Yasanti dan PPR DIY Advokasikan Hak Kesehatan dan Keselamatan Kerja Pekerja Rumahan

Pada tanggal 16 September 2016, perwakilan kelompok Pekerja Rumahan Yogyakarta dan Yasanti melakukan Audiensi ke Disnakertrans D.I. Yogyakarta. Audiensi yang dihadiri oleh 15 orang perwakilan tersebut, melakukan advokasi terkait kesehatan dan keselamatan kerja untuk para perempuan pekerja rumahan.

Sebagai tindak lanjut, Pihak Disnakertrans berkomitmen untuk melaksanakan pelatihan kesehatan dan keselamatan kerja bagi 100 orang perempuan pekerja rumahan di empat desa, antara lain: Desa Bawuran dan Desa Segoyoroso di Kec. Pleret, Desa Wukirsari di Kec. Imogiri dan Desa Bangunjiwo,  di Kec. Kasihan, Bantul. Pelatihan tersebut akan dilaksanakan pada tanggal 4 – 7 Oktober 2016.

Dilaporkan oleh: Hikmah Dh (PPR – Yasanti)

Audiensi Federasi Serikat PPR ke DPRD DI Yogyakarta

Sebanyak 20 orang pengurus dan anggota Federasi Serikat Perempuan Pekerja Rumahan (PPR) Kabupaten Bantul melakukan audiensi ke DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta dan diterima langsung oleh Ketua DPRD DIY, H. Yoeke Indra Agung L, SE.

Dalam audiensi yang dilaksanakan pada Jumat, 2 Juni 2017 tersebut, diikuti oleh perwakilan dari 5 serikat PPR, antara lain: Kreatif Bunda Desa Wonolelo, Bunda Mandiri Desa Bawuran, Bunda Berkarya Desa Segoroyoso, Ngudi Makmur Desa Wukirsari, dan Kasih Bunda Desa Bangunjiwo.

Masing-masing perwakilan serikat menyampaikan dan menceritakan bagaimana pembentukan kelompok, dukungan dari pemerintah desa, capaian serikat, dan harapan ke depan terkait pengakuan dan perlindungan hak atas kerja bagi perempuan pekerja rumahan.

Sebagai tanggapan, Ketua DPRD DIY memberi masukan untuk tetap melakukan pendataan kepada perempuan pekerja rumahan, kemudian mengajak mereka untuk bergabung dengan serikat, serta memperluas desa jangkauannya.

“Untuk jangka panjangnya, saya berharap ibu-ibu bisa membentuk koperasi dan perempuan pekerja rumahan dapat menjadi tulang punggung ekonomi desa”, ujar Yoeke.

Yoeke berjanji akan menjadwalkan pertemuan antara Yasanti dan Perempuan Pekerja Rumahan, dengan jajaran eksekutif, seperti: Biro Kesra, Bappeda, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Dinas Sosial, Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat/ BPPM, dan Dinas Kesehatan DIY.

Di akhir pertemuan, Warisah (Ketua Federasi Serikat PPR) memberikan berkas yang berisi AD/ART, bukti pencatatan, dan fotokopi data diri dari anggota federasi serikat kepada Ketua DPRD DIY.

Mitra MAMPU Berkonsolidasi untuk Tingkatkan Perlindungan Pekerja Rumahan Perempuan

Akhir-akhir ini, pertumbuhan pekerja rumahan mengalami peningkatan yang signifikan di berbagai sektor industri dan jasa. Hal ini terjadi seiring berkembangnya jumlah angkatan kerja perempuan dalam pekerjaan berbayar. Sejak pertumbuhan industri di Asia yang mengalami peningkatan akibat globalisasi dan permintaan konsumen di negara-negara maju, kebutuhan strategis di berbagai sektor industri turut meningkat. Kebutuhan strategis itu dijawab dengan cara memindahkan sebagian aktivitas usahanya ke beberapa negara berkembang, seperti Indonesia.

Negara berkembang menjadi salah satu tujuan pemindahan aktivitas usaha karena tersedianya jumlah tenaga kerja yang banyak dengan upah buruh yang relatif murah. Hal tersebut menarik investor asing untuk untuk mengalihkan produksinya di negara-negara tersebut sehingga membentuk pola hubungan kerjasama antara negara industri pemilik modal dan negara tempat produksi. Hubungan produksi antara negara pemilik modal dan negara tempat produksi membentuk rantai pasok (supply chain) global.

Selain itu, peningkatan penggunaan pekerja rumahan juga disebabkan oleh adanya tekanan pasar terhadap pengusaha untuk mendapatkan cara yang murah, fleksible dan produktif untuk menghasilkan produk yang kompetitif. Untuk lebih menekan biaya produksinya, perusahaan mengeluarkan pekerjaan ke luar pabrik dan memberikannya kepada pekerja-pekerja di luar pabrik, atau disebut juga dengan pekerja rumahan.

Menurut Konvensi ILO No. 177 tahun 1996 tentang Kerja Rumahan, Kerja Rumahan adalah kerja yang dilakukan oleh seseorang di dalam rumahnya atau di tempat lain yang dipilihnya, di luar tempat kerja milik majikan/ pengusaha untuk memperoleh upah, dan hasilnya berupa produk atau jasa yang ditetapkan oleh majikan/ pengusaha terlepas dari siapa yang menyediakan bahan baku, peralatan, dan masukan lain yang dipergunakan.

Tidak seperti pekerja di dalam pabrik, pekerja rumahan dibayar berdasarkan target kerja, seperti jumlah produk yang mampu dihasilkannya (satuan), bukan berdasarkan lama kerja atau jam kerja, tanpa memperhitungkan penyediaan alat dan bahan tambahan yang harus disiapkan oleh pekerja rumahan.  Upah yang didapatkan langsung dari perusahaan atau pemberi kerja di mana ia mengambil barang untuk diproduksi. Biasanya, para pekerja rumahan menerima pekerjaan dari sub-kontraktor perusahaan tertentu atau perantara.

Berangkat dari kondisi di atas, program MAMPU (Maju Perempuan Indonesia untuk Penanggulangan Kemiskinan) mendukung peningkatan akses perempuan terhadap pekerjaan, khususnya Perempuan Pekerja Rumahan, dengan melakukan kerja sama dengan Mitra Wanita Pekerja Rumahan Indonesia (MWPRI) di Malang, Yayasan Bitra Indonesia di Medan, Trade Union Right Center (TURC) di Jakarta dan Yayasan Annisa Swasti (YASANTI) di Yogyakarta untuk melakukan pengorganisasian, penguatan dan advokasi untuk Pekerja Rumahan sejak 2013 sampai sekarang. Hasil dari kegiatan untuk pekerja rumahan ini adalah terdata dan terbentuknya organisasi pekerja rumahan di Indonesia, khususnya di 7 provinsi di Indonesia. Saat ini, terhitung sebanyak 4.778 orang pekerja rumahan di tujuh provinsi tersebut yang sudah dijangkau oleh jaringan mitra Pekerja Rumahan.

MWPRI, didukung oleh Program MAMPU, melaksanakan konsolidasi nasional Perempuan Pekerja Rumahan yang dilaksanakan selama dua hari, dari tanggal 19-20 April 2016 di Fave Hotel, Jakarta. Acara ini dihadiri oleh 24 perwakilan pekerja rumahan dari 7 Provinsi (Sumatra Utara, Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur). Kegiatan ini menjadi ruang berbagi cerita dan pengalaman terkait pengorganisasian, penguatan kapasitas dan advokasi pekerja rumahan yang sudah dilaksanakan, mulai dari tingkat lokal, kabupaten, kota, provinsi maupun tingkat nasional. Hal ini diharapkan dapat menjadi pembelajaran untuk memperkuat pengorganisasian, penguatan dan advokasi yang selama ini sudah dilakukan.

Dalam kesempatan tersebut, disampaikan pula materi advokasi nasional berupa “Kerangka Kertas Kebijakan: Pengakuan dan Perlindungan Bagi Pekerja Rumahan di Indonesia”, yang merekomendasikan kepada kementrian terkait untuk melakukan tindakan dan langkah nyata untuk memberikan pengakuan dan perlindungan bagi Pekerja Rumahan.

Pekerja Rumahan yang menjadi mayoritas tenaga kerja sektor informal, keberadaannya tidak terlindungi oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan sehingga mereka sangat rentan terhadap praktik eksploitasi, perbudakan modern dan pelanggaran HAM. Kondisi pekerja rumahan masih jauh dari standar upah minimum yang berlaku serta tidak adanya perlindungan kesehatan, keselamatan dan keamanan kerja, maupun jaminan sosial.

Sampai sekarang, belum ada kebijakan lokal maupun nasional yang secara jelas mengarah pada perlindungan dan pemberdayaan pekerja rumahan. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan hanya menyinggung secara implisit mengenai pekerja rumahan, sehingga pekerjaan rumahan yang berada di sektor informal tidak dapat dijangkau oleh aturan tersebut.  Pekerjaan rumahan dikenal sebagai area yang sulit untuk diawasi, dipantau dan ditegakkan hukum ketenagakerjaannya.

Pemerintah diharapkan dapat memberikan pengakuan dan perlindungan melalui aturan hukum bagi pekerja rumahan yang menyandang posisi hukum, sosial dan ekonomi sangat lemah. Bentuk aturan hukum yang dimaksudkan adalah melalui kebijakan dan perlindungan bagi pekerja rumahan di Indonesia, pendataan pekerja rumahan dan memasukkan pekerja rumahan dalam program-program pembangunan di Indonesia.

Konsolidasi Pekerja Rumahan Indonesia ini juga menyepakati untuk melakukan advokasi dan aksi terkait advokasi kebijakan, yaitu dengan melakukan audiensi ke tiga kementerian, antara lain: Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta Kementerian Dalam Negeri.

Dilaporkan oleh: Dardiri Dardak (MWPRI)

Advokasi Hak Perempuan Pekerja Rumahan ke DPRD DIY

Sebagai bentuk advokasi pemenuhan hak-hak pekerja perempuan, Perempuan Pekerja Rumahan (PPR) DIY melakukan audiensi ke DPRD DIY. Audiensi ini dihadiri oleh ketua dan wakil ketua Dewan, perwakilan Disnakertrans DIY, Dinas Sosial DIY dan Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat (BPPM) DIY.

Pada awal Januari 2016 yang lalu, PPR telah mengadakan dialog publik bersama Disnakertrans DIY dan Biro Hukum Bappeda DIY. Dialog ini membahas rencana untuk kajian mendalam tentang pekerja rumahan yang mendesak terbentuknya regulasi.

Untuk itu, Disnakertrans meminta informasi data dari PPR untuk memasukkan program pemeriksaan kesehatan bagi tenaga kerja di DIY dalam daftar program 2016. Disnakertrans juga meminta data pemilik usaha di DIY untuk melakukan dialog terkait pentingnya pengadaan kontrak kerja tertulis.

Dalam kesempatan audiensi ini, Dinas Sosial menyampaikan adanya program asuransi sosial untuk pekerja mandiri dan sektor informal. Asuransi ini mencakup jaminan kecelakaan kerja dan kematian. Dinas Sosial meminta Pekerja Rumahan untuk mendaftarkan organisasinya. Manfaat adanya pencatatan dan pendaftaran ini adalah Perempuan Pekerja Rumahan sebagai organisasi dapat mengajukan proposal ke pemerintah daerah.

Adapun BPPM DIY, mereka meminta Perempuan Pekerja Rumahan untuk membuat proposal yang akan dimasukkan dalam prioritas program desa PRIMA (Pembinaan Kelompok Usaha Perempuan/ Home Industry). Dan sebagai kelanjutan dari audiensi tersebut, BPPM DIY mengundang PPR untuk datang dan melakukan diskusi mendalam di kantor BPPM DIY.

Adapun hasil dari audiensi ini antara lain adanya kesepakatan dari Ketua Dewan untuk melakukan kajian mendalam terkait regulasi di DIY. Ketua Dewan meminta SKPD terkait, terutama Dinsos, Disnakertrans dan BPPM DIY untuk memasukkan isu terkait pekerja rumahan ke dalam program pemerintah daerah.

Yasanti Gelar Dialog Publik untuk Tingkatkan Perlindungan Buruh Rumahan

“Saya sudah bekerja sejak tahun 2002 tetapi tidak pernah dapat THR.  Kalau sakit, biaya sendiri.  Beli benang dan jarum juga (pakai uang) sendiri,” kata Siti Nuriyah, buruh rumahan dari Desa Wonolelo, yang hadir dalam Dialog Publik Buruh Rumahan bersama CSO dan Jaringan Advokasi Perlindungan Buruh Informal di Yogyakarta, hari ini (7/12). Dialog yang diadakan oleh Mitra MAMPU, Yasanti, ini bertujuan memperoleh perlindungan hak-hak buruh rumahan.

Dalam dialog tersebut, Wakil DPRD Provinsi DI Yogyakarta, Arif Nur Hartanto meminta kelompok buruh rumahan dan mitra MAMPU, Yasanti, untuk memberikan masukan dan menyampaikan konsep program perlindungan buruh rumahan.  Sementara itu, staf Bappeda provinsi, Tri Agus, mengatakan, bahwa Bappeda membutuhkan data komprehensif tentang buruh rumahan.

Beberapa kesimpulan dari dialog ini adalah:

  1. Perlu dilakukannya pendataan buruh rumahan.  Bappeda akan bekerjasama dengan Disnakertrans (Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi) untuk mendiskusikan hal ini.
  2. Perlu kajian lebih lanjut untuk menyusun naskah akademik peraturan gubernur tentang perlindungan buruh rumahan.  Terkait hal ini, Bappeda akan bekerjasama dengan Biro Kesra provinsi.
  3. Jaminan kesehatan bisa dilakukan melalui program jamkesda dan jamkesos tahun 2016.  Bappeda akan cek ketersediaan anggaran.
  4. Pentingnya pengorganisasian buruh rumahan secara lebih baik agar dapat mengakses program-program pemerintah.
  5. DPRD dan Bappeda meminta kelompok buruh rumahan dan Yasanti untuk menyampaikan konsep program perlindungan buruh rumahan yang jelas dan dapat diterapkan, paling lambat akhir Februari 2016, untuk bahan musrenbang.

Siti Zamzanah: Gunakan Pengetahuan dan Pengalaman untuk Kerja yang Lebih Baik

Siti Zamzanah (58 tahun), atau akrab disapa Bu Siti, tinggal di desa Notoprajan, Ngampilan, Yogyakarta. Ia memiliki dua orang anak, menantu dan dua orang cucu. Mereka tinggal di sebuah rumah yang telah menjadi milik Bu Siti sejak suaminya meninggal pada tahun 2002. Setelah lulus dari SMA di pertengahan tahun 70-an, Bu Siti melakoni berbagai macam pekerjaan. Pada saat ia bertemu dengan suaminya pada akhir 70-an, Ia telah memiliki pengalaman kerja paruh waktu dan penuh waktu di sektor formal dan informal, yang sebagian besarnya adalah di industri garmen.

Setelah menikah, Bu Siti tetap bekerja penuh waktu sebagai penjahit di perusahaan fashion. Barulah ketika anak bungsunya menginjak remaja pada tahun 1998, Bu Siti ingin mendedikasikan waktu dan perhatiannya lebih banyak untuk keluarga. Ia keluar dari pekerjaan penuh waktunya, dan bekerja dari rumah sebagai pembuat lubang kancing pakaian dan penjahit kancing. Untuk memulai usahanya, Bu Siti meminjam uang dari koperasi untuk membeli mesin jahit dan bahan-bahan yang diperlukan seperti benang, jarum, dll. Kemudian, Bu Siti mendapat jaringan dengan agen yang ia ketahui dari rekan sesama pekerja rumahan dan rekan saat bekerja dulu.

Hingga sekarang, Bu Siti telah melakoni pekerjaannya sebagai pembuat lubang kancing baju dan penjahit kancing selama 16 tahun. Secara umum, Bu Siti sangat menikmati waktu dan kebersamaannya bersama keluarganya di rumah, walaupun ia tidak terlalu puas dengan pekerjaannya. Bu Siti hanya mendapat bayaran sebesar Rp 2.000,- per 10 lubang kancing dan Rp Rp 4.500,- per lubang kancing dan kancingnya. Dalam sebulan, Ia bisa mendapat Rp 1.000.000,- yang sebagian besar darinya ia gunakan untuk membeli peralatan menjahit, membayar listrik dan perawatan mesin jahitnya.

Anak dan menantunya juga bekerja, namun hanya paruh waktu dan di sektor informal pula. Jika seluruh pendapatan mereka digabungkan, itu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga mereka. Mereka tidak dapat mengakses program perlindungan sosial dari pemerintah seperti BPJS, namun di sisi lain mereka juga tidak dapat dikategorikan sebagai masyarakat miskin sehingga mereka tidak mendapatkan fasilitas perlindungan sosial pemerintah secara gratis.

Tahun 2008, Bu Siti bergabung dengan kelompok pekerja rumahan yang didampingi oleh Yasanti, sebuah LSM lokal yang bekerja di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah, dan salah satu Mitra Pelaksana ILO/ MAMPU. Sejak itu, Bu Siti aktif terlibat dalam diskusi dan kegiatan kelompok.

“Saya senang bisa mempelajari berbagai topik baru melalui kelompok ini, seperti isu gender, hak asasi manusia dan kualitas kerja,” katanya. Dari ilmu yang didapatnya, Bu Siti berusaha untuk memanfaatkan pengetahuan tersebut untuk meningkatkan kualitas produknya. “Sebelumnya, saya mengukur jarak antara dua lubang kancing dengan menggunakan jari saya, jadi dikira-kira. Tapi, setelah saya belajar tentang kualitas kerja, sekarang saya mengerti bahwa saya harus membuat barang-barang yang saya hasilkan dengan kualitas baik. Sejak itu, saya membeli pita pengukur dan pensil dan jarak antara dua lubang kancing sekarang seragam.”

Bu Siti mengungkapkan bahwa agennya tidak pernah menawarinya kenaikan upah. Selama 16 tahun bekerja, upah untuk satu lubang dan kancing memang naik secara perlahan, tapi hanya sedikit, dari yang sebelumnya Rp 150 menjadi Rp 450. Dan kenaikan upah ini terjadi karena Bu Siti memintanya, mengingat adanya kenaikan harga bahan dan juga tarif lisrik.

Bu Siti belajar berani untuk meminta haknya seorang diri, jauh sebelum bergabung di Yasanti. Sekarang, Bu Siti berbagi pengalaman dan kisahnya kepada anggota kelompok lainnya. “Saya senang bisa berbagi pengalaman masing-masing dan bisa saling mendukung dalam kelompok ini. Mudah-mudahan, kita semua mendapat kondisi kerja yang lebih baik”, ujar Bu Siti.