Project Brief: Sekolah Perempuan

Bersama jejaring mitra lokalnya, KAPAL Perempuan melakukan pemberdayaan dan penguatan kepemimpinan perempuan untuk meningkatkan
akses mereka ke berbagai layanan dan program pemerintah melalui dua pendekatan utama: melakukan pendidikan dan pengorganisasian perempuan miskin di akar rumput dan juga kelompok marginal minoritas melalui Sekolah Perempuan.

Sekolah Perempuan memperkuat kemampuan perempuan akar rumput agar dapat berpartisipasi di dalam forum pengambilan keputusan, melakukan advokasi untuk perubahan kebijakan dan menggalang dukungan untuk tercapainya advokasi.

Nawala MAMPU Kita Edisi 9 (Mei-Juni 2019)

Nawala MAMPU Kita terbit setiap dua bulan sekali, menyampaikan kabar capaian serta kegiatan Program MAMPU bersama kedua pemerintah dan mitra organisasi masyarakat sipil (OMS).

Program MAMPU adalah program inisiatif bersama antara Pemerintah Australia dan Pemerintah Indonesia. Program ini mendukung Pemerintah Indonesia dalam mencapai Target Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dengan membangun kepemimpinan dan pemberdayaan perempuan, sehingga akses perempuan terhadap pelayanan dasar dan program pemerintah meningkat.

Edisi MAMPU Kita kali ini mengulas partisipasi Program MAMPU dan mitranya dalam konferensi Women Deliver 2019, sejumlah kegiatan mitra yang juga menjadi ajang pernyataan sikap seputar isu perempuan pekerja dan perlindungan perempuan dari kekerasan, serta upaya peningkatan kapasitas mitra MAMPU lewat pelatihan tentang disabilitas serta bisnis sosial.

Nawala dapat diakses melalui tautan berikut

Bahasa Indonesia | Bahasa Inggris

Simulasi Pemilu 2019: Perempuan Siap Memilih!

Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), KAPAL Perempuan dan Migrant CARE Mitra MAMPU lainnya, menyelenggarakan “Simulasi Pemilu 2019: Perempuan Memilih”, Minggu (6/4). Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan perempuan tentang teknis penyelenggaraan Pemilu 2019 serta mendorong perempuan menggunakan hak pilihnya secara kritis. Selain itu, simulasi pemilu juga dimaksudkan untuk mengidentifikasi kesenjangan akses yang dialami kelompok perempuan disabilitas, lansia, dan pemilih pemula.

 

Penyandang disabilitas ikut serta dalam acara Simulasi Pemilu 2019: Perempuan Memilih.

 

Bertempat di Gelanggang Olah Raga (GOR) Bulungan, Jakarta Selatan, acara ini diikuti lebih dari 500 perempuan dari berbagai komunitas, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), calon anggota legislatif, akademisi dan pengamat politik. Acara dimulai dengan sosialisasi teknis Pemilu 2019 dari Ketua KPUD DKI dan anggota KPPS, Betty Epsilon Idroos. Simulasi melibatkan 30 perempuan dan kelompok rentan (perempuan penyandang disabilitas, lansia, ibu rumah tangga, perempuan miskin kota, perempuan muda, dan buta aksara). Acara diakhiri dengan diskusi yang menghadirkan berbagai narasumber dari unsur akademisi, pengamat politik dan perwakilan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS).

 

Arief Budiman, Ketua KPU RI, menekankan pentingnya Pemilu 2019 bagi Indonesia dalam acara Simulasi Pemilu 2019: Perempuan Memilih di GOR Bulungan, 6 April 2019.

 

Ketua KPU Arief Budiman yang hadir pada acara simulasi, mengakui bahwa tidak mudah melaksanakan Pemilu 2019 karena luasnya cakupan. Arief menambahkan Pemilu 2019 sangat penting bagi masyarakat Indonesia karena semua tingkatan pemimpin bangsa dipilih pada Pemilu kali ini. Sutriyatmi, Deputi Sekretaris Jenderal Bidang Program KPI menyoroti Pemilu 2019, terutama kurangnya akses informasi bagi perempuan dan kelompok rentan yang berpotensi menimbulkan kerawanan tidak sahnya suara mereka. Sementara itu, Direktur Eksekutif Migrant CARE Wahyu Susilo menambahkan pentingnya masyarakat untuk melihat calon wakil di DPR-RI, DPRD dan DPD untuk memastikan keterwakilan isu perempuan dalam legislatif melalui Pemilu ini.

Simulasi mengidentifikasi tantangan yang dihadapi kelompok perempuan disabilitas, lansia, dan pemilih pemula, di antaranya ketersediaan waktu yang minim bagi pemilih lansia dan buta aksara.

 

Seorang lansia asal Jakarta mencoba proses pencoblosan. Lansia dan kelompok difabel memerlukan 8-15 menit untuk mencoblos.

 

“Simulasi ini sangat membantu kami supaya familiar dengan Pemilu 2019. Harapan kami, penyandang disabilitas mendapat akses prioritas, waktu ditambah, dan meja kotak suara lebih rendah agar mudah dijangkau,” ujar Yurlina dari Halim, Jakarta Timur, perwakilan kelompok perempuan penyandang disabilitas.

Rekomendasi dari hasil simulasi telah disampaikan kepada KPU dan Bawaslu, sebagai bagian dari pengawalan Pemilu 2019 yang dilakukan kelompok masyarakat sipil dan pemantau independen.

Nawala MAMPU Kita Edisi 7 (Januari-Februari 2019)

Nawala MAMPU Kita terbit setiap dua bulan sekali, menyampaikan kabar capaian serta kegiatan Program MAMPU bersama kedua pemerintah dan mitra organisasi masyarakat sipil. Program MAMPU adalah program inisiatif bersama antara Pemerintah Australia dan Pemerintah Indonesia. Program ini mendukung Pemerintah Indonesia dalam mencapai Target Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dengan membangun kepemimpinan dan pemberdayaan perempuan, sehingga akses perempuan terhadap pelayanan dasar dan program pemerintah meningkat.

Edisi ke-7 ini meliput berbagai kegiatan berbasis akar rumput yang diadakan oleh Mitra MAMPU di berbagai daerah. Mulai dari pendidikan politik di Jakarta, perencanaan keberlanjutan, hingga catatan tentang perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan di Solo. Kepesertaan MAMPU dan Mitra dalam kegiatan yang diselenggarakan melalui kerja sama Australia Award dengan University of Sydney juga turut mewarnai agenda MAMPU selama bulan Januari-Februari 2019.

Silakan klik tautan di bawah untuk mengunduh MAMPU Kita Newsletter Edisi ke-7.

Bahasa Indonesia | Bahasa Inggris

Presiden Undang Perempuan Akar Rumput, Mitra MAMPU Turut Hadir

Saraiyah memaparkan pengalaman menangani kasus kekerasan terhadap perempuan di tenda pengungsian pascagempa di Kab. Lombok Utara, di hadapan Presiden Jokowi.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyambut perempuan akar rumput dari seluruh Indonesia untuk bersilaturahmi dan bersama-sama memperingati Hari Perempuan Internasional di Istana Negara, Rabu (6/3) lalu. Perwakilan sejumlah organisasi masyarat sipil (OMS) mitra Program MAMPU ikut menghadiri acara tersebut.

Dalam kesempatan ini, Presiden Jokowi juga mengundang 16 perempuan pelopor di bidangnya masing-masing. Empat di antara mereka adalah perempuan akar rumput yang berperan aktif dalam kerja-kerja mitra Program MAMPU yaitu Institut KAPAL Perempuan, Migrant CARE, dan ‘Aisyiyah.

Mereka adalah: Saraiyah, Ketua Sekolah Perempuan dan anggota Majelis Krama di Desa Sukadana, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat; Nurlina, perempuan nelayan asal Pulau Sabangko, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan; Jumiatun, purna pekerja migran dan kader Desa Peduli Buruh Migran (DESBUMI) Desa Dukuhdempok, Kab. Jember, Jawa Timur; dan Sri Nani, kader Balai Sakinah ‘Aisyiyah yang aktif mengampanyekan hak-hak perempuan dan kesehatan reproduksi dari Desa Sampiran, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.

Di hadapan Presiden Jokowi, Saraiyah berkesempatan memaparkan pengalamannya menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan di tenda pengungsian pascagempa di Kab. Lombok Utara.

Selain Saraiyah, anggota Sekolah Perempuan lainnya, Fitri, mengungkapkan pentingnya akses warga miskin terhadap Jaminan Kesehatan Nasional bagi Penerima Bantuan Iuran (JKN-PBI). Sekolah Perempuan melakukan pemantauan JKN-PBI di 6 desa di Kab. Gresik, Kab. Lombok Utara, Kab. Lombok Timur, Kab. Pangkajene dan Kepulauan, Kota Kupang, dan Kota Jakarta Timur.

Gelombang Perubahan dari Perempuan di Kepulauan Sulawesi

Selasa siang (16/10), sekelompok peserta Kunjungan Belajar Mitra MAMPU mengunjungi sebuah pulau kecil di wilayah Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan. Di pulau tersebut, tepatnya di Kantor Desa Mattiro Kanja yang sederhana, para perempuan yang tergabung dalam Sekolah Perempuan bercerita tentang perubahan yang mereka alami sebagai dampak keterlibatan mereka. Sekolah Perempuan adalah sebuah inisiatif pemberdayaan perempuan akar rumput yang didasari prinsip pendidikan sepanjang hayat, yang dikembangkan oleh Institut KAPAL Perempuan di Pangkep bersama submitra mereka Yayasan Kajian Pembangunan Masyarakat (YKPM).


“Bagaimana cara ibu sekalian dalam menghadapi stigma negatif atau prasangka buruk masyarakat sekitar terhadap kegiatan Sekolah Perempuan?” tanya Ridwan dari SAPA Institute Bandung, salah satu mitra MAMPU, yang membuka sesi tanya-jawab siang itu.

“Awalnya memang sulit, tapi kami perempuan terus berjuang, bahkan ketika pemuka agama yang belum paham kegiatan ini mengatakan bahwa Sekolah Perempuan ini aliran sesat, kami urung merasa takut,” Indotang, seorang anggota Sekolah Perempuan yang tinggal di Desa Mattiro Uleng menjawab dengan penuh keyakinan.

“Kami pelan-pelan menjelaskan kepada orang-orang sekitar. Kini, saya sudah bisa mengajak lebih banyak ibu untuk memperjuangkan hak-haknya juga mengajarkan tentang ketujuh belas tujuan SDGs,” tandasnya, kemudian menyebutkan satu per satu tujuan pembangunan berkelanjutan yang berprinsip ‘tak seorangpun ditinggalkan.’

Nilai akan kesetaraan peran dan hak atas kehidupan yang layak dipercayai oleh setiap anggota Sekolah Perempuan. Berbekal keyakinan nilai tersebut, Musdalifah yang mempelajari tentang kesetaraan gender di Sekolah Perempuan Desa Mattiro Bombang tidak kalah bercerita tentang tantangan yang bahkan ia temukan dalam berumah tangga.

“Dulu, sebelum ikut Sekolah Perempuan, kami para istri biasanya hanya makan ekor (ikan) di dapur. Sedangkan suami yang makan kepala dan badan. Setelah belajar tentang kesetaraan gender, kami bisa berbicara dengan suami tentang kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Kepala dan ekor kami nikmati sama-sama di meja makan,” ceritanya.

Meskipun berasal dari desa yang sama, perjuangan Risma berbeda dengan Musdalifah. Sebagai anggota muda, Risma menceritakan akan ketakutannya dahulu untuk berbicara di depan banyak orang. “Jangankan memperjuangkan hak-hak rakyat miskin, saya berbicara seperti ini saja tidak berani,” ungkapnya sambil tersenyum. “Tetapi karena saya belajar dan berlatih, saya jadi tahu caranya berbicara di depan umum. Kini saya berani menyampaikan keluhan ke pemerintah.” Dengan suaranya, Risma berhasil mempengaruhi kebijakan pemerintah setempat untuk membantu satu keluarga miskin memperoleh tempat tinggal yang layak.

“Saya sendiri korban perkawinan anak. Menikah dini 14 tahun, melahirkan dan hampir mati usia 16. Begitu lihat teman punya anak beranjak remaja, saya selalu pesan ‘jangan dulu dinikahkan, pikirkan masa depannya, saya sendiri merasakan dampaknya,” ungkap Darma, dari Desa Mattiro Uleng, menambah pesan penting bagi perempuan untuk mencegah perkawinan anak atau di bawah umur. Dalam kesempatan tersebut, Darma mengutarakan pentingnya mempersiapkan masa depan anak, daripada menikahkannya di usia belia.

Bersama-sama dengan Indotang, Musdalifah, Risma dan Darma, ribuan anggota Sekolah Perempuan lainnya di 25 desa di 8 kabupaten di 6 provinsi memperoleh dukungan dari Program MAMPU melalui mitra jejaring KAPAL Perempuan untuk membangun jiwa kepemimpinan dan berbagai kecakapan hidup perempuan. Keberhasilan model pemberdayaan perempuan ini menunjukkan peningkatan akses perlindungan sosial oleh perempuan miskin, dan telah direplikasi oleh Pemerintah Indonesia di 46 desa lainnya yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Sri Bulan, Cahaya dari Wringinanom

Seperti namanya, Sri Bulan ibarat cahaya bagi orang-orang di sekitarnya. Pengalamannya sebagai penyintas kanker telah menguatkannya untuk mendukung banyak orang dalam mengakses layanan kesehatan dasar.

Perempuan asal Wringinanom, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, ini setia mendampingi warga dalam menggunakan Jaminan Kesehatan Nasional Penerima Bantuan Iuran (JKN-PBI). Tak hanya membantu mengurus pendaftaran dan memastikan kartu peserta sampai di tangan mereka, Bulan juga sering menemani pasien hingga mendapatkan kamar rawat inap. Sosoknya yang periang pun tak lagi asing bagi banyak perawat dan dokter di RS Ibnu Sina, Gresik, dan RS Dr. Soetomo, Surabaya.

Semangat Bulan yang seolah tak pernah padam itu mulai terbit kala ia bergabung dengan Sekolah Perempuan pada April 2014. Di lembaga pendidikan nonformal yang digagas Institut KAPAL Perempuan, mitra MAMPU untuk tema akses kepada perlindungan sosial, itulah Bulan belajar banyak hal baru.

“Saya jadi mengerti apa itu partisipasi gender, kemerdekaan, bergaul dengan banyak orang,” kata perempuan berusia 29 tahun ini. Kepercayaan diri Bulan pun kembali berpendar, setelah melalui masa-masa pemulihan kanker yang menantang.

Perjuangan Bulan melawan kanker dimulai pada 2009. Kala itu ia masih tinggal bersama sang suami yang seorang perokok. Kamar yang selalu dipenuhi asap rokok akhirnya membuat Bulan kesulitan bernapas dan sering mimisan.

Suatu hari ketika sedang mandi, ia menemukan benjolan di lehernya. Hasil pemeriksaan di klinik menyatakan bahwa benjolan itu adalah kelenjar yang membengkak.

“Benjolannya memang tidak sakit. Tapi ketika pilek, hidung saya mengeluarkan darah. Saya minum obat, bengkaknya malah makin besar,” kenangnya.

Bulan kemudian memeriksakan diri ke RS Reksowaluyo, Mojokerto, di mana ia kemudian menjalani biopsi. Hasilnya, ibu satu anak itu didiagnosis positif kanker nasofaring stadium empat, dan dirujuk ke RS Dr. Soetomo Surabaya.

Di tengah keadaan tersebut, Bulan juga mengalami penelantaran dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dari suaminya, yang dinikahinya saat berusia 17 tahun. Selain tak menafkahi keluarga, sang suami juga tidak sepeser pun membiayai pengobatan Bulan. Demi bisa berobat, Bulan harus mengurus pembuatan Surat Pernyataan Miskin, karena kartu Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) miliknya hilang.

“Biaya pengobatan memang gratis, tapi tetap butuh uang untuk transportasi bolak-balik ke rumah sakit dan untuk makan. Semua biaya itu bapak saya yang mengeluarkan. Bapak sampai menjual sapi dan kambing,” tutur Bulan, yang kini tinggal bersama orang tuanya.

Sementara itu, pengobatan radioterapi dan kemoterapi sempat membuat kondisi tubuh Bulan melemah. Selain bobot tubuh, kemampuan bicara, mendengar, dan berpikirnya pun menurun. Rasa rendah diri yang menyelimutinya membuat Bulan enggan meninggalkan rumah.

 

Mulai Kembali Bersinar

Berkegiatan di Sekolah Perempuan membawa Bulan keluar dari sarangnya. Bermula dari rajin menuliskan data anggota sekolah, keterampilannya meningkat hingga mampu mendokumentasikan data feminisasi kemiskinan di dusunnya. Ia juga ikut mementaskan Tari Javen dalam rangka perayaan HUT RI ke-70 atas undangan Pemerintah Kecamatan Wringinanom.

Secara khusus, Bulan tertarik dengan materi perlindungan sosial, terutama terkait jaminan kesehatan. Menurutnya, banyak orang sakit yang berputus asa, tidak mau berobat karena biayanya mahal sampai akhirnya berpulang.

Berbekal pengetahuan baru dari Sekolah Perempuan, Bulan mulai menyebarkan informasi seputar perlindungan sosial untuk kesehatan di lingkungan sekitarnya. Meski awalnya ia tak dipercaya, karena warga menilai kartu Jamkesmas hanyalah kartu biasa, lambat laun mereka mulai menggunakan kartu tersebut untuk berobat. Kegigihan Bulan kemudian membuatnya ditunjuk sebagai pendamping bagi anggota Sekolah Perempuan untuk melakukan pemeriksaan IVA (Inspeksi Visual dengan Asam Asetat) di RS Ibnu Sina, Gresik.

Proses panjang yang pernah dilaluinya untuk mendapatkan kartu JKN-PBI menjadi bekal keteguhan langkah Bulan, agar perempuan-perempuan lain di sekitarnya juga dapat mengakses layanan kesehatan dasar.

“Perempuan penting memiliki JKN agar terjamin kesehatannya. Perempuan Indonesia harus sadar kalau ini adalah pemenuhan hak dasar bernegara agar warga Indonesia sehat,” tegas perempuan yang dinyatakan terbebas dari kanker pada Agustus 2017 ini.

Pendar semangat itu terus mewarnai hari-hari Bulan hingga akhir hayatnya. Bulan berpulang pada Jumat, 24 Agustus 2018, saat senja menjelang.

Selamat jalan, Sri Bulan. Perjuanganmu mendampingi sesama akan senantiasa dikenang.

Saraiyah, Suara yang Kini Didengar

Minggu pagi itu, 29 Juli 2018, Saraiyah sedang menyiram tanaman sayur-mayur di pekarangannya di Dusun Lokok Buak, Desa Sukadana, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara, ketika tanah yang dipijaknya mendadak bergetar hebat, membuat dinding rumahnya retak. Gempa 6,4 skala Richter yang mengguncang Pulau Lombok itu membuat Saraiyah bergegas mengungsi ke Dusun Segenter, yang terletak di kaki Gunung Rinjani. Di pengungsian yang kemudian menjadi tempat berlindung warga dari lima dusun itu, mulanya hanya ada tenda dari satu terpal dan tikar seadanya.

“Saya menelepon semua anggota Sekolah Perempuan yang bisa dihubungi (untuk berkoordinasi), apa yang bisa kami lakukan. Nomor telepon saya pun disebar sebagai contact person,” cerita Ketua Sekolah Perempuan Desa Sukadana ini.

Di pengungsian di Dusun Segenter, Saraiyah dan sejumlah anggota Sekolah Perempuan lainnya kemudian mendirikan Pos Perempuan. Pos ini merupakan inisiatif bersama antara Sekolah Perempuan, Institut KAPAL Perempuan, dan Lembaga Pengembangan Sumber Daya Mitra (LPSDM) Nusa Tenggara Barat, dengan dukungan Program MAMPU. Di sana, Saraiyah turut mengatur pembagian logistik, menginisiasi dapur umum, mengkoordinir jadwal piket mengantar korban gempa yang sakit, juga melakukan pendataan administrasi kependudukan (adminduk) bagi warga yang kehilangan dokumen identitas diri.

Menyadari bahwa perempuan memiliki kerentanan tersendiri dalam situasi bencana, Saraiyah dan rekan-rekannya di Sekolah Perempuan mengambil sejumlah langkah untuk menciptakan rasa aman dan nyaman bagi perempuan saat mengungsi. Selain membangun tenda dengan sekat antara laki-laki dan perempuan untuk menghindari pelecehan seksual, mereka juga menggagas awig-awig (peraturan desa adat) darurat untuk menciptakan keteraturan di lokasi pengungsian.

“Karena keadaan darurat, kami tidak bisa menempel peraturan di tenda. Jadi, kami mengumpulkan para laki-laki di sekitar tenda untuk rapat, dan menyepakati pembuatan awig-awig,” papar Saraiyah.

“Ada beberapa hal yang diatur, misalnya larangan merokok di dalam tenda karena ada ibu hamil dan menyusui, juga mengatur jam tidur agar selalu ada laki-laki yang piket ronda,” tambah Saraiyah, yang kini tidur di tenda yang didirikan di teras rumahnya.

Suara Saraiyah, yang sekarang menggaungkan dampak, berawal dari berdirinya Sekolah Perempuan Desa Sukadana pada 22 Februari 2014. Namun, kala itu, perjuangannya jauh dari mulus.

“Di awal, kami sering dicap sebagai kelompok yang mengajak ibu-ibu untuk melawan suami dan menentang adat,” kenangnya.

Perempuan berusia 46 tahun itu sendiri mulanya kebingungan, ketika Institut KAPAL Perempuan, mitra MAMPU untuk tema akses kepada perlindungan sosial, mengajaknya mendirikan Sekolah Perempuan. “Saya pikir, seperti apa itu Sekolah Perempuan? Apakah harus berpakaian rapi seperti murid sekolah? Mau diapakan kami-kami yang sudah tua dan miskin begini?”

 

Bersuara untuk Perempuan

Setelah mengikuti kegiatan Sekolah Perempuan, keraguan Saraiyah sirna. Aktivitas belajar dilakukan dalam suasana santai. Tempatnya bisa bergantian di rumah anggota, bahkan di alam bebas seperti sawah dan pantai. Materi pembelajaran disesuaikan dengan kebutuhan anggota, berdasarkan hasil diskusi bulanan mereka.

“Sebelumnya, kami nggak berani ngomong di depan orang. Masalah keluarga dianggap sebagai aib yang tidak bisa diceritakan ke orang banyak,” cerita Saraiyah, yang mengaku berkesempatan belajar banyak hal baru di Sekolah Perempuan bersama para anggota lainnya. “Padahal kami banyak yang tidak sekolah tinggi, hanya lulus SD dan SMP, bahkan tidak tamat SD,” tambah perempuan yang berhasil menamatkan bangku SMA, meski keluarga tak mengizinkannya melanjutkan sekolah, ini.

Wawasan Saraiyah, terutama mengenai pemenuhan hak-hak perempuan, pun terus meluas. Manakala ada peristiwa yang mengakibatkan ketidakadilan bagi kaum perempuan di lingkungan sekitar, ia akan tergerak memperjuangkannya.

Perjuangan menegakkan keadilan bagi para perempuan ini mendorong Saraiyah berani menerabas sekat-sekat adat. Ia meyakini, adat masih bisa diubah jika justru merugikan posisi perempuan. “Hanya Alquran dan hadis yang tidak bisa diubah, tapi adat dan kebiasaan hidup bisa kita ubah,” tegasnya.

Saraiyah juga tak pandang agama dalam memperjuangkan nasib perempuan, misalnya untuk mengusulkan perbaikan jalan di Dusun Kebon Patu. Menurutnya, akses jalan yang curam dan sempit tak hanya menyumbangkan angka kematian ibu hamil, namun juga menghambat potensi ekonomi Dusun Kebon Patu sebagai sentra perkebunan coklat. Namun, sang kepala dusun (kadus) sempat mempertanyakan motivasi Saraiyah, karena mayoritas warga di sana menganut agama yang berbeda dengannya.

“Saya bilang ke Pak Kadus, pembangunan itu tidak hanya difokuskan untuk sedikit orang. Kita harus berusaha agar pembangunan bisa dinikmati masyarakat banyak tanpa memandang agama,” tegas salah satu anggota Tim 11 Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa Sukadana ini.

Usulannya itu kemudian dibawa tak hanya ke tingkat desa, namun juga disampaikan dalam musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) di tingkat kecamatan dan kabupaten. Kini, pembangunan jalan ke Dusun Kebon Patu menjadi salah satu program prioritas.

 

Membangun Dampak

Berkat kegigihan Saraiyah dan para anggota lainnya, Sekolah Perempuan Desa Sukadana kini telah mendapatkan pengakuan warga maupun pemerintah. Selain melaksanakan musrenbang khusus perempuan sejak 2015, pemerintah Kabupaten Lombok Utara juga merencanakan replikasi Sekolah Perempuan di sejumlah desa lainnya. Saraiyah pun ditunjuk sebagai salah satu fasilitator untuk membantu pelaksanaan replikasi.

“Dulu, perempuan tidak pernah didengar suaranya dan dipandang sebelah mata. Sekarang, kalau kami bicara, laki-laki sudah mau mendengarkan,” ujarnya.

Salah satu contoh nyata lainnya adalah inisiatif Saraiyah dan para anggota Sekolah Perempuan Desa Sukadana untuk merintis kebun sayur organik di halaman rumah masing-masing. Keberhasilan mereka bercocok tanam secara swadaya ternyata tak hanya mewujudkan peningkatan kapasitas maupun pemberdayaan ekonomi. Mei silam, Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Lombok Utara bertandang ke rumah Saraiyah, mengajak Sekolah Perempuan Desa Sukadana bermitra dalam program Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL).

Pascagempa, Saraiyah pun berupaya menghidupkan kembali program KRPL, agar perempuan di pengungsian dapat mengisi waktu luang. Dengan demikian, mereka tidak terlarut dalam kekhawatiran karena memikirkan situasi hidup saat ini.

Selain mengolah sayur-mayur dari kebun KRPL di dapur umum, Saraiyah juga bekerja sama dengan Dinas Pertanian setempat untuk mengadakan penyuluhan KRPL di Desa Sukadana pada pertengahan Agustus lalu. Minggu (7/10) lalu, sekitar 60 perempuan berkesempatan mengikuti pelatihan pengolahan pangan lokal bersama pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat dan LPSDM di lapangan Kecamatan Tanjung.

Menyaksikan langsung segala kepanikan akibat gempa di akhir Juli itu, yang dalam sebulan diikuti oleh lebih dari 1.900 gempa susulan, Saraiyah sadar bahwa kesedihan tak harus berujung pada keputusasaan. Dalam keadaan yang serba terbatas, ia tak lelah mendorong warga di pengungsian untuk menyisihkan waktu demi membicarakan hal-hal yang dibutuhkan untuk upaya pemulihan.

“Tidak selamanya kita hanya bisa duduk diam, ketakutan, dan menunggu bantuan,” pungkasnya, penuh tekad. (*)

Institut Lingkaran Pendidikan Alternatif (KAPAL) Perempuan

Institut Lingkaran Pendidikan Alternatif (KAPAL) Perempuan

Institut Lingkaran Pendidikan Alternatif (KAPAL) Perempuan berdiri pada 2000 untuk membangun gerakan perempuan yang mendorong adanya masyarakat damai yang mendukung keadilan sosial dan gender, pluralisme, dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Program MAMPU telah bermitra dengan Institut KAPAL Perempuan sejak 2012. Bersama jejaring mitra lokalnya, Institut KAPAL Perempuan  memberdayakan perempuan dan memperkuat akses mereka terhadap program dan layanan pemerintah. Didukung Program MAMPU, Institut KAPAL Perempuan bekerja di 6 provinsi, 15 kabupaten dan 25 desa/kelurahan.

 

Program organisasi sebagai mitra MAMPU:

  • Sekolah Perempuan: wadah pendidikan dan pelatihan informal berbasis-komunitas untuk memberdayakan perempuan miskin di akar rumput, dan menciptakan pemimpin perempuan lokal yang mampu mengadvokasi hak-hak perempuan, serta kebijakan dan anggaran yang mendukung akses perempuan terhadap layanan.
  • Gender Watch: pemantauan program perlindungan sosial pemerintah lewat audit gender berbasis-komunitas (AGBK) untuk menjamin keakuratan data penerima manfaat dan meningkatkan akses perempuan miskin terhadap Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

 

Capaian dalam program MAMPU:

  • Sekolah Perempuan telah direplikasi di 43 desa tambahan menggunakan anggaran pemerintah, meliputi 10 desa di Kabupaten Gresik, Jawa Timur, 29 desa di Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan 4 desa di Kabupaten Lombok Timur, NTB, pada 2018
  • Mengadvokasi peraturan daerah dan dukungan anggaran bagi partisipasi perempuan di musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) desa , Gender Watch, dan forum multipemangku kepentingan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan, Kabupaten Gresik, Kabupaten Lombok Utara, dan Kabupaten Lombok Timur
  • Mengorganisir Musrenbang Perempuan di Kabupaten Lombok Utara dan Kabupaten Lombok Timur
  • Surat Keputusan Bupati Pangkep, Sulawesi Selatan,  dalam pembentukan jaringan organisasi masyarakat sipil (OMS) dan penyertaan perempuan dalam Tugas Panitia Bersama (TPB).
  • Terlibat dalam advokasi kolektif di Sukabumi, Jawa Barat, yang mempengaruhi pengesahan Peraturan Bupati (Perbup) Sukabumi tentang Sistem Layanan dan Rujukan Terpadu (SLRT) dan Partisipasi Warga dan Organisasi Masyarakat Sipil untuk Perlindungan Sosial.
  • Mendukung program penghidupan (livelihood) bagi perempuan dengan disabilitas lewat organisasi NEKAF di Kupang, Nusa Tenggara Timur, yang juga anggota Sekolah Perempuan.

Meningkatkan Akses terhadap Program Perlindungan Sosial

Mengapa perlindungan sosial itu penting

Perlindungan sosial dapat membantu menangani kemiskinan, dengan mengurangi ketidaksetaraan dan membangun ketahanan rumah tangga dalam menghadapi hal tak terduga seperti penyakit maupun kecelakaan, yang dapat mendorong masyarakat miskin lebih jauh ke dalam kemiskinan.

Program perlindungan sosial yang efektif dapat berkontribusi pada 14 dari 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB atau SDGs). Pemerintah Indonesia berkomitmen menciptakan sistem perlindungan sosial yang komprehensif lewat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dimulai pada 2014.

Namun, banyak perempuan miskin, seperti mereka yang bekerja di sektor informal, perempuan kepala keluarga dan mereka yang tinggal di daerah terpencil yang masih tidak dapat mengakses program tersebut terutama layanan kesehatan reproduksi. Mereka memiliki pengetahuan yang rendah terhadap persyaratan program, layanan yang diberikan, atau tidak masuk dalam daftar penerima manfaat karena tidak memiliki dokumen identitas.

 

Pendekatan kami

MAMPU mendukung tiga mitra untuk meningkatkan akses perempuan terhadap program-program perlindungan sosial Pemerintah Indonesia khususnya JKN untuk penerima bantuan iuran (JKN-PBI). KAPAL Perempuan, PEKKA dan KPI membangun kepemimpinan perempuan dan memberdayakan agar mampu beradvokasi pada pengambil keputusan untuk meningkatkan akses perempuan terhadap program perlindungan sosial.

Mitra MAMPU memberdayakan perempuan miskin untuk meningkatkan pengaruh mereka dalam pengambilan keputusan. Mereka menggerakkan komunitas dengan peningkatan kesadaran lewat sosialisasi program perlindungan sosial, menangani aduan, serta melakukan pengawasan dan advokasi untuk memperbaiki kualitas data rumah tangga miskin dalam skala sub-nasional. Lewat MAMPU, mereka telah memperluas jaringan ke segala tingkat, mulai dari desa hingga pemerintah dan parlemen.

MAMPU juga memberikan mitra ruangan untuk mencoba model dan strategi baru untuk meningkatkan akses terhadap layanan dan meningkatkan peranan perempuan dalam perencanaan pembangunan di skala lokal untuk memastikan kebijakan dan anggaran memperhatikan aspirasi mereka.

  • KLIK PEKKA, model inisiatif PEKKA mendukung layanan informasi dan konsultasi untuk program perlindungan sosial pemerintah dan dokumen legal.
  • Sekolah Perempuan, inisiatif dari KAPAL Perempuan yang mengorganisasi perempuan, mengajarkan mereka tentang hak-hak perempuan serta membentuk pemimpin perempuan yang aktif terlibat dalam proses pembuatan keputusan di ranah pribadi dan publik.
  • PIPA-JKN inisiatif dari KPI, mengorganisasi kelompok perempuan (Balai Perempuan) dan membentuk pemimpin perempuan yang memonitor akses perempuan ke JKN dengan menampung keluhan masyarakat.

 

Capaian Area Tematik ini: