Meningkatkan Status Kesehatan dan Gizi Perempuan

Mengapa isu ini penting

Perempuan Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan dalam mengakses pelayanan kesehatan. Tingkat kematian ibu masih tinggi di angka 305 kematian per 100.000 kelahiran hidup (SUPAS 2015). Kesulitan tersebut mencakup tingginya biaya perawatan, jarak ke fasilitas kesehatan, hingga norma sosial dan budaya yang menghambat pilihan dan kemampuan perempuan untuk mengakses layanan kesehatan.

Indonesia juga menghadapi tingginya angka stunting (kerdil) atau pertumbuhan anak yang terhambat. Sekitar 30% anak Indonesia menderita stunting (RISKESDAS 2018). Beberapa faktor penyebabnya antara lain gizi buruk, kondisi hidup yang buruk, infeksi yang sering terjadi, juga kurangnya sanitasi dan air bersih. Siklus malnutrisi berulang pada ibu muda yang miskin yang mengalami gizi buruk sebelum dan saat hamil, yang meningkatkan komplikasi selama kehamilan dan persalinan, melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah, yang tumbuh menjadi anak yang mengalami stunting.

Pendekatan kami

Pemerintah Indonesia sedang meningkatkan upaya mewujudkan target pembangunan nasional (RPJMN 2015-2019) yang sejalan dengan tujuan ke-2 (kelaparan) dan ke-3 (kesehatan) dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB), lewat layanan kesehatan dan program nutrisi nasional. Namun, masih ada tantangan dalam mengakses layanan kesehatan berkualitas, khususnya bagi perempuan dan perempuan muda yang miskin.

MAMPU mendukung ‘Aisyiyah, PERMAMPU dan Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) untuk meningkatkan akses perempuan terhadap pelayanan kesehatan nasional (JKN) dengan memberdayakan perempuan dan mengembangkan model layanan untuk meningkatkan akses.

Mitra MAMPU memberdayakan perempuan di akar rumput lewat advokasi berbasis-riset, membentuk kelompok perempuan yang menyediakan informasi, mendukung usaha kecil, dan mendirikan credit union atau layanan simpan pinjam, serta mengembangkan forum multipihak untuk melakukan advokasi untuk meningkatkan anggaran pemerintah bagi layanan kesehatan reproduksi.

 

Capaian Area Tematik ini:

Berbekal Pengetahuan, Kader ‘Aisyiyah Melawan Mitos Tanak Lada di Kalimantan Barat

Informasi dapat mengubah perilaku manusia. Hal ini terbukti ketika program dari MAMPU ‘Aisyiyah datang. MAMPU ‘Aisyiyah hadir dengan segudang informasi dan memberikan dampak yang positif bagi kehidupan Ibu‐Ibu di Desa Lumbang, Sambas, Kalimantan Barat, salah satunya adalah Marlina (28 tahun).

Marlina yang merupakan ibu rumah tangga, adalah salah satu dari kader BSA Desa Lumbang yang merasakan dampak positif dari kegiatan MAMPU ‘Aisyiyah. Perempuan yang biasa dipanggil Ana ini, memiliki 2 orang anak yang masih duduk di bangku SD.

Mulanya, Ana tidak pernah bergabung dengan sebuah komunitas dikarenakan tidak ada izin dari sang suami. Namun, kini ia sudah bisa merasakan duduk berdampingan dengan para ibu lainnya, serta berbagi informasi tentang berbagai hal yang bermanfaat. Sejak bulan Maret 2016, Ana mulai bergabung dengan MAMPU ‘Aisyiyah melalui binaan tim kader Desa di Desa Lumbang.

Sebagai kader di komunitas BSA, Ana selalu menyempatkan waktu disela‐sela kesibukannya sebagai ibu rumah tangga untuk mengikuti kegiatan dari program MAMPU ‘Aisyiyah. Program yang berjalan merupakan wadah bagi perempuan usia subur (PUS), khususnya dhuafa Mustadhafin, untuk bersilaturahmi, berbagai informasi tentang kesehatan reproduksi.

Beberapa informasi kesehatan reproduksi diantaranya adalah sosialisasi masalah ASI, Inisiasi Menyusui Dini (IMD), Keluarga Berencana (KB), dan pemeriksaan IVA, Pap Smear, Sadari serta Sadarnis. Tidak hanya sampai di situ, program MAMPU ‘Aisyiyah juga mengangkat isu pemberdayaan ekonomi melalui berkebun sayuran, dan pembinaan keterampilan (life skill) serta pendidikan.

Tak ketinggalan, pendidikan keagamaan juga dilaksanakan di BSA Desa Lumbang, khususnya di komunitas Ibu Ana, yang mengadakan pembinaan belajar baca Al‐Quran. Adapun tujuan dari program ini adalah peningkatan kualitas kesehatan reproduksi, menciptakan komunitas Ta’awun (tolong menolong) dan mewujudkan ekonomi produktif, serta meningkatkan iman dan takwa.

“Semula suami saya tidak memberi izin saya ikut kegiatan ini. Akan tetapi sikapnya mulai berubah setelah melihat dampak positif kegiatan ini bagi saya”, ujar Ana.

Bahkan disampaikan oleh Ana, suaminya sebelumnya sering bersikap agak kasar. Namun, dengan pelan‐pelan Ana memberikan penjelasan terhadap suaminya tentang pengetahuan yang didapatnya dari komunitas tentang kesetaraan gender. Akhirnya suami Ana mulai menyadari dan mendukung Ana, bahkan suaminya kini siap mengantar jika ada kegiatan yang jaraknya jauh dari rumah mereka. Atas dukungan dari sang suami, maka Ana semakin semangat dalam mengikut kegiatan di komunitasnya.

Dampak lain yang dirasakan oleh Ana dari program ini adalah bertambahnya wawasan dan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi. Ana yang dulunya percaya dengan mitos‐mitos yang berkembang pada masyarakat setempat mengenai ASI dan IMD, kini bisa menjelaskan kepada keluarga dan tetangga terdekat tentang pentingnya ASI dan IMD, serta pentingnya asupan gizi bagi Ibu menyusui.

Dengan pengetahuan yang diperolehnya, Ana mematahkan mitos tanak lada yang dipercaya masyarakat. Tanak Lada artinya sambal dengan bahan lada. Tanak Lada berkembang di masyarakat sebagai makanan yang hanya diperbolehkan diberikan kepada ibu setelah melahirkan. Namun kemudian, Ana berbagi informasi dan juga fakta kepada masyarakat tentang pentingnya kesehatan bagi ibu menyusui. Ia berusaha meyakinkan masyarakat agar tidak mempercayai mitos tersebut.

Harapan Ana pada program ini tidak akan berhenti sampai di sini saja. Ana berharap program bisa berlanjut dengan program-program lain yang lebih mendidik, menambahkan wawasan dan pengetahuan, serta memberikan manfaat bagi masyarakat luas.

Ditulis oleh: Rosaleni diambil dari Most Significant Changes Stories

Klinik ‘Lima Ribuan’ Siti Khadijah Beri Layanan Imunisasi, Papsmear dan tes IVA di Bantaeng, Sulawesi Selatan

KLINIK Siti Khadijah binaan ‘Aisyiyah di Kelurahan Bontorita, Bantaeng – Sulawesi Selatan, hanya baru-baru ini saja ramai dikunjungi warga masyarakat yang hendak berobat.

“Sebelumnya sepi, bahkan sempat vakum. Dulu di sini tidak ada dokternya, dan tenaga kesehatan kurang. Jadi pasien pun hanya 1-2 orang saja begitu. Waktu sudah ada dokter, mulai banyak yang datang ke sini. Dokter jadi pemikat!” ujar Bidan Rahmi sambil melirik Dokter Yuli yang duduk tak jauh darinya.

Dokter Yuli memang belum lama bergabung sebagai dokter di Klinik Siti Khadijah. Ia baru saja pindah dari Palu karena mengikuti suaminya yang asli Bantaeng.

“Paling banyak memang pasien anak balita. Banyak juga masalah kolesterol tinggi di sini. Lalu ada juga pemeriksaan kandungan, Pap Smear, dan tes IVA,” ujar Dokter Yuli.

Bersama para bidan di klinik, Dokter Yuli pun membuat jadwal untuk mengunjungi desa-desa di sekitar klinik mereka secara rutin.

“Baru bulan lalu kami mulai keliling untuk sosialisasikan tentang kanker serviks, juga pentingnya melakukan tes IVA dan Pap Smear. Dalam satu minggu, bisa 3 desa yang kami datangi untuk penyuluhan dan pemeriksaan di tempat,” ujar Dokter Yuli .

Selama melakukan penyuluhan, Dokter Yuli dan para bidan klinik biasa membawa LCD untuk menunjukkan slide PowerPoint yang mengilustrasikan bahaya kanker serviks.

“Biasanya sih mereka mau langsung periksa saat itu juga, karena kita menyebutkan dampak negatif dari kanker itu, jadi ramai-ramai mereka mau memeriksakan diri,”Bidan Uni menambahkan. “Paling tantangannya kalau kita ke desa dan mereka sedang musim tanam. Paling yang muncul cuma 5 orang karena semua ke kebun.”

Dari pemeriksaan langsung di desa-desa sekitar Bontorita itulah, Dokter Yuli dan bidan klinik mendapatkan beberapa warga dengan hasil tes IVA positif. Mereka kemudian dianjurkan untuk datang ke klinik dan melakukan Pap Smear.

“Di sini, kalau untuk pasien yang pertama kali datang, tarifnya 10ribu rupiah,” ujar Bidan Rahmi. “Nanti mereka diberikan kartu berobat. Untuk datang selanjutnya, mereka hanya bayar 5ribu rupiah. Jadi cukup murah, memang. Itu pun harga sudah termasuk obat.”

Obat-obatan, sayangnya, masih menjadi masalah sehari-hari bagi klinik kecil ini. “Ya, dukanya kalau obatnya habis,” ujar Dokter Yuli. “Sekarang pun ini baru mau ke Puskesmas lagi ambil obat. Untuk obat kan kita dapat bantuan dari Dinas Kesehatan, jadi kita ambil obat di sana. Kadang obatnya terlambat datang, kadang kita dikasih jumlah terbatas—dijatah. Tidak semua yang kami minta diberikan.”

Lantas apa yang mereka lakukan jika obat habis sementara ada pasien yang membutuhkan? Salah satu pemecahannya adalah dengan membeli obat sendiri di apotek.

“Ya, kalau beli sendiri kan tarifnya berbeda, jauh lebih mahal. Ini pun kalau diberitahukan ke pasien, mereka menolak bayar lebih, karena mereka tahunya ini kan klinik 5ribuan. Ada juga sih yang kemudian mau menambah bayar obatnya, tapi lebih banyak yang menolak. Jadi, ya, biasanya kami nombok,” Dokter Yuli tertawa.

Untuk para bidan klinik, masalah kurangnya jatah vaksin untuk imunisasi juga masih menjadi kendala.

“Kita biasanya dikasih 1 botol saja untuk imunisasi,” ujar Bidan Rahmi. “Itu hanya cukup untuk imunisasi 6 orang. Pasien anak banyak, tapi kita jadi tidak bisa kasih imunisasi di sini. Sebenarnya pernah kita mau dikasih imunisasi TT, tapi kita nggak punya kulkas. Untuk imunisasi itu kita harus punya kulkas sendiri, naruhnya nggak boleh campur dengan kulkas makanan. Tapi, ya, itu, kulkasnya kami tidak punya.”

Ada 5 orang bidan perempuan, 1 orang dokter, dan 3 orang perawat laki-laki yang kini bekerja di Klinik Siti Khadijah binaan Aisyiyah.

“Tapi klinik kita juga belum 24 jam, kalau ada pasien melahirkan, biasanya nggak bisa ditangani di sini, karena rata-rata ibu hamil kan mules-mules tengah malam, dan di sini tidak buka,” kata Bidan Yuyun. “Banyak juga yang masih bersalin dengan dukun.”

“Di dinas ada juga pelatihan untuk dukun, namanya dukun terlatih,” Bidan Rahmi menjelaskan. “Cuma sekarang pun masih nggak boleh kalau dukun yang bantu melahirkan sebenarnya. Kalau urut masih bisa, tapi nggak boleh untuk melahirkan. Kalau ketahuan mereka bisa dihukum. Dukun bisa mendampingi, tapi harus ada bidannya.”

Bidan Rahmi sendiri belajar menjadi bidan karena melihat sepupunya yang bekerja sebagai perawat. “Saya suka melihat dia pakai baju putih-putih,” ujarnya sambil tersenyum. (***)

Bidan Murni Berkeliling Desa Serukan Deteksi Dini Kanker Serviks

Ada sekitar dua puluh perempuan Desa Bonto Maccini di Kecamatan Sinoa, Bantaeng, Sulawesi Selatan yang berkumpul di teras Posyandu siang itu. Kebanyakan berusia 20 – 30an, namun ada juga beberapa orang yang sudah berusia lanjut, atau justru masih remaja. Mereka serius menonton sebuah video mengenai bahaya kanker serviks: gejala-gejalanya, gaya hidup yang berpotensi memicunya, dan pentingnya melakukan deteksi dini terhadap kanker ini lewat tes IVA dan Pap smear. Sesekali, seorang perempuan paruh baya menekan tombol pause dan menjelaskan isi video yang baru saja mereka tonton dalam Bahasa Makassar. Perempuan itu adalah Bidan Murni.

“Kalau di desa kan beda dengan di kota, di sini lebih banyak tantangannya, terutama dari tingkat pemahaman dan pendidikan masyarakatnya. Kalau sedang dijelaskan, kadang saya tidak tahu mereka mengerti apa tidak. Kalau mengerti diam, kalau tidak mengerti juga diam. Jadi biasanya saya tes, saya tanya dan suruh ulang jawabannya, supaya saya tahu mereka sudah paham atau belum. Jadi ya, harus sabar pendekatannya,” terang Bidan Murni.

“Ada juga yang tidak terlalu paham jika dijelaskan dalam Bahasa Indonesia, jadi biasanya saya selingi juga dengan Bahasa Makassar”, tambahnya.

Di usianya yang sudah mendekati akhir empat puluhan, Bidan Murni masih bersemangat berkeliling dari satu desa ke desa lain untuk memberikan penyuluhan mengenai pentingnya melakukan deteksi dini kanker serviks—terutama bagi para perempuan usia subur. Siang itu, ia sedang menjenguk Posyandu di Desa Bonto Maccine. Ia sendiri sebenarnya bertugas sebagai bidan Poskesdes di Desa Bonto Tiro.

“Dulu kan untuk bisa tes IVA harus ke Makassar dulu, saya juga pernah melakukan tes ini di Makassar. Setelah sekian tahun berjalan, barulah ini diperkenalkan ke desa-desa. Pas, ada kegiatan program MAMPU-‘Aisyiyah untuk melatih bidan-bidan bagaimana cara melakukan tes IVA. Setelah itu kita bisa lakukan sosialisasi dan melakukan tes terhadap ibu-ibu yang ada di desa”, kata Bidan Murni.

Bersama bidan-bidan lain dari berbagai Puskesmas di beberapa desa di Kabupaten Bantaeng, Bidan Murni memang telah mendapatkan pelatihan mengenai cara-cara melakukan tes IVA. Pelatihan dilakukan selama 2 hari penuh.

“Ya, sosialisasi itu di awal-awal banyak tantangannya, karena orang belum tahu apa itu kanker serviks. Ada juga suami-suami yang melarang istrinya ikut tes IVA, karena mereka bilang kamu kan tidak sakit, kenapa harus ikut tes? Saya harus jelaskan bahwa justru tes ini untuk tahu, kamu sakit atau tidak. Karena gejala kanker serviks baru terasa benar ketika dia sudah masuk stadium 2,” Bidan Murni menjelaskan. “Kalau sudah diketahui sejak dini kan lebih bisa cepat diobati.”

Gejala kanker serviks biasanya melibatkan pendarahan di luar haid, nyeri saat berhubungan badan, nyeri panggul, atau pendarahan saat usai melakukan hubungan seks.

“Keputihan yang banyak juga bisa jadi gejala,” kata Bidan Murni. “Nah, seperti keputihan itu kan biasanya kalau orang keputihan malah keputihannya saja yang diobati. Padahal bisa jadi ini gejala.”

Mengetahui bahaya kanker serviks dan pentingnya melakukan deteksi dini ternyata tak lantas membuat perempuan-perempuan desa berbondong-bondong mengikuti tes IVA—walaupun di beberapa desa sasaran, biaya tes ini sepenuhnya gratis.

“Ya, mereka pikir tes IVA itu sakit. Karena dengar ada alat yang dimasukkan ke dalam kelamin. Lalu, karena mereka juga harus buka-bukaan memperlihatkan alat kelamin, mereka malu,” ujar Bidan Murni.

“Ini sama saja ketika misalnya mereka mau pasang KB. Maunya hanya suntik terus. Padahal mereka paham alat KB itu bisa dites, mana yang cocok dengan kita. Kalau tidak cocok kan kita bisa sakit kepala, ada nyeri haid, dan keluhan lainnya. Tapi mereka tidak mau pasang spiral atau IUD salah satunya karena untuk itu kan harus buka-bukaan juga, mereka malu.”

Sejauh ini, sudah ada sekitar 40 orang perempuan usia subur yang mengikuti tes IVA di daerah sasaran Bidan Murni.

“Kalau target dari program itu kan 90 orang,” ujarnya.

Jadi ini sudah hampir 50%-nya.”

Agar lebih banyak lagi perempuan melakukan deteksi dini kanker serviks lewat tes IVA, Bidan Murni pun mendorong perempuan-perempuan yang telah melakukan tes untuk bercerita tentang pengalaman mereka dengan kawan-kawannya.

“Nanti kan yang sudah pernah tes akan cerita, oh ternyata tidak sakit, dan tidak apa-apa buka alat kelamin karena kan yang lihat bidan saja. Jadi dari situ mereka sudah mulai mau tes, walaupun terkadang masih malu kalau datang sendiri, jadi harus berdua-dua, maunya ditemani oleh kawannya.”

Syamsiah, Tokoh Masyarakat dari ‘Aisyiyah, Dimuat di Kertas Putih Kebijakan Luar Negeri Australia

Sebagai perempuan asal Desa Kaili di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, yang dahulu pemalu, Syamsiah telah berkembang pesat. Kini, ia dikenal luas di lingkungannya sebagai kader ‘Aisyiyah yang aktif mengampanyekan isu-isu kesehatan perempuan. Cerita Syamsiah turut menjadi bagian dari Kertas Putih Kebijakan Luar Negeri 2017, yang diluncurkan 23 November lalu.

“Saya sudah lama ingin mendedikasikan hidup saya untuk melayani masyarakat,” kenang Syamsiah, sebagaimana dikutip dalam Kertas Putih. “Kemudian Program MAMPU dimulai. Lewat MAMPU, saya punya kesempatan untuk melakukan ini,” tambah Syamsiah, yang pernah mengikuti pelatihan kepemimpinan yang didukung oleh MAMPU.

Pada mulanya, Syamsiah kerap harus menghadapi penolakaan saat datang dari pintu ke pintu untuk meningkatkan kesadaran seputar isu-isu kesehatan reproduksi, termasuk deteksi dini kanker. Sekarang, ia tak hanya telah beroleh dukungan sang suami untuk berkegiatan di masyarakat. Syamsiah juga pernah berpartisipasi dalam musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) di tingkat desa dan kabupaten, untuk mewakili warga miskin dari desanya.

Diiringi rasa percaya diri dan semangat kepemimpinan yang terus berkembang, Syamsiah terus melangkah maju. Dalam wawancaranya dengan MAMPU tahun lalu, ia mengungkapkan bahwa banyak perempuan usia subur (PUS) yang kini tertarik untuk menjadi anggota Balai Sakinah ‘Aisyiyah. Mereka pun dengan senang hati berbagi pengetahuan baru ke lingkungan sekitar, termasuk para ayah yang bangga karena anaknya menikah dini.

“Mereka bisa berkata, ‘Di kampung saya tidak begitu, karena sudah ada sosialisasi. Kalau menikah dini, nanti bisa merusak organ tubuh anak kami,” ulang Syamsiah.

Pengalaman Syamsiah dalam mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan menjadi wujud semangat untuk meningkatkan status kesehatan dan gizi perempuan, salah satu area tematik MAMPU. Dalam Kertas Putih Kebijakan Luar Negeri 2017, Syamsiah tampil di antara mereka yang bermitra dengan program pendampingan pembangunan Australia untuk membantu masyarakat menjadi lebih sejahtera dan tentram.

Kertas Putih 2017 merupakan dokumen internasional yang komprehensif tentang kebijakan luar negeri Australia dalam 14 tahun terakhir. Pemberdayaan perempuan merupakan salah satu prioritas utamanya. Salah satu inisiatif pemberdayaan perempuan yang dilakukan adalah program pembangunan yang bekerja dengan mitra untuk mendorong kepemimpinan perempuan di masyarakat dan parlemen.

Baca cerita Syamsiah dalam Kertas Putih Kebijakan Luar Negeri 2017 selengkapnya (dalam Bahasa Inggris) di sini.

‘Aisyiyah Cianjur Kawal Isu Kesehatan Reproduksi di Rencana Kerja Pemerintah Desa

Berbagai risiko dalam kesehatan reproduksi (kespro) bagi perempuan, termasuk kanker payudara dan serviks, menjadikan upaya peningkatan kesadaran tentang hal ini sebagai salah satu fokus kerja ‘Aisyiyah di seluruh Indonesia. Langkah tersebut turut ditempuh Pimpinan Daerah ‘Aisyiyah (PDA) Cianjur melalui program Kemitraan Australia-Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan (MAMPU)-‘Aisyiyah, Rabu (6/9) lalu.

Pertemuan antara kader ‘Aisyiyah dengan pemangku kepentingan dari Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur, tersebut, menghasilkan beberapa usulan.

“Usulan yang diterima antara lain akan memasukkan kespro ke Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Desa 2018,” ungkap Titin Suastini dari PDA Cianjur. Titin melanjutkan bahwa kespro perlu hadir dalam kebijakan desa, agar dapat menjadi menjadi isu penting dan memberi dampak di masyarakat. Selama ini, Titin menilai, isu kespro masih dianggap sebagai isu minoritas.

Setelah menjadikan Kecamatan Ciwalen sebagai proyek percontohan untuk kebijakan desa terkait kespro, PDA Cianjur tengah melakukan pendekatan agar langkah ini bisa direplikasi di desa-desa lainnya.

“Alhamdulillah, dari sebelas desa lain, lima di antaranya ingin mengikuti jejak Ciwalen membentuk Perdes kespro,” papar Titin. Menindaklanjuti hal tersebut, tim MAMPU-‘Aisyiyah Cianjur merencanakan kunjungan ke desa-desa pada bulan September, untuk memperkenalkan kespro atas permintaan kepala desa selaku pengambil kebijakan.

Kanker payudara dan serviks termasuk penyebab kematian perempuan terbesar di Indonesia. Data World Health Organization (WHO) tahun 2014 mencatat, hampir 49 ribu perempuan didiagnosa mengalami kanker payudara, dan lebih dari 20 ribu perempuan mengalami kanker serviks. ‘Aisyiyah bermitra dengan Program MAMPU dalam mendorong peningkatan pelayanan dan akses kespro dengan pendekatan hak-hak perempuan bagi kelompok dhuafa mustadh’afin.

(Laporan oleh Suri Putri Utami)

Mahasiswa Universitas Sydney Kunjungi Mitra MAMPU di Sulawesi Selatan

Setelah melakukan kunjungan lapangan di daerah Jakarta, Mahasiswa Universitas Sydney peserta program Sydney South East Asia Centre (SSEAC) berkunjung ke beberapa mitra MAMPU di wilayah Sulawesi Selatan dari tanggal 17-22 Juli 2016.

Kehadiran mahasiswa ini adalah untuk menelaah Program MAMPU terkait dengan penguatan sumberdaya perempuan dari sisi sosial dan ekonomi, termasuk kebijakan yang pro kemiskinan dan pro gender.

Selama di Sulawesi Selatan, para mahasiswa Universitas Sydney berpencar dan mengunjungi mitra dan sub-mitra MAMPU seperti BaKTI, FPMP, YKPM, Koalisi Perempuan Indonesia, KAPAL Perempuan, LMP2EM dan Maupe, yang berada di empat daerah yaitu Kota Makassar, Kota Pare-pare, Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkajene Kepulauan.

Isu-isu yang dipelajari mahasiswa dalam kunjungan lapangan tersebut adalah penguatan DPRD dalam penganggaran pemerintah yang “pro poor dan pro gender”, isu Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), isu keberlanjutan lembaga NGO serta isu pengorganisasian kelompok masyarakat dan advokasi kebijakan.

Di Kota Makassar, Michelle, salah satu peserta program SSEAC, mempelajari strategi keberlanjutan sebuah organisasi melalui BaKTI, sedangkan Bridget belajar tentang sekolah politik perempuan Maupe dan bertemu DPRD dan Dinas Kesehatan di Maros. Adapun Margo dan Maddy mengunjungi Rumah Penyintas Kekerasan di Balai Perempuan Macini Sombala, Koalisi Perempuan Indonesia. Serta Piyusha, Ciaan dan Lies berkunjung ke Pulau Sabutung di Pangkajene untuk melihat langsung aktivitas Sekolah Perempuan – KAPAL Perempuan.

Deputy Director SSEAC University of Sydney Dr Elisabeth Kramer menjelaskan, “Setelah melakukan kunjungan lapangan dan berinteraksi langsung dengan masyarakat dan mitra dampingan MAMPU di Jakarta dan Sulawesi Selatan, para mahasiswa ditugaskan membuat laporan tertulis sesuai dengan bidang tugasnya dan mempresentasikannya sebelum kembali ke Australia”.

Dilaporkan oleh: Lusia Palulungan (BaKTI)

Hearing dan Penyerahan Draft Ranperda di DPRD Bantaeng, Sulawesi Selatan

Pada 2 Juni 2017, Tim Penyusun Draft Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) terkait “Penanggulangan Kemiskinan dan Perlindungan Sosial bagi Warga Miskin dan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial” di Kabupaten Bantaeng, resmi menyerahkan draft kepada ketua DPRD Bantaeng.

Penyerahan sekaligus hearing ke DPRD Bantaeng, Sulawesi Selatan ini diikuti oleh berbagai elemen SKPD dan organisasi masyarakat sipil. KPI dan ‘Aisyiyah turut menjadi anggota dari tim penyusun draft Ranperda tersebut.

Diharapkan dengan adanya draft Ranperda ini, dapat mempercepat proses pembahasan dan pengesahan ranperda penanggulangan kemiskinan dan perlindungan sosial di Bantaeng.

Dilaporkan oleh: Dewi Damayanti (Partner Engagement Officer – Program MAMPU)

Finalisasi Ranperda Penanggulangan Kemiskinan dan Perlindungan Sosial di Bantaeng

Pada Sabtu, 6 Mei 2017 di Bantaeng, Sulawesi Selatan, dilaksanakan diskusi finalisasi Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Penanggulangan Kemiskinan dan Perlindungan Sosial bagi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial.

Dalam kegiatan ini, dua mitra MAMPU yaitu KPI (Koalisi Perempuan Indonesia) dan ‘Aisyiyah Bantaeng, menjadi anggota Tim Perumus ranperda tersebut.

Anggota Tim Perumus lainnya terdiri dari Dinas Sosial, Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa,  Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) Kabupaten Bantaeng, dan Unit Pelayanan Terpadu Sistem Penanganan Masalah Kesejahteraan Sosial (UPT SPMKS) Sipakatau Bantaeng yang merupakan pelaksana Sistem Layanan dan Rujukan Terpadu (SLRT) di Bantaeng, serta dari Bagian Hukum DPRD Bantaeng.

I am a Village Midwife, and this is My Struggle

My name is Elik Kurniawati, I am a village midwife who for more than 12 years has been assigned in Sambigede Village, Blitar, East Java. As a midwife, I have a wish to improve the potential and independence of women, mainly mothers of childbearing age in our village.

‘Aisyiyah MAMPU somehow answered my wish through its activities since October 2014. I never joined any of ‘Aisyiyah activities until I was invited by Jariyah, a fellow midwife. At that time, Jariyah was assigned for Binangun Village, she was looking for a motivator for MAMPU ‘Aisyiyah program which actually is congenial with the work I am doing right now.

I accepted Jariyah’s offer after I learned about the goals and objectives of the program. I agreed to become a motivator for the Balai Sakinah ‘Aisyiyah/ ‘Aisyiyah Women’s Group (BSA) activities can be done hand in hand with the government’s program, such as Posyandu (integrated health post). MAMPU ‘Aisyiyah program through BSA also creates an opportunity to bringing up many more potential cadres in advancing their village forward. Adding to that, most of the cadres and members of BSA are mothers of childbearing age who are prone to various health risks, particularly reproductive health disorder, thus they need assistance from a midwife, just as I’ve been doing in Sambigede Village until now.

I gained a lot of knowledge which strengthens me as a midwife and a motivator. Through this, I have learned to effectively communicate information on health to women. Not only that, now I ould actively contribute in encouraging this village’s creative economic and innovation.

One memorable moment was when we managed to arrange the Visual Inspection with Acetic Acid (VIA) test at Puskesmas (public health center). What I cherished the most was the participation rate of women to check themselves was very high. “Alhamdulillah, at that time each BSA managed to encourage their members to take the VIA test.” However, it wasn’t easy to accomplish. We gave our best effort to convince the women, who at that time, were too shy to follow the procedure of VIA test.

We’ve been trying various approaches to gain participants and to convince them to take the VIA test, we also worked together with PKK (family welfare organisation) to spread the word the importance of the VIA test. Despite all of our efforts, there is one significant approach that worked, which is storytelling. We asked one of the BSA members who has taken the test to tell their experience to the other members who hasn’t. The experienced member also told the other members that they don’t need to be embarrassed or shy because the ones who will do the examination are female midwives. Alhamdulillah, they slowly gained the courage to take the test. This achievement is a proof of the great work that our motivators’ and cadres’ are doing.

Not only I gained knowledge on reproductive health, I also gained new skills, ability, and courage through this. I saw highly dedicated women who experienced changes within them and influenced changes in the society.

I thanked God for the good return of all our work all along. Since the creation of BSA through MAMPU ‘Aisyiyah, most women in this neighborhood who previously had different religious perspective, now feel sympathetic towards ‘Aisyiyah program, a similar situation happened to the government of Sambigede. The local government gave us their trust and appreciation to MAMPU ‘Aisyiyah program by managing a fund allocation for Pap smear test implementation for up to 70 women. Thanks to MAMPU ‘Aisyiyah in our village, not only me but also the other motivators, cadres, and the people in Sambigede felt positive changes.

Thank you MAMPU and Aisyiyah!

 

Written by: Elik Kurniawati taken from Most Significant Change stories