Project Brief: DESBUMI

Desa Peduli Buruh Migran (DESBUMI) adalah inisiatif berbasis desa yang digagas Migrant CARE dan jaringannya dengan dukungan Program MAMPU untuk meningkatkan perlindungan dan akses buruh migran ke berbagai layanan.

Dengan adanya DESBUMI, warga desa yang ingin bekerja di luar negeri dapat memperoleh informasi dari DESBUMI terkait migrasi aman dan hak-hak mereka sebelum, selama dan setelah migrasi.

Laporan Tematik Studi Midline MAMPU Tema 3: Akses Perempuan Buruh Migran Luar Negeri terhadap Layanan Perlindungan

Studi akses perempuan miskin terhadap layanan publik merupakan bagian dari studi longitudinal yang dijalankan selama enam tahun (2014–2020) atas kerja sama antara The SMERU Research Institute dan Program Kemitraan Australia-Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan (MAMPU).

Dengan mempelajari kehidupan perempuan miskin di lima kabupaten di Indonesia (Deli Serdang, Cilacap, Timor Tengah Selatan, Kubu Raya, serta Pangkajene dan Kepulauan), studi ini mendapatkan gambaran mengenai profil perempuan buruh migran, permasalahan yang dihadapi perempuan buruh migran, dan perubahan ketersediaan layanan perlindungan bagi perempuan buruh migran.

Hanya dalam Bahasa Indonesia.

Laporan Sintesis Studi Midline MAMPU: Akses Perempuan Miskin terhadap Layanan Publik pada Lima Tema Penghidupan

Studi tentang akses perempuan miskin terhadap layanan publik ini merupakan bagian dari studi MAMPU, sebuah studi longitudinal yang dijalankan selama enam tahun (2014–2020) atas kerja sama The SMERU Research Institute dan Program Kemitraan Australia-Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan (MAMPU).

Laporan sintesis ini bertujuan menarik benang merah dari lima laporan tematik Studi Midline MAMPU yang dimaksudkan untuk melihat perubahan akses perempuan miskin terhadap layanan publik sepanjang 2014–2017.

Hanya tersedia dalam Bahasa Indonesia.

Desbumi Summit Gaungkan Daya Perempuan dari Desa

Migrant CARE didukung Program MAMPU menyelenggarakan Desbumi Summit pada 27-29 November 2018 di Banyuwangi, Jawa Timur, sebagai ajang merefleksikan lima tahun perjalanan Desa Peduli Buruh Migran (Desbumi) di Indonesia. Bertema ‘Berdaya dari Desa’, acara ini mengumpulkan ratusan penggerak Desbumi, perwakilan Kementerian Ketenagakerjaan RI, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan (BNP2TKI), dan akademisi untuk berdialog dan berbagi pembelajaran berharga seputar upaya perlindungan buruh migran.

Kepemimpinan perempuan merupakan salah satu tema yang mengemuka dalam sesi diskusi. Kerja-kerja kolektif perempuan di akar rumput telah menghasilkan berbagai peraturan perlindungan dan pemberdayaan buruh migran.

“Perempuan purna migran harus bekerja bersama-sama dan menunjukkan kemampuan. Ini yang membuat pemerintah desa bisa percaya dan melibatkan kelompok buruh migran dalam kegiatan pemberdayaan,” ujar Ita, kader Desbumi dari Kedunggebang, Banyuwangi, yang turut merancang kegiatan pemberdayaan buruh migran melalui Tim Inovasi Desa.

Lusia Barek, Kader Desbumi dari Lembata, Nusa Tenggara Timur, menyampaikan perubahan nyata di desanya, yakni menurunnya jumlah migrasi ilegal sejak Desbumi membantu mengurus dokumen-dokumen resmi untuk bekerja di luar negeri.

Didampingi Migrant CARE, aparat desa telah melahirkan berbagai kebijakan yang mengatur perlindungan buruh migran. Sebagai contoh, Desa Darek Loteng di Kab. Lombok Tengah kini menganggarkan 25% anggaran desa untuk pemberdayaan mantan pekerja migran. Sementara itu, Desa Rogojati, Wonosobo telah memiliki Peraturan Desa Perlindungan Pekerja Migran yang tegas mengatur sanksi bagi agen maupun warga yang tidak mematuhi aturan migrasi aman.

Kepala Staf Kepresidenan RI Moeldoko yang hadir membuka acara Desbumi Summit menyampaikan apresiasi kepada Migrant CARE sebagai lokomotif penggerak perlindungan buruh migran. Lebih lanjut, ia berharap agar pemerintah dapat selalu beriringan erat dengan organisasi masyarakat sipil dalam mengupayakan perlindungan buruh migran.

Wahyu Susilo, Direktur Eksekutif Migrant CARE, menyampaikan harapannya agar praktik baik yang telah dijalankan dalam perlindungan buruh migran di berbagai daerah bisa direplikasi oleh pemerintah di kantong-kantong buruh migran dan dikontribusikan untuk tata kelola perlindungan Pekerja Migran Indonesia, berdasarkan UU No. 18 Tahun 2017.

Pengalaman Membawa Pelajaran untuk Migrasi Aman

 

Ke mana pun Husnul Hidayah pergi, ia selalu membawa buklet Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Lombok Tengah No. 1 Tahun 2017 dan Peraturan Desa (Perdes) Gemel No. 11 Tahun 2017. Keduanya menjadi bekal bagi Husnul menjelaskan pentingnya migrasi aman bagi pekerja migran. Ada rasa memiliki yang besar pada diri Husnul, karena ia ikut terlibat dalam proses advokasi hingga pengesahan perdes.

Husnul adalah seorang mantan pekerja migran asal Desa Gemel, Kecamatan Jonggat, Kabupaten Lombok Tengah. Pengalaman buruk saat menjadi pekerja rumah tangga di Arab Saudi dan Abu Dhabi mendorongnya untuk aktif di Kelompok Gemel Bersatu sejak 2016. Kelompok Gemel Bersatu merupakan wadah bagi mantan pekerja migran dan keluarga mereka, hasil binaan Perkumpulan Panca Karsa (PPK) Mataram. PPK Mataram bermitra dengan Migrant CARE, mitra program MAMPU untuk tema perlindungan pekerja migran.

Sejak bergabung dengan Kelompok Gemel Bersatu, Husnul mendapatkan berbagai pengetahuan baru, mulai dari sosialisasi migrasi aman ke luar negeri bagi perempuan pekerja migran hingga pelatihan menjadi paralegal. Mulanya gentar berbicara di hadapan orang banyak, kini Husnul kerap diundang menjadi narasumber seputar isu pekerja migran di Lombok.

Tak lelah melakukan sosialisasi, Husnul sadar betul bahwa mengubah pandangan orang-orang di sekitarnya tak semudah membalikkan telapak tangan. Salah seorang tetangganya bersikukuh merantau ke Arab Saudi, meskipun Husnul telah memberi tahunya bahwa Arab Saudi termasuk negara yang terkena moratorium pengiriman pekerja migran Indonesia sejak tahun 2011. Dengan demikian, keberangkatan pekerja migran ke sana pasti dilakukan secara ilegal dan tanpa jaminan perlindungan.

“Benar saja. Dia diangkut berdesakan dalam satu mobil, dan mereka harus ngumpet-ngumpet waktu dipindahkan ke penampungan agen. Berita terakhirnya, mereka masih di penampungan, belum disalurkan ke majikan,” cerita Husnul. Walau demikian, ia terus berkomunikasi dengan sang tetangga. “Kalau ada keadaan darurat, langsung lapor ke saya, nanti saya carikan bantuan ke teman-teman di Desbumi dan PPK,” tambah Husnul.

Sebagai inisiatif lokal untuk mewujudkan perlindungan terhadap pekerja migran sejak awal fase migrasi mereka, Desa Peduli Buruh Migran Indonesia (DESBUMI) bernaung di bawah pemerintah desa. Struktur kelembagaannya turut melibatkan masyarakat sipil seperti kader desa, mantan pekerja migran, bintara pembina desa (Babinsa), dan pemangku kepentingan desa lainnya.

“Dulu saya orangnya tertutup, bergaul dengan lingkungan sekitar juga jarang. Setelah menerima pelatihan, ada keinginan menyuarakan pendapat di pertemuan kelompok. Lewat pelatihan, saya bisa tahu sistem migrasi yang aman. Dari situ saya berkeinginan supaya teman-teman lain tidak mengalami seperti saya,” cetus Husnul.

 

Belajar dari Pengalaman

Saat pertama kali meninggalkan kampung halamannya pada 1999 untuk pergi ke Arab Saudi, Husnul sama sekali asing dengan pentingnya migrasi aman. Ia hanya bertekad merantau demi mengumpulkan uang untuk biaya kuliah. Sebelumnya, cita-cita Husnul untuk menuntut ilmu di Universitas Brawijaya, Malang, setelah diterima tanpa tes, harus kandas karena orang tuanya tak sanggup membiayai perjalanan dan kebutuhan hidupnya di sana.

“Saya lihat cerita sukses orang lain yang bisa meneruskan kuliah sampai S2 walaupun terlambat kuliah. Saya ingin seperti itu,” cetus Husnul.

Dua tahun tujuh bulan bekerja di luar negeri, penghasilannya yang ia kirimkan ke kampung halaman untuk ditabung justru habis untuk kebutuhan sehari-hari. Sejak itu, Husnul pun bolak-balik pergi ke luar negeri untuk menjadi pekerja rumah tangga. Sempat kembali ke Arab Saudi, ia kemudian merantau ke Abu Dhabi.

Sayangnya, selama menjadi pekerja migran, Husnul bolak-balik dihadapkan pada pengalaman buruk. Selain mengalami kekerasan fisik dari majikannya di Arab Saudi, yang membuatnya melarikan diri hingga berhasil kembali ke tanah air, Husnul diabaikan oleh majikannya di Abu Dhabi saat ia sakit keras selama tiga bulan. Memutuskan untuk tak lagi menjadi pekerja migran, Husnul kini meyakini betul sosialisasi tentang migrasi aman bagi calon pekerja migran dan keluarganya.

“Saya tidak akan berhenti menyuarakan hal yang benar,” tegas Husnul, menyadari tantangannya bahwa kesadaran masyarakat akan migrasi aman masih relatif kurang. “Tapi, setidaknya mereka yang nekad berangkat, sudah lebih siap siaga menghadapi apa yang terjadi di sana setelah mendapat sosialisasi dari saya,” tambahnya, mantap.

Pekerja Migran di Jember Makin Berdaya lewat Desa Melek Digital

Ada banyak cara untuk mewujudkan cita-cita agar pekerja migran dapat berdaya dari desa. Di Desa Dukuhdempok, Kecamatan Wuluhan, Kabupaten Jember, Jawa Timur, impian itu hadir lewat program Desa Melek Digital. Dengan pemerintah desa dan Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Desa Peduli Buruh Migran (Desbumi) yang berjalan beriringan, pekerja migran pun kini menjadi branding Desa Dukuhdempok.

“Pemerintah desa senantiasa melibatkan ibu-ibu dari PPT Desbumi dalam berbagai program desa, mulai dari tahap perencanaan hingga pelaksanaannya, termasuk dalam Desa Melek Digital,” jelas Miftahul Munir, Kepala Desa Dukuhdempok, saat ditemui di kantornya dalam rangka kunjungan peserta Desbumi Summit, Kamis (29/10/2018) lalu. Dalam kesempatan yang sama, dilaksanakan peluncuran Desa Dukuhdempok sebagai Desa Melek Digital.

Melalui program ini, situs resmi Desa Dukuhdempok turut menghadirkan Portal Pengaduan dan Pelayanan Desbumi. Lewat portal tersebut, pengguna situs dapat mengakses Sistem Informasi Desa Peduli Buruh Migran, formulir pendaftaran pekerja migran, dan layanan pengaduan. Warga Desa Dukuhdempok juga dapat mengakses layanan administrasi desa dan informasi program desa.

Dengan adanya program Desa Melek Digital, Miftahul berharap kelak PPT Desbumi dapat turut terintegrasi di dalam sistem, sehingga dapat memberikan layanan secara lebih komprehensif.

Sementara itu, lewat berbagai program pemberdayaan, contohnya Kuliah Kerja Nyata (KKN) tematik Desbumi bersama mahasiswa Universitas Jember, pemerintah desa merangkul para purna pekerja migran untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan mereka.

 

Purna pekerja migran asal Desa Dukuhdempok aktif memberikan informasi seputar migrasi aman di PPT Desbumi di kompleks kantor desa.

 

Menurut Miftahul, anggapan bahwa perempuan di desa memiliki banyak waktu luang kerap membuat mereka dipandang sebelah mata saat sedang berkumpul. Akibatnya, sebagian dari mereka absen dari berkegiatan di komunitas karena tak diizinkan keluarga, khususnya suami. Padahal, banyak hal berharga yang dapat mereka kontribusikan bagi warga desa.

“Para purna pekerja migran bersemangat membantu masyarakat desa untuk lebih bisa memahami proses migrasi aman. Hal ini tidak bisa dilakukan oleh pemerintah desa tanpa bantuan mereka,” tegas Miftahul. (***)

Migrant CARE

Migrant CARE

Migrant CARE bekerja untuk memperkuat perlindungan perempuan pekerja migran dari eksploitasi dan diskriminasi dengan meningkatkan perlindungan dan layanan lembaga pemerintah. Didukung oleh Program MAMPU, Migrant CARE bekerja di 5 provinsi, 8 kabupaten dan 37 desa/kelurahan.

 

Program organisasi sebagai mitra MAMPU:

  • Memperluas jaringan dan advokasi di tingkat nasional hingga desa-desa untuk melindungi pekerja migran Indonesia.
  • Membentuk kelompok pekerja migran dan mengembangkan inisiatif Desa Peduli Buruh Migran (Desbumi) di 37 desa.
  • Didukung oleh peraturan desa, Desbumi menyediakan layanan di tingkat desa bagi pekerja migran ke sebelum, pada saat, dan setelah migrasi, yang mencakup: pelatihan pra-keberangkatan, literasi keuangan, penanganan kasus, dan mendukung akses ke layanan dan program pemerintah seperti perlindungan sosial dan program ekonomi untuk purna migran.
  • Advokasi untuk Undang-Undang tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU Nomor 18/2017) yang telah disahkan pada 2017. Migrant CARE terus mengadvokasi rancangan peraturan perundang-undangan, termasuk pengawasan pekerja migran dan perlindungan sosial bagi pekerja migran.

 

Capaian dalam program MAMPU:

  • Dengan menggunakan hasil kerja Desbumi, Migrant CARE berhasil mengadvokasi UU tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (No. 18 Tahun 2017). Dua pertiga usulan Migrant CARE untuk mengubah UU Pekerja Migran tahun 2004 telah diintegrasikan ke dalam UU revisi.
  • Desa Peduli Buruh Migran (Desbumi) telah terbentuk di 37 desa. Dengan membentuk kelompok pekerja migran di tingkat desa, pekerja migran dan keluarga mereka semakin berdaya untuk berpartisipasi aktif di dalam musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) di 8 kabupaten.
  • Desbumi telah mengangkat kepemimpinan perempuan dalam aktivitas mereka. Beberapa anggota kelompok telah dipilih untuk menjadi bagian dari Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di Kabupaten Banyuwangi, Wonosobo, Jember, dan Lombok Tengah.
  • Pada 2017 berhasil mengadvokasi peraturan daerah tentang Perlindungan Pekerja Migran Kabupaten Banyuwangi di Luar Negeri (No. 15/2017) dan Peraturan Kabupaten Lombok Tengah tentang Layanan Satu Pintu (No. 9/2017).
  • Pusat Layanan Terintegrasi di 8 kabupaten didanai oleh dana desa untuk mendukung penanganan kasus.
  • Di Lombok Tengah, pemerintah desa telah mengalokasikan dana desa mulai dari Rp 5 juta hingga Rp 60 juta untuk program perlindungan buruh migran dan keluarga di Lombok Tengah.

 

  • Pada 2017, Kementerian Tenaga Kerja meluncurkan model ‘Desa Migran Produktif’ (Desmigratif) yang menyediakan layanan tingkat desa untuk pekerja migran. Desmigratif diimplementasikan di 50 kabupaten di Indonesia, model Desmigratif dipengaruhi oleh Desbumi.
  • Pada 2018, integrasi Desbumi dan Desmigratif dimulai di 5 desa MAMPU (Kuripan, Wonosobo, Banyuwangi, dan Indramayu).

Persatuan Panca Karsa Pastikan Hak Buruh Migran Terlindungi dengan Pendampingan

Erlina Mardiana (31), yang akrab dipanggil Diana, adalah salah satu anggota Kelompok Cerah Ceria di Desa Gerunung, Kecamatan Praya, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Diana adalah mantan buruh migran tujuan Arab Saudi pada tahun 2006-2008. Saat ini, Diana aktif di kegiatan Persatuan Panca Karsa (PPK), sebuah organisasi swasta non-profit yang bergerak dalam pengembangan swadaya masyarakat khusus perempuan.

Sepulang dari Arab saudi, kegiatan sehari-hari Diana adalah menjadi ibu rumah tangga dan membuka warung sembako di rumahnya. Di samping itu, Diana ikut kegiatan rutin Kelompok Cerah Ceria yang dibentuk oleh PPK dan didukung oleh Program MAMPU. Diana selalu hadir untuk menyerap wawasan dan menambah relasi. Suami Diana pun sangat mendukung kegiatannya dalam kelompok tersebut.

Pengalaman Diana selama bekerja di Arab Saudi, suka maupun duka, selalu dibagikan kepada sesama anggota kelompok. Keterbukaannya membuat Diana kerap menjadi tempat konsultasi para calon Buruh Migran di lingkungannya.

Saat di Arab Saudi, Diana pernah mengalami perampasan haknya sebagai Buruh Migran. Ia bekerja tak sesuai dengan Job Description yang disepakati di penampungan. Diana harus mengerjakan pekerjaan rumah untuk lima keluarga dalam satu rumah bertingkat tiga, tanpa adanya pembantu lain. Tentu hal ini sangat menyulitkannya, namun Diana tetap berhasil menyelesaikan kontrak kerjanya selama dua tahun. Pengalaman Diana ini menjadi pelajaran bagi para Buruh Migran lain yang akan berangkat

Selain berbagi pengalaman dan menjadi tempat konsultasi, Diana termasuk Buruh Migran yang berhasil dan terarah. Ia menggunakan penghasilannya sebagai Buruh Migran sebagai modal usaha membuka warung di rumahnya. Setelah mengikuti kegiatan diskusi rutin yang diadakan MAMPU melalui PPK, Diana semakin memiliki rasa percaya diri kuat untuk ikut mendampingi setiap Buruh Migran atau calon Buruh Migran yang berkonsultasi padanya. Ia juga semakin sadar bahwa hak-hak Buruh Migran wajib diperjuangkan.

Prestasi Diana di Kelompok Cerah Ceria terbukti saat Ia mendampingi Buruh Migran Indonesia (BMI) formal di Malaysia yang sakit dan harus dipulangkan. Diana menemukan kasus ini dari informasi tetangganya yang merupakan keluarga BMI tersebut. Kemudian, Ia melakukan proses pelaporan ke PPK, setelah itu ikut mendampingi proses pemulangan BMI ke rumahnya.

Setiap gerakan kemanusiaan terkait Buruh Migran, selalu diikutinya bersama Persatuan Panca Karsa. Diana merasa punya perubahan pandangan hidup. Dirinya tak harus mencari nafkah ke luar negeri. Dengan membuka warung sembako, itu sudah cukup membantu perekonomian keluarganya. Selain itu, Diana juga mendedikasikan waktunya untuk kegiatan kelompok.

Persatuan Panca Karsa (PPK)

Permasalahan Buruh Migran di Nusa Tenggara Barat yang semakin meningkat dan kompleks, membuat Persatuan Panca Karsa melakukan pengembangan layanan dengan bergerak dan langsung turun ke masyarakat untuk melakukan pendampingan langsung, baik secara konsep dan implementasi.

Beberapa permasalahan yang ditemui oleh PPK di lapangan, antara lain terkait perekrutan Buruh Migran yang belum tertib, banyaknya pemalsuan dokumen oleh calo, tidak terpenuhinya hak-hak Buruh Migran saat berada di penampungan dan di negara tujuan, serta tidak terdatanya Buruh Migran yang sudah berangkat dan yang sudah pulang. Hal ini menyebabkan, ketika ada masalah sulit bagi PPK untuk melacak dan menelusuri kronologisnya.

Masuknya Program MAMPU pada Desember 2013, dimanfaatkan PPK untuk memaksimalkan pendampingan kegiatan Kelompok yang dibentuk di tiga desa, yakni Kelompok Cerah Ceria di Desa Gerunung, Kelompok Latanza di Desa Darek, dan Kelompok Maju Bersama di Desa Nyerot. Anggota kelompok tersebut merupakan mantan Buruh Migran atau keluarga Buruh Migran yang menjadi motor penggerak kegiatan organisasi.

Kegiatan rutin kelompok terdiri dari arisan, Koperasi Simpan Pinjam, pelatihan keterampilan, serta pendalaman pemahaman tentang hak-hak Buruh Migran. Setiap kelompok juga berkesempatan untuk mengikuti pelatihan paralegal, sehingga mereka dapat mendampingi Buruh Migran dalam memecahkan persoalan atau memberikan informasi yang benar terkait proses bekerja di luar negeri beserta pemenuhan hak-haknya.

Perubahan yang terjadi setelah dibentuknya kelompok – kelompok di tiga desa ini adalah semakin banyak anggota yang berkomitmen untuk mendampingi Buruh Migran, baik kepada Buruh Migran yang mau berangkat maupun yang sudah pulang. Data pun tertata. Setiap Buruh Migran yang punya masalah dan melapor, bisa dengan mudah ditelusuri karena ketersediaan data. Dalam proses pendataan, PPK bermitra dengan anggota kelompok. Sampai saat ini, mereka telah berhasil mendata 1.730 Buruh Migran di tiga desa dampingan Panca Karsa.

Salah satu contoh kasus Buruh Migran yang berhasil ditangani PPK adalah kasus Ningsih (29). Ningsih berasal dari Desa Nyerot. Ia sakit selama di penampungan Jakarta. Ningsih sudah enam bulan di penampungan tanpa proses lanjutan, sementara ia sakit asma akut. Sponsor yang memberangkatkannya, tidak melakukan tes kesehatan sesuai prosedur, sehingga ketika sakit berbulan-bulan di penampungan Jakarta, Ningsih terlantar. Pihak perusahaan pun tidak peduli dengan keadaan Ningsih dan tak mau memulangkannya tanpa biaya ganti rugi selama proses.

Namun, berkat komunikasi antara suaminya dengan PPK serta pihak BNP2TKI, akhirnya Ningsih dapat dipulangkan dan berobat di rumah. Ningsih sekarang bergabung dengan Kelompok “Maju Bersama” dan aktif ikut memperjuangkan nasib Buruh Migran dalam kegiatan kelompok.

Advokasi PERDA Perlindungan Buruh Migran

Aprilia Utari Yani (49), Staff pelaksana PPK, mengungkapkan bahwa PPK telah berkomunikasi dengan pemerintah dalam upaya perlindungan hukum dan pemenuhan hak-hak Buruh Migran. Untuk membuat regulasi, telah dibuat naskah PERDA yang melibatkan Prof. Husni dari Universitas Mataram dan Kepala Bagian Hukum Ketenagakerjaan, Komisi IV DPRD Lombok Tengah. Progres sudah sampai pada tahap waiting list APBD.

Untuk menuju upaya pembuatan PERDA tersebut, usaha yang dilakukan diawali dengan pembentukan DESBUMI (Desa Buruh Migran) yang berfungsi sebagai wadah informasi dan pusat pendataan Buruh Migran di Lombok Tengah. DESBUMI dilegalkan melalui Peraturan Desa.

Dengan Pelatihan MAMPU, Mantan Buruh Migran Bangun Industri Rumahan

Mantan Buruh Migran yang sudah diberi pemahaman dalam memberdayakan dirinya di tempat sendiri, sekarang sudah mampu membuat usaha sendiri dengan membuat aneka makanan ringan yang dikemas dan dijual. Ada pula yang menanami lahan di rumahnya dengan tanaman salak, durian, kayu albasiah dan tanaman lainnya yang dapat diolah dan dikomersilkan.

Hadirnya Program MAMPU memberikan sarana untuk pertemuan rutin yang dimanfaatkan untuk menggali kemampuan dan wawasan mereka sehingga dapat berwirausaha bersama sepulang dari luar negeri. Tak harus pergi lagi.

Mantan Buruh Migran yang diberi pelatihan dan penyuluhan kemampuan membuat industri rumahan, dibagi dalam beberapa kelompok. Masing-masing kelompok rata-rata berjumlah enam atau tujuh anggota. Misalnya, ada kelompok yang membuat kerajinan Batik, Tempe, Tiwul Instant, Lilin, dan Salak in Syrup.

Pengerjaan proses dilakukan di rumah masing-masing. Khusus untuk pewarnaan batik, dilakukan seminggu sekali di rumah Ibu Muliah, seorang mantan Buruh Migran Korea.

Anissa Hanifa, salah satu pendamping ex Buruh Migran mengatakan bahwa untuk memproduksi makanan ringan, bahan-bahannya dipastikan berkualitas dan aman. Walau dibuat secara industri rumahan, tetapi mempunyai standar yang harus dipatuhi oleh peserta. Misalnya, untuk bahan pemanis Salak in Syrup, gulanya harus dibeli khusus, dan pembelian gula ini harus menggunakan surat rekomendasi dari Departemen Kesehatan. Gula yang dibeli merupakan gula Raffinasi yang bersertifikat sehingga terjamin kesehatan dan keamanannya.

Pengemasan makanan pun dilakukan secara hygienis. Maka dari itu, pengemasan dilakukan di koperasi karena peralatannya masih terbatas.

Pemasaran sampai saat ini masih dijual melalui toko atau warung, dengan cara dititipkan. Sebagian dijual melalui pameran, bazaar dan event-event terbuka lainnya. Banyak juga yang memasarkan sendiri hasil karyanya. Misalnya dari kalangan teman-teman, perkumpulan dan relasi lainnya.

Banyak juga mantan Buruh Migran perempuan di Wonosobo yang memiliki rumah makan dan warung. Di antaranya Ibu Maria, yang menjual hasil karya mantan Buruh Migran lain di warungnya. Sedangkan Tuti Astuti menggunakan penghasilannya dari bekerja sebagai Buruh Migran untuk berjualan jajanan anak dan menjadi penjahit pakaian di rumahnya.

Anissa Hanifa, mantan Buruh Migran dari Malaysia kini selain menjadi aktivis Buruh Migran. Ia pun mempunyai usaha salon di rumahnya yang selalu ramai pelanggan. Ia tak segan untuk berbagi skill kepada para ibu-ibu mantan Buruh Migran agar mereka pun dapat melakukan usaha sepulang dari luar negeri.

“Ada yang berhasil membuka salon sendiri, ada juga yang menerima order sesuai pesanan”, kata Anissa.

Kelompok usaha kecil ini dibina oleh Siti Mariam Ghozali. Siti adalah koordinator kelompok usaha kecil mantan buruh migran di Wonosobo. Setiap hari, ia mengontrol warung yang menampung hasil industri rumahan.

Selain dijual di warung ini, hasil karya mantan buruh migran dijual di bazaar dan door to door”, ujarnya.

Siti pun bekerjasama dengan berbagai pihak, seperti koperasi, Balai Latihan Kerja dan Lembaga Kursus Pelatihan.

Talkshow di NTB Bahas Perlindungan Pekerja Migran dari Kekerasan Berbasis-Gender

Tanggal 7 Desember 2017, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Nusa Tenggara Barat dan Solidaritas Perempuan Mataram melakukan talkshow di TV9 Mataram, NTB, membahas mengenai upaya perlindungan dan pemenuhan hak pekerja migran dari tindak kekerasan berbasis gender, dengan narasumber Zahratun dari Perkumpukan Panca Karsa, Lilik dari KPI Mataram dan Eli dari Solidaritas Perempuan Mataram.