Institut Lingkaran Pendidikan Alternatif (KAPAL) Perempuan

Institut Lingkaran Pendidikan Alternatif (KAPAL) Perempuan

Institut Lingkaran Pendidikan Alternatif (KAPAL) Perempuan berdiri pada 2000 untuk membangun gerakan perempuan yang mendorong adanya masyarakat damai yang mendukung keadilan sosial dan gender, pluralisme, dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Program MAMPU telah bermitra dengan Institut KAPAL Perempuan sejak 2012. Bersama jejaring mitra lokalnya, Institut KAPAL Perempuan  memberdayakan perempuan dan memperkuat akses mereka terhadap program dan layanan pemerintah. Didukung Program MAMPU, Institut KAPAL Perempuan bekerja di 6 provinsi, 15 kabupaten dan 25 desa/kelurahan.

 

Program organisasi sebagai mitra MAMPU:

  • Sekolah Perempuan: wadah pendidikan dan pelatihan informal berbasis-komunitas untuk memberdayakan perempuan miskin di akar rumput, dan menciptakan pemimpin perempuan lokal yang mampu mengadvokasi hak-hak perempuan, serta kebijakan dan anggaran yang mendukung akses perempuan terhadap layanan.
  • Gender Watch: pemantauan program perlindungan sosial pemerintah lewat audit gender berbasis-komunitas (AGBK) untuk menjamin keakuratan data penerima manfaat dan meningkatkan akses perempuan miskin terhadap Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

 

Capaian dalam program MAMPU:

  • Sekolah Perempuan telah direplikasi di 43 desa tambahan menggunakan anggaran pemerintah, meliputi 10 desa di Kabupaten Gresik, Jawa Timur, 29 desa di Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan 4 desa di Kabupaten Lombok Timur, NTB, pada 2018
  • Mengadvokasi peraturan daerah dan dukungan anggaran bagi partisipasi perempuan di musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) desa , Gender Watch, dan forum multipemangku kepentingan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan, Kabupaten Gresik, Kabupaten Lombok Utara, dan Kabupaten Lombok Timur
  • Mengorganisir Musrenbang Perempuan di Kabupaten Lombok Utara dan Kabupaten Lombok Timur
  • Surat Keputusan Bupati Pangkep, Sulawesi Selatan,  dalam pembentukan jaringan organisasi masyarakat sipil (OMS) dan penyertaan perempuan dalam Tugas Panitia Bersama (TPB).
  • Terlibat dalam advokasi kolektif di Sukabumi, Jawa Barat, yang mempengaruhi pengesahan Peraturan Bupati (Perbup) Sukabumi tentang Sistem Layanan dan Rujukan Terpadu (SLRT) dan Partisipasi Warga dan Organisasi Masyarakat Sipil untuk Perlindungan Sosial.
  • Mendukung program penghidupan (livelihood) bagi perempuan dengan disabilitas lewat organisasi NEKAF di Kupang, Nusa Tenggara Timur, yang juga anggota Sekolah Perempuan.

Koalisi Perempuan Indonesia (KPI)

Koalisi Perempuan Indonesia (KPI)

Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) mengadvokasi kelompok perempuan miskin dan marginal untuk kesetaraan gender dan keadilan dalam Indonesia yang demokratis dan sejahtera sejak 1998. Didukung oleh Program MAMPU, KPI bekerja di 8 provinsi, 30 kabupaten dan 78 desa/kelurahan untuk meningkatkan akses perempuan terhadap program-program perlindungan sosial.

Program organisasi sebagai mitra MAMPU:

  • Mendirikan Balai Perempuan, kelompok perempuan untuk memperkuat pengorganisasian komunitas dan kepemimpinan perempuan
  • Kelompok-kelompok Balai Perempuan mengembangkan inisiatif PIPA-JKN (Pusat Informasi, Pengaduan dan Advokasi Jaminan Kesehatan Nasional) untuk memantau akses perempuan terhadap JKN dan program perlindungan sosial lainnya. Kini telah ada 74 pusat pengaduan PIPA-JKN di 8 provinsi.

Capaian dalam program MAMPU

Bersama jaringannya, KPI melakukan advokasi kolektif untuk peraturan maupun pendanaan bagi:

  • Penyertaan kelompok penyandang disabilitas untuk secara otomatis terkualifikasi dalam Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan untuk mengakses program Jaminan Kesehatan Nasional – Penerima Bantuan Iuran (JKN-PNBI)
  • Pengesahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas
  • Pengesahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Perlindungan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam, termasuk perlindungan dan akses bagi program pemerintah untuk mendukung perempuan nelayan
  • Pengesahan peraturan daerah untuk meningkatkan akses terhadap perlindungan sosial bagi penyandang disabilitas di Bengkulu, Padang, dan Makassar, antara 2016-2018.
  • Pada 2018, 206 kartu kepesertaan JKN-PBI diberikan oleh Dinas Sosial setempat pada perempuan miskin di Bantaeng, Sulawesi Selatan, berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Balai Perempuan dan PIPA-JKN.
  • Pada 2018, layanan PIPA-JKN di desa-desa wilayah kerja KPI telah mencatat sekitar 16.000 keluhan terkait akses perlindungan sosial.

Sri Mulyati, Kartini asal Jatinegara Kaum

Tinggal di kawasan padat penduduk Jatinegara Kaum, Jakarta, Sri Mulyati atau Mul muncul sebagai pemimpin kelompok perempuan di wilayahnya. Seperti Kartini, Mul giat memperjuangkan hak-hak warga, khususnya perempuan miskin untuk mengakses program perlindungan sosial pemerintah.

Baru-baru ini, Mul dikukuhkan sebagai Ketua Bidang Advokasi Sekolah Perempuan DKI Jakarta. Sekolah Perempuan adalah kelompok perempuan informal bentukan Institut KAPAL Perempuan (Lingkaran Pendidikan Alternatif Untuk Perempuan), tempat perempuan belajar berbagai hal seperti kepemimpinan perempuan, public speaking, gender, isu-isu perempuan, serta cara berpikir kritis tentang isu-isu sosial. KAPAL Perempuan adalah sebuah organisasi perempuan yang didukung oleh Program MAMPU (Kemitraan Australia-Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan).

Bergabung dengan Sekolah Perempuan pada 2014, Mul mulai memahami bahwa perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki dalam segala hal termasuk kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan sosial.

“Awalnya saya takut sekali. Takut berbicara. Takut ditanya. Takut karena saya merasa tidak tahu apa-apa. Saya sembunyi duduk di belakang,” ungkap Mul sambil tertawa.

Setelah itu, ibu empat orang anak ini bertekad untuk belajar. Didukung oleh keluarganya, Mul rutin mengikuti kegiatan-kegiatan Sekolah Perempuan.

“Sejak mengikuti Sekolah Perempuan, saya jadi tahu banyak hal. Saya jadi bisa berpikir kritis melihat isu-isu yang ada di sekitar saya, apalagi tentang perempuan dan program-program pemerintah. Saya sekarang paham aturan yang berlaku dan proses mengakses program-program tersebut,” lanjut Mul.

Sehari-hari berjualan nasi kuning di depan rumahnya, Mul sekarang menjadi sumber informasi dan advokat bagi warga wilayahnya untuk program-program pemerintah. Ia pun dipercaya warga untuk menjadi wakil warga dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) dari tingkat rukun warga (RW) hingga provinsi.

“Saya berusaha selalu menyebarkan informasi akurat tentang program-program pemerintah. Jika ada yang berhak mendapatkan program tersebut tapi tidak mendapatkannya, saya siap membantu agar mereka mendapatkan hak mereka,” tukas Mul.

Berkat advokasi Mul bersama Sekolah Perempuan DKI Jakarta, warga miskin di Kecamatan Jatinegara Kaum, Bidara Cina, dan Rawajati mendapatkan program-program pemerintah seperti Program Keluarga Harapan, Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, dan pelayanan kesehatan bagi warga lanjut usia sesuai hak mereka.

Sebagai Ketua Bidang Advokasi Sekolah Perempuan DKI Jakarta, Mul pun terus bekerjasama dengan pemerintah untuk memantau program-program perlindungan sosial, agar pelayanan publik dapat berkembang lebih baik bagi masyarakat Jakarta.

Berlatih Jadi Pemimpin Perempuan bersama PEKKA di Kalimantan Barat

PAGI itu, sekelompok perempuan di Sungai Ambangah, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, sibuk menggambar. Mereka tengah menggambar wajah masing-masing; tak soal apakah gambar mereka menyerupai aslinya atau tidak. Ibu Nora, misalnya, menggambar wajah seorang perempuan dengan kerudung menaungi kepala dan bibir berwarna merah menyala.

“Saya waktu muda bibirnya merah seperti itu,” ia menjelaskan, disambut tawa dari perempuan-perempuan lainnya.

Perempuan-perempuan ini bukan tengah mengikuti kursus menggambar, melainkan mereka sedang mengikuti rangkaian pelatihan kepemimpinan perempuan PEKKA tingkat provinsi yang berlangsung selama 3 hari.

“Kami meminta mereka menggambar wajah kanan dan kiri. Wajah bagian kanan diberi keterangan mengenai hal-hal positif tentang diri mereka, sedangkan wajah bagian kiri diberi keterangan hal-hal negatif. Kemudian mereka harus presentasi dan menunjukkan saya orangnya seperti ini, kekurangannya ini, kelebihannya ini,” Kak Kholilah, salah satu kader PEKKA di Kalimantan Barat yang memandu pelatihan hari itu, menjelaskan.

Pelatihan kepemimpinan perempuan hari itu diikuti sekitar 28 orang perempuan yang terpilih dari berbagai daerah di Kalimantan Barat, mulai dari Bengkayang, Singkawang, Pinyuh, Rasau Jaya, Kakap, Teluk Pakedai, Kuala Mandor, dan Sungai Raya.

“Pertama-tama, biasanya kami tekankan dulu kepada mereka, bahwa mereka semua adalah pemimpin. Misalnya, ketika ia berperan sebagai orang tua atau ketua kelompok pengajian, adakah proses memimpin di situ? Ada, kan? Kemudian, kami diskusikan juga dengan mereka apa saja kewajiban mereka sebagai pemimpin berdasarkan peran mereka. Apa kewajiban mereka sebagai anak terhadap orangtua, apa kewajiban mereka sebagai pemimpin kelompok terhadap anggota. Di sini mereka sadar akan fungsi mereka, dan tahu tanggung-jawab mereka sebagai pemimpin,” Kak Kholilah menjelaskan.

Dalam pelatihan kepemimpinan ini, para perempuan pun disadarkan akan pentingnya mengatur prioritas dalam kehidupan sehari-hari mereka. Di dinding, mereka menempelkan kertas besar bertuliskan kuadran-kuadran ‘hal penting yang selalu dilakukan’, ‘hal penting yang tidak dilakukan’, ‘hal tidak penting yang tidak dilakukan’, juga ‘hal tidak penting yang selalu dilakukan’. Untuk yang terakhir itu, kebanyakan mengaku senang bergosip dengan tetangga dan menonton telenovela. Meskipun kegiatan ini tidak penting, mereka akui bahwa mereka justru selalu melakukannya.

“Ini juga untuk mengetahui bahwa ada hal-hal penting yang justru mereka abaikan untuk melakukan hal yang tidak penting. Ini kan tentang mengatur prioritas,” ujar Kak Kholilah. “Mereka jadi bisa tahu, apa hal penting yang jadi kewajiban mereka. Jika mereka ketua kelompok, misalnya, mereka penting untuk rajin datang ke rumah anggota.”

Pelatihan kepemimpinan perempuan PEKKA hari itu memang bukan pelatihan pasif di mana peserta hanya mendengarkan—melainkan pelatihan aktif di mana peserta mengerjakan tugas, menggambar, berdiskusi, bahkan berdebat dan melakukan berbagai kegiatan simulasi. Salah satunya adalah berlatih kemampuan dalam bernegosiasi dan mengambil keputusan.

Sebuah skenario pun disusun. Kasus terjadi menjelang Hari Raya Idul Adha. Hanya ada 1 kapal yang akan berangkat ke pulau, dan kapal sudah penuh sehingga hanya bisa ditumpangi 1 orang lagi saja. Namun ada 3 orang lagi yang hendak berangkat ke pulau hari itu: Pak Khatib, Pak Camat, dan Pak Pekerja Sosial.

Pak Khatib mengaku kedatangannya ke pulau sangat penting, karena ia harus memimpin doa dan memberikan ceramah. Pak Camat juga mengaku penting untuk pergi ke pulau, karena ia adalah panitia penyembelihan kurban. Pak Pekerja Sosial juga mengaku penting baginya untuk naik kapal dan berangkat ke pulau karena ia membawa bantuan bagi anak-anak yatim. Masing-masing harus bernegosiasi dengan pemilik kapal agar bisa berangkat ke pulau—dan pemilik kapal pun harus mengambil keputusan siapa yang akan diijinkan naik ke kapal.

Skenario ini pun dimainkan oleh kelompok-kelompok perempuan yang mengikuti pelatihan hari itu; masing-masing harus menjelaskan posisi dan kewajiban mereka, serta meyakinkan pemilik kapal.

“Akhirnya kan kita simpulkan bahwa yang harus pergi Pak Khatib. Karena kalau penyembelihan kurban itu kan bisa dilakukan pada hari kedua, tidak harus hari pertama, jadi Pak Camat bisa pergi keesokan harinya. Pak Camat bisa menitip pesan pada Pak Khatib bahwa penyembelihan kurban akan dilakukan besok. Pak Pekerja Sosial juga bisa menitipkan bantuan anak yatimnya kepada Pak Khatib, dengan memberikan daftar yang harus diisi Pak Khatib sebagai laporan penerimaan bantuan. Pak Khatib memang tetap harus pergi karena tidak ada yang bisa menggantikannya memimpin doa dan memberikan ceramah di pulau,” ujar Kak Kholilah, setelah sebelumnya para peserta juga saling berdebat dan memaksakan bahwa dirinyalah sebagai Pak Camat atau Pak Pekerja Sosial yang sesungguhnya paling penting untuk berangkat ke pulau.

Pelatihan bernegosiasi dan kemampuan untuk mengambil keputusan yang bijak ini terkait dengan pelatihan mengenai jenis-jenis kepemimpinan, mulai dari yang diktator atau egois, yang pasif atau plin-plan, sampai yang asertif atau tegas.

“Intinya kita coba melatih peserta berpikir menang-menang. Dari negosiasi, lalu kita ajarkan mereka untuk bersinergi,” Kak Kholilah menjelaskan. “Sehari-hari, proses ini harus mereka lalui di masyarakat, misalnya di kelompok, bagaimana jika anggota ada yang mau pinjam uang, lalu ketika tidak diberi merajuk dan bilang mau berhenti saja. Kan ada juga proses negosiasi di situ.”

Pelatihan kepemimpinan perempuan PEKKA ini kini juga sudah bisa ditangani langsung oleh pelatih dari PEKKA dan kader-kader mereka. “Dulu kan misalnya hanya saya dan Kak Magdalena yang mengajar, tapi sekarang pelatih sudah bisa tandem dengan kader. Sebelum pelatihan kader sudah diajari untuk membawakan materi, jadi hari ini Dani (kader PEKKA) sudah bisa mengajar. Mereka sudah percaya diri sekarang. Mereka bilang, mereka lebih percaya diri ketika bicara langsung di depan ibu-ibu ini daripada ketika harus latihan membawakan materi di depan kami-kami,”Kak Kholilah tertawa.

‘Bank’ At-Taqwa: Ketika Para Ibu Mengelola Asuransi & Produk Keuangan

Mulai dari asuransi kesehatan, asuransi kematian, hingga bermacam simpanan seperti SIMPEDI (Simpanan Pendidikan), SIMPAYA (Simpanan Hari Raya), hingga Simpanan Sukarela—produk keuangan ibu-ibu kelompok At-Taqwa yang dibentuk organisasi PEKKA (Perempuan Kepala Keluarga) di Sungai Ambangah, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, rasanya tak kalah bersaing dengan produk keuangan dari bank-bank nasional yang kita ketahui.

Para ibu di kelompok At-Taqwa sudah cukup lama mengelola produk keuangan mereka sendiri. Dimulai dari asuransi kematian untuk para ibu anggota kelompok di kampung, sebesar 20ribu rupiah per orang.

“Dulu kalau ada orang meninggal kan susah, kalau di kampung sini kan ekonominya kurang. Jadi kalau ada meninggal begitu kan panik, biayanya. Jadi waktu kita kumpul kelompok ada yang punya ide buat asuransi kematian. Dari teman-teman itu juga idenya,” ujar Kak Endang, salah satu anggota kelompok At-Taqwa.

Para ibu kelompok At-Taqwa ini mengaku tak pernah secara khusus belajar mengenai asuransi—dan hanya belajar pelan-pelan seraya menjalankannya. Mereka dengan rajin dan cermat mencatat semua data pemasukan dan pengeluaran di buku-buku besar yang isinya ditulis tangan.

Dari uang asuransi sebanyak 20ribu rupiah itu—yang bisa disetorkan dengan mencicil di awal tahun, ketika meninggal anggota akan mendapatkan manfaat sebesar 250ribu rupiah. Sejauh ini ada 3 orang anggota kelompok yang sudah meninggal dan mendapatkan manfaat asuransi tersebut. Belakangan, uang asuransi yang terkumpul masih banyak, namun tak ada anggota yang meninggal, karenanya berdasarkan musyawarah kelompok, mereka memutuskan untuk menaikkan manfaat asuransi menjadi 350ribu rupiah.

“Kalau untuk asuransi kesehatan itu 1000 rupiah per bulan. Biasanya dipakai untuk ongkos transport ke Puskesmas, karena kalau untuk biaya berobat kan ada yang sudah punya Jamkesmas atau BPJS. Kalau asuransi kesehatan itu membantu juga, karena saya pernah dapat dan sudah pakai,” ujar Ibu Rukiyah, salah satu anggota kelompok lainnya.

Di samping asuransi kematian dan kesehatan, kelompok At-Taqwa juga mengelola berbagai dana simpanan. SIMPEDI (Simpanan Pendidikan) merupakan dana yang dikumpulkan untuk tabungan pendidikan anak. Besaran dana diserahkan kepada kemampuan masing-masing anggota. Dana diserahkan setiap kali kelompok mengadakan pertemuan atau sekitar dua kali sebulan, dan baru bisa diambil pada awal tahun ajaran berikutnya. Biasanya simpanan ini kemudian digunakan untuk membeli berbagai perlengkapan sekolah seperti buku, seragam, dan tas.

“Seperti menabung saja. Sebenarnya bisa juga simpan sendiri, tapi kalau disimpan sendiri biasanya sih uangnya lalu habis dipakai untuk belanja,” seorang ibu berseloroh, disambut gelak tawa anggota kelompok yang lain.

SIMPAYA (Simpanan Hari Raya) juga diberlakukan dengan sistem yang kurang-lebih sama. Para ibu yang tak memiliki anak usia sekolah pun bisa mengalihkan simpanannya ke sini. Setiap pertemuan kelompok, mereka akan menyetorkan uang seadanya, untuk kemudian diambil pada Hari Lebaran. Biasanya, orang-orang yang tengah mencicil biaya asuransi akan langsung melunasi pembayaran asuransinya di Hari Lebaran—begitu menerima hasil Simpanan Hari Raya mereka.

Satu simpanan lagi yang dikelola kelompok At-Taqwa adalah simpanan sukarela. Yang satu ini berfungsi sebagai ‘jaminan’ ketika anggota kelompok hendak meminjam uang. Batas maksimal peminjaman uang adalah 10 kali dari jumlah simpanan sukarela. Jadi, ketika seorang anggota memilii simpanan sukarela sebesar 100ribu rupiah, ia berhak meminjam uang paling besar sebanyak 1juta rupiah. Selama pinjaman masih berjalan dan belum dilunasi, simpanan sukarela peminjam tak dapat diambil.

Di samping produk keuangan seperti asuransi dan simpanan, para anggota kelompok At-Taqwa pun kerap mengadakan arisan beras dan telur. Setiap pertemuan kelompok, setiap anggota datang dengan membawa 2 butir telur dan ½ kilo gula pasir. Lewat sistem kocok, anggota yang namanya keluar bisa membawa pulang seluruh telur dan gula yang dikumpulkan hari itu.

Pada setiap pertemuan kelompok, mereka pun mengumpulkan ‘jimpitan’. Jumlahnya seribu rupiah per orang. Yang 500rupiah digunakan untuk konsumsi arisan, dan yang 500rupiah lagi untuk serikat. Dana serikat nanti digunakan jika anggota kelompok perlu bepergian menghadiri acara-acara yang terkait kepentingan serikat.

Setiap bulan, uang asuransi kematian dan kesehatan dari kelompok At-Taqwa pun disetorkan ke LKM (Lembaga Keuangan Masyarakat).

“Dulu saya pernah bertugas pegang uang itu, saya tidak bisa tidur setiap malam, takut ada yang ambil itu uang,” tutur Ibu Rukiyah.

Bukan hanya kelompok At-Taqwa, kader-kader PEKKA pun memiliki asuransi mereka sendiri.

“Asuransi kader itu lebih kepada asuransi kecelakaan,” ujar Diana, salah satu kader PEKKA. “Karena ini untuk mereka yang bergerak, asuransi ini kita daftarkan ke Bumiputera. Ada polisnya. Ibu-ibu kader kan banyak yang lintas kabupaten, misalnya harus dari Pontianak ke Bengkayang, kan nggak ada asuransinya. Jadi ini cara biar mereka punya keamanan, lah, ya. Karena dulu juga ada pengalaman anggota kecelakaan, jadi penting asuransi ini.”

Untuk asuransi kader PEKKA, biaya polis yang harus dibayarkan sebesar 50ribu rupiah; namun biaya ini dibagi dua: 25ribu rupiah dari kader itu sendiri, sementara 25ribu rupiah lagi ditutup dari dana LKM (Lembaga Keuangan Masyarakat). (***)

Talkshow di NTB Bahas Perlindungan Pekerja Migran dari Kekerasan Berbasis-Gender

Tanggal 7 Desember 2017, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Nusa Tenggara Barat dan Solidaritas Perempuan Mataram melakukan talkshow di TV9 Mataram, NTB, membahas mengenai upaya perlindungan dan pemenuhan hak pekerja migran dari tindak kekerasan berbasis gender, dengan narasumber Zahratun dari Perkumpukan Panca Karsa, Lilik dari KPI Mataram dan Eli dari Solidaritas Perempuan Mataram.

Memaknai HUT Kemerdekaan RI melalui Partisipasi Perempuan

Pada Rabu, 17 Agustus 2016, Institut Lingkar Pendidikan Alternatif (KAPAL) Perempuan dan mitranya, mengadakan peringatan HUT Kemerdekaan RI ke-71 yang melibatkan para anggota Sekolah Perempuan. Peringatan kemerdekaan ini dirayakan dengan mengadakan sejumlah kegiatan di Jakarta dan juga di Pulau Sabutung, Pangkejene Kepulauan (Pangkep) – Sulawesi Selatan.

Di Jakarta, peringatan 17 Agustus dilaksanakan di halaman Kantor Perpustakaan dan Arsip Jakarta Timur. Sekolah Perempuan Miskin Kota Jakarta di Bantaran Kali Ciliwung dan KAPAL Perempuan melakukan upacara bendera, dilanjutkan dengan pembacaan dan pengiriman puluhan surat kepada Presiden RI yang meminta agar pernikahan anak dihapuskan. Salah satu surat yang berjudul “TEKAD PEREMPUAN”, dibacakan dalam upacara tersebut. Surat ini berisi desakan bagi Kemerdekaan perempuan: “Bebaskan dari perkawinan anak; Sekolahkan anak, jangan kawinkan, demi kualitas hidup perempuan.”

Sementara di Pulau Sabutung Kabupaten Pangkep, Sekolah Perempuan Pulau yang didukung Yayasan Pengkajian Pemberdayaan Masyarakat (YKPM), KAPAL Perempuan dan Program MAMPU, berpartisipasi aktif dalam peringatan 17 Agustus yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Pangkep. Ibu Sahariah, salah satu anggota Sekolah Perempuan Pulau, membacakan teks Pancasila dalam upacara tersebut. Dengan mengenakan seragam pakaian adat Bugis, para anggota Sekolah Perempuan Pulau juga mengikuti upacara dan parade dengan berkeliling pulau, yang dilanjutkan dengan lomba dayung dan perahu.

Sekolah Perempuan adalah kegiatan yang digagas oleh KAPAL Perempuan bersama Program MAMPU, agar perempuan miskin di desa memperoleh akses kepada informasi.

Mahasiswa Universitas Sydney Kunjungi Mitra MAMPU di Sulawesi Selatan

Setelah melakukan kunjungan lapangan di daerah Jakarta, Mahasiswa Universitas Sydney peserta program Sydney South East Asia Centre (SSEAC) berkunjung ke beberapa mitra MAMPU di wilayah Sulawesi Selatan dari tanggal 17-22 Juli 2016.

Kehadiran mahasiswa ini adalah untuk menelaah Program MAMPU terkait dengan penguatan sumberdaya perempuan dari sisi sosial dan ekonomi, termasuk kebijakan yang pro kemiskinan dan pro gender.

Selama di Sulawesi Selatan, para mahasiswa Universitas Sydney berpencar dan mengunjungi mitra dan sub-mitra MAMPU seperti BaKTI, FPMP, YKPM, Koalisi Perempuan Indonesia, KAPAL Perempuan, LMP2EM dan Maupe, yang berada di empat daerah yaitu Kota Makassar, Kota Pare-pare, Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkajene Kepulauan.

Isu-isu yang dipelajari mahasiswa dalam kunjungan lapangan tersebut adalah penguatan DPRD dalam penganggaran pemerintah yang “pro poor dan pro gender”, isu Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), isu keberlanjutan lembaga NGO serta isu pengorganisasian kelompok masyarakat dan advokasi kebijakan.

Di Kota Makassar, Michelle, salah satu peserta program SSEAC, mempelajari strategi keberlanjutan sebuah organisasi melalui BaKTI, sedangkan Bridget belajar tentang sekolah politik perempuan Maupe dan bertemu DPRD dan Dinas Kesehatan di Maros. Adapun Margo dan Maddy mengunjungi Rumah Penyintas Kekerasan di Balai Perempuan Macini Sombala, Koalisi Perempuan Indonesia. Serta Piyusha, Ciaan dan Lies berkunjung ke Pulau Sabutung di Pangkajene untuk melihat langsung aktivitas Sekolah Perempuan – KAPAL Perempuan.

Deputy Director SSEAC University of Sydney Dr Elisabeth Kramer menjelaskan, “Setelah melakukan kunjungan lapangan dan berinteraksi langsung dengan masyarakat dan mitra dampingan MAMPU di Jakarta dan Sulawesi Selatan, para mahasiswa ditugaskan membuat laporan tertulis sesuai dengan bidang tugasnya dan mempresentasikannya sebelum kembali ke Australia”.

Dilaporkan oleh: Lusia Palulungan (BaKTI)

Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA)

Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA)

Sejak 2000, Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) fokus pada pemberdayaan perempuan kepala keluarga untuk menjamin dan meningkatkan penghidupan serta aktif dalam sosial-politik. Didukung oleh Program MAMPU, PEKKA bekerja di 20 provinsi, 34 kabupaten dan 129 desa/kelurahan.

 

Pendekatan yang dikembangkan sebagai mitra MAMPU:

  • KLIK (Klinik Layanan Informasi dan Konsultasi) PEKKA: model layanan keliling untuk menjangkau dan memasukkan rumah tangga yang dikepalai perempuan dalam sistem data nasional, sehingga akses pada program perlindungan sosial meningkat.
  • Membangun kapasitas kepemimpinan dan organisasi perempuan kepala keluarga.
  • Membentuk kelompok simpan-pinjam dan mendukung kegiatan usaha kecil lewat inisiatif PEKKA MART.

 

Capaian dalam program MAMPU:

  • Terbentuknya >600 kelompok perempuan akar rumput beranggotakan >800 perempuan kepala keluarga, yang melahirkan 5.000 kader perempuan
  • Lebih dari 50.000 warga di wilayah kerja PEKKA mengkonsultasikan isu terkait program perlindungan sosial pemerintah melalui KLIK PEKKA
  • Mendorong terbitnya 1.000 akta kelahiran untuk mendukung program nasional 100.000 Akta Kelahiran Gratis
  • Replikasi KLIK PEKKA dengan dana pemerintah daerah di 4 desa di Sukabumi, Jawa Barat, dan 5 kecamatan di Kota Baubau, Sulawesi Tenggara
  • Pada 2018, Bupati Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, menandatangani peraturan untuk mengintegrasikan layanan KLIK PEKKA ke dalam Sistem Layanan dan Rujukan Terpadu (SLRT) di 386 desa untuk memperbaiki data dan akses terhadap perlindungan sosial
  • Advokasi kebijakan Layanan Identitas Hukum (Peraturan Desa tentang Itsbat Nikah, Dana Sosial dan Kesehatan) di berbagai wilayah kerja MAMPU.

Lokakarya Nasional Serikat PEKKA di Bekasi

Pada 20 – 23 Mei 2017, PEKKA (Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga) didukung oleh MAMPU, mengadakan pelatihan dan lokakarya nasional serikat Pekka di Bekasi.

Kegiatan yang mengambil tema “Meningkatkan Kualitas Kehidupan Masyarakat Miskin melalui Akses dan Kontrol terhadap Program Perlindungan Sosial” ini, bertujuan untuk:

  1. Untuk merefleksikan capaian dan perkembangan kegiatan PEKKA dalam setahun terakhir.
  2. Meningkatkan pengetahuan kader dan pengurus PEKKA mengenai program perlindungan sosial.
  3. Meningkatkan skill kader dan pengurus PEKKA dalam melaksanakan KLIK PEKKA dan advokasi kebijakan

Peserta kegiatan lokakarya nasional ini sekitar 60 orang, yang berasal dari 20 provinsi wilayah PEKKA. Mereka adalah perwakilan dari semua wilayah kerja PEKKA dari semua kabupaten/ kota yang didukung oleh MAMPU. Selama lokakarya, peserta dibagi menjadi dua kelas, yaitu:

  • Kelas yang khusus untuk wilayah yang akan melaksanakan kegiatan perlindungan sosial sebagai bagian dari kepemimpinan perempuan, dimana kader dan pengurus yang dilatih harus dapat melakukan pelatihan kembali dan mengembangkannya di wilayah-wilayah lain.
  • Kelas yang khusus untuk melaksanakan program saja. Peserta di kelas ini kebanyakan dari wilayah yang masih belum kuat pengorganisasiannya.

Pada hari ketiga kegiatan, diadakan simulasi pelaksanaan kegiatan KLIK PEKKA, dimana sebagian peserta berperan sebagai masyarakat pelapor dan sebagian lagi berperan sebagai petugas pelaksana KLIK. Terdapat empat meja dalam simulasi: meja pendaftaran, meja perlindungan sosial, meja identitas hukum dan meja pengaduan kekerasan. Hasil dari Simulasi tersebut kemudian dianalisa bersama-sama mengenai informasi apa yang belum ada termasuk apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan saat melaksanakan KLIK.

Selain simulasi, peserta juga dilatih untuk merencanakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan perlindungan sosial, membuat rencananya, mempresentasikannya pada anggota serikat dan membahas bagaimana pertanggungjawaban pelaksanaan kegiatannya. Sesi terakhir adalah bagaimana melakukan advokasi kepada kepala desa atau daerah untuk mengakses anggaran.

Pada hari terakhir, peserta membuat RKTL bersama-sama dalam bentuk poster di satu provinsi yang sama. Mereka membuat target-target kuantitatif yang dapat mereka raih dalam 6 bulan mendatang dan kapan kegiatannya akan dilaksanakan.

Dilaporkan oleh: Dewi Damayanti (Partner Engagement Officer)