dirinya untuk keluar dari titik terendah mereka.

Awalnya Kurniati diajak oleh teman-temannya untuk mengikuti mengikuti berbagai penyuluhan, seminar dan pertemuan lainnya tentang isu-isu perempuan yang diselenggarakan oleh CIQAL. Semenjak itu, Ibu dua anak ini merasa tertarik untuk mengikuti kegiatan-kegiatan berikutnya. Ia merasa mampu mencerna materi yang diberikan.

“Saya merasa paham dengan apa yang mereka sampaikan dalam berbagai seminar, bahkan saya lebih tahu detailnya karena saya mengalami sendiri. Oleh karena itu,saya jadi merasa harus menyampaikan apa yang ada dalam pikiran saya, agar bisa menambahkan solusi bagi mereka. Maka, saya memberanikan diri untuk berbicara membagi pengalaman hidup saya di forum.” Ujar Kurniati. Sekarang Ia aktif memberikan solusi-solusi bagi kasus-kasus kekerasan yang dialami penyandang disabilitas di wilayahnya.

Kurniati adalah satu dari banyak penyandang disabilitas yang dibina oleh CIQAL. CIQAL muncul ketika Nuning Suryatiningsih melihat meningkatnya jumlah kasus kekerasan seksual pada perempuan penyandang disabilitas di Yogjakarta. Nuning pun tergerak untuk memberikan solusi bagi para penyintas dengan membentuk CIQAL. Nuning, yang sekarang menjabat sebagai Ketua Umum dibantu oleh rekan-rekannya yang mempunyai satu visi dan misi.

Dalam membantu penyandang disabilitas menangani kasus kekerasan seksual, CIQAL bekerja sama dengan berbagai pihak, yaitu Organisasi Penyandang Disabilitas (OPD), komunitas masyarakat dan keluarga penyandang disabilitas (Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat – RBM) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH).

CIQAL menampung laporan masyarakat. Kasus-kasus yang ditanganinya pun beragam mulai dari psikologis, ekonomi hingga kesehatan. Sejak Juni 2014, CIQAL melalui Program MAMPU, berhasil melakukan pendampingan untuk 4 OPD dan 4 RBM yang tersebar di enam kecamatan yaitu Kecamatan Banguntapan, Kasihan, Pajangan, Mlati, Ngaglik dan Depok. Enam kecamatan ini tersebar di dua kabupaten yang berbeda yaitu Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman.

Kegiatan yang dilakukan meliputi diskusi rutin yang dihadiri oleh Organisasi Penyandang Disabilitas (OPD) dan melibatkan masyarakat penyandang disabilitas, perangkat desa, aparat keamanan serta masyarakat setempat. Kegiatan ini bertujuan untuk mengedukasi dan memberikan pemahaman yang mendalam terhadap kasus kekerasan seksual sehingga diharapkan seluruh elemen masyarakat dapat lebih mengerti dan bersinergi. Selain itu, diharapkan masyarakat dan berbagai pemangku kepentingan menjadikan masalah kekerasan seksual terhadap perempuan penyandang disabilitas sebagai tanggung jawab bersama.

Menurut Ibnu Sukaca, salah satu pengurus dan koordinator program MAMPU dalam organisasi CIQAL, perubahan signifikan mulai terlihat pada masyarakat sekitarnya, setelah CIQAL memfasilitasi diskusi rutin.

“Masyarakat sekitar kini telah memahami langkah-langkah penting yang harus diambil ketika ada kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, khususnya perempuan disabilitas di sekitarnya.” Ungkapnya. “Kini OPD dan komunitas masyarakat sudah paham akan alur penanganannya, seperti melakukan pengumpulan data penyintas, langkah merujuk ke puskesmas untuk pendampingan psikologi dan kesehatan seperti Visum atau VCT/Volume Computed Tomography  hingga langkah merujuk ke rumah aman jika diperlukan.” tambahnya.

Selain itu, Ibnu menambahkan bahwa saat ini semakin banyak tempat pengaduan yang didirikan dan dikelola masyarakat. Hal ini membuat masyarakat lebih leluasa untuk berkomunikasi seputar kekerasan seksual yang diketahui maupun yang dialaminya. Selanjutnya para pendamping  di komunitas tersebut akan menindaklanjuti permasalahan para korban dan apabila diperlukan, dibawa ke tingkat organisasi yang lebih tinggi.

Peran OPD yang bersinergi dengan kelompok, aparat keamanan dan masyarakat, perlu terus dikuatkan agar terus menjadi salah satu solusi terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi penyandang disabilitas.

CIQAL Desak Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS)

Center for Improving Qualified Activity in Life of People with Disabilities (CIQAL) menggelar diskusi terkait 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) pada Senin (28/11). Dengan adanya diskusi tersebut CIQAL beserta komunitas masyarakat disabilitas Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengharapkan pemerintah lekas mengesahkan Rancangan Undang – Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) untuk menjamin hak – hak kaum perempuan dan disabilitas. Acara yang didukung oleh Program MAMPU ini mengundang Lembaga Sosial Masyarakat (LSM), aliansi jurnalis, organisasi masyarakat dan mahasiswa di DIY.

Ibnu Sukaca, Koordinator Program MAMPU untuk CIQAL mengatakan, “Tujuan kegiatan ini untuk memberikan informasi kepada masyarakat tentang penyandang disabilitas dan kondisi kekerasan seksual yang kerap terjadi di Yogyakarta,”

“Kami meminta agar RUU PKS ini segera disahkan, mengingat bahwa Program Legislasi Nasional 2016 sebulan lagi akan dilaksanakan. Dalam RUU tersebut terdapat pasal yang mengatur perlindungan terhadap perempuan dengan disabilitas.” tambahnya.

Diskusi bersama ini juga disertai dengan pengiriman pesan pendek dan orasi damai di DPRD DI Yogyakarta yang berisikan desakan agar RUU PKS segera disahkan dan dikirimkan pada legislatif.

 

Dilaporkan oleh: Ibnu Sukaca

CIQAL: Talkshow Raperda Perlindungan Perempuan & Anak dengan Disabilitas di Yogyakarta

Pada 16 September 2016, Yayasan CIQAL, didukung oleh Program MAMPU, mengadakan Talkshow dengan Pemerintah Daerah dan DPRD tentang Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) terkait Perlindungan Perempuan dan Anak dengan Disabilitas Korban Kekerasan, dalam mengakses layanan di Kabupaten Sleman, Yogyakarta.

Tujuan dilaksanakannya kegiatan ini adalah untuk menyampaikan kendala, permasalahan dan solusi dalam melakukan pendampingan, penanganan dan pencegahan serta akses layanan kasus kekerasan pada perempuan dan anak dengan disabilitas. Selain itu, CIQAL juga hendak menyampaikan masukan dalam kebijakan di tingkat kabupaten, sehingga korban dapat memperoleh hak-hak yang semestinya. Maka dari itu, perlu adanya persamaan persepsi dalam penanganan kasus, baik dari layanan maupun fasilitas, yang sesuai kebutuhan dan ragam disabilitas perempuan dan anak dengan disabilitas korban kekerasan.

Berdasarkan pasal 5 (2) UU No 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas bahwa Perempuan dengan disabilitas memiliki hak: atas kesehatan reproduksi; menerima atau menolak penggunaan alat kontrasepsi; mendapatkan Pelindungan lebih dari perlakuan diskriminasi berlapis; dan untuk mendapatkan Pelindungan lebih dari tindak kekerasan, termasuk kekerasan dan eksploitasi seksual.

Tidak tertanganinya kasus kekerasan terhadap perempuan dengan disabilitas (dari segi medis, psikologi, ekonomi, sosial dan secara hukum), lebih banyak disebabkan karena belum adanya komitmen dan kemampuan para pihak. Baik masyarakat, keluarga, pemerintah dan aparat penegak hukum belum menguasai metode, teknis pendampingan dan penaganan pada perempuan dengan disabilitas korban kekerasan. Minimnya pemahaman dan kesadaran pada isu disabilitas, cara berinteraksi serta komunikasi dengan disabilitas juga berkontribusi pada penghentian, bahkan pembiaran beberapa kasus kekerasan pada perempuan disabilitas.

Budaya malu dan menutupi kasus kekerasan yang menimpa perempuan dengan disabilitas juga masih sering terjadi. Dari kondisi tersebut, maka dapat disinyalir bahwa hal-hal seperti inilah yang membuat perempuan dengan disabilitas korban kekerasan kehilangan hak-haknya dan tidak mendapatkan keadilan dari segi pelayanan apapun.

Yayasan CIQAL dalam Fase I (2014- 2015) mendampingi  47 kasus yang dialami perempuan dengan disabilitas dan pada fase II Januari – September 2016, sebanyak 17 kasus.

Melalui talkshow yang diadakan di Ruang Pertemuan BAZNAS Sleman ini, diharapkan isu perempuan dan anak dengan disabilitas dapat dimasukkan dalam Raperda, serta adanya alokasi anggaran untuk pelayanan dan pemenuhan hak-hak perempuan dan anak dengan disabilitas korban kekerasan, sehingga mereka dapat tertangani sesuai dengan kebutuhan dan ragam disabilitas yang dialami.

Dalam kegiatan ini, bertindak sebagai moderator adalah Tutik Purwaningsih, S.E. dan tiga narasumber, yaitu: perwakilan DPRD Kabupaten Sleman dengan tema “Hak-hak perempuan dan anak dengan disabilitas korban kekerasan terfasilitasi kebutuhan sesuai ragam disabilitas yang dialami”, Bagian Hukum Setda Kabupaten Sleman dengan materi “Kebijakan layanan khusus bagi perempuan dan anak dengan disabilitas korban kekerasan dalam memeproleh hak-haknya”, serta Kepala Badan KBPMPPA Kab. Sleman dengan materi “akses layanan dalam penanganan kasus kekerasan pada perempuan dan anak dengan disabilitas”.

Adapun peserta yang hadir dalam talkshow tersebut merupakan perwakilan yang berasal dari berbagai instansi pemerintah daerah, DPRD, SKPD terkait, Polres Sleman, RSUD Kabupaten Sleman, Kepala Desa, Komunitas PDN dan ODM, serta organisasi masyarakat sipil yang ada di Yogyakarta.

CIQAL: “KAMI BISA TVRI” Kampanye Isu Disabilitas dan Kekerasan Seksual di Yogyakarta

Pada 16 Juli 2016 yang lalu, TVRI Jogja melakukan peliputan di sekretariat CIQAL, salah satu mitra KOMNAS Perempuan yang didukung oleh Program MAMPU. Peliputan ini sebagai bagian dari program TVRI Jogja terkait penayangan Pemberdayaan Penyandang Disabilitas di Yogyakarta, dengan tema “KAMI BISA”. Isu yang diangkat adalah kampanye anti kekerasan terhadap perempuan disabilitas serta penyampaian isu disabilitas dan isu Kekerasan Seksual di Yogyakarta.

Dalam kesempatan tersebut, TVRI Jogja meliput tentang profil lembaga, program dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh CIQAL. Selain itu juga dilakukan perekaman testimoni dari penyandang disabilitas penerima manfaat dari CIQAL.

CIQAL (Center for Impoving Qualified Activity in Live of People with Disabilities) adalah organisasi yang berdiri pada tahun 2003 dan bekerja untuk penyandang disabilitas/difabilitas. CIQAL fokus pada kegiatan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dari teman-teman difabel/ disabel, agar mereka bisa mendapatkan kesempatan yang sama dalam hidup bermasyarakat.

CIQAL bertujuan agar penyandang difabel dapat meningkat kesejahteraan ekonominya serta mandiri terutama secara ekonomi. Dari temuan CIQAL, penyandang difabel masih sering menjadi pihak yang terpinggirkan dan banyak dari mereka yang termasuk dalam golongan yang lemah secara ekonomi, pendidikan dan ketrampilan. Oleh karena itu, CIQAL secara aktif memberikan pelatihan, program pemberdayaan ekonomi, penyadaran hak politik bagi difabel, serta berbagai event disabilitas.

Pendamping Penyintas dalam Komunitas Bantu Tangani Kekerasan Seksual terhadap Perempuan Difabel

Ratna Dewi Setyaningsih (38), yang akrab disapa Ratna, adalah salah satu pendamping kelompok organisasi penyandang disabilitas. Ratna mendedikasikan waktunya di Center for Improving Qualified Activity in Live of People with Disabilities (CIQAL) untuk memperjuangkan hak-hak perempuan difabel yang semakin tersingkir. Saat ini, ia menjabat sebagai Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Provinsi Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta.

Menurut Ratna, mendampingi para penyintas walau sudah sesuai prosedur yang standar, tetap banyak tantangan. Salah satunya adalah sulitnya mengedukasi keluarga dalam memberikan pemahaman bahwa memiliki anggota keluarga penyandang difabel tak perlu disikapi dengan malu. Namun, masih banyak keluarga korban yang menganggapnya sebagai aib berlapis: sudah difabel, menjadi korban kekerasan seksual pula. Akhirnya, pihak keluarga membiarkannya dan tak peduli lagi.

Akan tetapi, dengan adanya program MAMPU, ada peningkatan pendamping melalui komunitas. Dengan banyaknya tempat pengaduan yang dibentuk, membuat masyarakat lebih leluasa untuk berbagi cerita. Karena komunitas di posko terdekat lebih dikenal mereka. Pendamping yang ada di komunitas tersebut akan menindaklanjuti permasalahan para korban ke organisasi tingkat atas jika diperlukan.

“Permasalahan untuk mendapatkan fasilitas konseling, pemeriksaan kesehatan dan perlindungan hukum bagi para korban sudah tak terlalu menghambat karena Organisasi Penyandang Difabel dan Komunitas sudah bermitra dengan organisasi lain dan saling melengkapi. Permasalahan yang ada hanya untuk kaderisasi. Kami harus lebih bekerja keras lagi,” kata Ratna.

Ada dua komunitas di Sleman yang merupakan bagian dari Organisasi Penyandang Disabilitas (OPD). Komunitas ini sudah bersedia menjadi posko pengaduan bagi masyarakat yang menemui kekerasan seksual pada perempuan penyandang difabel, yakni di Kecamatan Ngaglik dengan koordinator Waluyo dan Kecamatan Mlati dengan koordinator Dodi.

Waluyo mengungkapkan bahwa untuk menjadi pendamping memerlukan komitmen tinggi dari diri sendiri. “Dalam menampung keluhan masyarakat harus punya empati, rasa percaya diri serta sikap membuka diri,” kata Waluyo.

“Kendala Sumber Daya Manusia, waktu dan finansial terus terang saja, masih menjadi hambatan dalam proses pendampingan yang maksimal,” tambahnya.

Hariyanti (40), Humas, Sekretaris dan Bendahara Organisasi Difabel Mlati (ODM) juga berbagi pengalaman ketika mendampingi penyintas. Ia menjadi koordinator di Kelurahan Telogo Hati. Hariyanti selalu siap menampung pengaduan dari perempuan difabel di daerahnya. Dalam setiap diskusi rutin tiga bulan sekali, Ia memberikan pemahaman dan mendiskusikan temuan masalah sampai mencari solusi. Aspirasi dari perempuan-perempuan difabel dan masyarakat sekitarnya, ditampung dan dilaporkan ke CIQAL jika masalah tak dapat diselesaikan di daerahnya.

Kegiatan pendampingan kepada para penyintas yang dilakukan CIQAL perlu diapresiasi dan didukung. Maka, diperlukan partisipasi dari para pemangku kepentingan dalam bentuk tindakan nyata untuk berperan serta dalam mencegah dan menangani kekerasan seksual terhadap perempuan disabilitas.

Dengan adanya program MAMPU, diharapkan pendampingan kepada para penyintas melalui peran komunitas akan terus semakin meningkat dan tingkat kekerasan seksualitas terhadap perempuan penyandang disabilitas dapat diminimalkan.

Sri Mujiati Perjuangkan Penyandang Difabel Korban Kekerasan Seksual

Sri Mujiati (42), yang akrab disapa Sri, adalah seorang ibu rumah tangga dari empat anak. Pada awalnya, Sri menganggap tabu membicarakan seks dalam sebuah forum. Ia menganggap hal tersebut sebagai tindakan pelanggaran dan tidak sopan karena keluarganya mendidik untuk tidak membicarakan seks di mana pun.

Sri menjadi pengurus Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (RBM) sejak 2011 dan bergabung di CIQAL pada Juni 2014 yang kegiatannya didukung oleh MAMPU. Ia kerap mengikuti pelatihan untuk mendapatkan pemahaman yang baik terhadap isu kekerasan seksual. Semua wawasan, ilmu dan apa yang disampaikan narasumber saat penyuluhan, dicernanya. Hal ini menggugah nuraninya untuk lebih peduli terhadap berbagai kasus yang dihadapi oleh penduduk di sekitar lingkungannya.

Sehari-harinya, Sri lebih banyak mengurus keempat anaknya terutama mengantar ke sekolah. Ia mengantar anaknya yang berlainan sekolah dan waktu yang berbeda. Lebih kurang 30 Kilometer jarak tempuh dilalui dari rumahnya ke sekolah. Walau sibuk mengurus keempat anaknya, Ia masih menyempatkan diri aktif di RBM dan mendampingi beberapa korban kekerasan seksual pada perempuan penyandang difabel.

Sri merasa harus bergerak, sebagai sesama manusia. Apalagi dirinya juga mempunyai anak yang difabel. Ia memosisikan diri, jika sebagai korban tentu sangat berat. Sudah menyandang difabel, mengalami kekerasan seksual pula.

Salah satu korban kekerasan seksual yang didampinginya adalah “R” (29). Korban diperkosa oleh sepupunya sendiri sampai mempunyai satu anak laki-laki yang kini berusia 1,5 tahun dan anaknya mengalami kelumpuhan. “R” seorang difabel dengan Tuna Grahita dan Low Vision. Ia ditelantarkan pelaku sampai kini. “R” hanya tinggal bersama ibunya yang sudah lanjut usia.

“R” bercerita, bahwa dirinya dulu punya cita-cita untuk pandai membatik dan bekerja menjadi PRT.

“Saya ingin bekerja membatik atau bekerja di rumah-rumah orang, tapi sampai saat ini tak ada yang mau menerima saya,” katanya sambil tertunduk. 

Jika anak “R” kambuh kejang-kejangnya, “R” dan ibunya yang sudah sangat tua harus berjalan kaki ke puskesmas yang jaraknya sangat jauh dan melalui medan berliku dan curam. Namun semua dijalaninya dengan ikhlas.

Melihat kondisi “R”, Sri tergerak untuk mendampinginya. Setiap akan mengantar atau jemput anaknya ke sekolah, Sri selalu menyempatkan diri mampir ke rumah “R” untuk menengok.

“Tak ada satu pun yang peduli terhadap “R”, bahkan keluarga dan tetangganya. Saya ikhlas ingin membantu. Jika ada panggilan hati untuk datang ke rumahnya, seperti ikatan batin saja, pas ke sana pasti ada yang sakit atau sedang memerlukan bantuan,” kata Sri.

“Kader sudah lepas tangan, jadi saya memberanikan diri melaporkan hal ini ke Jamkesos dan diterima dengan baik, kemudian dirujuk ke LSM penanggulangan kekerasan keluarga. Sempat ada yang mau mengadopsi anak “R”, tetapi “R” berontak. Hal ini terjadi karena sebelumnya tidak ada pendekatan secara psikologis. Jadi “R” kaget ketika ada yang mau ambil anaknya,” tambah Sri.

Melihat perkembangan “R” dan anaknya yang kian memburuk, Sri berinisiatif meminta bantuan pemerintah untuk mengurus sementara anak “R” yang membutuhkan perawatan dan biaya yang intensif. Hasilnya, anak “R” akan dititipkan di Panti Asuhan untuk sementara.

Sri kerap mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan dari tetangga “R” dan juga keluarga pelaku yang tinggal tak jauh dari rumah “R”. Bahkan saat CIQAL dan sebuah lembaga bernama Sigap, datang ke rumah “R” untuk menindaklanjuti perlindungan hukum dan pendampingan yang maksimal, tetangga dan keluarga pelaku sempat mengancam akan mengusir “R” dari kampung tersebut. Akhirnya “R” menutup kasusnya, dengan alasan tak ingin terancam dan ingin hidup tenang.

Akhirnya, dengan segenap kekuatan diri, Sri memberanikan diri berinisiatif untuk berkumpul dengan kepala dusun dan warga setempat untuk membahas kesulitan “R” yang terpojok, sedangkan pelaku tak ada tanggung jawabnya. Hasil perundingan membuahkan hasil. Pelaku akhirnya mau bertanggung jawab atas biaya hidup “R” dan anaknya. Ia memberikan Rp.400.000,- per bulannya.

Perjuangan Sri tak sampai di sini. Ia tetap memberikan pendampingan kepada “R” dan terus berkomunikasi dengan CIQAL serta pejabat di desa tersebut.

Sri mengungkapkan, “Meskipun anak “R” sudah berada di Panti, tapi hukum tetap berjalan. Karena korban kekerasan seksual ini, bebannya seumur hidup. Dipastikan pula pelaku tak lalai dalam memberikan tanggung jawab nya.”

Keberanian Sri dalam memperjuangkan “R” ini merupakan hasil dari menimba ilmu dari pelatihan dan diskusi rutin yang diadakan CIQAL melalui program MAMPU. Dari memahami permasalahan kekerasan seksual pada perempuan difabel dan akhirnya peduli.

Penyempurnaan dari cerita Most Significant Change yang ditulis oleh Dwitanto dari Pajangan, Bantul di DIY