WCC Cahaya Perempuan Gunakan Panggung Budaya untuk Sosialisasi Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi

Women’s Crisis Center (WCC) Cahaya Perempuan membina kelompok perempuan yang bernama “Impian Perempuan”, dengan anggota 20 orang dan diketuai oleh Karmini (47). Kelompok ini mempunyai kegiatan rutin setiap bulannya. Setiap pertemuan diisi dengan diskusi dan penyuluhan tentang Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) dengan menghadirkan narasumber kompeten. Beberapa kegiatannya didukung oleh Program MAMPU.

Setiap pertemuan tak hanya diisi dengan diskusi HKSR, ada kegiatan lainnya yang mendukung produktivitas mereka. Misalnya, pengolahan sampah daur ulang menjadi kerajinan tangan yang mempunyai nilai ekonomi. Contohnya, membuat tas dan barang-barang yang biasa digunakan sehari-hari dari bungkus makanan atau kemasan lainnya. Selain itu, Kelompok Impian Perempuan juga menyelenggarakan koperasi simpan pinjam. Setiap peserta menyerahkan uang simpanan pokok dan sukarela. Setiap peserta bisa meminjam uang sesuai kebutuhannya.

Sarimawati (35), Wakil Ketua Kelompok mengungkapkan bahwa adanya Program MAMPU pada kegiatan Kelompok Diskusi rutin Kelompok Impian Perempuan sangat membantu dalam memberikan pemahaman terhadap HKSR sehingga peserta diskusi dapat menyalurkan kembali ilmu yang didapat kepada orang lain yang tak sempat mengikuti diskusi. Hal ini dibenarkan oleh Lilis Suryani (43), bahwa kondisi daerah di wilayah kerja Impian Perempuan sedang darurat pernikahan dini.

“Banyak remaja yang terpaksa menikah karena pergaulan seks bebas. Maka Program MAMPU sangat tepat dijalankan di sini karena menjadi wadah untuk konseling, penyuluhan dan advokasi,” ujar Lilis.

Karmini juga mengungkapkan bahwa sosialisasi HKSR di Kelompok Impian Perempuan tak hanya dilakukan dalam diskusi, tetapi juga disampaikan melalui Panggung Budaya. Panggung Budaya yang dimaksud adalah setiap ada acara-acara seperti pesta pernikahan, Pesta Khitanan, acara hajatan dan pemerintahan atau organisasi yang melibatkan unsur budaya sebagai hiburan, Kelompok Impian Perempuan kerap memanfaatkan acara tersebut untuk menyisipkan isu HKSR.

“Misalnya, jika ada hajatan apapun suka ada hiburan musik tradisonal atau modern, kami ikut menyumbang hiburan menyanyi dengan lirik lagu berisi pesan moral terkait HKSR. Sehingga para undangan yang mendengarnya penasaran dan menelaah isi lagu kami tersebut,” kata Karmini.

Untuk mengisi Panggung Budaya tersebut, biasanya mereka bekerjasama dengan penyelenggara acara atau event organizer. Lagu-lagu yang dinyanyikan selain  lagu yang diubah liriknya, mereka pun mempunyai lagu ciptaan sendiri dengan isi pesan-pesan yang membangkitkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya HKSR.

“Sosialisasi HKSR melalui hiburan Panggung Budaya, akan lebih menarik perhatian dibanding hanya melalui penyampaian pada penyuluhan. Kami berkomitmen jika ada acara pesta dan lain sebagainya, akan kami manfaatkan untuk bekerjasama dengan penyelenggara terhadap sosialisasi HKSR melalui acara hiburannya,” pungkas Karmini.

Cahaya Perempuan WCC Adakan Karnaval Baju Adat untuk Peringati 16 HAKTP

Sebagai salah satu rangkaian kegiatan untuk memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) yang telah dilakukan pada 24 November lalu dengan tema “Lindungi Perempuan dari Kekerasan Seksual dan Perkawinan Anak”, Cahaya Perempuan Women’s Crisis Center (WCC) dan bersama Forum Perempuan Akar Rumput (FKPAR) provinsi Bengkulu mengadakan karnaval baju adat pada Jumat (25/11).

Dalam karnaval tersebut FKPAR provinsi Bengkulu dampingan Cahaya Perempuan menyuarakan beberapa hal yang diharapkan dapat menjawab kebutuhan perempuan di Bengkulu. Pertama, mereka meminta Pemerintah Daerah (PEMDA) dan DPRD di kota Bengkulu, Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten Seloma untuk mendorong lahirnya kebijakan – kebijakan yang melindungi Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) terutama implementasi dari Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 2014. Kedua, mereka meminta komitmen pemerintah untuk menyuarakan dan memperjuangkan anggaran daerah untuk menjamin tersedianya anggaran untuk Jaminan Kesehatan Nasional-Penerima Bantuan Iuran (JKN-PBI) dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak  (P2TP2A) yang berkelanjutan. Ketiga, memastikan adanya pembaharuan data orang miskin yang dibuat secara partisipatif, untuk memastikan semua orang miskin menjadi peserta JKN – PBI.

Diharapkan juga kelompok perempuan bisa mengakses dana sebesar 5 – 10% dari Anggaran Dana Daerah (ADD) untuk pemberdayaan perempuan dan dapat mengejar fasilitas paket A, B dan C untuk memastikan para perempuan memenuhi syarat untuk duduk dalam pengambilan keputusan.

Melalui permintaan tersebut, diharapkan kesejahteraan perempuan pedesaan, perempuan miskin dan perempuan akar rumput dapat segera terwujud.

 

Dilaporkan oleh: Tety Sumeri (Cahaya Perempuan WCC)

Kampanye di Bengkulu Perangi Kekerasan terhadap Perempuan lewat Pengubahan Pola Pikir

Bertepatan dengan peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP) tahun 2016, Cahaya Perempuan Women’s Crisis Center (WCC) bersama Forum Perempuan Akar Rumput (FKPAR) provinsi Bengkulu menyelenggarakan serangkaian kegiatan di kota Bengkulu untuk melawan bentuk pemiskinan dan kemiskinan yang berakibat pada kekerasan terhadap perempuan khususnya kekerasan seksual dan perkawinan anak.

Acara yang berlangsung dari 24 November hingga 25 November ini bertajuk “Lindungi Perempuan dari Kekerasan Seksual dan Perkawinan Anak” ini bertujuan untuk membangun pemahaman dan kesadaran bersama akan pentingnya kekuatan dan agenda kolektif perempuan akar rumput untuk keluar dari pemiskinan perempuan.

Beberapa agendanya adalah mengenalkan jenis – jenis kelompok dampingan, memberikan pemahaman akan peran dan fungsi masing – masing jenis kelompok FKPAR serta memperkenalkan arena perjuangan bersama Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) di FKPAR. Diharapkan juga melalui acara ini pengetahuan dan kesadaran FKPAR provinsi Bengkulu terbentuk, terutama mengenai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah dan para pemangku kepentingan dalam upaya pemenuhan dan perlindungan hak – hak kesehatan seksual dan reproduksi perempuan.

Dalam sambutannya, Wakil Gubernur Bengkulu, dr. drh. H. Rohidin Mersyah, M.MA menyampaikan beberapa  poin penting terkait strategi bersama dalam melawan pemiskinan perempuan.

“Kita tidak hanya membicarakan bagaimana harusnya mengatasi soal kemiskinan perempuan, tapi juga mengubah pola pikir masyarakat agar memahami makna berkeadilan sosial. Pemahaman tersebut dapat membuka kesempatan pada perempuan untuk meningkatkan status sosial mereka,” ujar Rohidin. Beliau juga menyampaikan bahwa isu gender bukanlah isu barat dan tidak bertentangan dengan agama terutama islam, sehingga kita harus berpikiran terbuka dalam memahami isu tersebut.

Rohidin menambahkan pentingnya melibatkan laki-laki dalam program pemberdayaan perempuan agar laki – laki dapat memahami perannya dalam pembangunan nasional. Dengan melibatkan laki-laki, Ia berharap masyarakat dapat berupaya bersama untuk membongkar budaya partriarki agar angka kekerasan terhadap perempuan  menurun. Usaha ini harus dimulai dari lingkungan terdekat yaitu keluarga.

Acara yang diadakan selama dua hari ini diisi dengan peluncuran usaha ekonomi perempuan mandiri kabupaten Seluma dan kota Bengkulu, diskusi panel yang melibatkan Dinas Kesehatan kota Bengkulu, Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD), Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BPPA) dan Cahaya Perempuan WCC. Tidak lupa diadakan tontonan yang menghibur seperti karnaval baju adat dan pemotongan nasi kunyit untuk perayaan hari jadi Cahaya Perempuan WCC yang ke-17.

 

Dilaporkan oleh: Tety Sumeri (Cahaya Perempuan WCC)

Aksi Solidaritas Save Our Sisters (SOS) di Bengkulu

Selama Januari – April 2016, Cahaya Perempuan WCC mencatat telah terjadi 15 kasus kekerasan seksual (perkosaan) terhadap perempuan, 9 kasus di antaranya terjadi di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu. Pada awal April 2016, masyarakat Indonesia dikejutkan oleh kabar perkosaan dan pembunuhan seorang pelajar SMP (Yuyun, usia 14 tahun) yang dilakukan oleh 14 orang pelaku (remaja laki-laki) di Desa Kasie Kasubun, Kecamatan Padang Ulak Tanding, Kabupaten Rejang Lebong. Kasus ini merupakan kasus kejahatan dan pelanggaran paling serius terhadap hak perempuan, seperti pelanggaran terhadap 12 Jenis Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi, terkhusus hak untuk hidup, hak atas kemerdekaan dan keamanan, serta hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk.

Kekerasan terhadap Yuyun adalah bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia sebagaimana yang telah ditentukan dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia tahun 1948, UU RI No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Pemerintah Indonesia mengutuk diskriminasi terhadap perempuan dalam segala bentuk termasuk kekerasan terhadap perempuan, dan bersepakat untuk menjalankan dengan segala cara yang tepat dan tanpa ditunda-tunda. Selain itu juga berusaha untuk menegakkan perlindungan hukum terhadap hak-hak perempuan atas dasar yang sama dengan kaum laki-laki dan untuk menjamin melalui pengadilan nasional yang kompeten dan badan-badan pemerintah lainnya, serta perlindungan kaum perempuan yang efektif terhadap tindakan diskriminasi apa pun.

Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan yang mengutuk kekerasan terhadap perempuan, menyatakan bahwa Negara harus mengupayakan cara-cara yang sesuai dan tidak menunda-nunda kebijakan untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan khusus kekerasan seksual.

Sebagai bentuk keprihatinan terhadap Yuyun dan perempuan korban kekerasan, Konsorsium PERMAMPU bersama-sama 27 lembaga di Bengkulu dan provinsi lain di Sumatera yang tergabung dalam “Aksi Solidaritas untuk Perempuan Korban Kekerasan Seksual” mengadakan Save Our Sisters (SOS) – Nyalakan Cahaya untuk Yuyun. Dalam aksi ini, disampaikan pula beberapa tuntutan kepada Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Bengkulu, antara lain :

  1. Pemerintah harus segera membentuk Tim Penanganan khusus untuk pemulihan psikis dan sosial dan dampingan hukum untuk keluarga korban yang melibatkan para pihak.
  2. Pemerintah Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi di Bengkulu harus menjamin keamanan dan perlindungan bagi keluarga, teman korban, saksi dan pendamping.
  3. Pemerintah Kabupaten/Kota/Provinsi di Bengkulu, harus segera merancang dan menjalankan program pendidikan dan penyadaran tentang Hak Kesehatan Seksual & Reproduksi (HKSR) bagi perempuan, perempuan muda/remaja, laki-laki muda/remaja, suami/ayah sebagai program prioritas Pemerintah Provinsi/ Kabupaten/ Kota di Bengkulu.
  4. Harus ada aksi bersama untuk membangun kekuatan solidaritas anti kekerasan seksual dimanapun dan pada siapapun yang melibatkan para pihak antara lain; Aparat Penegak Hukum, Lembaga Agama (MUI), Adat (BMA), Ormas/LSM dan media di Provinsi Bengkulu.
  5. Hukum para pelaku kejahatan perkosaan dengan memenuhi rasa keadilan bagi perempuan korban kekerasan seksual.

Bangun gerakan untuk lawan kekerasan seksual!

Dilaporkan oleh: Artety Sumeri (PERMAMPU)

Tokoh Agama, Adat, Pemerintah Diskusikan Pemenuhan Hak Perempuan di Bengkulu

Dukungan penuh tokoh agama (toma) dan institusinya, tokoh adat, pemerintah provinsi, akademisi dan masyarakat sipil terhadap pemenuhan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) tampak dalam diskusi publik para pemuka Agama Islam di Bengkulu tanggal 22 – 23 Februari lalu yang digagas oleh Forum Pengada Layanan (FPL) Women Crisis Center (WCC) Cahaya Perempuan Bengkulu, salah satu anggota dari Konsorsium PERMAMPU.

Acara yang dibuka oleh Wakil Gubernur Propinsi Bengkulu, H. Rohidin Mersyah, M.MA, dihadiri oleh 89 peserta mewakili lembaga keagamaan, lembaga adat, akademisi, satuan kerja perangkat daerah dan organisasi masyarakat sipil. Dalam pembukaannya, Rohidin menyatakan masih banyak terjadi pelanggaran terhadap hak kesehatan reproduksi perempuan di Bengkulu.

“Contohnya, akseptor KB mayoritas perempuan, seakan-akan urusan perempuan saja. Padahal efek KB lebih positif jika dipakai laki-laki juga. Dan masih banyak anak-anak perempuan yang dikeluarkan dari sekolah ketika mengalami kasus kehamilan tidak diinginkan,” kata Rohidin.

Rohidin menghimbau agar pemerintah daerah bisa lebih proaktif dalam memberikan dukungan dana bagi upaya-upaya pemenuhan HKSR.  Beliau menambahkan jika permasalahan gender bukan hanya menjadi permasalahan perempuan saja, namun merupakan masalah relasi antara perempuan dan laki-laki yang tidak seimbang. Gender adalah soal akses, kontrol dan manfaat.

“Pemerintah Daerah harus sediakan slot anggaran untuk HKSR. Selama ini, isu ini tidak mendapat perhatian penuh dari pemerintah,” kata beliau.

Acara diskusi dipandu oleh beberapa narasumber yakni Lies Marcoes (Fahmina Institute), Kyiai Faqihuddin Abdul Kodir (Fahmina Institute), DR. Abdul Hafiz (IAIN Bengkulu) dan Tety Sumeri (Direktur WCC Cahaya Perempuan).

Diskusi tersebut menghimbau agar para pemuka agama dan pemuka adat turut ambil bagian dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang pola relasi yang setara dan adil antara laki-laki dan perempuan.  Juga turut melakukan edukasi terutama dalam mendorong pemenuhan HKSR melalui peran-peran sosial dan keagamaan para tokoh tersebut.  Peserta diskusi menyadari, penyusunan kebijakan tidak luput dari pandangan sosial tersebut.

Pemahaman keliru yang muncul dalam masyarakat telah menyebabkan banyak pelanggaran HKSR, sebagaimana diungkap oleh Lies Marcoes dan Tety Sumeri, terkait kasus pernikahan anak, diskriminasi terhadap anak perempuan dan kasus-kasus kehamilan yang tidak diinginkan, yang pada akhirnya menyumbang pada Angka Kematian Ibu (AKI) yang Tinggi di Provinsi Bengkulu.  Data dari Dinas Kesehatan – seperti dikutip dari presentasi WCC Cahaya Perempuan – AKI Provinsi Bengkulu pada tahun 2013 adalah 136/1000 kelahiran, naik dari 120/1000 kasus di tahun 2012.

Puncak acara ditandai dengan penandatanganan “Amanat Santika” oleh enam orang yang mewakili 39 tokoh agama, tokoh adat dan CSO di Provinsi Bengkulu yang hadir dalam diskusi tersebut.

Amanat tersebut berisikan:

  1. Pemerintah provinsi/kabupaten/kota untuk menyelenggarakan pendidikan Kesehatan Reproduksi di sekolah, komunitas dan masyarakat,
  2. Pemerintah provinsi/kabupaten/kota/desa dan pihak terkait, untuk mengatasi persoalan Kehamilan yang Tidak Dikehendaki (KTD) sebagai upaya pemenuhan dan perlindungan  HKSR perempuan,
  3. Pemerintah provinsi/kabupaten/kota untuk memasukkan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan sebagai agenda daerah dan menghimbau seluruh lapisan masyarakat untuk menghapus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak (KtPA)
  4. Pemerintah provinsi/kabupaten/kota/desa untuk melakukan penguatan pendidikan dan penyadaran serta penguatan ekonomi perempuan agar terbebas dari kemiskinan dan pemiskinan
  5. Pemerintah provinsi/kabupaten/kota untuk mengimplementasikan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi dan Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak (KtPA). Selain itu, memasukkan isu HKSR Perempuan ke dalam rencana kerja dan rencana anggaran Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Badan Pemberdayaan Perempuan dan Anak serta Keluarga Berencana Provinsi Bengkulu.

Dilaporkan oleh Marie Astrid Wijaya, Partner Engagement Officer, MAMPU