‘Aisyiyah: Perempuan Pemantau Pemilu Siap Kawal Pemilu yang Jujur, Adil, dan Demokratis

Meningkatkan partisipasi perempuan dalam pemilu menjadi salah satu perhatian Pimpinan Daerah ‘Aisyiyah (PDA) Kabupaten Magelang jelang Pemilu serentak di tahun 2019 ini. Oleh karena itu, dengan dukungan Program MAMPU, PDA Kab. Magelang mendorong 36 orang kadernya berpartisipasi sebagai pemantau pemilu. Dalam rangka meningkatkan kapasitas kader ‘Aisyiyah dalam melakukan pamantauan, Senin (18/3) PDA Kabupaten Magelang menggelar kegiatan Pembekalan Perempuan Pemantau Pemilu 2019 dengan tema “Kawal Pemilu Jurdil, Wujudkan Demokrasi Subtantif” di Panti Asuhan Yatim  Putri ‘Aisyiyah, di Dusun Batikan, Pabelan, Mungkid.

Disampaikan oleh Nida ul Hasanah selaku Ketua PDA Kab. Magelang bahwa acara ini bertujuan untuk memberikan pembekalan bagi perempuan pemantau pemilu dalam melaksanakan pemantauan. Menurutnya, pembekalan yang diberikan hari ini adalah untuk meningkatkan pemahaman kader tentang instrumen dan teknis pemantauan pemilu, juga peningkatan pemahaman tentang demokrasi dan pemilu.

“Melalui acara ini diharapkan akan semakin meningkatkan kesadaran perempuan untuk melakukan pemantauan partisipatif agar pemilu berlangsung secara jurdil dan ramah pada pemilih berkebutuhan khusus, seperti  penyandang disabilitas,  lansia,  dan ibu hamil.” Nida berharap selepas  acara yang mengundang Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kabupaten Magelang dan Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah (PPA) ini.

Sekretaris PPA, Tri Hastuti Nur Rochimah yang juga merupakan Koordinator Program MAMPU ‘Aisyiyah menyampaikan bahwa ‘Aisyiyah sebagai organisasi perempuan mendorong pimpinan daerah ‘Aisyiyah agar bisa terlibat aktif dalam pemantauan pemilu. “‘Aisyiyah mendorong agar pemilu tidak semata sebagai bentuk demokrasi prosedural tapi untuk mewujudkan demokrasi substantif yaitu berdampak pada kesejahteraan rakyat termasuk perempuan.” Menurutnya partisipasi politik perempuan merupakan isu strategis dalam dakwah yang diperankan ‘Aisyiyah sebagaimana tercantum dalam hasil Muktamar Aisyiyah ke-47 di Makassar tahun 2015.

‘Aisyiyah Kabupaten Magelang menjadi daerah yang pertama kali melakukan kegiatan pembekalan perempuan pemantau pemilu ini. Pelatihan serupa akan digelar di 8 daerah lainnya. Perempuan Pemantau Pemilu ini akan melibatkan 291 kader ‘Aisyiyah dari daerah Magelang, Blitar, Lamongan, Cirebon, Pangkep, Sumedang, Bantaeng, Sambas, dan Mamuju.

Dalam melakukan pemantauan Pemilu ini Tri menyampaikan bahwa Aisyiyah tergabung dalam Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), yang telah terakreditasi oleh Bawaslu RI sebagai pemantau. Ia berharap dengan adanya pemantauan ini ‘Aisyiyah bisa berperan dalam memastikan pemenuhan hak pemilih, meningkatkan objektivitas dan kinerja penyelenggara pemilu, serta mengurangi pelanggaran pemilu untuk penyelenggaraan pemilu yang demokratis. (Suri)

Silma Desi, Tidak Surut karena Keterbatasan

Silma menilai, pemerintah perlu lebih jeli dalam melihat kebutuhan para penyandang disabilitas untuk mengakses JKN.

“Kami bukan meminta perlakuan khusus, tapi meminta perlakuan dan pelayanan sesuai kebutuhan kami,” tegas Silma Desi.

Perempuan asal Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatra Barat, ini memang lantang menyuarakan ketidakadilan yang kerap dialami penyandang disabilitas saat mengakses layanan kesehatan. Semangat itu terus menyala sejak ia bergabung dengan Balai Perempuan (BP) Kemuning yang digagas Koalisi Perempuan Indonesia, mitra MAMPU untuk tema akses kepada perlindungan sosial.

Menyandang pembengkokan tulang belakang (skoliosis) sejak kecil, Silma tak asing dengan rasa nyeri, juga fisioterapi rutin minimal sebulan sekali untuk mengendalikan kondisinya. Saat kondisi tubuhnya menurun, Silma bahkan membutuhkan terapi 3-6 kali sebulan.

Untuk menjalani fisioterapi, Silma memanfaatkan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Meski demikian, prosedur penggunaan JKN dirasakan cukup berat untuk diakses oleh perempuan kelahiran 1994 ini. Tercatat sebagai penduduk Kabupaten Pesisir Selatan, ia harus bolak-balik ke kampung halamannya untuk mengurus rujukan. Padahal, sejak kuliah, gadis yang baru lulus dari jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas ini menetap di Kota Padang.

Bolak-balik Pesisir Selatan-Padang bukan hal gampang buat Silma. Kelelahan fisik akan membuat Silma susah bergerak. “Akhirnya, saya sempat memilih berobat alternatif dengan biaya sendiri,” kenang Silma. Adanya layanan mendaftar JKN via daring (online) kini sedikit mempermudah dirinya.

Kendala lain yang dihadapi Silma adalah posisi meja pendaftaran rumah sakit yang terlalu tinggi untuk postur tubuhnya yang mungil.  Seringkali ia sudah mengantre di depan meja pendaftaran, tapi karena petugas tidak melihatnya, pasien lain yang berada di belakang Silma yang didahulukan.

“Mereka juga sama-sama sakit dan ingin didahulukan sehingga tidak melihat ada kelompok lain yang punya kebutuhan khusus,” jelas Silma. Sebagai penyandang disabilitas, Silma merasa kurang mendapatkan perhatian.

Menurut Silma, banyak orang dengan disabilitas merasa tidak berdaya untuk bersuara, dan akhirnya pasrah dengan kondisi mereka, sehingga enggan menggunakan fasilitas JKN. Padahal, banyak para penyandang disabilitas datang dari keluarga sangat sederhana sehingga sulit mengakses biaya rumah sakit yang tinggi.

“Ada yang obatnya harus berkelanjutan, terpaksa terhenti karena biaya yang tinggi sehingga berisiko terhadap kesehatan bahkan jiwanya,” kata Silma.

 

Berdaya Bersama BP Kemuning

Menjadi bagian dari BP Kemuning, sebuah kelompok pendukung bagi perempuan penyandang disabilitas di Sumatra Barat, Silma telah berkembang pesat. Pada 2016, ia menjadi perwakilan untuk pelatihan Training of Trainer (ToT) Kader Dasar mengenai JKN yang diselenggarakan MAMPU. Setelahnya, Silma beberapa kali menjadi fasilitator JKN untuk menyampaikan informasi mengenai hak-hak kesehatan masyarakat, termasuk alur pemanfaatan JKN, pada anggota Balai Perempuan di sejumlah desa di Sumatra Barat dan Jambi.

Sebagai fasilitator JKN, Silma juga menerima pengaduan masyarakat terkait akses JKN, meneruskan keluhan tersebut ke pihak tenaga kesehatan maupun instansi terkait, dan mendampingi pasien bila dibutuhkan. Ia juga ikut mendata teman-temannya sesama penyandang disabilitas yang belum memiliki kartu JKN, dan membantu mereka mengurusnya. Lewat berbagai kegiatan ini pulalah, rasa percaya diri Silma untuk mengungkapkan pemikirannya kian terbangun.

Peran Silma ini sejalan dengan kegiatan pemberdayaan dan advokasi yang dilakukan BP Kemuning bagi para penyandang disabilitas. Mereka kemudian dipercaya menjadi penyuluh, baik untuk penyandang disabilitas maupun non-disabilitas.

“Ini menjadi salah satu bentuk kegiatan yang menunjukkan penyandang disabilitas juga punya kemampuan yang sama dengan orang lain,” tutur Silma.

Dalam menjalankan perannya sebagai fasilitator JKN, penggemar karya-karya Chairil Anwar dan Buya Hamka ini sempat pula mengalami berbagai tantangan. Di antaranya ketika menemukan para penyandang disabilitas yang tidak diakui oleh keluarganya sendiri, karena mereka dianggap sebagai aib keluarga.

“Mereka tidak punya KTP karena tidak dimasukkan dalam Kartu Keluarga. Kalau sudah begitu, sulit bagi mereka untuk mendapatkan akses JKN,” cerita Silma.

Silma pun bertekad akan terus menjadi aktivis kemanusiaan selama diizinkan oleh Tuhan. “Semua orang berhak memperoleh informasi. Ketika kita bekerja, kita juga punya tanggung jawab terhadap orang lain, bukan bekerja hanya untuk diri kita sendiri,” katanya.

Silma pun berharap, para penentu kebijakan publik, terutama pemerintah, dapat lebih jeli melihat kebutuhan para penyandang disabilitas untuk mengakses JKN. Agar sesuai namanya, JKN benar-benar dapat menjamin kesehatan seluruh warga negara Indonesia, tanpa kecuali.

Ciqal Yogyakarta Berdialog tentang Kekerasan terhadap Perempuan di Radio

Tanggal 5 Desember 2017, Ciqal Yogyakarta melakukan dialog interaktif di Radio Sonora FM Yogyakarta, membahas mengenai kebutuhan sarana yang meliputi fisik maupun regulasi dan peraturan dalam pelayanan, pendampingan pada perempuan disabilitas korban kekerasan seksual, serta menghimbau masyarakat agar berpartisipasi dalam mendukung segera disahkannya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.

Narasumber yang hadir dalam dialog interaktif tersebut adalah Iscahyawati dari P2TP2A Kabupaten Sleman, Tutik Purwaningsinh pewakilan dari Ciqal dan Bonie Kertaredja perwakilan dari pendamping lapangan Ciqal Yogyakarta.

Ciqal Yogyakarta Adakan Talkshow TV untuk Kampanye 16 Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (HAKtP)

Tanggal 27 November 2017 salah satu kegiatan yang dilakukan oleh Ciqal Yogyakarta dalam rangkaian kampanye 16HAKtP 2017 ini adalah melakukan Talkshow di Jogja TV mengenai kebutuhan sarana, layanan dan peraturan dalam penaganan kekerasan seksual pada perempuan disabilitas dan pembahasan mengenai segera disahkannya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.

Pendamping Penyintas dalam Komunitas Bantu Tangani Kekerasan Seksual terhadap Perempuan Difabel

Ratna Dewi Setyaningsih (38), yang akrab disapa Ratna, adalah salah satu pendamping kelompok organisasi penyandang disabilitas. Ratna mendedikasikan waktunya di Center for Improving Qualified Activity in Live of People with Disabilities (CIQAL) untuk memperjuangkan hak-hak perempuan difabel yang semakin tersingkir. Saat ini, ia menjabat sebagai Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Provinsi Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta.

Menurut Ratna, mendampingi para penyintas walau sudah sesuai prosedur yang standar, tetap banyak tantangan. Salah satunya adalah sulitnya mengedukasi keluarga dalam memberikan pemahaman bahwa memiliki anggota keluarga penyandang difabel tak perlu disikapi dengan malu. Namun, masih banyak keluarga korban yang menganggapnya sebagai aib berlapis: sudah difabel, menjadi korban kekerasan seksual pula. Akhirnya, pihak keluarga membiarkannya dan tak peduli lagi.

Akan tetapi, dengan adanya program MAMPU, ada peningkatan pendamping melalui komunitas. Dengan banyaknya tempat pengaduan yang dibentuk, membuat masyarakat lebih leluasa untuk berbagi cerita. Karena komunitas di posko terdekat lebih dikenal mereka. Pendamping yang ada di komunitas tersebut akan menindaklanjuti permasalahan para korban ke organisasi tingkat atas jika diperlukan.

“Permasalahan untuk mendapatkan fasilitas konseling, pemeriksaan kesehatan dan perlindungan hukum bagi para korban sudah tak terlalu menghambat karena Organisasi Penyandang Difabel dan Komunitas sudah bermitra dengan organisasi lain dan saling melengkapi. Permasalahan yang ada hanya untuk kaderisasi. Kami harus lebih bekerja keras lagi,” kata Ratna.

Ada dua komunitas di Sleman yang merupakan bagian dari Organisasi Penyandang Disabilitas (OPD). Komunitas ini sudah bersedia menjadi posko pengaduan bagi masyarakat yang menemui kekerasan seksual pada perempuan penyandang difabel, yakni di Kecamatan Ngaglik dengan koordinator Waluyo dan Kecamatan Mlati dengan koordinator Dodi.

Waluyo mengungkapkan bahwa untuk menjadi pendamping memerlukan komitmen tinggi dari diri sendiri. “Dalam menampung keluhan masyarakat harus punya empati, rasa percaya diri serta sikap membuka diri,” kata Waluyo.

“Kendala Sumber Daya Manusia, waktu dan finansial terus terang saja, masih menjadi hambatan dalam proses pendampingan yang maksimal,” tambahnya.

Hariyanti (40), Humas, Sekretaris dan Bendahara Organisasi Difabel Mlati (ODM) juga berbagi pengalaman ketika mendampingi penyintas. Ia menjadi koordinator di Kelurahan Telogo Hati. Hariyanti selalu siap menampung pengaduan dari perempuan difabel di daerahnya. Dalam setiap diskusi rutin tiga bulan sekali, Ia memberikan pemahaman dan mendiskusikan temuan masalah sampai mencari solusi. Aspirasi dari perempuan-perempuan difabel dan masyarakat sekitarnya, ditampung dan dilaporkan ke CIQAL jika masalah tak dapat diselesaikan di daerahnya.

Kegiatan pendampingan kepada para penyintas yang dilakukan CIQAL perlu diapresiasi dan didukung. Maka, diperlukan partisipasi dari para pemangku kepentingan dalam bentuk tindakan nyata untuk berperan serta dalam mencegah dan menangani kekerasan seksual terhadap perempuan disabilitas.

Dengan adanya program MAMPU, diharapkan pendampingan kepada para penyintas melalui peran komunitas akan terus semakin meningkat dan tingkat kekerasan seksualitas terhadap perempuan penyandang disabilitas dapat diminimalkan.

Sri Mujiati Perjuangkan Penyandang Difabel Korban Kekerasan Seksual

Sri Mujiati (42), yang akrab disapa Sri, adalah seorang ibu rumah tangga dari empat anak. Pada awalnya, Sri menganggap tabu membicarakan seks dalam sebuah forum. Ia menganggap hal tersebut sebagai tindakan pelanggaran dan tidak sopan karena keluarganya mendidik untuk tidak membicarakan seks di mana pun.

Sri menjadi pengurus Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (RBM) sejak 2011 dan bergabung di CIQAL pada Juni 2014 yang kegiatannya didukung oleh MAMPU. Ia kerap mengikuti pelatihan untuk mendapatkan pemahaman yang baik terhadap isu kekerasan seksual. Semua wawasan, ilmu dan apa yang disampaikan narasumber saat penyuluhan, dicernanya. Hal ini menggugah nuraninya untuk lebih peduli terhadap berbagai kasus yang dihadapi oleh penduduk di sekitar lingkungannya.

Sehari-harinya, Sri lebih banyak mengurus keempat anaknya terutama mengantar ke sekolah. Ia mengantar anaknya yang berlainan sekolah dan waktu yang berbeda. Lebih kurang 30 Kilometer jarak tempuh dilalui dari rumahnya ke sekolah. Walau sibuk mengurus keempat anaknya, Ia masih menyempatkan diri aktif di RBM dan mendampingi beberapa korban kekerasan seksual pada perempuan penyandang difabel.

Sri merasa harus bergerak, sebagai sesama manusia. Apalagi dirinya juga mempunyai anak yang difabel. Ia memosisikan diri, jika sebagai korban tentu sangat berat. Sudah menyandang difabel, mengalami kekerasan seksual pula.

Salah satu korban kekerasan seksual yang didampinginya adalah “R” (29). Korban diperkosa oleh sepupunya sendiri sampai mempunyai satu anak laki-laki yang kini berusia 1,5 tahun dan anaknya mengalami kelumpuhan. “R” seorang difabel dengan Tuna Grahita dan Low Vision. Ia ditelantarkan pelaku sampai kini. “R” hanya tinggal bersama ibunya yang sudah lanjut usia.

“R” bercerita, bahwa dirinya dulu punya cita-cita untuk pandai membatik dan bekerja menjadi PRT.

“Saya ingin bekerja membatik atau bekerja di rumah-rumah orang, tapi sampai saat ini tak ada yang mau menerima saya,” katanya sambil tertunduk. 

Jika anak “R” kambuh kejang-kejangnya, “R” dan ibunya yang sudah sangat tua harus berjalan kaki ke puskesmas yang jaraknya sangat jauh dan melalui medan berliku dan curam. Namun semua dijalaninya dengan ikhlas.

Melihat kondisi “R”, Sri tergerak untuk mendampinginya. Setiap akan mengantar atau jemput anaknya ke sekolah, Sri selalu menyempatkan diri mampir ke rumah “R” untuk menengok.

“Tak ada satu pun yang peduli terhadap “R”, bahkan keluarga dan tetangganya. Saya ikhlas ingin membantu. Jika ada panggilan hati untuk datang ke rumahnya, seperti ikatan batin saja, pas ke sana pasti ada yang sakit atau sedang memerlukan bantuan,” kata Sri.

“Kader sudah lepas tangan, jadi saya memberanikan diri melaporkan hal ini ke Jamkesos dan diterima dengan baik, kemudian dirujuk ke LSM penanggulangan kekerasan keluarga. Sempat ada yang mau mengadopsi anak “R”, tetapi “R” berontak. Hal ini terjadi karena sebelumnya tidak ada pendekatan secara psikologis. Jadi “R” kaget ketika ada yang mau ambil anaknya,” tambah Sri.

Melihat perkembangan “R” dan anaknya yang kian memburuk, Sri berinisiatif meminta bantuan pemerintah untuk mengurus sementara anak “R” yang membutuhkan perawatan dan biaya yang intensif. Hasilnya, anak “R” akan dititipkan di Panti Asuhan untuk sementara.

Sri kerap mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan dari tetangga “R” dan juga keluarga pelaku yang tinggal tak jauh dari rumah “R”. Bahkan saat CIQAL dan sebuah lembaga bernama Sigap, datang ke rumah “R” untuk menindaklanjuti perlindungan hukum dan pendampingan yang maksimal, tetangga dan keluarga pelaku sempat mengancam akan mengusir “R” dari kampung tersebut. Akhirnya “R” menutup kasusnya, dengan alasan tak ingin terancam dan ingin hidup tenang.

Akhirnya, dengan segenap kekuatan diri, Sri memberanikan diri berinisiatif untuk berkumpul dengan kepala dusun dan warga setempat untuk membahas kesulitan “R” yang terpojok, sedangkan pelaku tak ada tanggung jawabnya. Hasil perundingan membuahkan hasil. Pelaku akhirnya mau bertanggung jawab atas biaya hidup “R” dan anaknya. Ia memberikan Rp.400.000,- per bulannya.

Perjuangan Sri tak sampai di sini. Ia tetap memberikan pendampingan kepada “R” dan terus berkomunikasi dengan CIQAL serta pejabat di desa tersebut.

Sri mengungkapkan, “Meskipun anak “R” sudah berada di Panti, tapi hukum tetap berjalan. Karena korban kekerasan seksual ini, bebannya seumur hidup. Dipastikan pula pelaku tak lalai dalam memberikan tanggung jawab nya.”

Keberanian Sri dalam memperjuangkan “R” ini merupakan hasil dari menimba ilmu dari pelatihan dan diskusi rutin yang diadakan CIQAL melalui program MAMPU. Dari memahami permasalahan kekerasan seksual pada perempuan difabel dan akhirnya peduli.

Penyempurnaan dari cerita Most Significant Change yang ditulis oleh Dwitanto dari Pajangan, Bantul di DIY