Gelombang Perubahan dari Perempuan di Kepulauan Sulawesi

Selasa siang (16/10), sekelompok peserta Kunjungan Belajar Mitra MAMPU mengunjungi sebuah pulau kecil di wilayah Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan. Di pulau tersebut, tepatnya di Kantor Desa Mattiro Kanja yang sederhana, para perempuan yang tergabung dalam Sekolah Perempuan bercerita tentang perubahan yang mereka alami sebagai dampak keterlibatan mereka. Sekolah Perempuan adalah sebuah inisiatif pemberdayaan perempuan akar rumput yang didasari prinsip pendidikan sepanjang hayat, yang dikembangkan oleh Institut KAPAL Perempuan di Pangkep bersama submitra mereka Yayasan Kajian Pembangunan Masyarakat (YKPM).


“Bagaimana cara ibu sekalian dalam menghadapi stigma negatif atau prasangka buruk masyarakat sekitar terhadap kegiatan Sekolah Perempuan?” tanya Ridwan dari SAPA Institute Bandung, salah satu mitra MAMPU, yang membuka sesi tanya-jawab siang itu.

“Awalnya memang sulit, tapi kami perempuan terus berjuang, bahkan ketika pemuka agama yang belum paham kegiatan ini mengatakan bahwa Sekolah Perempuan ini aliran sesat, kami urung merasa takut,” Indotang, seorang anggota Sekolah Perempuan yang tinggal di Desa Mattiro Uleng menjawab dengan penuh keyakinan.

“Kami pelan-pelan menjelaskan kepada orang-orang sekitar. Kini, saya sudah bisa mengajak lebih banyak ibu untuk memperjuangkan hak-haknya juga mengajarkan tentang ketujuh belas tujuan SDGs,” tandasnya, kemudian menyebutkan satu per satu tujuan pembangunan berkelanjutan yang berprinsip ‘tak seorangpun ditinggalkan.’

Nilai akan kesetaraan peran dan hak atas kehidupan yang layak dipercayai oleh setiap anggota Sekolah Perempuan. Berbekal keyakinan nilai tersebut, Musdalifah yang mempelajari tentang kesetaraan gender di Sekolah Perempuan Desa Mattiro Bombang tidak kalah bercerita tentang tantangan yang bahkan ia temukan dalam berumah tangga.

“Dulu, sebelum ikut Sekolah Perempuan, kami para istri biasanya hanya makan ekor (ikan) di dapur. Sedangkan suami yang makan kepala dan badan. Setelah belajar tentang kesetaraan gender, kami bisa berbicara dengan suami tentang kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Kepala dan ekor kami nikmati sama-sama di meja makan,” ceritanya.

Meskipun berasal dari desa yang sama, perjuangan Risma berbeda dengan Musdalifah. Sebagai anggota muda, Risma menceritakan akan ketakutannya dahulu untuk berbicara di depan banyak orang. “Jangankan memperjuangkan hak-hak rakyat miskin, saya berbicara seperti ini saja tidak berani,” ungkapnya sambil tersenyum. “Tetapi karena saya belajar dan berlatih, saya jadi tahu caranya berbicara di depan umum. Kini saya berani menyampaikan keluhan ke pemerintah.” Dengan suaranya, Risma berhasil mempengaruhi kebijakan pemerintah setempat untuk membantu satu keluarga miskin memperoleh tempat tinggal yang layak.

“Saya sendiri korban perkawinan anak. Menikah dini 14 tahun, melahirkan dan hampir mati usia 16. Begitu lihat teman punya anak beranjak remaja, saya selalu pesan ‘jangan dulu dinikahkan, pikirkan masa depannya, saya sendiri merasakan dampaknya,” ungkap Darma, dari Desa Mattiro Uleng, menambah pesan penting bagi perempuan untuk mencegah perkawinan anak atau di bawah umur. Dalam kesempatan tersebut, Darma mengutarakan pentingnya mempersiapkan masa depan anak, daripada menikahkannya di usia belia.

Bersama-sama dengan Indotang, Musdalifah, Risma dan Darma, ribuan anggota Sekolah Perempuan lainnya di 25 desa di 8 kabupaten di 6 provinsi memperoleh dukungan dari Program MAMPU melalui mitra jejaring KAPAL Perempuan untuk membangun jiwa kepemimpinan dan berbagai kecakapan hidup perempuan. Keberhasilan model pemberdayaan perempuan ini menunjukkan peningkatan akses perlindungan sosial oleh perempuan miskin, dan telah direplikasi oleh Pemerintah Indonesia di 46 desa lainnya yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Memaknai HUT Kemerdekaan RI melalui Partisipasi Perempuan

Pada Rabu, 17 Agustus 2016, Institut Lingkar Pendidikan Alternatif (KAPAL) Perempuan dan mitranya, mengadakan peringatan HUT Kemerdekaan RI ke-71 yang melibatkan para anggota Sekolah Perempuan. Peringatan kemerdekaan ini dirayakan dengan mengadakan sejumlah kegiatan di Jakarta dan juga di Pulau Sabutung, Pangkejene Kepulauan (Pangkep) – Sulawesi Selatan.

Di Jakarta, peringatan 17 Agustus dilaksanakan di halaman Kantor Perpustakaan dan Arsip Jakarta Timur. Sekolah Perempuan Miskin Kota Jakarta di Bantaran Kali Ciliwung dan KAPAL Perempuan melakukan upacara bendera, dilanjutkan dengan pembacaan dan pengiriman puluhan surat kepada Presiden RI yang meminta agar pernikahan anak dihapuskan. Salah satu surat yang berjudul “TEKAD PEREMPUAN”, dibacakan dalam upacara tersebut. Surat ini berisi desakan bagi Kemerdekaan perempuan: “Bebaskan dari perkawinan anak; Sekolahkan anak, jangan kawinkan, demi kualitas hidup perempuan.”

Sementara di Pulau Sabutung Kabupaten Pangkep, Sekolah Perempuan Pulau yang didukung Yayasan Pengkajian Pemberdayaan Masyarakat (YKPM), KAPAL Perempuan dan Program MAMPU, berpartisipasi aktif dalam peringatan 17 Agustus yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Pangkep. Ibu Sahariah, salah satu anggota Sekolah Perempuan Pulau, membacakan teks Pancasila dalam upacara tersebut. Dengan mengenakan seragam pakaian adat Bugis, para anggota Sekolah Perempuan Pulau juga mengikuti upacara dan parade dengan berkeliling pulau, yang dilanjutkan dengan lomba dayung dan perahu.

Sekolah Perempuan adalah kegiatan yang digagas oleh KAPAL Perempuan bersama Program MAMPU, agar perempuan miskin di desa memperoleh akses kepada informasi.

Mahasiswa Universitas Sydney Kunjungi Mitra MAMPU di Sulawesi Selatan

Setelah melakukan kunjungan lapangan di daerah Jakarta, Mahasiswa Universitas Sydney peserta program Sydney South East Asia Centre (SSEAC) berkunjung ke beberapa mitra MAMPU di wilayah Sulawesi Selatan dari tanggal 17-22 Juli 2016.

Kehadiran mahasiswa ini adalah untuk menelaah Program MAMPU terkait dengan penguatan sumberdaya perempuan dari sisi sosial dan ekonomi, termasuk kebijakan yang pro kemiskinan dan pro gender.

Selama di Sulawesi Selatan, para mahasiswa Universitas Sydney berpencar dan mengunjungi mitra dan sub-mitra MAMPU seperti BaKTI, FPMP, YKPM, Koalisi Perempuan Indonesia, KAPAL Perempuan, LMP2EM dan Maupe, yang berada di empat daerah yaitu Kota Makassar, Kota Pare-pare, Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkajene Kepulauan.

Isu-isu yang dipelajari mahasiswa dalam kunjungan lapangan tersebut adalah penguatan DPRD dalam penganggaran pemerintah yang “pro poor dan pro gender”, isu Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), isu keberlanjutan lembaga NGO serta isu pengorganisasian kelompok masyarakat dan advokasi kebijakan.

Di Kota Makassar, Michelle, salah satu peserta program SSEAC, mempelajari strategi keberlanjutan sebuah organisasi melalui BaKTI, sedangkan Bridget belajar tentang sekolah politik perempuan Maupe dan bertemu DPRD dan Dinas Kesehatan di Maros. Adapun Margo dan Maddy mengunjungi Rumah Penyintas Kekerasan di Balai Perempuan Macini Sombala, Koalisi Perempuan Indonesia. Serta Piyusha, Ciaan dan Lies berkunjung ke Pulau Sabutung di Pangkajene untuk melihat langsung aktivitas Sekolah Perempuan – KAPAL Perempuan.

Deputy Director SSEAC University of Sydney Dr Elisabeth Kramer menjelaskan, “Setelah melakukan kunjungan lapangan dan berinteraksi langsung dengan masyarakat dan mitra dampingan MAMPU di Jakarta dan Sulawesi Selatan, para mahasiswa ditugaskan membuat laporan tertulis sesuai dengan bidang tugasnya dan mempresentasikannya sebelum kembali ke Australia”.

Dilaporkan oleh: Lusia Palulungan (BaKTI)

Sekolah Perempuan Pulau Berhasil Advokasi Perbaikan Puskesmas

Sekolah Perempuan Pulau selama tiga tahun terakhir telah melakukan advokasi perbaikan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di Pulau Sabutung, Desa Mattiro Kanja, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Sulawesi Selatan.

Sebelumnya, gedung puskesmas tidak terawat dan ditumbuhi oleh rerumputan tinggi. Sedangkan pelayanan puskesmas masih terbatas, baik dari durasi layanan kesehatan maupun kualitas layanan petugas kesehatan. Namun kini, Puskesmas Pulau Sabutung telah memiliki gedung dan ruangan yang nyaman, serta pelayanan yang lebih baik.

Perubahan Puskesmas ini bermula dari adanya keterbukaan pemerintah dalam mendengarkan suara-suara dan aspirasi perempuan miskin yang selama ini tidak terdengar karena masih tertutupnya perempuan dalam menyampaikan aspirasi. Ada rasa rendah diri dan tabu dalam membuka kebisuan mereka.

Namun kemudian, keberanian itu tumbuh di diri para perempuan pulau. Kesadaran ini muncul setelah mengikuti Sekolah Perempuan Pulau, dimana mereka mendapatkan pemahaman terkait haknya untuk mendapatkan pelayanan publik yang baik.

Sejak tahun 2014 hingga 2016, para perempuan Pulau secara terus menerus memberi masukan dan kritikan terkait layanan kesehatan di pulau mereka. Atas usaha tersebut, akhirnya dilakukan pembenahan fisik dan manajemen puskesmas oleh pemerintah daerah.

Demi mendapatkan dan memperjuangkan hak kesehatan bagi masyarakat yang tinggal di kepulauan terkecil, inisiatif tersebut muncul dan perjuangan yang panjang pun tetap dilakukan.

Dilaporkan oleh: Ros dan Tim Gender Watch – MAMPU, YKPM

Diskusi dan Monev Program Gender Watch di Pangkep, Sulawesi Selatan

Pada 24 Agustus 2016, Tim KAPAL Perempuan dan Yayasan Pengkajian Pemberdayaan Masyarakat (YKPM) melakukan diskusi serta monitoring dan evaluasi (monev) di Desa Mattiro Uleng, Kecamatan Luikang Tuppabiring Utara, Kabupaten Pangkajene Kepulauan, Sulawesi Selatan.

Kegiatan ini bertujuan untuk melihat capaian-capaian program Gender Watch yang dihasilkan selama enam bulan terakhir, dan melihat bagaimana pelaksanaan program selanjutnya berdasarkan capaian dan tantangan yang dihadapi. Gender Watch adalah pemantauan yang melibatkan 3 pihak yaitu masyarakat sipil, pemerintah dari tingkat desa/kelurahan, kabupaten dan provinsi juga penerima manfaat program kesehatan. Ada empat aspek yang dipantau dalam program ini yaitu aspek input, aspek proses, aspek hasil dan aspek dampak.

Beberapa perwakilan yang hadir dalam diskusi dan monev tersebut antara lain perwakilan dari Multi Stakeholder Forum (MSF), yang berasal dari unsur aparat desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Kepala Puskesmas, bidan dan Tokoh Masyarakat, serta anggota Sekolah Perempuan (SP) dari empat desa lokasi program Gender Watch.

Adapun anggota Sekolah Perempuan yang hadir berasal dari 10 pulau yang tersebar di empat desa, yaitu Desa Mattiro Uleng, Mattiro Bombang, Mattiro Baji dan Mattiro Kanja, adalah termasuk anggota Sekolah Perempuan yang menjadi Komite Pengawas di Desa.

Baik oleh MSF Desa maupun anggota SP, mereka merasa dengan adanya Sekolah Perempuan telah mengubah peran perempuan di pulau, dari perempuan yang pasif menjadi mitra pemerintah dalam memantau kegiatan pembangunan di pulau. Sebagai bentuk nyata, Kabupaten Pangkep memasukkan rencana replikasi 5 Sekolah Perempuan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Pangkep periode 2017-2021.

Kunjungan Lapangan Mahasiswa Universitas Sydney ke Mitra MAMPU di Sulawesi Selatan

Setelah melakukan kunjungan lapangan di daerah Jakarta, Mahasiswa Universitas Sydney peserta program Sydney South East Asia Centre (SSEAC) berkunjung ke beberapa mitra MAMPU di wilayah Sulawesi Selatan dari tanggal 17 – 22 Juli 2016.

Kehadiran mahasiswa ini adalah untuk menelaah Program MAMPU terkait dengan penguatan sumberdaya perempuan dari sisi sosial dan ekonomi, termasuk kebijakan yang pro kemiskinan dan pro gender.

Selama di Sulawesi Selatan, para mahasiswa Universitas Sydney berpencar dan mengunjungi mitra dan sub-mitra MAMPU seperti BaKTI, FPMP, YKPM, Koalisi Perempuan Indonesia, KAPAL Perempuan, LMP2EM dan Maupe, yang berada di empat daerah yaitu Kota Makassar, Kota Pare-pare, Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkajene Kepulauan.

Isu-isu yang dipelajari mahasiswa dalam kunjungan lapangan tersebut adalah penguatan DPRD dalam penganggaran pemerintah yang “pro poor dan pro gender”, isu Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), isu keberlanjutan lembaga NGO serta isu pengorganisasian kelompok masyarakat dan advokasi kebijakan.

Di Kota Makassar, Michelle, salah satu peserta program SSEAC, mempelajari strategi keberlanjutan sebuah organisasi melalui BaKTI, sedangkan Bridget belajar tentang sekolah politik perempuan Maupe dan bertemu DPRD dan Dinas Kesehatan di Maros. Adapun Margo dan Maddy mengunjungi Rumah Penyintas Kekerasan di Balai Perempuan Macini Sombala, Koalisi Perempuan Indonesia. Serta Piyusha, Ciaan dan Lies berkunjung ke Pulau Sabutung di Pangkajene untuk melihat langsung aktivitas Sekolah Perempuan – KAPAL Perempuan.

Deputy Director SSEAC University of Sydney Dr Elisabeth Kramer menjelaskan,“Setelah melakukan kunjungan lapangan dan berinteraksi langsung dengan masyarakat dan mitra dampingan MAMPU di Jakarta dan Sulawesi Selatan, para mahasiswa ditugaskan membuat laporan tertulis sesuai dengan bidang tugasnya dan mempresentasikannya sebelum kembali ke Australia”.

Workshop Pembahasan RPJMD di Pangkep, Sulawesi Selatan

 

 

Pada 2 Juni 2016 yang lalu, Institut KAPAL Perempuan dan Yayasan Pengkajian Pemberdayaan Masyarakat (YKPM), yang merupakan mitra dan sub-mitra Program MAMPU, ikut serta dalam pembahasan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan 2016-2021 bersama SKPD dan para anggota DPRD Pangkep.

Pembahasan ini dilaksanakan dalam Workshop Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, yang mengangkat tema “Mewujudkan Kabupaten Pangkep sebagai Pelopor Pelaksanaan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan”.

Pertemuan yang difasilitasi oleh Prof. Darmawan dari Universitas Hasanudin ini, membahas draft RPJMD yang sudah disusun, terutama menjelaskan kepada anggota DPRD mengenai kerangka RPJMD dan alurnya.

Prof. Darmawan menyampaikan, “Selama ini, data masih menjadi masalah utama karena data SKPD tidak lengkap dan tidak akurat. Padahal, untuk membuat rencana program diperlukan basis data yang akurat”.

Menurut Prof. Darmawan, hal itulah yang menjadi penyebab saat batas waktu pemeriksaan dan finalisasi RPJMD, masih banyak SKPD yang belum menyerahkan dan masih banyak data yang kosong. Hal tersebut berdampak pada isu strategis yang disusun tidak sesuai dengan outcomes yang ingin dicapai. Oleh karena itu, perlu partisipasi aktif dari DPRD untuk selalu mengingatkan SKPD agar menyusun dan menghasilkan data yang akurat.

Parade Perahu Sekolah Perempuan di Sulawesi Selatan

Dalam rangka memperingati International Women Day (IWD) yang jatuh pada 8 Maret 2016, mitra Institut KAPAL Perempuan di Sulawesi Selatan yaitu Yayasan Kajian Pemberdayaan Masyarakat (YKPM), melaksanakan Parade Perahu Sekolah Perempuan di Kabupaten Pangkajene Kepulauan, Sulawesi Selatan.

Semua perahu yang berpartisipasi dalam parade ini dicat dengan warna ungu serta ditulisi pesan perjuangan perempuan. Rute parade perahu ini dimulai dari Pelabuhan Maccini Baji dan berlanjut ke Pulau Sabutung. Pada mulanya, ada 11 perahu yang berangkat. Namun kemudian, dari Pulau Sabutung bertambah menjadi 12 perahu sehingga total ada 23 perahu yang berpartisipasi. Perjalanan dilanjutkan dengan melewati Pulau Saugi dan Pulau Satando, dan diakhiri dengan kembali ke Pelabuhan Maccini Baji.

Dalam parade ini, terdapat 84 orang peserta yang berasal dari berbagai organisasi perempuan dan perwakilan instansi pemerintah. Mereka adalah anggota Sekolah Perempuan, anggota Tim Pemantau Komunitas, Forum Multipihak Desa, Forum Multipihak Kabupaten, Tim Pemantau Kabupaten, Pemerintah Kecamatan, Pemerintah Desa, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, BPJS Kesehatan dan RSUD Kabupaten Pangkep.

Dilaporkan oleh Margaretha Sariseda Meo (KAPAL Perempuan)

Ali Baba: Kini Pak RT Mau Menyapu

Tabu rasanya bagi laki-laki di Pulau Satando jika mereka harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Yang mereka tahu, mengurus anak dan rumah adalah pekerjaan perempuan.

“Yang kita tahu, perempuan itu ya tempatnya di belakang saja,” kata Pak Ali Baba, Ketua RT Pulau Satando. Bahkan di pulau ini, ketika suami-istri menyantap ikan, kepala ikan harus diberikan kepada suami—karena lelaki adalah kepala rumah tangga, sementara istri mendapat bagian ekor saja.

“Mau keluar rumah pun biasanya dibatasi oleh suami,” ujar Ibu Diana, istri Pak Ali Baba.

Pemahaman Pak Ali Baba mulai bergeser ketika suatu hari istrinya pulang ke rumah setelah mengikuti sosialisasi program kesetaraan gender dari Sekolah Perempuan binaan Yayasan Pengkajian Pemberdayaan Masyarakat (YKPM) yang didukung oleh Program MAMPU.

“Di situ Ibu bercerita bahwa tadi diajari mengenai seks dan gender. Dulu saya tidak tahu apa itu gender. Sekarang saya tahu bahwa masyarakat yang buat itu,” ujar Pak Ali Baba sambil tertawa. “Bahwa gender itu bisa berubah karena gender cuma masyarakat saja yang buat. Yang tidak bisa kita ubah adalah alat-alat biologis.”

“Ya, setelah pulang itu kan saya cerita sama suami, oh, ternyata perempuan itu juga bisa kerja,” tambah Ibu Diana.

Pak Ali Baba begitu tertarik mendengarkan cerita Ibu Diana mengenai pelatihan yang baru saja diikutinya. Ia merasa wawasannya telah bertambah sedemikian luas. Maka, ketika Ibu Diana diundang untuk mengikuti pelatihan kepemimpinan Sekolah Perempuan di Makassar, Pak Ali Baba mendukungnya sepenuh hati.

“Walaupun berat, tapi saya dukung, saya mau Ibu bisa maju. Saya juga bangga Ibu bisa punya pendidikan, biasanya Ibu hanya mengurus rumah dan anak,” katanya seraya bertukar pandang dengan sang istri sambil tersenyum.

“Katanya dia juga senang istrinya bisa dapat pengalaman,” Ibu Diana menambahkan sambil tersenyum. “Di pulau kan terbatas, yang Ibu tahu cuma masak, cuci, kita juga bosan.”

Berbekal cerita-cerita yang disampaikan Ibu Diana kepadanya sepulang pelatihan-pelatihan Sekolah Perempuan, Pak Ali Baba pun mengaku mulai mengubah perilakunya sehari-hari. “Karena kan sekarang saya sudah tahu, sudah paham masalah gender ini. Jadi saya juga menyapu sekarang,” kata Pak Ali Baba.

“Dulu biasanya kalau sudah pulang melaut, dia tidur saja! Tidak pikirkan saya yang sedang jemur ikan,” canda Ibu Diana. “Tapi sekarang sudah berubah, sudah bisa kerjasama. Kalau saya sedang pergi pelatihan, Bapak yang urus anak-anak dan masak. Anak kami ada dua: satu lelaki, satu perempuan.”

Sehari-hari, Pak Ali Baba memang berprofesi sebagai nelayan, namun ia juga menjabat sebagai Ketua RT Pulau Satando. Pemahaman yang telah ia dapatkan mengenai kesetaraan gender juga ia terapkan dalam kebijakan pemerintahannya.

“Dulu rapat-rapat kan perempuan tidak ikut,” katanya. “Yang dipentingkan lelaki saja, perempuan di belakang. Sekarang sudah tidak lagi. Bahkan masalah catat-mencatat juga Ibu sekarang sudah bantu saya. Dulu juga kalau ada tamu dari desa, hanya saya sendiri yang temui.”

“Iya, dulu saya di belakang,” Ibu Diana menyambar. “Dulu kan saya tidak penting. Tapi sekarang tidak lagi. Sekarang, kalau Bapak jalan, saya juga ikut. Dulu juga kalau kerja bakti hanya lelaki saja yang bekerja, sekarang perempuan juga bisa ikut.”

Sebagai Ketua RT untuk sekitar 300 orang penduduk, Pak Ali Baba berusaha memberi contoh bagi lelaki-lelaki di pulaunya melalui apa yang ia lakukan dalam keluarga sehari-hari. Masih banyak lelaki yang ‘gengsi’ jika mengambil air, menyapu, mencuci piring, dan membantu-bantu di rumah. Pak Ali Baba berusaha menepis anggapan ini dengan melakukan semua itu. Ia juga selalu berusaha mengikuti kegiatan-kegiatan pelatihan ibu-ibu yang diadakan di rumahnya. Biasanya, tiga kali seminggu, ibu-ibu di pulau menggelar pertemuan dan kumpul-kumpul.

“Sekarang sudah tidak ada ibu-ibu yang dilarang-larang pergi atau berkumpul oleh suaminya. Semua sudah boleh, dan sudah diperingatkan—karena Pak RT juga kan jadi contoh,” ujar Ibu Diana senang. “Biasanya ketika berkumpul kita belajar banyak hal, mulai dari masalah alat reproduksi, pengobatan dan kesehatan gratis, pembedaan gender, dan lain-lain. Lalu kita juga tahu bahwa kekerasan rumah tangga, misalnya, tadinya kita hanya tahu itu kalau dipukul saja. Ternyata kekerasan banyak macamnya. Dikucilkan atau dikata-katai juga kekerasan. Nah, ini saya cerita lagi sama Bapak, jadi Bapak juga tahu.”

Sebagai pasangan suami-istri, Pak Ali Baba dan Ibu Diana sadar bahwa mereka dapat menjadi contoh bagi masyarakat Pulau Satando untuk menujukkan kesetaraan gender dalam berumah tangga.

“Ini juga membuat rumah tangga kami lebih harmonis,” kata Pak Ali Baba sambil tersenyum kepada Ibu Diana.

Penyempurnaan dari cerita Most Significant Change dari KAPAL Perempuan YKPM di Pulau Satando, Provinsi Sulawesi Selatan.

Dialog KAPAL Perempuan dan Pemerintah Pangkep Sepakat Pembangunan Berbasis-Gender

“Mau berhenti jadi orang miskin? Segalanya bisa terjadi bila kita mau terbuka dan bekerjasama, berani bicara, ungkapkan masalah, tantangan dan potensi Anda, ajak semua pihak bersama-sama membuat suatu perubahan. Niscaya bisa terwujud,” ungkap Misiyah, Ketua Pelaksana Harian Institut KAPAL Perempuan, dalam dialog yang dilaksanakan oleh Institut KAPAL Perempuan dan Yayasan Kajian dan Pembangunan Masyarakat (YKPM) bersama Pemerintah Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep) di Pulau Sabutung, Sulawesi Selatan, Rabu (12/3).

Dialog ini merupakan rangkaian dari pelaksanaan Program MAMPU (Maju Perempuan Indonesia untuk Penanggulangan Kemiskinan) di Kabupaten Pangkep.

Hadir dalam kegiatan dialog tersebut Wakil Bupati Pangkep Abdul Rahman Assagaf, Ketua DPRD Kabupaten Pangkep Ir. H. Andi Ilham, Camat Liukang Tuppabiring Utara Syam, jajaran SKPD, Muspika, ulama, serta tokoh masyarakat.

Dalam sambutannya, Camat Liukang Tuppabiring Syam mengungkapkan bahwa Desa Mattiro Kanja merupakan salah satu daerah sasaran program MAMPU yang akan dilaksanakan hingga tahun 2020. Hal ini disambut baik oleh seluruh masyarakat Desa Mattiro Kanja, mengingat kegiatan yang dilaksanakan nantinya akan membawa perubahan bagi peningkatan kapasitas masyarakat di sekitarnya.

Sebelum dialog, kegiatan diawali dengan pelantikan Kepala Desa terpilih tahun 2014 Desa Mattiro Bombang, H. Abdul Haris, dan Desa Mattiro Matae, Muh. Sukri S.Sos, oleh Wakil Bupati Pangkep Abdul Rahman Assagaf di Kecamatan Liukang Tuppabiring Utara.

Sementara itu, Ketua DPRD Pangkep H. Andi Ilham mengungkapkan bahwa terlepas dari upaya keras pemerintah daerah, persoalan kemiskinan di Kab. Pangkep tidak merata di seluruh pelosok. Mereka berharap dengan adanya bantuan dari lembaga bantuan atau organisasi masyarakat sipil (OMS) bisa menjembatani kesenjangan yang ada.

“Untuk yang menetap di pulau, kami berharap jangan berkecil hati. Hubungan sosial masyarakat di sini menjadi modal besar untuk bekerjasama dalam upaya penanggulangan kemiskinan,” ujar Ilham.

Pada kesempatan yang sama, Pemerintah Kabupaten Pangkep bersama YKPM dan Institut Kapal Perempuan melakukan Penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) terkait Gender Watch, pelaksanaan kegiatan evaluasi berbasis-gender terhadap program-program pembangunan, termasuk perlindungan sosial dan bantuan sosial di Kabupaten Pangkep.

Senada Wakil Bupati Pangkep, Abdul Rahman Assagaf  mengatakan bahwa masyarakat senantiasa membangun harmonisasi kehidupan di mana antara laki-laki dan perempuan adalah dua makhluk yang saling melengkapi.

“Perempuan secara fisik berbeda dengan laki-laki, namun saling melengkapi. Perempuan juga memiliki hak dan dapat melakukan pekerjaan yang sama dengan laki-laki. Kami berharap program MAMPU dapat meningkatkan kualitas hidup perempuan di Sabutung, dan mereka bisa keluar dari kemiskinan,” ungkap Rahman.

Kabupaten Pangkep memiliki potensi yang besar, namun perlu digali untuk pemanfaatannya. “Pemerintah sedang berupaya untuk pengentasan kemiskinan di Kabupaten Pangkep melalui program Desa Mandiri,” tambahnya.

“Intinya, bagaimana anggaran yang lebih besar bisa dinikmati oleh desa secara langsung sehingga masyarakat desa sejahtera. Melalui Desa Mandiri, Pemerintah Kabupaten Pangkep menargetkan pada 2015, Pangkep tidak lagi men­yandang status sebagai daerah tert­inggal di Sulawesi Selatan,” tutup Rahman.