Project Brief: Sekolah Perempuan

Bersama jejaring mitra lokalnya, KAPAL Perempuan melakukan pemberdayaan dan penguatan kepemimpinan perempuan untuk meningkatkan
akses mereka ke berbagai layanan dan program pemerintah melalui dua pendekatan utama: melakukan pendidikan dan pengorganisasian perempuan miskin di akar rumput dan juga kelompok marginal minoritas melalui Sekolah Perempuan.

Sekolah Perempuan memperkuat kemampuan perempuan akar rumput agar dapat berpartisipasi di dalam forum pengambilan keputusan, melakukan advokasi untuk perubahan kebijakan dan menggalang dukungan untuk tercapainya advokasi.

Gelombang Perubahan dari Perempuan di Kepulauan Sulawesi

Selasa siang (16/10), sekelompok peserta Kunjungan Belajar Mitra MAMPU mengunjungi sebuah pulau kecil di wilayah Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan. Di pulau tersebut, tepatnya di Kantor Desa Mattiro Kanja yang sederhana, para perempuan yang tergabung dalam Sekolah Perempuan bercerita tentang perubahan yang mereka alami sebagai dampak keterlibatan mereka. Sekolah Perempuan adalah sebuah inisiatif pemberdayaan perempuan akar rumput yang didasari prinsip pendidikan sepanjang hayat, yang dikembangkan oleh Institut KAPAL Perempuan di Pangkep bersama submitra mereka Yayasan Kajian Pembangunan Masyarakat (YKPM).


“Bagaimana cara ibu sekalian dalam menghadapi stigma negatif atau prasangka buruk masyarakat sekitar terhadap kegiatan Sekolah Perempuan?” tanya Ridwan dari SAPA Institute Bandung, salah satu mitra MAMPU, yang membuka sesi tanya-jawab siang itu.

“Awalnya memang sulit, tapi kami perempuan terus berjuang, bahkan ketika pemuka agama yang belum paham kegiatan ini mengatakan bahwa Sekolah Perempuan ini aliran sesat, kami urung merasa takut,” Indotang, seorang anggota Sekolah Perempuan yang tinggal di Desa Mattiro Uleng menjawab dengan penuh keyakinan.

“Kami pelan-pelan menjelaskan kepada orang-orang sekitar. Kini, saya sudah bisa mengajak lebih banyak ibu untuk memperjuangkan hak-haknya juga mengajarkan tentang ketujuh belas tujuan SDGs,” tandasnya, kemudian menyebutkan satu per satu tujuan pembangunan berkelanjutan yang berprinsip ‘tak seorangpun ditinggalkan.’

Nilai akan kesetaraan peran dan hak atas kehidupan yang layak dipercayai oleh setiap anggota Sekolah Perempuan. Berbekal keyakinan nilai tersebut, Musdalifah yang mempelajari tentang kesetaraan gender di Sekolah Perempuan Desa Mattiro Bombang tidak kalah bercerita tentang tantangan yang bahkan ia temukan dalam berumah tangga.

“Dulu, sebelum ikut Sekolah Perempuan, kami para istri biasanya hanya makan ekor (ikan) di dapur. Sedangkan suami yang makan kepala dan badan. Setelah belajar tentang kesetaraan gender, kami bisa berbicara dengan suami tentang kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Kepala dan ekor kami nikmati sama-sama di meja makan,” ceritanya.

Meskipun berasal dari desa yang sama, perjuangan Risma berbeda dengan Musdalifah. Sebagai anggota muda, Risma menceritakan akan ketakutannya dahulu untuk berbicara di depan banyak orang. “Jangankan memperjuangkan hak-hak rakyat miskin, saya berbicara seperti ini saja tidak berani,” ungkapnya sambil tersenyum. “Tetapi karena saya belajar dan berlatih, saya jadi tahu caranya berbicara di depan umum. Kini saya berani menyampaikan keluhan ke pemerintah.” Dengan suaranya, Risma berhasil mempengaruhi kebijakan pemerintah setempat untuk membantu satu keluarga miskin memperoleh tempat tinggal yang layak.

“Saya sendiri korban perkawinan anak. Menikah dini 14 tahun, melahirkan dan hampir mati usia 16. Begitu lihat teman punya anak beranjak remaja, saya selalu pesan ‘jangan dulu dinikahkan, pikirkan masa depannya, saya sendiri merasakan dampaknya,” ungkap Darma, dari Desa Mattiro Uleng, menambah pesan penting bagi perempuan untuk mencegah perkawinan anak atau di bawah umur. Dalam kesempatan tersebut, Darma mengutarakan pentingnya mempersiapkan masa depan anak, daripada menikahkannya di usia belia.

Bersama-sama dengan Indotang, Musdalifah, Risma dan Darma, ribuan anggota Sekolah Perempuan lainnya di 25 desa di 8 kabupaten di 6 provinsi memperoleh dukungan dari Program MAMPU melalui mitra jejaring KAPAL Perempuan untuk membangun jiwa kepemimpinan dan berbagai kecakapan hidup perempuan. Keberhasilan model pemberdayaan perempuan ini menunjukkan peningkatan akses perlindungan sosial oleh perempuan miskin, dan telah direplikasi oleh Pemerintah Indonesia di 46 desa lainnya yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Sri Bulan, Cahaya dari Wringinanom

Seperti namanya, Sri Bulan ibarat cahaya bagi orang-orang di sekitarnya. Pengalamannya sebagai penyintas kanker telah menguatkannya untuk mendukung banyak orang dalam mengakses layanan kesehatan dasar.

Perempuan asal Wringinanom, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, ini setia mendampingi warga dalam menggunakan Jaminan Kesehatan Nasional Penerima Bantuan Iuran (JKN-PBI). Tak hanya membantu mengurus pendaftaran dan memastikan kartu peserta sampai di tangan mereka, Bulan juga sering menemani pasien hingga mendapatkan kamar rawat inap. Sosoknya yang periang pun tak lagi asing bagi banyak perawat dan dokter di RS Ibnu Sina, Gresik, dan RS Dr. Soetomo, Surabaya.

Semangat Bulan yang seolah tak pernah padam itu mulai terbit kala ia bergabung dengan Sekolah Perempuan pada April 2014. Di lembaga pendidikan nonformal yang digagas Institut KAPAL Perempuan, mitra MAMPU untuk tema akses kepada perlindungan sosial, itulah Bulan belajar banyak hal baru.

“Saya jadi mengerti apa itu partisipasi gender, kemerdekaan, bergaul dengan banyak orang,” kata perempuan berusia 29 tahun ini. Kepercayaan diri Bulan pun kembali berpendar, setelah melalui masa-masa pemulihan kanker yang menantang.

Perjuangan Bulan melawan kanker dimulai pada 2009. Kala itu ia masih tinggal bersama sang suami yang seorang perokok. Kamar yang selalu dipenuhi asap rokok akhirnya membuat Bulan kesulitan bernapas dan sering mimisan.

Suatu hari ketika sedang mandi, ia menemukan benjolan di lehernya. Hasil pemeriksaan di klinik menyatakan bahwa benjolan itu adalah kelenjar yang membengkak.

“Benjolannya memang tidak sakit. Tapi ketika pilek, hidung saya mengeluarkan darah. Saya minum obat, bengkaknya malah makin besar,” kenangnya.

Bulan kemudian memeriksakan diri ke RS Reksowaluyo, Mojokerto, di mana ia kemudian menjalani biopsi. Hasilnya, ibu satu anak itu didiagnosis positif kanker nasofaring stadium empat, dan dirujuk ke RS Dr. Soetomo Surabaya.

Di tengah keadaan tersebut, Bulan juga mengalami penelantaran dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dari suaminya, yang dinikahinya saat berusia 17 tahun. Selain tak menafkahi keluarga, sang suami juga tidak sepeser pun membiayai pengobatan Bulan. Demi bisa berobat, Bulan harus mengurus pembuatan Surat Pernyataan Miskin, karena kartu Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) miliknya hilang.

“Biaya pengobatan memang gratis, tapi tetap butuh uang untuk transportasi bolak-balik ke rumah sakit dan untuk makan. Semua biaya itu bapak saya yang mengeluarkan. Bapak sampai menjual sapi dan kambing,” tutur Bulan, yang kini tinggal bersama orang tuanya.

Sementara itu, pengobatan radioterapi dan kemoterapi sempat membuat kondisi tubuh Bulan melemah. Selain bobot tubuh, kemampuan bicara, mendengar, dan berpikirnya pun menurun. Rasa rendah diri yang menyelimutinya membuat Bulan enggan meninggalkan rumah.

 

Mulai Kembali Bersinar

Berkegiatan di Sekolah Perempuan membawa Bulan keluar dari sarangnya. Bermula dari rajin menuliskan data anggota sekolah, keterampilannya meningkat hingga mampu mendokumentasikan data feminisasi kemiskinan di dusunnya. Ia juga ikut mementaskan Tari Javen dalam rangka perayaan HUT RI ke-70 atas undangan Pemerintah Kecamatan Wringinanom.

Secara khusus, Bulan tertarik dengan materi perlindungan sosial, terutama terkait jaminan kesehatan. Menurutnya, banyak orang sakit yang berputus asa, tidak mau berobat karena biayanya mahal sampai akhirnya berpulang.

Berbekal pengetahuan baru dari Sekolah Perempuan, Bulan mulai menyebarkan informasi seputar perlindungan sosial untuk kesehatan di lingkungan sekitarnya. Meski awalnya ia tak dipercaya, karena warga menilai kartu Jamkesmas hanyalah kartu biasa, lambat laun mereka mulai menggunakan kartu tersebut untuk berobat. Kegigihan Bulan kemudian membuatnya ditunjuk sebagai pendamping bagi anggota Sekolah Perempuan untuk melakukan pemeriksaan IVA (Inspeksi Visual dengan Asam Asetat) di RS Ibnu Sina, Gresik.

Proses panjang yang pernah dilaluinya untuk mendapatkan kartu JKN-PBI menjadi bekal keteguhan langkah Bulan, agar perempuan-perempuan lain di sekitarnya juga dapat mengakses layanan kesehatan dasar.

“Perempuan penting memiliki JKN agar terjamin kesehatannya. Perempuan Indonesia harus sadar kalau ini adalah pemenuhan hak dasar bernegara agar warga Indonesia sehat,” tegas perempuan yang dinyatakan terbebas dari kanker pada Agustus 2017 ini.

Pendar semangat itu terus mewarnai hari-hari Bulan hingga akhir hayatnya. Bulan berpulang pada Jumat, 24 Agustus 2018, saat senja menjelang.

Selamat jalan, Sri Bulan. Perjuanganmu mendampingi sesama akan senantiasa dikenang.

Saraiyah, Suara yang Kini Didengar

Minggu pagi itu, 29 Juli 2018, Saraiyah sedang menyiram tanaman sayur-mayur di pekarangannya di Dusun Lokok Buak, Desa Sukadana, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara, ketika tanah yang dipijaknya mendadak bergetar hebat, membuat dinding rumahnya retak. Gempa 6,4 skala Richter yang mengguncang Pulau Lombok itu membuat Saraiyah bergegas mengungsi ke Dusun Segenter, yang terletak di kaki Gunung Rinjani. Di pengungsian yang kemudian menjadi tempat berlindung warga dari lima dusun itu, mulanya hanya ada tenda dari satu terpal dan tikar seadanya.

“Saya menelepon semua anggota Sekolah Perempuan yang bisa dihubungi (untuk berkoordinasi), apa yang bisa kami lakukan. Nomor telepon saya pun disebar sebagai contact person,” cerita Ketua Sekolah Perempuan Desa Sukadana ini.

Di pengungsian di Dusun Segenter, Saraiyah dan sejumlah anggota Sekolah Perempuan lainnya kemudian mendirikan Pos Perempuan. Pos ini merupakan inisiatif bersama antara Sekolah Perempuan, Institut KAPAL Perempuan, dan Lembaga Pengembangan Sumber Daya Mitra (LPSDM) Nusa Tenggara Barat, dengan dukungan Program MAMPU. Di sana, Saraiyah turut mengatur pembagian logistik, menginisiasi dapur umum, mengkoordinir jadwal piket mengantar korban gempa yang sakit, juga melakukan pendataan administrasi kependudukan (adminduk) bagi warga yang kehilangan dokumen identitas diri.

Menyadari bahwa perempuan memiliki kerentanan tersendiri dalam situasi bencana, Saraiyah dan rekan-rekannya di Sekolah Perempuan mengambil sejumlah langkah untuk menciptakan rasa aman dan nyaman bagi perempuan saat mengungsi. Selain membangun tenda dengan sekat antara laki-laki dan perempuan untuk menghindari pelecehan seksual, mereka juga menggagas awig-awig (peraturan desa adat) darurat untuk menciptakan keteraturan di lokasi pengungsian.

“Karena keadaan darurat, kami tidak bisa menempel peraturan di tenda. Jadi, kami mengumpulkan para laki-laki di sekitar tenda untuk rapat, dan menyepakati pembuatan awig-awig,” papar Saraiyah.

“Ada beberapa hal yang diatur, misalnya larangan merokok di dalam tenda karena ada ibu hamil dan menyusui, juga mengatur jam tidur agar selalu ada laki-laki yang piket ronda,” tambah Saraiyah, yang kini tidur di tenda yang didirikan di teras rumahnya.

Suara Saraiyah, yang sekarang menggaungkan dampak, berawal dari berdirinya Sekolah Perempuan Desa Sukadana pada 22 Februari 2014. Namun, kala itu, perjuangannya jauh dari mulus.

“Di awal, kami sering dicap sebagai kelompok yang mengajak ibu-ibu untuk melawan suami dan menentang adat,” kenangnya.

Perempuan berusia 46 tahun itu sendiri mulanya kebingungan, ketika Institut KAPAL Perempuan, mitra MAMPU untuk tema akses kepada perlindungan sosial, mengajaknya mendirikan Sekolah Perempuan. “Saya pikir, seperti apa itu Sekolah Perempuan? Apakah harus berpakaian rapi seperti murid sekolah? Mau diapakan kami-kami yang sudah tua dan miskin begini?”

 

Bersuara untuk Perempuan

Setelah mengikuti kegiatan Sekolah Perempuan, keraguan Saraiyah sirna. Aktivitas belajar dilakukan dalam suasana santai. Tempatnya bisa bergantian di rumah anggota, bahkan di alam bebas seperti sawah dan pantai. Materi pembelajaran disesuaikan dengan kebutuhan anggota, berdasarkan hasil diskusi bulanan mereka.

“Sebelumnya, kami nggak berani ngomong di depan orang. Masalah keluarga dianggap sebagai aib yang tidak bisa diceritakan ke orang banyak,” cerita Saraiyah, yang mengaku berkesempatan belajar banyak hal baru di Sekolah Perempuan bersama para anggota lainnya. “Padahal kami banyak yang tidak sekolah tinggi, hanya lulus SD dan SMP, bahkan tidak tamat SD,” tambah perempuan yang berhasil menamatkan bangku SMA, meski keluarga tak mengizinkannya melanjutkan sekolah, ini.

Wawasan Saraiyah, terutama mengenai pemenuhan hak-hak perempuan, pun terus meluas. Manakala ada peristiwa yang mengakibatkan ketidakadilan bagi kaum perempuan di lingkungan sekitar, ia akan tergerak memperjuangkannya.

Perjuangan menegakkan keadilan bagi para perempuan ini mendorong Saraiyah berani menerabas sekat-sekat adat. Ia meyakini, adat masih bisa diubah jika justru merugikan posisi perempuan. “Hanya Alquran dan hadis yang tidak bisa diubah, tapi adat dan kebiasaan hidup bisa kita ubah,” tegasnya.

Saraiyah juga tak pandang agama dalam memperjuangkan nasib perempuan, misalnya untuk mengusulkan perbaikan jalan di Dusun Kebon Patu. Menurutnya, akses jalan yang curam dan sempit tak hanya menyumbangkan angka kematian ibu hamil, namun juga menghambat potensi ekonomi Dusun Kebon Patu sebagai sentra perkebunan coklat. Namun, sang kepala dusun (kadus) sempat mempertanyakan motivasi Saraiyah, karena mayoritas warga di sana menganut agama yang berbeda dengannya.

“Saya bilang ke Pak Kadus, pembangunan itu tidak hanya difokuskan untuk sedikit orang. Kita harus berusaha agar pembangunan bisa dinikmati masyarakat banyak tanpa memandang agama,” tegas salah satu anggota Tim 11 Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa Sukadana ini.

Usulannya itu kemudian dibawa tak hanya ke tingkat desa, namun juga disampaikan dalam musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) di tingkat kecamatan dan kabupaten. Kini, pembangunan jalan ke Dusun Kebon Patu menjadi salah satu program prioritas.

 

Membangun Dampak

Berkat kegigihan Saraiyah dan para anggota lainnya, Sekolah Perempuan Desa Sukadana kini telah mendapatkan pengakuan warga maupun pemerintah. Selain melaksanakan musrenbang khusus perempuan sejak 2015, pemerintah Kabupaten Lombok Utara juga merencanakan replikasi Sekolah Perempuan di sejumlah desa lainnya. Saraiyah pun ditunjuk sebagai salah satu fasilitator untuk membantu pelaksanaan replikasi.

“Dulu, perempuan tidak pernah didengar suaranya dan dipandang sebelah mata. Sekarang, kalau kami bicara, laki-laki sudah mau mendengarkan,” ujarnya.

Salah satu contoh nyata lainnya adalah inisiatif Saraiyah dan para anggota Sekolah Perempuan Desa Sukadana untuk merintis kebun sayur organik di halaman rumah masing-masing. Keberhasilan mereka bercocok tanam secara swadaya ternyata tak hanya mewujudkan peningkatan kapasitas maupun pemberdayaan ekonomi. Mei silam, Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Lombok Utara bertandang ke rumah Saraiyah, mengajak Sekolah Perempuan Desa Sukadana bermitra dalam program Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL).

Pascagempa, Saraiyah pun berupaya menghidupkan kembali program KRPL, agar perempuan di pengungsian dapat mengisi waktu luang. Dengan demikian, mereka tidak terlarut dalam kekhawatiran karena memikirkan situasi hidup saat ini.

Selain mengolah sayur-mayur dari kebun KRPL di dapur umum, Saraiyah juga bekerja sama dengan Dinas Pertanian setempat untuk mengadakan penyuluhan KRPL di Desa Sukadana pada pertengahan Agustus lalu. Minggu (7/10) lalu, sekitar 60 perempuan berkesempatan mengikuti pelatihan pengolahan pangan lokal bersama pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat dan LPSDM di lapangan Kecamatan Tanjung.

Menyaksikan langsung segala kepanikan akibat gempa di akhir Juli itu, yang dalam sebulan diikuti oleh lebih dari 1.900 gempa susulan, Saraiyah sadar bahwa kesedihan tak harus berujung pada keputusasaan. Dalam keadaan yang serba terbatas, ia tak lelah mendorong warga di pengungsian untuk menyisihkan waktu demi membicarakan hal-hal yang dibutuhkan untuk upaya pemulihan.

“Tidak selamanya kita hanya bisa duduk diam, ketakutan, dan menunggu bantuan,” pungkasnya, penuh tekad. (*)

Institut Lingkaran Pendidikan Alternatif (KAPAL) Perempuan

Institut Lingkaran Pendidikan Alternatif (KAPAL) Perempuan

Institut Lingkaran Pendidikan Alternatif (KAPAL) Perempuan berdiri pada 2000 untuk membangun gerakan perempuan yang mendorong adanya masyarakat damai yang mendukung keadilan sosial dan gender, pluralisme, dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Program MAMPU telah bermitra dengan Institut KAPAL Perempuan sejak 2012. Bersama jejaring mitra lokalnya, Institut KAPAL Perempuan  memberdayakan perempuan dan memperkuat akses mereka terhadap program dan layanan pemerintah. Didukung Program MAMPU, Institut KAPAL Perempuan bekerja di 6 provinsi, 15 kabupaten dan 25 desa/kelurahan.

 

Program organisasi sebagai mitra MAMPU:

  • Sekolah Perempuan: wadah pendidikan dan pelatihan informal berbasis-komunitas untuk memberdayakan perempuan miskin di akar rumput, dan menciptakan pemimpin perempuan lokal yang mampu mengadvokasi hak-hak perempuan, serta kebijakan dan anggaran yang mendukung akses perempuan terhadap layanan.
  • Gender Watch: pemantauan program perlindungan sosial pemerintah lewat audit gender berbasis-komunitas (AGBK) untuk menjamin keakuratan data penerima manfaat dan meningkatkan akses perempuan miskin terhadap Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

 

Capaian dalam program MAMPU:

  • Sekolah Perempuan telah direplikasi di 43 desa tambahan menggunakan anggaran pemerintah, meliputi 10 desa di Kabupaten Gresik, Jawa Timur, 29 desa di Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan 4 desa di Kabupaten Lombok Timur, NTB, pada 2018
  • Mengadvokasi peraturan daerah dan dukungan anggaran bagi partisipasi perempuan di musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) desa , Gender Watch, dan forum multipemangku kepentingan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan, Kabupaten Gresik, Kabupaten Lombok Utara, dan Kabupaten Lombok Timur
  • Mengorganisir Musrenbang Perempuan di Kabupaten Lombok Utara dan Kabupaten Lombok Timur
  • Surat Keputusan Bupati Pangkep, Sulawesi Selatan,  dalam pembentukan jaringan organisasi masyarakat sipil (OMS) dan penyertaan perempuan dalam Tugas Panitia Bersama (TPB).
  • Terlibat dalam advokasi kolektif di Sukabumi, Jawa Barat, yang mempengaruhi pengesahan Peraturan Bupati (Perbup) Sukabumi tentang Sistem Layanan dan Rujukan Terpadu (SLRT) dan Partisipasi Warga dan Organisasi Masyarakat Sipil untuk Perlindungan Sosial.
  • Mendukung program penghidupan (livelihood) bagi perempuan dengan disabilitas lewat organisasi NEKAF di Kupang, Nusa Tenggara Timur, yang juga anggota Sekolah Perempuan.

Sri Mulyati, Kartini asal Jatinegara Kaum

Tinggal di kawasan padat penduduk Jatinegara Kaum, Jakarta, Sri Mulyati atau Mul muncul sebagai pemimpin kelompok perempuan di wilayahnya. Seperti Kartini, Mul giat memperjuangkan hak-hak warga, khususnya perempuan miskin untuk mengakses program perlindungan sosial pemerintah.

Baru-baru ini, Mul dikukuhkan sebagai Ketua Bidang Advokasi Sekolah Perempuan DKI Jakarta. Sekolah Perempuan adalah kelompok perempuan informal bentukan Institut KAPAL Perempuan (Lingkaran Pendidikan Alternatif Untuk Perempuan), tempat perempuan belajar berbagai hal seperti kepemimpinan perempuan, public speaking, gender, isu-isu perempuan, serta cara berpikir kritis tentang isu-isu sosial. KAPAL Perempuan adalah sebuah organisasi perempuan yang didukung oleh Program MAMPU (Kemitraan Australia-Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan).

Bergabung dengan Sekolah Perempuan pada 2014, Mul mulai memahami bahwa perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki dalam segala hal termasuk kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan sosial.

“Awalnya saya takut sekali. Takut berbicara. Takut ditanya. Takut karena saya merasa tidak tahu apa-apa. Saya sembunyi duduk di belakang,” ungkap Mul sambil tertawa.

Setelah itu, ibu empat orang anak ini bertekad untuk belajar. Didukung oleh keluarganya, Mul rutin mengikuti kegiatan-kegiatan Sekolah Perempuan.

“Sejak mengikuti Sekolah Perempuan, saya jadi tahu banyak hal. Saya jadi bisa berpikir kritis melihat isu-isu yang ada di sekitar saya, apalagi tentang perempuan dan program-program pemerintah. Saya sekarang paham aturan yang berlaku dan proses mengakses program-program tersebut,” lanjut Mul.

Sehari-hari berjualan nasi kuning di depan rumahnya, Mul sekarang menjadi sumber informasi dan advokat bagi warga wilayahnya untuk program-program pemerintah. Ia pun dipercaya warga untuk menjadi wakil warga dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) dari tingkat rukun warga (RW) hingga provinsi.

“Saya berusaha selalu menyebarkan informasi akurat tentang program-program pemerintah. Jika ada yang berhak mendapatkan program tersebut tapi tidak mendapatkannya, saya siap membantu agar mereka mendapatkan hak mereka,” tukas Mul.

Berkat advokasi Mul bersama Sekolah Perempuan DKI Jakarta, warga miskin di Kecamatan Jatinegara Kaum, Bidara Cina, dan Rawajati mendapatkan program-program pemerintah seperti Program Keluarga Harapan, Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, dan pelayanan kesehatan bagi warga lanjut usia sesuai hak mereka.

Sebagai Ketua Bidang Advokasi Sekolah Perempuan DKI Jakarta, Mul pun terus bekerjasama dengan pemerintah untuk memantau program-program perlindungan sosial, agar pelayanan publik dapat berkembang lebih baik bagi masyarakat Jakarta.

Memaknai HUT Kemerdekaan RI melalui Partisipasi Perempuan

Pada Rabu, 17 Agustus 2016, Institut Lingkar Pendidikan Alternatif (KAPAL) Perempuan dan mitranya, mengadakan peringatan HUT Kemerdekaan RI ke-71 yang melibatkan para anggota Sekolah Perempuan. Peringatan kemerdekaan ini dirayakan dengan mengadakan sejumlah kegiatan di Jakarta dan juga di Pulau Sabutung, Pangkejene Kepulauan (Pangkep) – Sulawesi Selatan.

Di Jakarta, peringatan 17 Agustus dilaksanakan di halaman Kantor Perpustakaan dan Arsip Jakarta Timur. Sekolah Perempuan Miskin Kota Jakarta di Bantaran Kali Ciliwung dan KAPAL Perempuan melakukan upacara bendera, dilanjutkan dengan pembacaan dan pengiriman puluhan surat kepada Presiden RI yang meminta agar pernikahan anak dihapuskan. Salah satu surat yang berjudul “TEKAD PEREMPUAN”, dibacakan dalam upacara tersebut. Surat ini berisi desakan bagi Kemerdekaan perempuan: “Bebaskan dari perkawinan anak; Sekolahkan anak, jangan kawinkan, demi kualitas hidup perempuan.”

Sementara di Pulau Sabutung Kabupaten Pangkep, Sekolah Perempuan Pulau yang didukung Yayasan Pengkajian Pemberdayaan Masyarakat (YKPM), KAPAL Perempuan dan Program MAMPU, berpartisipasi aktif dalam peringatan 17 Agustus yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Pangkep. Ibu Sahariah, salah satu anggota Sekolah Perempuan Pulau, membacakan teks Pancasila dalam upacara tersebut. Dengan mengenakan seragam pakaian adat Bugis, para anggota Sekolah Perempuan Pulau juga mengikuti upacara dan parade dengan berkeliling pulau, yang dilanjutkan dengan lomba dayung dan perahu.

Sekolah Perempuan adalah kegiatan yang digagas oleh KAPAL Perempuan bersama Program MAMPU, agar perempuan miskin di desa memperoleh akses kepada informasi.

KAPAL Perempuan: OCPAT (Organizational Capacity and Performance Assessment Tools) di Jakarta

Pada 8-9 Mei 2017 yang lalu di Jakarta, KAPAL Perempuan didukung oleh MAMPU, mengadakan evaluasi dengan menggunakan OCPAT (Organizational Capacity and Performance Assessment Tools). OCPAT merupakan suatu metode untuk meningkatkan kemampuan atau kapasitas organisasi melalui proses pembelajaran dan sekaligus membangun tim di dalam organisasi tersebut dengan menilai kapasitas dan kinerja organisasi.

Tujuan utama dari kegiatan pengembangan kapasitas organisasi adalah untuk memperoleh sebuah dampak positif pada kinerja organisasi, yaitu kesuksesan dalam pencapaian misi organisasi melalui program.

Salah satu peserta kegiatan OCPAT Kapal Perempuan ini adalah anggota-anggota Sekolah Perempuan Ciliwung. Dalam kesempatan tersebut, mereka menceritakan pengalaman mereka terkait dengan bagaimana manajemen program memberikan pengaruh pada penerima manfaat, dan membantu perempuan mengakses  program lansia Pemda, serta mengakses dana untuk Perpustakaan Sekolah Perempuan.

“Kampanye Makan Ikan” di Kupang: Tingkatkan Kesehatan dan Gizi Perempuan Indonesia

“Kampanye Makan Ikan” merupakan kampanye yang diusung oleh pemerintah Indonesia untuk meningkatkan konsumsi ikan sebagai sumber protein, demi mencapai tujuan Nawacita yaitu meningkatkan potensi manusia Indonesia. Selain itu, kampanye ini juga bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan negara dari industri perikanan.

Sebagai salah satu bentuk kegiatan “Kampanye Makan Ikan”, Kepala Kantor Staf Presiden (KSP), Teten Masduki, perwakilan dari Bappenas RI dan Kedutaan Besar Australia untuk Indonesia, melakukan kunjungan ke desa nelayan di Kupang, Nusa Tenggara Timur pada 28 April 2017 yang lalu.

Pada kesempatan tersebut, Teten Masduki bertemu dan berdiskusi dengan komunitas nelayan dan kelompok perempuan pengolah ikan di Kupang. Mereka merupakan anggota dari Sekolah Perempuan yang dibina oleh Pondok Pergerakan, salah satu mitra lokal KAPAL Perempuan, yang didukung oleh Program MAMPU.

Destri Handayani, Kepala Sub-direktorat Pemberdayaan Perempuan dan Gender Mainstreaming Bappenas RI, menyatakan bahwa Kampanye Makan Ikan sejalan dengan Program MAMPU untuk meningkatkan kesehatan dan gizi perempuan.

Kepada para perempuan, Teten Masduki menyampaikan bahwa dalam menghadapi persaingan global, diperlukan generasi penerus yang sehat. Salah satunya dengan makan ikan. Oleh karenanya, peran ibu dan perempuan sangat penting untuk meningkatkan konsumsi ikan.

Selain bertemu dan berdiskusi dengan kelompok perempuan, rombongan turut berkunjung ke tempat pelelangan ikan di Pantai Oeba, Kupang untuk melihat dan mendengar langsung bagaimana proses pengelolaan ikan mulai dari penangkapan hingga pengolahan menjadi berbagai produk panganan berbasis ikan.

Para anggota sekolah perempuan dan juga komunitas nelayan sangat antusias dengan kunjungan ini. Salah satu pesan yang mereka sampaikan adalah agar para perempuan terus diberi pelatihan agar perempuan bisa terus maju.

MAMPU Gelar Lokakarya Hasil Temuan Penelitian tentang Aksi Kolektif Perempuan

Program MAMPU bekerja sama dengan lembaga riset Migunani mengadakan Workshop Hasil Temuan Penelitian Aksi Kolektif Perempuan (AKP) di Hotel The Alana, Sleman, Yogyakarta, pada Selasa (21/2). Acara ini bertujuan untuk menjamin mutu penelitian tentang peran 8 mitra MAMPU terpilih; ‘Aisyiyah, Konsorsium Perempuan Sumatra MAMPU (PERMAMPU), Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan), Migrant CARE, Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Institut KAPAL Perempuan dan mitra pekerja rumahan dalam membangun Aksi Kolektif Perempuan (AKP).

Diharapkan melalui workshop tersebut lembaga mitra MAMPU dapat mendiskusikan hasil studi dan memberikan umpan balik untuk perbaikan di masa mendatang.

Acara ini diisi dengan presentasi dari tim Program MAMPU dan Migunani tentang hasil penelitian dan draft laporan di depan mitra terpilih. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa pengorganisasian adalah elemen yang sangat penting dan efektif untuk membuka akses perempuan ke layanan publik. Sebagai bentuk rekomendasi dihasilkan langkah-langkah yang harus diambil untuk membuka akses perempuan ke layanan tersebut, yaitu; membangun kepercayaan diri, menguatkan kepemimpinan dan membuka akses terhadap program pemberdayaan dan pengorganisasian perempuan akar rumput. Ketiga hal ini merupakan komponen penting untuk keberlanjutan capaian dari AKP.