Brown Bag Lunch: Mengakhiri Kekerasan terhadap Perempuan

Beberapa studi menemukan bahwa angka Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) yang terjadi di Indonesia masih tergolong tinggi. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat bahwa terjadi 348.446 kasus KtP sepanjang 2017. Untuk meningkatkan akses perempuan miskin Indonesia terhadap layanan publik, utamanya layanan perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan, Program MAMPU mendorong pemberdayaan perempuan miskin untuk memperjuangkan kualitas, kuantitas, dan cakupan layanan publik yang menjadi haknya, dalam rangka mewujudkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.

Apa saja tantangan yang dihadapi oleh perempuan dalam mengakses layanan perlindungan korban kekerasan? Bagaimana faktor-faktor di lingkungan sekitar mempengaruhi akses perempuan terhadap layanan tersebut? Bagaimana strategi pemerintah daerah dalam menanggulangi kasus dan mencegah kekerasan terhadap perempuan?

Program MAMPU mengundang Anda untuk menghadiri sesi diskusi bulanan Program MAMPU Brown Bag Lunch berjudul “Mengakhiri Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia”.

 

Diskusi ini akan diselenggarakan pada:

Hari/Tanggal   : Kamis, 31 Januari 2019

Waktu              : 09.30 – 12.00 WIB

Tempat            : Kantor MAMPU-Cowater

Atrium Setiabudi lt. 3 suite 306

Jalan H.R. Rasuna Said Kav. 62, Kec. Setiabudi,

Kuningan, Jakarta Selatan

Segera daftarkan dirimu di bit.ly/BBL-RSVP 

Sampai jumpa!

MAMPU-YKP: Stop Kekerasan terhadap Perempuan Sejak Dini

Selasa, 11 Desember 2018, MAMPU bersama Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) menyelenggarakan acara diskusi rutin, Brown Bag Lunch (BBL) yang mengangkat tema “Jangan Tutup Mata: Stop Kekerasan terhadap Perempuan”, khususnya dalam berpacaran. Diskusi yang dipandu oleh Intan Febriani (Program MAMPU), diisi oleh pembicara Nanda Dwinta (YKP) dan M. Rezeky (Aliansi Laki-Laki Baru) ini berlangsung di Ruang Audio Visual SMAN 54 Jakarta, dan dihadiri oleh 70 siswa dan siswa kelas X dan XI.

Nanda menekankan pentingnya bersuara dan menjaga kesetaraan dalam relasi antara perempuan dan laki-laki.

Pentingnya menjaga kesetaraan tersebut dari segala segi, termasuk bagaimana perempuan juga berhak atas kesempatan menempuh pendidikan yang sama tingginya dengan laki-laki. Sedangkan dari sisi laki-laki, Rezeky menyampaikan bahwa dalam menjaga relasi yang sehat diperlukan pikiran yang lebih terbuka, dan membiasakan diri menghargai orang lain.

 

 

Perempuan korban kekerasan seringkali menghadapi kesulitan dalam mengakses layanan hukum dan medis secara menyeluruh akibat stigma yang cenderung menepikan korban. Tidak hanya itu, perempuan korban kekerasan juga menghadapi sanksi sosial, baik dari dari keluarga, maupun lingkungan sekitar.

Ruslita, Tak Goyah Diterpa Ancaman

Ruslita Makauntung, pendamping korban kasus kekerasan terhadap perempuan dari Posko Lestari di Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara.

 

Ketika menjadi korban kekerasan, ke mana perempuan bisa mengadu? Di Desa Arakan, Kecamatan Tatapaan, Kabupaten Minahasa Selatan, pos komando (Posko) Lestari adalah tempat yang dituju. Di sana pulalah Ruslita Makauntung giat berperan menciptakan ruang aman untuk melawan kekerasan terhadap perempuan.

Posko Lestari hadir di Desa Arakan sejak Desember 2014, tetapi kiprah Ruslita dalam mendampingi korban kekerasan terhadap perempuan sudah dimulai jauh sebelumnya. Pengalaman Ruslita berhadapan dengan kasus kekerasan seksual yang menimpa dua keponakannya pada 2005 membuatnya bertekad mendalami bidang hukum, terutama terkait isu perempuan.

Ruslita bergabung dengan Swara Parangpuan, bagian dari Forum Pengada Layanan, mitra program MAMPU untuk tema pengurangan kekerasan terhadap perempuan, pada 2011. Setelah mengikuti sejumlah pelatihan di Swara Parangpuan, Ruslita mampu menangani kasus-kasus. Semangatnya membesar sejak Posko Lestari berdiri atas inisiatif Swara Parangpuan, dan kemudian mengantungi Surat Keputusan Kepala Desa.

Menurut ibu dua anak ini, sejak berdirinya Posko Lestari, kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) jauh berkurang. Selain menyediakan pendampingan bagi korban, para aktivis di posko rajin melakukan sosialisasi peraturan-peraturan tentang perlindungan perempuan dan anak. Para lelaki di desa kini menyadari, ada risiko hukum yang mengintai ketika mereka melakukan kekerasan pada anggota keluarga perempuan, seperti anak dan istri.

Meski begitu, kata perempuan berusia 49 tahun ini, bukan tak ada kaum laki-laki yang menentang kegiatan posko. Beberapa kali para aktivis dihadang orang-orang yang merasa terganggu.

“Jika mereka mabuk, kami lari saja. Tapi kalau tidak mabuk, kami hadapi. Meskipun datang dengan bawa parang, biasanya mereka curhat,” cerita Ruslita.

 

Melampaui Tentangan dan Tantangan

Masih segar dalam ingatan Ruslita, bagaimana mulanya ia aktif mendampingi korban kekerasan terhadap perempuan.

“‘Ma Ade, bantu saya, Ma Ade, saya sudah malu,’” kenang Ruslita dengan getir, mengingat kata-kata keponakannya, yang saat itu berusia 13 tahun. Tak hanya gadis itu yang mengalami kekerasan seksual  pada 2005, namun juga sang adik, yang masih berusia lima tahun.

Ruslita dan suami pun turun tangan, membawa pulang kedua keponakan mereka dan melaporkan kejadian itu ke polisi. Pelaku pun segera ditahan dan diproses ke jalur hukum. Namun, perkara belum selesai di sana. Ternyata, keluarga pelaku memberi uang berjumlah Rp2,5 juta kepada orang tua korban.

“Saya menangis karena ibu dan bapak mereka malah tak bantu. Mereka marah karena saya tetap bersikeras untuk maju sidang,” tutur Ruslita.

Meski saat itu ia merasa buta hukum, permohonan sang keponakan meneguhkan perempuan yang sehari-harinya berjualan sembako dan memproduksi olahan ikan ini. Ia tak gentar menghadapi tekanan sepanjang proses hukum berlangsung, termasuk saat keluarga pelaku menawarinya uang Rp5 juta agar ia mundur. Akhirnya, pelaku dihukum 10 tahun penjara.

Kini, dengan adanya Posko Lestari, Ruslita dan rekan-rekannya memiliki ruang untuk memberikan pendampingan yang lebih luas dan beragam. Ketika terjadi kasus pemerkosaan, para aktivis posko akan langsung mendatangi korban tanpa diminta. Sementara itu, untuk kasus KDRT, mereka menunggu laporan korban.

Saat KDRT terjadi dan sang istri melapor, ada beberapa solusi yang mereka tawarkan. Jika sudah tidak mau rukun, lebih baik berpisah. Tetapi kalau masih bisa dipertahankan, mereka harus berubah.

“Setelah itu, mereka bikin surat pernyataan. Kalau tidak mau, kami akan serahkan pelaku ke Polres,” kata Ruslita.

Bagaimanapun, Ruslita mengakui, pendampingan yang dilakukannya lewat posko tak selalu mulus. Kerap kali keluarga awalnya menggebu-gebu melaporkan pelaku, tapi begitu proses hukum berjalan, mereka malah mengendur dengan berbagai alasan, termasuk kekhawatiran soal uang untuk membayar pendamping kasus dari posko.

Ia juga pernah mengalami dilema, ketika yang menjadi pelaku kekerasan adalah keponakannya sendiri. Meski dicecar karena dianggap tidak berpihak pada keluarga sendiri, Ruslita tetap teguh menempuh jalur hukum, yang berujung pada vonis kurungan bagi pelaku.

“Saya tetap pada prinsip saya, yaitu harus berpihak pada korban,” pungkas Ruslita, tegas.

Dalam Rangka 16 HAKtP, Program MAMPU Adakan Kampanye #JanganTutupMata di Media Sosial

1 dari 3 perempuan usia 15-64 tahun di Indonesia pernah mengalami kekerasan, baik secara fisik maupun seksual.

Hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN), Badan Pusat Statistik, pada 2016 itu selaras dengan data internasional Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Angka ini menunjukkan betapa kekerasan terhadap perempuan merupakan sebuah isu global, dan kita semua perlu bergerak bersama demi mengatasinya.

Untuk itulah, Kampanye 16 Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKtP) dirayakan di seluruh dunia setiap tahun.

Kampanye 16 Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKtP) mulanya merupakan inisiatif Women’s Global Leadership Institute, yang diadakan oleh Center for Women’s Global Leadership pada 1991. Setiap tahunnya, kampanye dimulai pada 25 November, yang diperingati sebagai Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, dan berakhir pada 10 Desember, Hari Hak Asasi Manusia. Di Indonesia, Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan) menjadi inisiator pelaksanaannya sejak 2003.

Tahun ini, dalam rangka kampanye 16 HAKtP, Program MAMPU mengajak Anda untuk turut menyebarluaskan pesan-pesan dan memulai pembicaraan tentang antikekerasan terhadap perempuan di media sosial (Twitter, Instagram, Facebook, dan lainnya), dan tidak lagi memandang isu ini dengan sebelah mata. Mari bersama-sama #JanganTutupMata lewat #MAMPUPhotoChallenge dan #MAMPUVideoChallenge! Ini caranya:

#MAMPUPhotoChallenge:

  • Selama periode 16 HAKtP (25 November-10 Desember), unggah fotomu dengan pose satu tangan menutupi sebelah wajah
  • Beri caption berupa fakta atau opinimu tentang kekerasan terhadap perempuan
  • Sertakan tagar #JanganTutupMata #MAMPUPhotoChallenge #GerakBersama #16HAKtP
  • Agar fotomu dapat tampil di linimasa Twitter kami, mention @ProgramMAMPU dan tiga kawanmu untuk mengikuti tantangan ini
  • Contoh tweet: “#JanganTutupMata! 1 dari 3 perempuan usia 15-64 tahun di Indonesia pernah mengalami kekerasan. Yuk, #gerakbersama cegah dan tangani kekerasan terhadap perempuan. (mention tiga temanmu) ikutan juga, ya! #MAMPUPhotoChallenge #16HAKtP @ProgramMAMPU”

#MAMPUVideoChallenge:

  • Selama periode 16 HAKtP (25 November-10 Desember), unggah video berdurasi maksimal satu menit (dapat menampilkan diri sendiri ataupun hasil wawancara dengan warga masyarakat) untuk menjawab dua pertanyaan ini:
    1. Menurutmu, kekerasan terhadap perempuan itu seperti apa?
    2. Bagaimana cara efektif mencegah maupun mengatasi kekerasan terhadap perempuan?
  • Sertakan tagar #JanganTutupMata #MAMPUVideoChallenge #GerakBersama #16HAKtP
  • Agar videomu dapat tampil di linimasa Twitter kami, mention @ProgramMAMPU di Twitter dan tiga kawanmu untuk mengikuti tantangan ini
  • Contoh tweet: “Kekerasan terhadap perempuan rupa-rupa bentuknya. Bagaimana mengatasinya? Ini pendapat saya, kalau kata (mention tiga temanmu) gimana? Saatnya #JanganTutupMata #MAMPUVideoChallenge @ProgramMAMPU #GerakBersama”

 

Yuk, ikutan!

Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan)

KOMNAS Perempuan

Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan) didirikan pada 1998 sebagai sebuah lembaga nasional independen untuk melindungi hak-hak perempuan, termasuk mencegah dan mengurangi kekerasan terhadap perempuan. Hal ini dilakukan dengan cara membangkitkan kesadaran publik, mengumpulkan data dan melaporkan kasus kekerasan terhadap perempuan, mengkaji kebijakan, serta memfasilitasi kerja sama dan jejaring untuk mengurangi kekerasan terhadap perempuan.

KOMNAS Perempuan mendirikan Forum Pengada Layanan (FPL), menggabungkan jaringan yang terdiri dari 112 organisasi di 32 provinsi di Indonesia di garis depan layanan untuk korban kekerasan. MAMPU mendukung 20 anggota FPL, yang bekerja di 15 provinsi, 31 kabupaten/kota, dan 102 desa/kelurahan.

Pendekatan yang dikembangkan sebagai mitra MAMPU:

  • Bersama FPL mengelola dan memperbaharui basis data terkait kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia
  • Melakukan advokasi kolektif bersama organisasi masyarakat sipil nasional dan lokal dalam isu kesetaraan gender.

Capaian dalam Program MAMPU:

Yayasan Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI)

Yayasan Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI)

Yayasan Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI) mengumpulkan dan mendistribusikan program bantuan pembangunan untuk Indonesia Timur serta mendukung kolaborasi tokoh dan inisiatif lokal sejak 2009. Program MAMPU mendukung kerja-kerja BaKTI dalam mengurangi kekerasan terhadap perempuan dengan meningkatkan kerja sama dengan parlemen di 85 desa/kelurahan di 7 kabupaten/kota di 5 provinsi di Indonesia.

 

Program organisasi sebagai mitra MAMPU:

  • Membentuk Kelompok Konstituen sebagai organisasi masyarakat akar rumput yang mengadvokasi hak-hak perempuan, termasuk menghapus kekerasan terhadap perempuan
  • Mengembangkan model ‘Reses Partisipatif’ yang mempertemukan Kelompok Konstituen dengan anggota parlemen daerah untuk memastikan isu-isu penting masuk dalam kebijakan, legislasi, dan perencanaan dan anggaran pembangunan daerah.

Capaian dalam program MAMPU:

  • Panduan untuk Reses Partisipatif telah dikompilasi dan diimplementasikan oleh 26 anggota parlemen di 7 kabupaten/kota.
  • Mendampingi Forum Pengada Layanan (FPL) untuk mereplikasi Reses Partisipatif di Kabupaten Sleman, Kota Bengkulu dan Kabupaten Minahasa Selatan untuk meningkatkan layanan bagi korban kekerasan, termasuk perempuan dan anak dengan disabilitas.
  • Lewat kerja sama erat dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) di Kota Maros, Sulawesi Selatan, berkontribusi dalam meningkatkan layanan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A)
  • Mendirikan Klinik Perencanaan dan Anggaran Responsif-Gender untuk meninjau dokumen perencanaan dan anggaran pemerintah.
  • Mengembangkan Layanan Berbasis-Komunitas (LBK) di 135 desa wilayah kerja BaKTI.

Forum Pengada Layanan (FPL)

Forum Pengada Layanan

Forum Pengada Layanan (FPL) adalah jejaring 112 organisasi di 32 provinsi di Indonesia yang menyediakan layanan penanganan kasus, perujukan, bantuan hukum dan crisis centre bagi perempuan korban kekerasan.

FPL terbagi atas tiga daerah untuk mengoptimalkan kerja-kerja mereka untuk menangani perempuan korban, yaitu Regional Barat (Sumatra), Regional Tengah (Jawa, Bali, Kalimantan, dan Nusa Tenggara Barat), dan Regional Timur (Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, Maluku, dan Papua). Pembagian daerah ini dilakukan untuk memfasilitasi koordinasi, saling mendukung, mengembangkan keanggotaan, menyediakan layanan, dan membangun kerja sama antaranggota jaringan.

MAMPU mendukung 20 FPL yang bekerja di 15 provinsi, 31 kabupaten/kota, dan 102 desa/kelurahan.

Pendekatan yang dikembangkan sebagai mitra MAMPU:

  • Melakukan advokasi untuk pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS)
  • Membentuk kelompok perempuan akar rumput untuk membangun kapasitas kolektif mereka untuk mengadvokasi peraturan dan anggaran daerah untuk meningkatkan layanan bagi perempuan korban kekerasan, dan mengembangkan kapasitas mereka sebagai paralegal berbasis-komunitas.
  • Mengembangkan basis data daring (online database) untuk meningkatkan pencatatan dan penanganan kasus kekerasan oleh jejaring FPL, serta menguatkan bukti untuk mendukung upaya advokasi di tingkat daerah dan pusat.
  • Mendukung Sistem Peradilan Pidana Terintegrasi untuk Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP) di wilayah-wilayah kerja FPL.
  • Melakukan advokasi perbaikan layanan pemerintah bagi perempuan korban kekerasan melalui Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) di wilayah-wilayah kerja FPL.

Capaian dalam Program MAMPU:

  • RUU PKS telah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sejak 2016.
  • Advokasi untuk Peraturan Daerah No.9 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan dari Kekerasan di Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Peraturan Daerah No.12 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan dan Anak dari Kekerasan di Kota Ambon.
  • Mendukung uji coba Sistem Peradilan Pidana Terintegrasi untuk Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP) di Jawa Tengah pada 2015.
  • Memberdayakan dan melatih lebih dari 700 perempuan sebagai paralegal berbasis-komunitas. Hal ini memungkinkan FPL menjangkau dan mendampingi lebih dari 2.000 kasus kekerasan terhadap perempuan pada 2018.
  • Mendukung revitalisasi P2TP2A di 20 kabupaten/kota dengan melakukan percontohan Rencana Strategi dan Standar Operasional Prosedur (SOP).
  • Mendorong terintegrasinya P2TP2A dengan Sistem Layanan dan Rujukan Terpadu (SLRT), yang telah membantu korban kekerasan mengakses layanan dan program perlindungan sosial pemerintah
  • Advokasi untuk replikasi SPPT-PKKTP lewat empat Nota Kesepahaman (MoU) tingkat provinsi antara gubernur, kepolisian, asosiasi pengacara, dan departemen kehakiman di Provinsi Maluku, Sulawesi Utara, Jawa Tengah, dan Kalimantan
  • Center for Improving Qualified Activity in Life of People with Disabilities (CIQAL), anggota FPL, menyediakan layanan untuk korban kekerasan termasuk perempuan dan anak dengan disabilitas di dua desa di dua distrik di Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta. Di Kabupaten Sleman, CIQAL telah:
    • mengadvokasi Kepala Desa Sariharjo untuk mendanai Forum Keluarga Difabel Sariharjo (FKDS) untuk meningkatkan kesadaran dan aksesibilitas layanan bagi korban kekerasan dengan disabilitas
    • melakukan pemetaan hambatan inklusi disabilitas dengan FKDS dan mengadakan konsultasi publik dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kab. Sleman, menghadirkan 70 orang dengan disabilitas dari 5 desa untuk mengadvokasi peraturan dan anggaran untuk mendukung proposal tersebut.

Mengurangi Kekerasan terhadap Perempuan

Mengapa isu ini penting

Kekerasan terhadap perempuan berakar dari ketidakseimbangan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan. Perempuan korban kekerasan menghadapi berbagai tantangan dalam pemenuhan hak mereka atas keamanan, pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan. Dalam survei Badan Pusat Statistik pada 2017, satu dari tiga perempuan Indonesia pernah mengalami kekerasan dalam hidupnya, terutama yang dilakukan oleh pasangan atau orang yang dekat dengan mereka.

Angka kasus kekerasan pada perempuan terus meningkat. Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan) mencatat 348,446 kasus pada 2017, 312 kasus di antaranya adalah pernikahan usia dini. Namun, hukum yang mengatur kekerasan seksual masih memberikan perlindungan yang terbatas bagi perempuan. Akibatnya, perempuan korban kekerasan terus menghadapi diskriminasi, disalahkan atas kekerasan yang terjadi pada mereka (re-viktimisasi), dan kesulitan mengakses layanan dan dukungan yang mereka butuhkan.

 

Pendekatan kami

Mengakhiri kekerasan pada perempuan adalah prioritas Pemerintah Indonesia, seperti tercantum dalam Nawa Cita dan rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN 2015-2019). Hal ini sejalan dengan tujuan ke-5 dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) untuk mengakhiri segala jenis diskriminasi terhadap perempuan di mana pun.

MAMPU mendukung KOMNAS Perempuan, Forum Pengada Layanan (FPL) dan Yayasan Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI) untuk bekerja sama dengan pemerintah dan parlemen di tingkat lokal dan nasional untuk membuat kebijakan, program, dan sistem yang dapat melindungi perempuan dari kekerasan.

Para Mitra MAMPU menghubungkan perempuan pada layanan yang mereka butuhkan ketika dihadapkan pada kekerasan. Hal ini dilakukan dengan membentuk kelompok perempuan, melatih perempuan dalam penjangkauan dan pengorganisasian masyarakat sebagai paralegal, melakukan advokasi dan kampanye publik, menyediakan penanganan kasus, pendampingan hukum, dan pengumpulan data untuk mengadvokasi perlindungan hukum yang lebih kuat.

Salah satu upaya advokasi ini adalah mengawal pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), yang menjadi bagian dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas sejak 2016.

Mitra MAMPU bekerja dengan pemerintah untuk mengembangkan dan menguji model Sistem Peradilan Pidana Terpadu dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan (SPPT-PKKTP) untuk meningkatkan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan di Jawa Tengah.

Mitra MAMPU juga telah mengembangkan inisiatif ‘Reses Partisipatif’ yang membawa kelompok konstituen ikut serta dalam konsultasi publik bersama anggota parlemen di daerah mereka. Model yang dikembangkan oleh Yayasan BaKTI ini telah diuji coba oleh anggota DPRD Kota Parepare, Ambon, Kendari, dan Kabupaten Lombok Timur, dan kini direplikasi oleh FPL.

 

Capaian area tematik ini:

Project Brief: SPPT-PKKTP

Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP) adalah sistem terpadu penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan, yang mengutamakan kerjasama antarpihak yang berwenang menangani kasus kekerasan terhadap perempuan serta membuka akses ke pelayanan yang mudah dan terjangkau bagi perempuan dalam setiap proses peradilan kasus kekerasan terhadap perempuan.

Guru di Batam Tangkal Bahaya Narkoba dan Kekerasan terhadap Perempuan di Sekolah Bersama Yayasan Embun Pelangi

Berbicara mengenai permasalahan kekerasan terhadap perempuan di Batam, hal ini selalu terkait dengan permasalahan penggunaan narkoba dan prostitusi terselubung. Kedua hal ini adalah rahasia umum di wilayah ini. Pulau Belakang Padang, Batam dimana Ibu Guru Dewi Mesra mengajar pun tidak bebas dari permasalahan ini. Ibu Dewi sedikit-banyak mengetahui mengenai gejolak yang terjadi di sana. Sudah empat tahun setengah Ibu Dewi mengajar di SMA 2 Batam Belakang Padang—sekolah yang harus ditempuhnya dengan menaiki perahu dari Batam setiap pukul 6 pagi.

“Itu cuma bukti-buktinya saja yang nggak ada,” ujar Ibu Dewi. “Kalau rahasia umum sih semua memang sudah tahu. Di sana kan memang pengguna narkoba itu banyak. Saya kan merangkap guru BP (Bimbingan & Penyuluhan). Jadi yang ngaku penggunan narkoba banyak juga. Biasanya saya pancing, kalau kamu mau kasih info sama Ibu, Ibu lindungi kamu, deh. Supaya saya bisa tahu pengedarnya siapa. Tapi kebanyakan anak-anak itu takut.”

Untuk Ibu Dewi, mengajar di Belakang Padang memang menjadi tantangan tersendiri. Selain tempat ini terkenal sebagai tempat ‘transit’ untuk segala macam jenis narkoba, anak-anak yang telah terekspos dengan pergaulan bebas pun kerap tak peduli akan budi pekerti dan tata-krama. “Kebebasan berpacaran seperti sudah hal biasa, nggak malu lagi nampaknya,” ujar Ibu Dewi. “Dari narkoba sampai pacaran sudah nggak malu lagi.”

Pada suatu kesempatan, Ibu Dewi akhirnya menghubungi Yayasan Embun Pelangi (YEP), salah satu mitra Program MAMPU atas saran salah satu rekan kerjanya sesama guru. Kiprah YEP dalam memberikan pendampingan dan penyuluhan kepada para guru di Batam sehubungan dengan narkoba dan kesehatan reproduksi, membuat Ibu Dewi merasa perlu menghadirkan YEP untuk memberikan penyuluhan kepada murid-muridnya. “Memang ini sudah direncanakan, dan karena ini berhubungan dengan materi sekolah oleh Kepala Sekolah dianggarkan biayanya.”

Irwan dari YEP bercerita kalau mereka segera merespon permintaan Ibu Dewi. “Ya, waktu itu kita respon langsung,” ujar Irwan dari YEP. “Kita mengirimkan tim kita, Yoris dan Boboy. Boboy kasih penyuluhan terkait trafficking dan seks dibawah umur, Yoris tentang HIV/AIDS dan narkoba. Anak-anak muridnya Ibu Dewi ini pintar-pintar semua, kok. Aktif-aktif.”

“Kita sudah memutuskan akan terus melakukan pendampingan di sekolah kami,” tambah Ibu Dewi. “Saya sebagai guru PKN (Pendidikan Kewarganegaraan) dan moral sangat setuju sekali pendampingan ini. Pihak sekolah dan YEP juga kerja sama untuk pembentukan satgas (satuan tugas). Satgas ini sosialisasi tentang kesehatan reproduksi, kekerasan terhadap perempuan dan bahaya narkoba kepada guru-guru dan anak murid, ada 40 anggota satgas. Super aktif mereka.”

Secara mandiri, Ibu Dewi pun sigap mengamati perubahan perilaku anak-anak muridnya di sekolah. Ia tahu bahwa ada beberapa ciri-ciri penggunaan narkoba yang bisa menjadi indikasi. “Biasanya saya panggil kalau ada yang ciri-cirinya mulai nggak bagus. Misalnya dia mulai terlalu bandel di kelas. Suka pemarah. Suka minder. Sensitif. Itu saya panggil dan saya tanya,” ujar Ibu Dewi. Semangat Ibu Dewi ini diharapkan menular ke guru-guru lain di berbagai wilayah Indonesia (***)