Project Brief: Sekolah Perempuan

Bersama jejaring mitra lokalnya, KAPAL Perempuan melakukan pemberdayaan dan penguatan kepemimpinan perempuan untuk meningkatkan
akses mereka ke berbagai layanan dan program pemerintah melalui dua pendekatan utama: melakukan pendidikan dan pengorganisasian perempuan miskin di akar rumput dan juga kelompok marginal minoritas melalui Sekolah Perempuan.

Sekolah Perempuan memperkuat kemampuan perempuan akar rumput agar dapat berpartisipasi di dalam forum pengambilan keputusan, melakukan advokasi untuk perubahan kebijakan dan menggalang dukungan untuk tercapainya advokasi.

Project Brief: KLIK PEKKA

KLIK (Klinik Layanan Informasi dan Konsultasi) PEKKA adalah klinik layanan konsultasi dan informasi bergerak (mobile) untuk membantu meningkatkan akses perempuan miskin dan keluarga mereka ke berbagai layanan dasar pemerintah, khususnya identitas hukum dan berbagai program perlindungan sosial.

Mitra MAMPU, Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), mendorong anggotanya dan masyarakat untuk menghadiri KLIK-PEKKA acara konsultasi dan informasi satu hari atau ‘klinik’ di desa-desa di seluruh negeri di daerah yang didukung Program MAMPU.

Bicara Kesehatan dan Perempuan di BBL Program MAMPU

Dalam diskusi bulanan Brown Bag Lunch (BBL), Senin (17 Juni), Program MAMPU mengulas isu dan tantangan peningkatan akses dan kualitas Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi perempuan di Indonesia. Diskusi dipandu oleh Nani Zulminarni, Pendiri Yayasan Pemberdayaan Kepala Keluarga (PEKKA), mitra MAMPU untuk area tematik perlindungan sosial.

“Untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat, kita memerlukan gambaran utuh mengenai permasalahan kesehatan, terutama beban penyakit,” papar Tety Rachmawati, Peneliti Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan, dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes) Kementerian Kesehatan RI, di awal acara.

Hasil penelitian Litbangkes Kementerian Kesehatan RI pada 2017 menunjukkan bahwa peningkatan angka harapan hidup perempuan tak berarti kualitas hidup mereka pasti baik. Adapun beban penyakit tertinggi bagi perempuan termasuk penyakit tidak menular (jantung koroner, stroke, diabetes), neoplasma (kanker payudara, serviks, ovarium, paru-paru), kesehatan reproduksi, dan gizi.

Perbincangan tentang JKN tak lepas dari soal pendanaannya. Dalam presentasinya, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Ascobat Gani menggarisbawahi defisit pembiayaan JKN. Menurutnya, hal ini tak lepas dari premi asuransi yang terlalu rendah dibandingkan dengan manfaat yang amat komprehensif. Selain itu, pembiayaan lebih banyak dialokasikan untuk upaya penyembuhan dibandingkan dengan pencegahan dan promosi kesehatan.

“Uang kita habis untuk ‘menjernihkan air di hilir’. Padahal ada banyak hal yang bisa dicegah, dimulai dengan mengubah perilaku. Puskesmas sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama pun perlu diperkuat,” pesan Ascobat.

Tantangan dalam memperkuat layanan JKN, khususnya terkait kesehatan perempuan, turut disoroti oleh Koordinator Advokasi BPJS Kesehatan Timboel Siregar.

Timboel mencontohkan, rumah sakit kerap mengarahkan agar proses persalinan dilakukan dengan operasi caesar, sehingga ibu hamil dan melahirkan menjadi objek bisnis. Sementara itu, Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 menyatakan, kini JKN tidak menjamin korban penganiayaan, kekerasan seksual, terorisme, dan perdagangan orang. Sayangnya, kasus-kasus demikian paling umum dialami oleh perempuan.

“JKN tidak akan pernah sempurna, tapi sudah memberikan manfaat. Kalau ada penurunan manfaat, JKN justru akan kontraproduktif,” pungkas Timboel, yang bekerja untuk perusahaan WriteMyPapers

Project Brief: MAMPU di Aceh

Program MAMPU bekerja di 27 provinsi, 147 kota/kabupaten, mencapai lebih dari 1.100 desa di Indonesia. Di Provinsi Aceh, MAMPU bermitra dengan 5 organisasi masyarakat sipil (OMS) di 52 desa di 8 kabupaten/kota.

Kenali lebih lanjut kerja-kerja Program MAMPU di Aceh lewat publikasi berikut.

Mitra MAMPU di Aceh Sambut Kunjungan Perwakilan Kedubes Australia

Mitra-mitra Program MAMPU (Kemitraan Australia-Indonesia untuk Pemberdayaan Perempuan dan Kesetaraan Gender) menyambut kunjungan Kirsten Bishop, Minister Counsellor Tatakelola dan Pembangunan Manusia Kedutaan Besar Australia, ke Kota Banda Aceh, Rabu (10/4).

Sambil bersantap siang, perwakilan para mitra memaparkan kerja-kerja mereka.

“Kami bekerja dalam pendampingan dan layanan bagi perempuan, termasuk bermitra dengan perempuan akar rumput dalam membantu kemajuan berbagai pergerakan perempuan di Aceh,” ujar Direktur Flower Aceh Riswati. Flower Aceh adalah salah satu organisasi masyarakat sipil (OMS) dalam Konsorsium PERMAMPU (Perempuan Sumatera MAMPU), mitra MAMPU untuk tema peningkatan status kesehatan dan gizi perempuan.

Dengan bekerja bersama OMS, MAMPU mendorong perempuan agar mereka dapat bersuara dan mempengaruhi kebijakan pemerintah.

“Berkat dukungan MAMPU, kami bekerja sama dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan mengadopsi program peningkatan kapasitas perempuan dengan membentuk komunitas di tiga desa di Kota Lhokseumawe, dua di Kabupaten Aceh Utara, dan dua di Kabupaten Bener Meriah,” ungkap Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Aceh Roslina Rasyid. LBH APIK Aceh adalah salah satu OMS dalam Forum Pengada Layanan (FPL), mitra MAMPU untuk tema pengurangan kekerasan terhadap perempuan.

Peningkatan kapasitas perempuan turut mempengaruhi kemampuan mereka mengakses layanan penting dari pemerintah, seperti Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan Program Keluarga Harapan (PKH).

“Kami berfokus pada pengembangan JKN khusus perempuan. Bersama MAMPU, kami mendorong agar perempuan mendapatkan hak-hak mereka lewat PKH,” jelas Ketua Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Wilayah Aceh Evani Clara Yanti. KPI adalah salah satu mitra MAMPU untuk tema peningkatan akses perlindungan sosial.

Sementara itu, meski tidak bermitra langsung, sejumlah OMS turut mendukung kerja-kerja MAMPU, misalnya Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) yang bekerja sama dengan Yayasan Kesehatan Perempuan.

“Sejak 2015, kami terlibat penelitian tentang layanan kesehatan yang terkait dengan Program MAMPU, baik di Provinsi Aceh maupun tingkat nasional,” tutur Agus Agandi, staf PKBI Aceh.

 

Dukung Perempuan Bersuara

Jelang pemilihan umum serentak 17 April mendatang, mitra-mitra MAMPU turut bekerja memberdayakan perempuan agar dapat menggunakan hak politiknya untuk memilih maupun dipilih.

“Kami melakukan pendampingan bagi perempuan terkait hak berpolitik mereka, dan mendukung perempuan caleg agar dapat memperbanyak perempuan di parlemen,” papar Erna Wati dari Flower Aceh.

Hal ini diamini Rasyidah, Sekretaris Forum Komunitas Perempuan Akar Rumput (FKPAR) Provinsi Aceh. Bersama Flower Aceh, FKPAR Provinsi Aceh bekerja dekat dengan masyarakat tentang permasalahan layanan kesehatan dan kasus KDRT yang seringkali sulit dilaporkan korban. Kini, Rasyidah mencalonkan diri sebagai anggota legislatif untuk Dewan Perwakilan Rakyat Kota Banda Aceh.

“Tantangan pasti ada, tetapi motivasi juga harus ada. Kekuatan itu ada untuk menguatkan para perempuan,” tegas Rasyidah, yang pascatsunami 2004 di Aceh membentuk Balai Inong (balai perempuan) untuk peningkatan kualitas perempuan di bidang ekonomi, kesehatan, dan politik.

“Dalam rangka meningkatkan dukungan pada perempuan caleg, mitra MAMPU menggandeng media untuk bersama-sama memantau pelaksanaan Pemilu,” tambah Clara.

Di luar itu, mitra MAMPU juga mendorong partisipasi aktif perempuan dalam pembangunan, seperti musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang).

“Musrena (musrenbang khusus perempuan) sudah diadakan di Desa Blang Oi. Di sana juga diadakan pelatihan seperti pembuatan nugget dan bakso, yang 20 persen hasil penjualannya disumbangkan ke kas desa untuk pemberdayaan perempuan,”kata Khairat dari FKPAR Kota Banda Aceh.

Di akhir kunjungan, Kirsten Bishop mengungkapkan harapannya agar kerja sama ini dapat berlanjut.

“Bantuan kerja sama seperti Program MAMPU diharapkan dapat ditingkatkan, dan melanjutkan hubungan baik antara kedua pemerintah. Semua program dievaluasi secara strategis, dan sampai saat ini berjalan optimal,” pungkasnya.

Laporan Tematik Studi Midline MAMPU Tema 1: Akses Perempuan Miskin terhadap Program Perlindungan Sosial

Studi akses perempuan miskin terhadap layanan publik merupakan bagian dari studi longitudinal yang dijalankan selama enam tahun (2014–2020) atas kerja sama antara The SMERU Research Institute dan Program Kemitraan Australia-Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan (MAMPU).

Dengan mempelajari akses perempuan miskin terhadap program perlindungan sosial di lima kabupaten di Indonesia (Deli Serdang, Cilacap, Kubu Raya, Pangkajene dan Kepulauan, serta Timor Tengah Selatan) pada 2014 dan 2017, studi ini berupaya menangkap perubahan yang terjadi pada akses perempuan miskin terhadap program perlindungan sosial.

Hanya tersedia dalam Bahasa Indonesia.

Laporan Sintesis Studi Midline MAMPU: Akses Perempuan Miskin terhadap Layanan Publik pada Lima Tema Penghidupan

Studi tentang akses perempuan miskin terhadap layanan publik ini merupakan bagian dari studi MAMPU, sebuah studi longitudinal yang dijalankan selama enam tahun (2014–2020) atas kerja sama The SMERU Research Institute dan Program Kemitraan Australia-Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan (MAMPU).

Laporan sintesis ini bertujuan menarik benang merah dari lima laporan tematik Studi Midline MAMPU yang dimaksudkan untuk melihat perubahan akses perempuan miskin terhadap layanan publik sepanjang 2014–2017.

Hanya tersedia dalam Bahasa Indonesia.

Gelombang Perubahan dari Perempuan di Kepulauan Sulawesi

Selasa siang (16/10), sekelompok peserta Kunjungan Belajar Mitra MAMPU mengunjungi sebuah pulau kecil di wilayah Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan. Di pulau tersebut, tepatnya di Kantor Desa Mattiro Kanja yang sederhana, para perempuan yang tergabung dalam Sekolah Perempuan bercerita tentang perubahan yang mereka alami sebagai dampak keterlibatan mereka. Sekolah Perempuan adalah sebuah inisiatif pemberdayaan perempuan akar rumput yang didasari prinsip pendidikan sepanjang hayat, yang dikembangkan oleh Institut KAPAL Perempuan di Pangkep bersama submitra mereka Yayasan Kajian Pembangunan Masyarakat (YKPM).


“Bagaimana cara ibu sekalian dalam menghadapi stigma negatif atau prasangka buruk masyarakat sekitar terhadap kegiatan Sekolah Perempuan?” tanya Ridwan dari SAPA Institute Bandung, salah satu mitra MAMPU, yang membuka sesi tanya-jawab siang itu.

“Awalnya memang sulit, tapi kami perempuan terus berjuang, bahkan ketika pemuka agama yang belum paham kegiatan ini mengatakan bahwa Sekolah Perempuan ini aliran sesat, kami urung merasa takut,” Indotang, seorang anggota Sekolah Perempuan yang tinggal di Desa Mattiro Uleng menjawab dengan penuh keyakinan.

“Kami pelan-pelan menjelaskan kepada orang-orang sekitar. Kini, saya sudah bisa mengajak lebih banyak ibu untuk memperjuangkan hak-haknya juga mengajarkan tentang ketujuh belas tujuan SDGs,” tandasnya, kemudian menyebutkan satu per satu tujuan pembangunan berkelanjutan yang berprinsip ‘tak seorangpun ditinggalkan.’

Nilai akan kesetaraan peran dan hak atas kehidupan yang layak dipercayai oleh setiap anggota Sekolah Perempuan. Berbekal keyakinan nilai tersebut, Musdalifah yang mempelajari tentang kesetaraan gender di Sekolah Perempuan Desa Mattiro Bombang tidak kalah bercerita tentang tantangan yang bahkan ia temukan dalam berumah tangga.

“Dulu, sebelum ikut Sekolah Perempuan, kami para istri biasanya hanya makan ekor (ikan) di dapur. Sedangkan suami yang makan kepala dan badan. Setelah belajar tentang kesetaraan gender, kami bisa berbicara dengan suami tentang kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Kepala dan ekor kami nikmati sama-sama di meja makan,” ceritanya.

Meskipun berasal dari desa yang sama, perjuangan Risma berbeda dengan Musdalifah. Sebagai anggota muda, Risma menceritakan akan ketakutannya dahulu untuk berbicara di depan banyak orang. “Jangankan memperjuangkan hak-hak rakyat miskin, saya berbicara seperti ini saja tidak berani,” ungkapnya sambil tersenyum. “Tetapi karena saya belajar dan berlatih, saya jadi tahu caranya berbicara di depan umum. Kini saya berani menyampaikan keluhan ke pemerintah.” Dengan suaranya, Risma berhasil mempengaruhi kebijakan pemerintah setempat untuk membantu satu keluarga miskin memperoleh tempat tinggal yang layak.

“Saya sendiri korban perkawinan anak. Menikah dini 14 tahun, melahirkan dan hampir mati usia 16. Begitu lihat teman punya anak beranjak remaja, saya selalu pesan ‘jangan dulu dinikahkan, pikirkan masa depannya, saya sendiri merasakan dampaknya,” ungkap Darma, dari Desa Mattiro Uleng, menambah pesan penting bagi perempuan untuk mencegah perkawinan anak atau di bawah umur. Dalam kesempatan tersebut, Darma mengutarakan pentingnya mempersiapkan masa depan anak, daripada menikahkannya di usia belia.

Bersama-sama dengan Indotang, Musdalifah, Risma dan Darma, ribuan anggota Sekolah Perempuan lainnya di 25 desa di 8 kabupaten di 6 provinsi memperoleh dukungan dari Program MAMPU melalui mitra jejaring KAPAL Perempuan untuk membangun jiwa kepemimpinan dan berbagai kecakapan hidup perempuan. Keberhasilan model pemberdayaan perempuan ini menunjukkan peningkatan akses perlindungan sosial oleh perempuan miskin, dan telah direplikasi oleh Pemerintah Indonesia di 46 desa lainnya yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Sri Bulan, Cahaya dari Wringinanom

Seperti namanya, Sri Bulan ibarat cahaya bagi orang-orang di sekitarnya. Pengalamannya sebagai penyintas kanker telah menguatkannya untuk mendukung banyak orang dalam mengakses layanan kesehatan dasar.

Perempuan asal Wringinanom, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, ini setia mendampingi warga dalam menggunakan Jaminan Kesehatan Nasional Penerima Bantuan Iuran (JKN-PBI). Tak hanya membantu mengurus pendaftaran dan memastikan kartu peserta sampai di tangan mereka, Bulan juga sering menemani pasien hingga mendapatkan kamar rawat inap. Sosoknya yang periang pun tak lagi asing bagi banyak perawat dan dokter di RS Ibnu Sina, Gresik, dan RS Dr. Soetomo, Surabaya.

Semangat Bulan yang seolah tak pernah padam itu mulai terbit kala ia bergabung dengan Sekolah Perempuan pada April 2014. Di lembaga pendidikan nonformal yang digagas Institut KAPAL Perempuan, mitra MAMPU untuk tema akses kepada perlindungan sosial, itulah Bulan belajar banyak hal baru.

“Saya jadi mengerti apa itu partisipasi gender, kemerdekaan, bergaul dengan banyak orang,” kata perempuan berusia 29 tahun ini. Kepercayaan diri Bulan pun kembali berpendar, setelah melalui masa-masa pemulihan kanker yang menantang.

Perjuangan Bulan melawan kanker dimulai pada 2009. Kala itu ia masih tinggal bersama sang suami yang seorang perokok. Kamar yang selalu dipenuhi asap rokok akhirnya membuat Bulan kesulitan bernapas dan sering mimisan.

Suatu hari ketika sedang mandi, ia menemukan benjolan di lehernya. Hasil pemeriksaan di klinik menyatakan bahwa benjolan itu adalah kelenjar yang membengkak.

“Benjolannya memang tidak sakit. Tapi ketika pilek, hidung saya mengeluarkan darah. Saya minum obat, bengkaknya malah makin besar,” kenangnya.

Bulan kemudian memeriksakan diri ke RS Reksowaluyo, Mojokerto, di mana ia kemudian menjalani biopsi. Hasilnya, ibu satu anak itu didiagnosis positif kanker nasofaring stadium empat, dan dirujuk ke RS Dr. Soetomo Surabaya.

Di tengah keadaan tersebut, Bulan juga mengalami penelantaran dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dari suaminya, yang dinikahinya saat berusia 17 tahun. Selain tak menafkahi keluarga, sang suami juga tidak sepeser pun membiayai pengobatan Bulan. Demi bisa berobat, Bulan harus mengurus pembuatan Surat Pernyataan Miskin, karena kartu Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) miliknya hilang.

“Biaya pengobatan memang gratis, tapi tetap butuh uang untuk transportasi bolak-balik ke rumah sakit dan untuk makan. Semua biaya itu bapak saya yang mengeluarkan. Bapak sampai menjual sapi dan kambing,” tutur Bulan, yang kini tinggal bersama orang tuanya.

Sementara itu, pengobatan radioterapi dan kemoterapi sempat membuat kondisi tubuh Bulan melemah. Selain bobot tubuh, kemampuan bicara, mendengar, dan berpikirnya pun menurun. Rasa rendah diri yang menyelimutinya membuat Bulan enggan meninggalkan rumah.

 

Mulai Kembali Bersinar

Berkegiatan di Sekolah Perempuan membawa Bulan keluar dari sarangnya. Bermula dari rajin menuliskan data anggota sekolah, keterampilannya meningkat hingga mampu mendokumentasikan data feminisasi kemiskinan di dusunnya. Ia juga ikut mementaskan Tari Javen dalam rangka perayaan HUT RI ke-70 atas undangan Pemerintah Kecamatan Wringinanom.

Secara khusus, Bulan tertarik dengan materi perlindungan sosial, terutama terkait jaminan kesehatan. Menurutnya, banyak orang sakit yang berputus asa, tidak mau berobat karena biayanya mahal sampai akhirnya berpulang.

Berbekal pengetahuan baru dari Sekolah Perempuan, Bulan mulai menyebarkan informasi seputar perlindungan sosial untuk kesehatan di lingkungan sekitarnya. Meski awalnya ia tak dipercaya, karena warga menilai kartu Jamkesmas hanyalah kartu biasa, lambat laun mereka mulai menggunakan kartu tersebut untuk berobat. Kegigihan Bulan kemudian membuatnya ditunjuk sebagai pendamping bagi anggota Sekolah Perempuan untuk melakukan pemeriksaan IVA (Inspeksi Visual dengan Asam Asetat) di RS Ibnu Sina, Gresik.

Proses panjang yang pernah dilaluinya untuk mendapatkan kartu JKN-PBI menjadi bekal keteguhan langkah Bulan, agar perempuan-perempuan lain di sekitarnya juga dapat mengakses layanan kesehatan dasar.

“Perempuan penting memiliki JKN agar terjamin kesehatannya. Perempuan Indonesia harus sadar kalau ini adalah pemenuhan hak dasar bernegara agar warga Indonesia sehat,” tegas perempuan yang dinyatakan terbebas dari kanker pada Agustus 2017 ini.

Pendar semangat itu terus mewarnai hari-hari Bulan hingga akhir hayatnya. Bulan berpulang pada Jumat, 24 Agustus 2018, saat senja menjelang.

Selamat jalan, Sri Bulan. Perjuanganmu mendampingi sesama akan senantiasa dikenang.

Saraiyah, Suara yang Kini Didengar

Minggu pagi itu, 29 Juli 2018, Saraiyah sedang menyiram tanaman sayur-mayur di pekarangannya di Dusun Lokok Buak, Desa Sukadana, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara, ketika tanah yang dipijaknya mendadak bergetar hebat, membuat dinding rumahnya retak. Gempa 6,4 skala Richter yang mengguncang Pulau Lombok itu membuat Saraiyah bergegas mengungsi ke Dusun Segenter, yang terletak di kaki Gunung Rinjani. Di pengungsian yang kemudian menjadi tempat berlindung warga dari lima dusun itu, mulanya hanya ada tenda dari satu terpal dan tikar seadanya.

“Saya menelepon semua anggota Sekolah Perempuan yang bisa dihubungi (untuk berkoordinasi), apa yang bisa kami lakukan. Nomor telepon saya pun disebar sebagai contact person,” cerita Ketua Sekolah Perempuan Desa Sukadana ini.

Di pengungsian di Dusun Segenter, Saraiyah dan sejumlah anggota Sekolah Perempuan lainnya kemudian mendirikan Pos Perempuan. Pos ini merupakan inisiatif bersama antara Sekolah Perempuan, Institut KAPAL Perempuan, dan Lembaga Pengembangan Sumber Daya Mitra (LPSDM) Nusa Tenggara Barat, dengan dukungan Program MAMPU. Di sana, Saraiyah turut mengatur pembagian logistik, menginisiasi dapur umum, mengkoordinir jadwal piket mengantar korban gempa yang sakit, juga melakukan pendataan administrasi kependudukan (adminduk) bagi warga yang kehilangan dokumen identitas diri.

Menyadari bahwa perempuan memiliki kerentanan tersendiri dalam situasi bencana, Saraiyah dan rekan-rekannya di Sekolah Perempuan mengambil sejumlah langkah untuk menciptakan rasa aman dan nyaman bagi perempuan saat mengungsi. Selain membangun tenda dengan sekat antara laki-laki dan perempuan untuk menghindari pelecehan seksual, mereka juga menggagas awig-awig (peraturan desa adat) darurat untuk menciptakan keteraturan di lokasi pengungsian.

“Karena keadaan darurat, kami tidak bisa menempel peraturan di tenda. Jadi, kami mengumpulkan para laki-laki di sekitar tenda untuk rapat, dan menyepakati pembuatan awig-awig,” papar Saraiyah.

“Ada beberapa hal yang diatur, misalnya larangan merokok di dalam tenda karena ada ibu hamil dan menyusui, juga mengatur jam tidur agar selalu ada laki-laki yang piket ronda,” tambah Saraiyah, yang kini tidur di tenda yang didirikan di teras rumahnya.

Suara Saraiyah, yang sekarang menggaungkan dampak, berawal dari berdirinya Sekolah Perempuan Desa Sukadana pada 22 Februari 2014. Namun, kala itu, perjuangannya jauh dari mulus.

“Di awal, kami sering dicap sebagai kelompok yang mengajak ibu-ibu untuk melawan suami dan menentang adat,” kenangnya.

Perempuan berusia 46 tahun itu sendiri mulanya kebingungan, ketika Institut KAPAL Perempuan, mitra MAMPU untuk tema akses kepada perlindungan sosial, mengajaknya mendirikan Sekolah Perempuan. “Saya pikir, seperti apa itu Sekolah Perempuan? Apakah harus berpakaian rapi seperti murid sekolah? Mau diapakan kami-kami yang sudah tua dan miskin begini?”

 

Bersuara untuk Perempuan

Setelah mengikuti kegiatan Sekolah Perempuan, keraguan Saraiyah sirna. Aktivitas belajar dilakukan dalam suasana santai. Tempatnya bisa bergantian di rumah anggota, bahkan di alam bebas seperti sawah dan pantai. Materi pembelajaran disesuaikan dengan kebutuhan anggota, berdasarkan hasil diskusi bulanan mereka.

“Sebelumnya, kami nggak berani ngomong di depan orang. Masalah keluarga dianggap sebagai aib yang tidak bisa diceritakan ke orang banyak,” cerita Saraiyah, yang mengaku berkesempatan belajar banyak hal baru di Sekolah Perempuan bersama para anggota lainnya. “Padahal kami banyak yang tidak sekolah tinggi, hanya lulus SD dan SMP, bahkan tidak tamat SD,” tambah perempuan yang berhasil menamatkan bangku SMA, meski keluarga tak mengizinkannya melanjutkan sekolah, ini.

Wawasan Saraiyah, terutama mengenai pemenuhan hak-hak perempuan, pun terus meluas. Manakala ada peristiwa yang mengakibatkan ketidakadilan bagi kaum perempuan di lingkungan sekitar, ia akan tergerak memperjuangkannya.

Perjuangan menegakkan keadilan bagi para perempuan ini mendorong Saraiyah berani menerabas sekat-sekat adat. Ia meyakini, adat masih bisa diubah jika justru merugikan posisi perempuan. “Hanya Alquran dan hadis yang tidak bisa diubah, tapi adat dan kebiasaan hidup bisa kita ubah,” tegasnya.

Saraiyah juga tak pandang agama dalam memperjuangkan nasib perempuan, misalnya untuk mengusulkan perbaikan jalan di Dusun Kebon Patu. Menurutnya, akses jalan yang curam dan sempit tak hanya menyumbangkan angka kematian ibu hamil, namun juga menghambat potensi ekonomi Dusun Kebon Patu sebagai sentra perkebunan coklat. Namun, sang kepala dusun (kadus) sempat mempertanyakan motivasi Saraiyah, karena mayoritas warga di sana menganut agama yang berbeda dengannya.

“Saya bilang ke Pak Kadus, pembangunan itu tidak hanya difokuskan untuk sedikit orang. Kita harus berusaha agar pembangunan bisa dinikmati masyarakat banyak tanpa memandang agama,” tegas salah satu anggota Tim 11 Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa Sukadana ini.

Usulannya itu kemudian dibawa tak hanya ke tingkat desa, namun juga disampaikan dalam musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) di tingkat kecamatan dan kabupaten. Kini, pembangunan jalan ke Dusun Kebon Patu menjadi salah satu program prioritas.

 

Membangun Dampak

Berkat kegigihan Saraiyah dan para anggota lainnya, Sekolah Perempuan Desa Sukadana kini telah mendapatkan pengakuan warga maupun pemerintah. Selain melaksanakan musrenbang khusus perempuan sejak 2015, pemerintah Kabupaten Lombok Utara juga merencanakan replikasi Sekolah Perempuan di sejumlah desa lainnya. Saraiyah pun ditunjuk sebagai salah satu fasilitator untuk membantu pelaksanaan replikasi.

“Dulu, perempuan tidak pernah didengar suaranya dan dipandang sebelah mata. Sekarang, kalau kami bicara, laki-laki sudah mau mendengarkan,” ujarnya.

Salah satu contoh nyata lainnya adalah inisiatif Saraiyah dan para anggota Sekolah Perempuan Desa Sukadana untuk merintis kebun sayur organik di halaman rumah masing-masing. Keberhasilan mereka bercocok tanam secara swadaya ternyata tak hanya mewujudkan peningkatan kapasitas maupun pemberdayaan ekonomi. Mei silam, Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Lombok Utara bertandang ke rumah Saraiyah, mengajak Sekolah Perempuan Desa Sukadana bermitra dalam program Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL).

Pascagempa, Saraiyah pun berupaya menghidupkan kembali program KRPL, agar perempuan di pengungsian dapat mengisi waktu luang. Dengan demikian, mereka tidak terlarut dalam kekhawatiran karena memikirkan situasi hidup saat ini.

Selain mengolah sayur-mayur dari kebun KRPL di dapur umum, Saraiyah juga bekerja sama dengan Dinas Pertanian setempat untuk mengadakan penyuluhan KRPL di Desa Sukadana pada pertengahan Agustus lalu. Minggu (7/10) lalu, sekitar 60 perempuan berkesempatan mengikuti pelatihan pengolahan pangan lokal bersama pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat dan LPSDM di lapangan Kecamatan Tanjung.

Menyaksikan langsung segala kepanikan akibat gempa di akhir Juli itu, yang dalam sebulan diikuti oleh lebih dari 1.900 gempa susulan, Saraiyah sadar bahwa kesedihan tak harus berujung pada keputusasaan. Dalam keadaan yang serba terbatas, ia tak lelah mendorong warga di pengungsian untuk menyisihkan waktu demi membicarakan hal-hal yang dibutuhkan untuk upaya pemulihan.

“Tidak selamanya kita hanya bisa duduk diam, ketakutan, dan menunggu bantuan,” pungkasnya, penuh tekad. (*)