WCC Cahaya Perempuan Gunakan Panggung Budaya untuk Sosialisasi Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi

Women’s Crisis Center (WCC) Cahaya Perempuan membina kelompok perempuan yang bernama “Impian Perempuan”, dengan anggota 20 orang dan diketuai oleh Karmini (47). Kelompok ini mempunyai kegiatan rutin setiap bulannya. Setiap pertemuan diisi dengan diskusi dan penyuluhan tentang Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) dengan menghadirkan narasumber kompeten. Beberapa kegiatannya didukung oleh Program MAMPU.

Setiap pertemuan tak hanya diisi dengan diskusi HKSR, ada kegiatan lainnya yang mendukung produktivitas mereka. Misalnya, pengolahan sampah daur ulang menjadi kerajinan tangan yang mempunyai nilai ekonomi. Contohnya, membuat tas dan barang-barang yang biasa digunakan sehari-hari dari bungkus makanan atau kemasan lainnya. Selain itu, Kelompok Impian Perempuan juga menyelenggarakan koperasi simpan pinjam. Setiap peserta menyerahkan uang simpanan pokok dan sukarela. Setiap peserta bisa meminjam uang sesuai kebutuhannya.

Sarimawati (35), Wakil Ketua Kelompok mengungkapkan bahwa adanya Program MAMPU pada kegiatan Kelompok Diskusi rutin Kelompok Impian Perempuan sangat membantu dalam memberikan pemahaman terhadap HKSR sehingga peserta diskusi dapat menyalurkan kembali ilmu yang didapat kepada orang lain yang tak sempat mengikuti diskusi. Hal ini dibenarkan oleh Lilis Suryani (43), bahwa kondisi daerah di wilayah kerja Impian Perempuan sedang darurat pernikahan dini.

“Banyak remaja yang terpaksa menikah karena pergaulan seks bebas. Maka Program MAMPU sangat tepat dijalankan di sini karena menjadi wadah untuk konseling, penyuluhan dan advokasi,” ujar Lilis.

Karmini juga mengungkapkan bahwa sosialisasi HKSR di Kelompok Impian Perempuan tak hanya dilakukan dalam diskusi, tetapi juga disampaikan melalui Panggung Budaya. Panggung Budaya yang dimaksud adalah setiap ada acara-acara seperti pesta pernikahan, Pesta Khitanan, acara hajatan dan pemerintahan atau organisasi yang melibatkan unsur budaya sebagai hiburan, Kelompok Impian Perempuan kerap memanfaatkan acara tersebut untuk menyisipkan isu HKSR.

“Misalnya, jika ada hajatan apapun suka ada hiburan musik tradisonal atau modern, kami ikut menyumbang hiburan menyanyi dengan lirik lagu berisi pesan moral terkait HKSR. Sehingga para undangan yang mendengarnya penasaran dan menelaah isi lagu kami tersebut,” kata Karmini.

Untuk mengisi Panggung Budaya tersebut, biasanya mereka bekerjasama dengan penyelenggara acara atau event organizer. Lagu-lagu yang dinyanyikan selain  lagu yang diubah liriknya, mereka pun mempunyai lagu ciptaan sendiri dengan isi pesan-pesan yang membangkitkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya HKSR.

“Sosialisasi HKSR melalui hiburan Panggung Budaya, akan lebih menarik perhatian dibanding hanya melalui penyampaian pada penyuluhan. Kami berkomitmen jika ada acara pesta dan lain sebagainya, akan kami manfaatkan untuk bekerjasama dengan penyelenggara terhadap sosialisasi HKSR melalui acara hiburannya,” pungkas Karmini.

Diskusi dengan Tokoh Agama di Merangin Dorong Pemahaman untuk Isu Kesehatan Perempuan

Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), kehamilan tak diinginkan, kenakalan remaja dan sisi negatif pengaruh teknologi yang semakin tinggi di Merangin, membuat Aliansi Perempuan Merangin (APM) bergerak lebih kuat untuk menyosialisasikan Hak-hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR). Kelompok-kelompok perempuan yang tergabung dalam APM pun bersinergi dengan tokoh agama dalam memberikan pemahaman HKSR kepada masyarakat.

Dukungan Program MAMPU semakin memuluskan kegiatan diskusi rutin APM, yang melibatkan beberapa unsur tokoh agama dan tokoh adat. Dengan demikian, peran perempuan dalam berorganisasi tak dipandang negatif, dan banyak para suami yang akhirnya memahami HKSR untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Sis Sumanto, tokoh agama Islam di Merangin sangat mendukung Program APM yang mengangkat permasalahan perempuan untuk dibahas bersama dalam forum diskusi rutin. Menurut Sumanto, pemahaman dasar tentang HKSR ada dalam ajaran agama Islam. Misalnya, masa nifas perempuan dan masa haid perempuan yang harus dihindari suami untuk berhubungan suami-istri, karena akan menimbulkan penyakit baik bagi istri maupun suaminya. Begitu pula dengan berhubungan seks tanpa pengaman, yang bisa memicu banyak penyakit terutama penyakit kelamin.

“Dalam setiap diskusi rutin yang melibatkan masyarakat baik perempuan maupun laki-laki, disinggung pemahaman HKSR kaitannya dengan agama, agar tak ada salah persepsi terhadap aturan agama yang selama ini dipahaminya. Misalnya, ketika seorang suami tidak mengizinkan istrinya melahirkan yang ditangani oleh dokter laki-laki, dengan alasan bukan muhrim. Padahal dalam kondisi yang darurat dan alasan kesehatan hal itu diperbolehkan,” Sumanto menjelaskan.

“Sikap fanatik seseorang yang melakukan sesuatu tanpa dasar ilmu serta menganggap tabu ketika membahas masalah pendidikan seks, bisa merugikan dirinya sendiri. Maka siapapun semestinya bisa bertukar pikiran dan berdiskusi dengan orang yang lebih paham. Diskusi rutin ini adalah wadah yang tepat bagi masyarakat dalam berbagi pemahaman masalah HKSR terkait agama,” tambah Sumanto.

Sumanto dan para tokoh agama yang mendukung Program APM dalam setiap pertemuan tak hanya membahas masalah HKSR semata, akar permasalahan yang memicu terjadinya KDRT pun ikut dibahas. “Masalah peningkatan perekonomian yang wajib dilakukan oleh setiap keluarga, karena jika ekonomi mencukupi, sebuah keluarga akan baik-baik saja dan tak akan timbul gesekan-gesekan yang akan memicu kekerasan dalam rumah tangga. Gizi keluarga pun akan tercukupi,” kata Sumanto.

Sumanto berprofesi sebagai Pengawas Sekolah di TK dan SD di Kecamatan Ranah Pamenang juga menjabat Ketua Muhammadiyah Daerah Merangin sejak 1995, dan tergabung dalam Gabungan Kelompok Tani serta Majelis Taklim Desa. Banyaknya pengalaman berorganisasi, membuat dirinya sangat memahami HKSR dan hak-hak sosial perempuan. Ia juga mendukung kiprah perempuan dalam beraktualisasi di luar rumah atau bekerja membantu perekonomian keluarga. Bahkan Ia mendukung setiap suami istri untuk berbagi peran dalam menjalankan tugas rumah tangga.

“Perempuan dianjurkan memajukan dirinya sendiri untuk berkarya, tak dilarang berorganisasi. Jika perempuan banyak memahami tentang HKSR dan hal lainnya, pemahaman itu dapat memberi solusi ketika masalah menghampirinya,” ujar Sumanto.

M. Sugianto, Kepala Dusun Tanjung Benuang  yang kerap hadir dalam pertemuan dan diskusi dengan tokoh agama, Ia mengatakan bahwa ketika aturan agama tak tercantum dalam Alquran dan hadis, banyak tokoh agama yang salah persepsi dan tak siap menerima hal baru.

“Misalnya tentang KB, banyak yang menentang karena dianggap menghalangi lahirnya anak. Padahal, KB sebenarnya tak bermaksud membatasi atau menolak kelahiran anak, tetapi menunda hingga orang tua siap untuk mencukupi kebutuhannya. Karena anak lahir juga punya hak untuk dicukupi dari mulai kesehatan, pendidikan, gizi, sandang dan lain-lainnya,” ujar Sugianto.

Sumanto berpesan bahwa sekarang sudah saatnya seluruh elemen masyarakat bergerak untuk memajukan perempuan dan memperoleh hak-hak sosial serta HKSR sehingga dapat mencetak sumber daya manusia yang berkualitas. Ia berharap untuk ke depannya ada banyak tokoh agama perempuan yang ikut bekerja sama dengan tokoh agama laki-laki.

Kiprah Serikat Perempuan Lampung Selatan Berikan Pemahaman tentang Kesehatan Reproduksi

Undang-Undang Perkawinan dan Perlindungan anak terasa tumpang tindih dan banyak merugikan posisi perempuan karena tidak adanya kepastian jaminan perlindungan yang tertuang dalam Undang-Undang tersebut. LSM DAMAR, salah satu anggota Konsorsium PERMAMPU, berinisiatif untuk melakukan aksi tanpa menunggu tindakan pemerintah dalam mengatasi hal ini.

Hadirnya Program MAMPU yang mendukung aktivitas dan program DAMAR dalam upaya memberikan pemahaman tehadap Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR), menggerakkan perempuan Lampung Selatan untuk saling memberikan pemahaman akan pentingnya hal ini.

Penguatan kepemimpinan akar rumput dan pelayanan HKSR di Lampung Selatan, didukung oleh DAMAR dan MAMPU melalui Sepalas (Serikat Perempuan Lampung Selatan). Kelompok-Kelompok yang dibagi, setiap bulannya mengadakan pertemuan rutin berupa diskusi dan pemberian materi pengembangan diri.

Meda Fatmayanti (45) selaku Ketua Sepalas, menyatakan “Kegiatan yang diusung Sepalas mencakup metode pendidikan kritis, penguatan perspektif gender dan feminis, advokasi HKSR dan penguatan kepemimpinan perempuan.”

Mariam (46) asal Desa Banjar Negeri, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan, sudah menjadi anggota Sepalas sejak tahun 2007. Sampai saat ini, Ia bertugas sebagai pendamping kelompok dan melakukan program penguatan wilayah. Perempuan yang aktif di organisasi PKK, Pengajian dan Posyandu ini, menyambut Program MAMPU dalam Sepalas.

Mariam kerap menerima permintaan konseling Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) untuk masyarakat sekitar beserta anggota-anggota Sepalas lainnya. Mariam juga terlibat dalam pendampingan pembuatan BPJS PBI untuk masyarakat di desa nya. Kiprah Mariam dipantau oleh Kepala Desa, sehingga ketika ada pemilihan ketua RT, ia direkomendasikan sebagai kandidat dan warga memilihnya karena Mariam banyak membantu masyarakat. Ini membuktikan bahwa kepemimpinan perempuan setara di Lampung Selatan. “Tentu saja ini semuanya berkat didikan dari DAMAR dan Program MAMPU juga.” kata Mariam.

Adapun Murni (44), Sekretaris Sepalas asal Desa Mandah, Kecamatan Natar, mempunyai kiprah di kegiatan PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Mandiri). Murni sudah terbiasa memberikan pelayanan terhadap masyarakat. Ketika ada Program MAMPU masuk di daerahnya, Ia memanfaatkan kesempatan ini untuk lebih mensosialisasikan tentang HKSR dan kepemimpinan Perempuan. Biasanya, sambil menjalankan tugasnya di PNPM, Ia kerap menyinggung soal HKSR sebagai upayanya membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan reproduksi perempuan.

“Banyak sekali peluang dalam memberi pemahaman mendasar untuk anggota Sepalas tentang HKSR, ini berkat diskusi rutin dari MAMPU,” kata Murni.

Murni juga kerap menemukan masalah-masalah KDRT dan kesehatan reproduksi perempuan yang terganggu. “Banyak kasus yang hamil dan melahirkan tanpa melihat kondisi usianya, seperti terlalu muda atau terlalu tua sehingga proses kelahiran bermasalah. Banyak juga para suami yang menularkan penyakit-penyakit kelamin ke istrinya, akibat sering berganti-ganti pasangan ketika bekerja ke luar kota. Ini adalah masalah serius, para perempuan harus mawas diri dan paham tentang masalah ini,” ungkap Murni.

Murni kerap melakukan pendekatan dengan cara menampung pengaduan-pengaduan dari masyarakat terkait KDRT atau masalah kesehatan reproduksi. Baik pengaduan secara langsung kepadanya maupun pengaduan melalui anggota Sepalas yang lain. Selanjutnya, Murni mendiskusikan masalah tersebut untuk mencari solusi yang tepat.

Sebagai bukti kepemimpinan perempuan berjalan dengan baik di Lampung Selatan, Murni terpilih menjadi kandidat Kepala Desa Mandah. Sebagai bukti dedikasinya di kegiatan Sepalas, jika kelak lolos menjadi Kepala Desa, Ia akan lebih giat bekerja untuk masyarakat, terutama memajukan perempuan dan lebih memberikan kesadaran terkait HKSR. “Karena, jika perempuan sehat maka akan melahirkan generasi berkualitas,” pungkas Murni.

Sepalas terus melakukan pengkaderan. Kaum muda pun ikut dilibatkan karena hal ini sangat penting dipahami oleh mereka. Memberikan pemahaman, menyamakan visi dan sosialisasi terus dilakukan dan Program MAMPU sangat membantu kegiatan ini.

Pendidikan Seks Sejak Dini Lewat Kiasan dan Ajaran Adat di Minangkabau

Tatanan adat Minang di Padang, Sumatera Barat, memang menarik untuk disimak. Terutama mengingat sistem kekerabatan mereka yang bersifat matrilineal—mengikuti garis keturunan Ibu, bukan patrilineal (Ayah). Tak heran jika perempuan mendapatkan tempat dan kehormatan yang luar biasa di kalangan masyarakat Minang.

“Kita mengenal Tali Tiga Sepilin,” ujar Pak Kamaryudin, Tokoh Adat di Kecamatan Kuranji, Padang. “Ini adalah Nini Mamak sebagai pemangku adat, lalu Ulama sebagai pemangku agama, dan Cerdik Pandai sebagai pemangku pemerintahan. Tali Tiga Sepilin ini menjunjung Bundo Kanduang.”

Bundo Kanduang merupakan posisi penting yang diisi oleh kaum perempuan di suku-suku Minangkabau. Meski secara harafiah dapat diartikan sebagai ‘ibu kandung’, namun Bundo Kanduang lebih dimaknai sebagai sosok pemimpin perempuan di Minangkabau. Ia dihormati untuk kebijaksanaannya, serta posisinya sebagai penjaga kesejahteraan dan pemegang kedaulatan.

“Dulu itu, pendidikan untuk anak perempuan dipegang oleh Bundo Kanduang,” ujar Pak Zulhelman, yang bergelar Pandeka Diraja—tokoh adat di Kota Padang. “Ketika mulai remaja dan sudah mau kawin, ada yang namanya pingitan. Ini diajarkan semua oleh Bundo Kanduang, misalnya bagaimana tentang seks. Anak laki-laki usia 10 tahun sudah tidak boleh tinggal di rumah, tapi mereka tidur di surau. Mereka diajarkan 4 kepandaian utama. Silat, termasuk silat raga, silat lidah, dan silat batin. Menjahit, termasuk jahit pakaian dan jahit hubungan—ini penting karena kita banyak merantau. Lalu diajari cara mengerjakan sawah ladang dan bertukang. Sekarang kan sudah tidak seperti itu lagi, laki-laki perempuan bercampur saja.”

“Ya, dulu itu memang semua yang berhubungan dengan seks atau pergaulan untuk anak perempuan, dijelaskan oleh Bundo Kanduangnya,” ujar Ibu Adriyosa Adnan, salah satu tokoh agama di Kecamatan Kuranji. “Tidak boleh itu orang lain yang menjelaskan, apalagi laki-laki yang menjelaskan. Nanti diberi tahu oleh Bundo Kanduang bagaimana melayani suami, aturan untuk malam pertama, malam kedua, mengerti isyarat suami, dan lain-lain. Karena di Minang ini kita banyak bahasa isyarat dan kiasan.”

Hal ini dibenarkan oleh Pak Pandeka Diraja. Kiasan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya Minang. “Tidak bisa kita langsung ucapkan saja—karena kita mau yang mengerti memang yang pemikirannya sudah paham ke arah sana,” katanya. Ia memberi contoh, misalnya, untuk mendidik remaja lelaki dan perempuan perihal pergaulan sehari-hari, mereka menggunakan ‘durian’ dan ‘mentimun’ untuk mengisyaratkan alat kelamin lelaki dan alat kelamin perempuan.

“Jadi misalnya, kita katakan durian dan mentimun itu bisa berdekat-dekatan,” ujar Pak Pandeka. “Tapi ingat, walau hanya berdekatan saja, nanti mentimun akan tergores oleh durian. Sehingga lebih baik berhati-hati untuk tidak terlalu berdekatan.”

“Banyak hal-hal yang tidak perlu dikatakan dalam budaya Minang,” ujar Ibu Adriyosa. “Misalnya, ketika suami pulang membawa nafkah pertama untuk istri. Suami tidak berikan langsung kepada istri. Istri juga tidak boleh meminta. Tetapi suami akan menyelipkan uang itu di bawah bantal. Semuanya harus uang yang bagus, tidak boleh uang receh. Dan istri juga akan tahu bahwa suami sudah meletakkan uang di sana. Jadi ada juga pendidikan untuk mengetahui hal-hal semacam ini dari Bundo Kanduangnya, termasuk bagaimana membaca isyarat dan gelagat suami.”

Namun perkembangan teknologi informasi yang diiringi semakin tingginya tingkat pendidikan anak-anak di masa kini membuat para tetua adat ini sadar, bahwa mengikuti tuntunan adat semata tak lagi cukup.

“Mereka sekarang dari SMP saja sudah bisa tahu hal-hal macam begitu, kenakalan remaja semakin banyak. Dulu kalau mau bertemu seseorang itu ada aturannya, harus bertemu di mana, di rumah perempuannya, dengan izin dan lain-lain, kita tahu siapa orangnya. Sekarang mereka janjian saja di Facebook dengan entah siapa dan bertemu tidak tahu di mana,” ujar Ibu Adriyosa. “Jadi memang penting pendidikan seks sejak dini terhadap anak-anak.”

Ibu Adriyosa pun prihatin akan kesenjangan sanksi sosial antara laki-laki dan perempuan yang dijatuhkan kepada para pelaku kenakalan remaja. “Misalnya jika sampai hamil, kenapa yang laki-laki bisa tetap sekolah dan yang perempuan tidak? Ini kan tidak benar, padahal dua-duanya berbuat, kenapa ketika ada sanksi yang jadi korban perempuan lagi?”

Meski banyaknya kasus-kasus semacam ini membuat para tetua adat sadar akan pentingnya pendidikan seks usia dini, mereka ternyata mengaku masih tak terlalu nyaman melakukannya. Selain karena terbiasa mengikuti tatanan adat dan menggunakan berbagai bahasa kiasan, mereka juga gamang karena merasa tak punya latar belakang pengetahuan yang cukup untuk menerjemahkan berbagai isu seks dan kesehatan reproduksi kepada anak-anak yang belum cukup umur.

“Mungkin perlu ada sekolah atau pesantren semacam itu untuk orang-orang tua, untuk kita-kita ini,” ujar Ibu Adriyosa. “Ibu juga kesulitan ngomong sama anak tentang hal ini. Mungkin perlu dididik juga kita supaya tahu bagaimana cara ngomong ke mereka.”

Ibu Hailis Yusuf, Bundo Kanduang dari Suku Tanjung di Kecamatan Kuranji sendiri, sudah pernah mengikuti lokakarya mengenai kesehatan seks dan reproduksi yang diadakan oleh LP2M (Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat).

“Iya, saya dapat pengetahuan itu,” ujar Ibu Hailis. “Ada tentang masalah reproduksi, kenakalan remaja, kesehatan, kontrasepsi. Masyarakat kan biasanya nggak ingin kontrasepsi karena katanya banyak anak banyak rejeki, tapi kalau nggak ada modal hidup, suami nggak kerja, pendidikan rendah, bagaimana ini nanti menanggulangi kemiskinan?”

Ibu Hailis sendiri mengaku banyak kesesuaian antara pengetahuan yang diajarkan dalam lokakarya kesehatan seks dan reproduksi tersebut dengan ajaran adat dan agama (Islam). “Misalnya membatas jarak kelahiran. Di Quran juga kan dibilang, susui anak selama 2 tahun. Jadi 2 tahun dulu, nanti kalau sudah itu mau tambah lagi boleh. Kalau kita melahirkan kan banyak darah tertumpah, kesehatan harus dijaga dulu. Jangan terlalu cepat sudah hamil lagi.”

Batasan pergaulan sehat antara lelaki dan perempuan pun menurutnya sudah sesuai dengan ajaran agama. “Mereka sama-sama menjaga harga diri, laki-laki dan perempuan. Tahu kalau bukan muhrim, atau bukan istri yang sah, ya, jangan terlalu dekat. Kan bukan muhrim.”

Siswa SMA di Merangin Sebarkan Kesadaran Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi pada Remaja Sebaya

Aliansi Perempuan Merangin (APM), yang merupakan salah satu anggota Konsorsium PERMAMPU yang didukung oleh Program MAMPU, menggandeng pihak sekolah sebagai target sosialisasi Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR). Hal ini didorong oleh pentingnya pemberian pemahaman bagi remaja usia sekolah, dan juga pentingnya mengajak mereka untuk berperan aktif dalam mencegah pernikahan dini dan gangguan kesehatan reproduksi pada remaja.

Banyaknya kasus pernikahan dini, yang disebabkan oleh pergaulan seks bebas di kalangan remaja, kurangnya pemahaman terhadap kesehatan reproduksi dan etika sosial dalam pergaulan remaja, serta pengaruh sisi negatif dari teknologi yang semakin mudah diakses, membuat kasus tersebut berkembang cepat tanpa adanya pengendali yang memadai. Selain itu, kehamilan usia muda sangat rawan penyakit karena ketahanan tubuhnya masih kurang. Belum siapnya psikologis saat menjalani rumah tangga dan adanya tuntutan ekonomi, dapat memicu timbulnya KDRT.

Pengawasan orang tua dan guru pun dirasa tidak cukup, sehingga diperlukan kesadaran dari remaja itu sendiri. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman tentang HKSR dan segala hal terkait pergaulan remaja.

APM bersama beberapa sekolah di Merangin, Jambi, membentuk Pusat Informasi Konseling Remaja (PIK R) yang didukung oleh MAMPU. Melalui PIK R, setiap sekolah memilih perwakilan murid yang menjadi duta atau konselor sebaya bagi teman-temannya. Mereka dididik sebagai pengurus PIK R dan diberi latihan khusus (Training on Trainer) serta penyuluhan untuk diberi wawasan tentang HKSR dan segala hal terkait pergaulan remaja. Penyuluhan tersebut menghadirkan narasumber dari APM dan pihak-pihak yang berkompeten seperti pakar kesehatan, dokter, bidan dan tokoh agama.

Dalam pelaksanaannya, PIK R bekerjasama dengan Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) dan Organisasi Intra Sekolah (OSIS). PIK R juga terintegrasi dengan pihak pemerintah dan institusi lainnya, seperti Bupati, Dinas Kesehatan, Kementerian Agama, Dinas Pendidikan, Polisi, Pengadilan, Tokoh Adat dan Tokoh Agama.

Asa Ayu, Siswi dari SMAN 5 Merangin menjadi pengurus PIK R mewakili sekolahnya. Ia memaparkan bahwa mengikuti kegiatan ini sangat memberi asupan banyak ilmu, khususnya tentang HKSR. Ia memahami seksualitas sebagai wawasan luas, bukan hanya dipahami sebagai hubungan intim saja. Asa merasa pengetahuan tersebut sangat penting untuk dirinya.

“Saya jadi mengenal fungsi alat reproduksi secara detail dan memahami tentang Napza serta Narkoba yang tak boleh disalahgunakan”, kata Asa. Ia menambahkan, “Saya bersyukur dengan adanya program MAMPU melalui APM sehingga saya dapat terlibat dalam upaya memberikan pemahaman tentang HKSR dan berbagai permasalahan remaja. Ilmu dan wawasannya tak saya pendam sendiri, tentu selalu saya bagikan lagi ke teman-teman lain karena itu adalah kewajiban saya.”

Selain Asa, ada pula Supardi dari SMAN 12 Merangin. Ia memiliki kesan yang menyenangkan selama bergabung menjadi tim PIK R. Selain memperoleh wawasan tentang segala permasalahan yang dihadapi remaja, Ia pun bisa berbagi ilmu dengan teman-temannya. Supardi lebih memilih mengakses konten internet yang baik-baik dan menyarankan hal yang sama kepada teman-temannya.

“Dari internet banyak sekali dampak negatifnya jika kita belum siap menyikapi,” kata Supardi.

Ari Surya Febriana (17) dari SMAN 5 Merangin bergabung menjadi pengurus PIK R sejak Januari 2015. Seperti Asa, Ia pun memperoleh pemahaman seksualitas yang sesungguhnya. Sebelumnya, Ia hanya mendapatkan informasi HKSR sepintas saja, dan itu membuat dirinya bingung karena tak diberi penjelasan rinci. Setelah mendapat penyuluhan dan TOT dari APM dan narasumber tentang HKSR, anak perempuan dari tiga bersaudara ini, melakukan pendalaman wawasan HKSR melalui informasi di internet. Selain itu ia juga berbincang dengan bidan, dokter, orang tua dan banyak membaca dari buku-buku.

“Karena saya bertugas sebagai konselor sebaya, maka saya punya tanggung jawab menyampaikan kembali ilmu yang saya dapat. Agar lebih terpercaya dan lebih meyakinkan, saya memperdalam lagi pengetahuan tentang HKSR dari berbagai sumber, agar bisa menjawab konsultasi teman-teman dengan memuaskan,” ujar Ari.

Menurut Ari, bahasan HKSR yang mendetail, disampaikan kepada teman-teman perempuannya. Misalnya, ketika haid harus sering mengganti pembalut agar tak diserang kuman berbahaya. Selain itu, pemakaian pakaian dalam pun harus sering diganti agar kebersihan terjaga.

Adapun Rusydi Amin dari SMPN 13 Merangin, sebagai wakil ketua OSIS di sekolahnya, setiap ada rapat OSIS Rusydi selalu menyinggung bahasan tentang HKSR untuk disampaikan kembali ke murid-murid yang lain. Rusydi sangat senang hati menjadi tim PIK R mewakili sekolahnya. Walau kadang Ia disepelekan sebagian temannya terkait tugas sebagai konselor, Rusydi tetap percaya diri dan tetap bersemangat dalam mensosialisasikan HKSR dan batasan-batasan pergaulan remaja.

Menurut Ani Trihandayani, guru dari SMAN 5 Merangin sekaligus pembimbing PIK R, Program MAMPU yang mendukung PIK R sangat membantu upaya pencegahan kehamilan tak diinginkan dan pergaulan remaja yang tak patut di Merangin.

Budi Handoko, Guru dari MTs Al Khoiriyah juga mengungkapkan bahwa Program PIK R melatih kepemimpinan para siswa yang tergabung sebagai pengurus. Karena mereka dituntut bisa mengelola teman-temannya dalam mengarahkan ke pergaulan yang baik.

Budi menyampaikan kriteria pemilihan pengurus PIK R. “Biasanya yang terpilih menjadi pengurus PIK R adalah murid yang menonjol dari segi pelajaran agar tidak ketinggalan pelajarannya. Selain itu dipilih juga murid yang menjadi idola di sekolah. Karena jika idola yang bicara lebih banyak didengar teman-temannya.” Kata Budi. Ia kemudian menambahkan, “Agar para pengurus PIK R lebih percaya diri dan bersemangat dalam mengemban tugasnya, mereka dikukuhkan sebagai Konselor Sebaya dengan cara dilantik pada suatu upacara.”

Elpi Ediyanti, Guru dari SMP 13 menyampaikan harapannya agar PIK R dapat masuk dalam kurikulum dan muatan lokal. Selain itu, ia berharap adanya ketersediaan buku, brosur dan poster sebagai alat peraga untuk penyuluhan agar diperbanyak, dan pertemuan rutin dilakukan secara lebih massif.

Mengajarkan Kesetaraan Gender pada Anak lewat PAUD

Pengetahuan dasar tentang kesetaraan gender dapat diberikan kepada anak laki-laki dan perempuan di sekolah. Contohnya Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang digagas oleh Kesatuan Perempuan Lampung Utara (KEPAL). KEPAL merupakan lembaga dampingan DAMAR, mitra daerah Konsorsium Perempuan Sumatra MAMPU (PERMAMPU).

Para guru di PAUD mengajarkan tentang kesetaraan gender kepada murid-muridnya melalui permainan dan warna. Misalnya, anak-anak diajarkan kalau warna merah muda bukan hanya untuk anak perempuan, atau memasak bukan hanya dilakukan oleh perempuan, dan sebagainya.

PAUD ini dibentuk pada 2014 oleh ibu-ibu anggota KEPAL di Kelurahan Kuta Alam, Lampung Utara. Mereka sudah lulus mengikuti pelatihan-pelatihan seperti pelatihan tentang kesetaraan gender, analisa sosial dengan perspektif feminis, antikekerasan, kepemimpinan perempuan dan organisasi.

Pada awalnya, PAUD ini memiliki 28 murid dan empat guru. Mereka telah memberikan pengetahuan dasar kesetaraan gender ini sejak PAUD dibentuk. Anak laki-laki dan perempuan diajarkan untuk menghindari stereotip gender melalui warna (misalnya, warna merah mudah hanya untuk anak perempuan), atau mainan (mobil-mobilan untuk anak laki-laki dan boneka untuk anak perempuan) dan pembagian peran (memasak hanya dilakukan oleh anak perempuan).

Materi kesetaraan gender disisipkan dalam kurikulum PAUD yang sudah disediakan oleh Dinas Pendidikan. Materi disusun berdasarkan pengetahuan yang mereka dapat dari pelatihan-pelatihan yang mereka terima sebelumnya, kemudian disesuaikan dengan metode pendidikan untuk anak-anak.

 

Dilaporkan oleh Marie Astrid Wijaya, Partner Engagement Officer, MAMPU

Cahaya Perempuan WCC Adakan Karnaval Baju Adat untuk Peringati 16 HAKTP

Sebagai salah satu rangkaian kegiatan untuk memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) yang telah dilakukan pada 24 November lalu dengan tema “Lindungi Perempuan dari Kekerasan Seksual dan Perkawinan Anak”, Cahaya Perempuan Women’s Crisis Center (WCC) dan bersama Forum Perempuan Akar Rumput (FKPAR) provinsi Bengkulu mengadakan karnaval baju adat pada Jumat (25/11).

Dalam karnaval tersebut FKPAR provinsi Bengkulu dampingan Cahaya Perempuan menyuarakan beberapa hal yang diharapkan dapat menjawab kebutuhan perempuan di Bengkulu. Pertama, mereka meminta Pemerintah Daerah (PEMDA) dan DPRD di kota Bengkulu, Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten Seloma untuk mendorong lahirnya kebijakan – kebijakan yang melindungi Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) terutama implementasi dari Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 2014. Kedua, mereka meminta komitmen pemerintah untuk menyuarakan dan memperjuangkan anggaran daerah untuk menjamin tersedianya anggaran untuk Jaminan Kesehatan Nasional-Penerima Bantuan Iuran (JKN-PBI) dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak  (P2TP2A) yang berkelanjutan. Ketiga, memastikan adanya pembaharuan data orang miskin yang dibuat secara partisipatif, untuk memastikan semua orang miskin menjadi peserta JKN – PBI.

Diharapkan juga kelompok perempuan bisa mengakses dana sebesar 5 – 10% dari Anggaran Dana Daerah (ADD) untuk pemberdayaan perempuan dan dapat mengejar fasilitas paket A, B dan C untuk memastikan para perempuan memenuhi syarat untuk duduk dalam pengambilan keputusan.

Melalui permintaan tersebut, diharapkan kesejahteraan perempuan pedesaan, perempuan miskin dan perempuan akar rumput dapat segera terwujud.

 

Dilaporkan oleh: Tety Sumeri (Cahaya Perempuan WCC)

Kampanye di Bengkulu Perangi Kekerasan terhadap Perempuan lewat Pengubahan Pola Pikir

Bertepatan dengan peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP) tahun 2016, Cahaya Perempuan Women’s Crisis Center (WCC) bersama Forum Perempuan Akar Rumput (FKPAR) provinsi Bengkulu menyelenggarakan serangkaian kegiatan di kota Bengkulu untuk melawan bentuk pemiskinan dan kemiskinan yang berakibat pada kekerasan terhadap perempuan khususnya kekerasan seksual dan perkawinan anak.

Acara yang berlangsung dari 24 November hingga 25 November ini bertajuk “Lindungi Perempuan dari Kekerasan Seksual dan Perkawinan Anak” ini bertujuan untuk membangun pemahaman dan kesadaran bersama akan pentingnya kekuatan dan agenda kolektif perempuan akar rumput untuk keluar dari pemiskinan perempuan.

Beberapa agendanya adalah mengenalkan jenis – jenis kelompok dampingan, memberikan pemahaman akan peran dan fungsi masing – masing jenis kelompok FKPAR serta memperkenalkan arena perjuangan bersama Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) di FKPAR. Diharapkan juga melalui acara ini pengetahuan dan kesadaran FKPAR provinsi Bengkulu terbentuk, terutama mengenai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah dan para pemangku kepentingan dalam upaya pemenuhan dan perlindungan hak – hak kesehatan seksual dan reproduksi perempuan.

Dalam sambutannya, Wakil Gubernur Bengkulu, dr. drh. H. Rohidin Mersyah, M.MA menyampaikan beberapa  poin penting terkait strategi bersama dalam melawan pemiskinan perempuan.

“Kita tidak hanya membicarakan bagaimana harusnya mengatasi soal kemiskinan perempuan, tapi juga mengubah pola pikir masyarakat agar memahami makna berkeadilan sosial. Pemahaman tersebut dapat membuka kesempatan pada perempuan untuk meningkatkan status sosial mereka,” ujar Rohidin. Beliau juga menyampaikan bahwa isu gender bukanlah isu barat dan tidak bertentangan dengan agama terutama islam, sehingga kita harus berpikiran terbuka dalam memahami isu tersebut.

Rohidin menambahkan pentingnya melibatkan laki-laki dalam program pemberdayaan perempuan agar laki – laki dapat memahami perannya dalam pembangunan nasional. Dengan melibatkan laki-laki, Ia berharap masyarakat dapat berupaya bersama untuk membongkar budaya partriarki agar angka kekerasan terhadap perempuan  menurun. Usaha ini harus dimulai dari lingkungan terdekat yaitu keluarga.

Acara yang diadakan selama dua hari ini diisi dengan peluncuran usaha ekonomi perempuan mandiri kabupaten Seluma dan kota Bengkulu, diskusi panel yang melibatkan Dinas Kesehatan kota Bengkulu, Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD), Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BPPA) dan Cahaya Perempuan WCC. Tidak lupa diadakan tontonan yang menghibur seperti karnaval baju adat dan pemotongan nasi kunyit untuk perayaan hari jadi Cahaya Perempuan WCC yang ke-17.

 

Dilaporkan oleh: Tety Sumeri (Cahaya Perempuan WCC)

KPI Regional Sumatera Adakan Pendidikan Kader Menengah (PKM) di Jambi

Pada 20 – 26 September 2016, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Regional Sumatera mengadakan Pendidikan Kader Menengah (PKM) bagi para kader KPI. Kegiatan yang dilaksanakan di Hotel Shang Ratu Kota Jambi ini, diikuti 25 kader KPI dari Aceh, Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, Lampung dan DKI Jakarta.

Dari hari pertama hingga hari ketiga, para peserta mendapatkan materi tentang gender dan seksualitas, gender berbasis analisis sosial dan hak asasi perempuan. Setelah itu, peserta berdiskusi tentang isu peraturan dan advokasi terkait perlindungan sosial di bidang kesehatan, yang merupakan fokus KPI dalam Program MAMPU. Mereka berdiskusi tentang kasus JKN yang ditemukan oleh KPI di lapangan.

Dalam kesempatan tersebut, KPI mengundang perwakilan dari Bappeda Kota Jambi, BPJS Kesehatan dan anggota DPRD Kota Jambi, Ibu Maria Magdalena, sebagai pembicara. Perwakilan Bappeda Jambi dan BPJS Kesehatan menyampaikan pengalaman mereka terkait penerapan BPJS Kesehatan dan advokasi pemerintah daerah terkait perlindungan kesehatan. Adapun Ibu Maria Magdalena, berbagi pengalaman tentang advokasi kebijakan dan anggaran kesehatan.

Dari hasil diskusi, para peserta menyepakati untuk melakukan advokasi sistem perlindungan kesehatan yang lebih baik. Oleh karena itu, KPI memerlukan data yang valid dan jaringan yang lebih baik. Selain itu, sebagai bentuk aksi kolektif, KPI akan bekerjasama dengan mitra MAMPU lain di Sumatera yaitu PERMAMPU, untuk mengumpulkan lebih banyak bukti lapangan sebagai bahan advokasi Jaminan Keamanan Sosial (JKN).

Selain tentang isu JKN, peserta juga belajar tentang manajemen organisasi. Materi yang disampaikan terkait dengan transformasi kepemimpinan, yang membahas bagaimana pemimpin yang baik bisa mendengarkan dan mengakomodasi suara anggota mereka. Materi selanjutnya adalah penggalangan dana/ fundraising, yang disampaikan oleh KPI sekretariat nasional (Setnas).

Setnas KPI memperkenalkan rencana keberlanjutan KPI seperti Sekolah Politik Perempuan, konsep ‘Satu Balai – Satu Produk’ dan diversifikasi sumber pendanaan yang dapat digunakan oleh KPI balai/ cabang atau wilayah. Setnas KPI juga menjelaskan tentang Most Significant Change (MSC) sebagai sarana monitoring dan evaluasi. Khususnya tentang MSC, peserta berlatih melakukan wawancara dengan rekan mereka tentang perubahan signifikan yang terjadi sejak menjadi anggota KPI dan kemudian menuliskan cerita tersebut.

Sebagai penutup, pelatihan ini membahas rencana aktivitas KPI untuk 6 bulan ke depan, khususnya rencana advokasi JKN. Sebagian besar KPI Wilayah berencana untuk melakukan sosialisasi internal terkait JKN, verifikasi data Kartu Indonesia Sehat (KIS) untuk anggota KPI, serta membantu komunitas miskin di daerahnya untuk mengakses KIS, dan advokasi ke pemerintah daerah.

Dilaporkan oleh: Dewi Damayanti (Partner Engagement Officer – Program MAMPU)

WCC Cahaya Perempuan: Pelatihan Anggaran Responsif Gender di Seluma, Bengkulu

Pada 24 Agustus 2016, Women Crisis Center (WCC) Cahaya Perempuan, salah satu anggota konsorsium PERMAMPU yang didukung oleh Program MAMPU, mengadakan pelatihan anggaran responsif gender untuk Kelompok Kader Perempuan Pedesaan di Kabupaten Seluma, Bengkulu.

Kegiatan ini diikuti oleh 40 orang peserta, yang terdiri dari masing-masing 10 orang per desa/ kelompok dari 4 desa dampingan WCC Cahaya Perempuan di Kabupaten Seluma.

Pelatihan yang difasilitasi oleh WCC Cahaya Perempuan tersebut, bertujuan untuk:
1. Pengenalan perencanaan dan penganggaran responsif gender (konsep, tujuan, kategori Anggaran Responsif Gender/ ARG).
2. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan kelompok kader perempuan dalam menyusun dan analisa ARG.
3. Kelompok kader perempuan terampil dalam mendorong anggaran untuk pemberdayaan perempuan di desa.

Dilaporkan oleh: Tety Sumeri (WCC Cahaya Perempuan)