Konsorsium Perempuan Sumatera MAMPU (PERMAMPU)

Konsorsium Perempuan Sumatera MAMPU (PERMAMPU)

PERMAMPU adalah konsorsium delapan organisasi perempuan Mitra MAMPU dari seluruh Pulau Sumatra, yaitu Flower Aceh dari Aceh, Perkumpulan Sada Ahmo (PESADA) dari Sumatra Utara, Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (LP2M) dari Sumatra Barat, Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita Sumatera (PPSW) dari Riau, Aliansi Perempuan Merangin (APM) dari Jambi, Women’s Crisis Centre (WCC) Cahaya Perempuan  dari Bengkulu, WCC Palembang dari Sumatra Selatan, dan DAMAR (Lampung).

Konsorsium PERMAMPU mengadvokasi tokoh strategis (pemimpin agama dan budaya, penyedia layanan kesehatan, sekolah, dan pemerintah daerah) untuk mempengaruhi norma sosial-budaya yang menghambat pemenuhan hak perempuan untuk mengakses informasi dan layanan kesehatan seksual dan reproduksi, dan gizi.

MAMPU mendukung PERMAMPU bekerja di 8 provinsi, 34 kabupaten dan 224 desa/ kelurahan.

 

Program organisasi sebagai mitra MAMPU:

  • Membentuk kelompok perempuan di tingkat desa dan mengembangkan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, serta kapasitas kelompok untuk melakukan aksi kolektif guna meningkatkan akses dan kualitas layanan kesehatan. Mengembangkan kapasitas ekonomi dengan membentuk kelompok credit union (CU) dan kelompok simpan-pinjam.
  • Melakukan penelitian tentang faktor-faktor penyebab kehamilan tidak diinginkan (KTD) di 8 provinsi.
  • Advokasi kebijakan secara langsung kepada Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat BAPPENAS, serta Direktorat Kesehatan Keluarga dan Pembiayaan Kesehatan dari Kementerian Kesehatan.
  • Advokasi untuk implementasi peraturan pemerintah tentang Standar Pelayanan Minimum (SPM) untuk kesehatan reproduksi di puskesmas.
  • Mengembangkan layanan One Stop Service and Learning (OSSL) di puskesmas untuk penyediaan informasi kesehatan reproduksi dan layanan pemantauan, termasuk mendampingi perempuan korban kekerasan dalam mengakses informasi, layanan konseling dan rujukan.

Capaian dalam Program MAMPU:

  • Advokasi Forum Multi Stakeholder (FMS) melalui OSSL telah berkontribusi terhadap pemenuhan hak kesehatan reproduksi perempuan dalam bentuk peraturan adat dan alokasi anggaran di 29 kabupaten/kota di Sumatera.
  • Mengembangkan sistem pencatatan kasus kekerasan seksual dan rujukan pada puskesmas di Kota Bandar Lampung.
  • Disahkannya 7 Nota Kesepahaman (MoU) antara PERMAMPU dengan 7 Puskesmas untuk memperkuat integrasi OSSL di unit puskesmas.
  • Membentuk 549 kelompok ekonomi perempuan beranggotakan lebih dari 20.000 perempuan, di 218 kelurahan, 31 kabupaten di 8 provinsi di Sumatra, dengan nilai total saham yang dikelola mencapai 40 milyar rupiah.
  • Pendidikan kesehatan reproduksi perempuan lewat sosialisasi PP 61/2014 dan SPM Kesehatan (Permenkes 43/2016) untuk kelompok perempuan, tokoh adat, tokoh agama dan pemerintah daerah.
  • Mitra konsorsium PERMAMPU, Women’s Crisis Center untuk korban kekerasan, WCC Palembang, di Sumatra Selatan telah dimasukkan ke dalam Pusat Informasi dan Konsultasi untuk Perempuan Penyandang Disabilitas di bawah Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) di Kota Palembang.
  • Berdasarkan penelitian yang dilakukan PERMAMPU di 8 provinsi, Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) disebabkan oleh faktor-faktor berikut: kegagalan kontrasepsi, kemiskinan, pengaruh media, perkawinan anak, dan stigma negatif masyarakat.

Ketika Pendeta dan Tokoh Adat Nias Bicara Kesehatan Seksual dan Reproduksi Perempuan

BUKAN hal baru bagi Pendeta Yarniwati Mendrofa S.Th jika khotbahnya di gereja menuai protes. Pendeta perempuan yang tinggal di Desa Sisobahili I Tanese’o Kecamatan Hiliduho, Kabupaten Nias, Sumatera Utara ini memang dikenal cukup lantang menyuarakan berbagai isu seputar kesehatan seksual dan reproduksi yang tak ingin didengar jemaatnya.

“Kok Ibu Pendeta ini khotbah melenceng dari Alkitab. Kok malah cerita tentang pergaulan bebas, diberi contoh dan ilustrasi yang hamil di luar nikah, itu kan tabu!”, Pendeta Yarni menirukan protes jemaatnya. “Sebelumnya saya pun tidak berani bicara masalah ini di mimbar gereja, tapi kejadian nyata sudah banyak terjadi di jemaat saya. Jadi saya tantang habis mereka, marilah kita bicarakan hal ini, jangan lagi ditutupi karena dianggap aib.”

Setelah mengikuti pelatihan mengenai hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR) dari PESADA beberapa waktu lalu, Pendeta Yarni menyadari betapa pentingnya informasi ini bagi jemaat yang ia gembalakan. Dengan wawasan yang semakin bertambah, ia pun giat melakukan pendekatan kepada penatua gereja lainnya agar dapat bersama-sama bergandeng tangan dalam mengatasi berbagai permasalahan seputar HKSR, khususnya bagi jemaat di Pulau Nias.

“Dan memang sudah ada kerja sama dengan agama juga, karena sekarang di resor kita sudah ada kerja sama dengan kesehatan,” ujar Pendeta Yarni. Sebelum menikah, kesehatan reproduksi laki-laki dan perempuan yang datang untuk minta dinikahkan perlu diperiksa terlebih dulu. Bagi Pendeta Yarni, ini diperlukan agar pelayan gereja tak menyalahi aturan dan berbuat dosa dengan menyatukan orang yang sudah melakukan hubungan seksual sebelum menikah. “Jadi kumpulan gereja pun sudah canangkan itu jadi program,” Pendeta Yarni menegaskan.

Hal ini pun, ketika ia sampaikan dalam khotbah, kemudian menuai banyak protes, terutama dari para lelaki. “Apakah Ibu akan periksa semua orang?” Pendeta Yarni menirukan protes-protes yang diterimanya. “Padahal kan bukan saya yang nanti periksa, itu hak asasi juga kalau ada yang bilang ‘jangan pegang saya’! Barusan tadi saya terima telepon, ada kasus perempuan yang tidak bisa bicara, dihamili oleh laki-laki beristri yang masih saudara bapaknya sendiri. Jadi perempuan ini ditanya tidak keluar kan suaranya.”

Untuk hal-hal seperti ini, Pendeta Yarni bertekad terus memberikan pemahaman kepada jemaatnya, meski menuai protes. “Dia dinikahkan dengan lelaki itu padahal ini kan kehamilan tidak diinginkan, karena itu pemerkosaan yang terjadi. Saya pun sudah mendapatkan pelatihan tentang menikah yang dipaksakan, apalagi kalau perempuan itu ada keterbatasan, kan, jangan sampai kita juga melanggar sebagai hama Tuhan. Apakah ini dosa karena hamil di luar nikah, sementara hamilnya bukan keinginan dia? Selalu yang jadi korban perempuan, tidak pernah laki-lakinya—yang biasanya malah melarikan diri.”

Di tengah protes yang masih saja menghujaninya, Pendeta Yarni masih tetap bertekad untuk mengangkat isu mengenai HKSR di mimbar gereja, demi jemaatnya. “Kalaupun karena itu saya dipecat dari menjadi pendeta, ya tidak apa-apa, saya nanti cari pekerjaan lain. Karena saya percaya isu ini penting untuk diangkat, jangan lagi disimpan jadi aib, tapi mari kita bersama-sama tangani ini.”

Sejalan dengan Pendeta Yarni, Benyamin Harefa pun punya pandangan yang tak jauh berbeda—perihal hak-hak perempuan. Sebagai Ketua Lembaga Budaya Nias (LBN) Kota Gunungsitoli, Benyamin memang memiliki posisi yang cukup penting dalam tatanan adat masyarakat Nias.

“Perempuan itu dalam adat Nias sebenarnya sangat dihargai. Tempo dulu kedip mata sama perempuan, dihukum,” kata Benyamin. “Cubit-cubit tangan, dihukum. Menghamili orang itu juga dulu dihukum, potong leher. Pancung. Perempuan itu dulu dijaga, kalau berjalan selalu ditemani orang-orang tua. Jadi perempuan itu sebenarnya dihargai, sekarang sudah bergeser.”

Meski demikan, Benyamin juga menyadari adanya berbagai pergeseran dan kesalahpahaman terkait aturan-aturan adat yang telah ditetapkan sebelumnya; misalnya mengenai jujuran dalam pernikahan adat Nias. Jujuran atau mas kawin merupakan syarat yang diminta oleh keluarga perempuan kepada keluarga laki-laki; untuk menggantikan anak perempuan mereka yang akan diboyong ke dalam keluarga laki-laki.

Biaya jujuran yang besar dan bisa menghabiskan puluhan bahkan ratusan juta rupiah ini kemudian kerap membelit pasangan pengantin baru dengan hutang untuk membayar jujuran; dan menyeret mereka ke dalam kemiskinan. Di sisi lain, karena pihak lelaki merasa bahwa ia telah membeli pihak perempuan dengan harga mahal—ia berhak memperlakukan pihak perempuan sesuka hatinya, dan hal ini memicu terjadinya berbagai kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Pulau Nias.

“Padahal secara adat, simbi (babi) untuk pernikahan itu sebenarnya berjumlah 2 ekor babi. Paling besar bisa 200 kilo itu. Tapi sekarang semua orang yang dianggap dihormati secara adat pun diberikan 1 ekor babi. Ada juga, saya datang ke pesta pernikahan, dan semua tamu undangan kemudian diberikan potongan daging babi untuk dibawa pulang. Ini membuat biaya pernikahan jadi begitu besar,” kata Benyamin. “Dan kalau dulu itu, pesta pernikahan ada 10 tahap. Jadi biaya besar sekali. Nah, sekarang sudah digabung tahap pertama sampai kedelapan sudah digabung. Lalu yang sembilan dan sepuluh juga. Jadi biaya bisa ditekan.”

Papan bunga dan musik keyboard yang biasa dijumpai dalam pesta pernikahan pun sebenarnya bukanlah budaya Nias. Namun kini kedua hal itu sudah dianggap sebagai bagian wajib dari pesta. Budaya sokhi mate moroi aila (lebih baik mati daripada malu) memang membuat masyarakat Nias ingin meniru pesta-pesta yang dilakukan tetangganya. “Dulu pun kita bungkus makanan pesta itu dengan daun saja. Sekarang orang bungkus itu makanan dengan kotak-kotak, berapa uang yang dikeluarkan untuk itu? Mahal itu,” Benyamin menambahkan.

Bersama dengan sesama tokoh adat Nias, Benyamin pun masih terus berupaya menyelaraskan tatanan adat dengan nilai-nilai yang terus berkembang di masyarakat. “Kan kita sebagai tokoh adat yang menetapkan aturan-aturan itu, misalnya untuk jujuran. Tapi mengapa akibat ketetapan kita, kita jadi melarat? Jadi sebenarnya kita bisa saja bermufakat, bersepakat, mana aturan yang akan kita pakai. Berapa besaran jujuran yang mau disepakati supaya kita bisa turunkan nilainya,” Benyamin menjelaskan.

“Ini juga masih ada tokoh yang ngomel-ngomel, bagaimana katanya jika cucu perempuan kamu tidak diberikan jujuran yang mahal,” kata Benyamin. “Saya bilang akan saya terima, bukan saya tidak mau, asal laki-lakinya cocok dengan cucu saya, karakternya bagaimana, sekolahnya bagaimana. Jadi inilah yang masih saya musyawarahkan. Kita tidak mengubah adat, hanya mari nilai jujuran ini coba kita turunkan.”

Melihat Perkembangan Mitra MAMPU di Sidikalang, Sumatera Utara

Pada 26 Juli 2016, Tim MAMPU dan Perwakilan dari Kedutaan Besar Australia untuk Indonesia melakukan kunjungan untuk melihat perkembangan mitra MAMPU di Sidikalang – Kabupaten Dairi, Sumatera Utara.

Rangkaian kunjungan ini dilakukan ke Perkumpulan Sada Ahmo (PESADA) dan Credit Union (CU) PESADA Perempuan. PESADA adalah sebuah organisasi non-pemerintah bergerak di bidang Penguatan Perempuan & Masyarakat marginal, dan PESADA merupakan salah satu mitra yang tergabung dalam Konsorsium PERMAMPU yang didukung oleh MAMPU.

Dalam kesempatan tersebut, tim monitoring melakukan diskusi dengan para pengelola PESADA tentang masalah yang sering dihadapi di lapangan. Adapun diskusi dengan anggota CU PESADA Perempuan, membahas tentang pengelolaan credit union, manfaat yang didapat sebagai anggota CU, serta permasalahan yang dihadapi.

Selain itu, tim juga melakukan kunjungan ke Kantor Dinas Kesehatan Sidikalang untuk membahas isu tentang Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) dan BPJS. Diskusi dilanjutkan dengan pihak Kantor Keluarga Berencana dan Perlindungan Perempuan & Anak (KB & P2PA) terkait kerjasama pengadaan seminar tentang HKSR.

Dilaporkan oleh: Marie Astrid Wijaya (Partner Engangement Officer)

Melawan Kekerasan dalam Rumah Tangga Bersama PESADA

Saya Adelina, perempuan kepala keluarga yang bekerja sebagai petani. Saya bersama tiga anak saya tinggal di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Di tengah keterbatasan, kami berempat berjuang sendirian karena suami saya meninggalkan rumah dan tidak menafkahi kami sejak tahun 2013.

Awalnya, pernikahan yang telah kami bina sejak tahun 2006 sangatlah bahagia, hingga akhirnya datang perempuan lain. Perangai suami saya mulai berubah, Ia kerap melakukan tindak kekerasan. Saat itu, saya diam dan tak mau menceritakan apa yang telah terjadi di dalam rumah tangga kami karena malu. Pengalaman ini membekas dan meninggalkan trauma pada diri saya. Saya kerap menyalahkan diri dan menganggap bahwa suami saya meninggalkan kami karena saya tidak mampu mengurus rumah tangga.

Pada 2014, saya memutuskan untuk bergabung dengan Perkumpulan Sada Ahmo (PESADA) dan Koperasi Kredit Mawar Sirisi. Melalui kedua perkumpulan inilah saya bertemu dengan kader PESADA yang senasib. Kami berbagi suka duka dan saling menyemangati. Berkat pertemuan ini, saya menyadari bahwa kepergian suami saya karena dia tidak menghargai saya sebagai seorang perempuan. Saya merasa bersyukur karena diberikan jalan untuk mengakhiri hubungan yang penuh kekerasan tersebut.

Selain bergabung dengan PESADA, saya juga menjadi anggota di Suara Perempuan untuk Keadilan (SPUK) di wilayah desa Sirisirisi. Disana saya melihat banyak wanita di sekitar saya berada di posisi yang sama, menjadi orang tua tunggal karena ditinggal oleh suami mereka. Saya termotivasi untuk membantu korban kekerasan dalam rumah tangga lain. Saya memberikan semangat pada mereka agar tidak putus asa dan mereka harus melaporkan serta melawan tindak kekerasan dalam rumah tangga mereka.

Saya menyadari bahwa salah satu cara untuk menyadarkan masyarakat akan isu kekerasan dimulai dari keluarga. Oleh karena itu, sebagai perempuan kepala keluarga, saya mendidik anak – anak saya dengan disiplin. Saya mengajarkan anak laki – laki saya untuk menghargai, menghormati dan melindungi keluarganya. Kini, anak pertama saya telah mampu untuk mengerjakan tugas domestik seperti mencuci piring, melipat dan menyimpan baju hingga merawat dan menjaga kedua adiknya. Kedepan, saya harap anak – anak saya mampu bertanggung jawab pada hidupnya dan saling menjaga satu sama lain.

Saya juga membekali anak saya dengan memberikan pendidikan seks pada anak dimana mereka  diajarkan untuk mengetahui dan menghormati organ reproduksi perempuan dan laki-laki. Mengajarkan mereka untuk lebih terbuka dan aktif berkomunikasi akan berbagai hal di hidup mereka. Saya harap ini dapat menjadi pencegahan awal agar generasi kami selanjutnya terhindar dari tindak kekerasan.

Saya percaya, hari-hari kami ke depan akan semakin indah.

 

* Penyempurnaan cerita dari Most Significant Changes yang ditulis oleh Dewi Hairani