Project Brief: KLIK PEKKA

KLIK (Klinik Layanan Informasi dan Konsultasi) PEKKA adalah klinik layanan konsultasi dan informasi bergerak (mobile) untuk membantu meningkatkan akses perempuan miskin dan keluarga mereka ke berbagai layanan dasar pemerintah, khususnya identitas hukum dan berbagai program perlindungan sosial.

Mitra MAMPU, Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), mendorong anggotanya dan masyarakat untuk menghadiri KLIK-PEKKA acara konsultasi dan informasi satu hari atau ‘klinik’ di desa-desa di seluruh negeri di daerah yang didukung Program MAMPU.

Nawala MAMPU Kita Edisi 9 (Mei-Juni 2019)

Nawala MAMPU Kita terbit setiap dua bulan sekali, menyampaikan kabar capaian serta kegiatan Program MAMPU bersama kedua pemerintah dan mitra organisasi masyarakat sipil (OMS).

Program MAMPU adalah program inisiatif bersama antara Pemerintah Australia dan Pemerintah Indonesia. Program ini mendukung Pemerintah Indonesia dalam mencapai Target Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dengan membangun kepemimpinan dan pemberdayaan perempuan, sehingga akses perempuan terhadap pelayanan dasar dan program pemerintah meningkat.

Edisi MAMPU Kita kali ini mengulas partisipasi Program MAMPU dan mitranya dalam konferensi Women Deliver 2019, sejumlah kegiatan mitra yang juga menjadi ajang pernyataan sikap seputar isu perempuan pekerja dan perlindungan perempuan dari kekerasan, serta upaya peningkatan kapasitas mitra MAMPU lewat pelatihan tentang disabilitas serta bisnis sosial.

Nawala dapat diakses melalui tautan berikut

Bahasa Indonesia | Bahasa Inggris

Bicara Kesehatan dan Perempuan di BBL Program MAMPU

Dalam diskusi bulanan Brown Bag Lunch (BBL), Senin (17 Juni), Program MAMPU mengulas isu dan tantangan peningkatan akses dan kualitas Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi perempuan di Indonesia. Diskusi dipandu oleh Nani Zulminarni, Pendiri Yayasan Pemberdayaan Kepala Keluarga (PEKKA), mitra MAMPU untuk area tematik perlindungan sosial.

“Untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat, kita memerlukan gambaran utuh mengenai permasalahan kesehatan, terutama beban penyakit,” papar Tety Rachmawati, Peneliti Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan, dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes) Kementerian Kesehatan RI, di awal acara.

Hasil penelitian Litbangkes Kementerian Kesehatan RI pada 2017 menunjukkan bahwa peningkatan angka harapan hidup perempuan tak berarti kualitas hidup mereka pasti baik. Adapun beban penyakit tertinggi bagi perempuan termasuk penyakit tidak menular (jantung koroner, stroke, diabetes), neoplasma (kanker payudara, serviks, ovarium, paru-paru), kesehatan reproduksi, dan gizi.

Perbincangan tentang JKN tak lepas dari soal pendanaannya. Dalam presentasinya, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Ascobat Gani menggarisbawahi defisit pembiayaan JKN. Menurutnya, hal ini tak lepas dari premi asuransi yang terlalu rendah dibandingkan dengan manfaat yang amat komprehensif. Selain itu, pembiayaan lebih banyak dialokasikan untuk upaya penyembuhan dibandingkan dengan pencegahan dan promosi kesehatan.

“Uang kita habis untuk ‘menjernihkan air di hilir’. Padahal ada banyak hal yang bisa dicegah, dimulai dengan mengubah perilaku. Puskesmas sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama pun perlu diperkuat,” pesan Ascobat.

Tantangan dalam memperkuat layanan JKN, khususnya terkait kesehatan perempuan, turut disoroti oleh Koordinator Advokasi BPJS Kesehatan Timboel Siregar.

Timboel mencontohkan, rumah sakit kerap mengarahkan agar proses persalinan dilakukan dengan operasi caesar, sehingga ibu hamil dan melahirkan menjadi objek bisnis. Sementara itu, Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 menyatakan, kini JKN tidak menjamin korban penganiayaan, kekerasan seksual, terorisme, dan perdagangan orang. Sayangnya, kasus-kasus demikian paling umum dialami oleh perempuan.

“JKN tidak akan pernah sempurna, tapi sudah memberikan manfaat. Kalau ada penurunan manfaat, JKN justru akan kontraproduktif,” pungkas Timboel, yang bekerja untuk perusahaan WriteMyPapers

Project Brief: MAMPU di Aceh

Program MAMPU bekerja di 27 provinsi, 147 kota/kabupaten, mencapai lebih dari 1.100 desa di Indonesia. Di Provinsi Aceh, MAMPU bermitra dengan 5 organisasi masyarakat sipil (OMS) di 52 desa di 8 kabupaten/kota.

Kenali lebih lanjut kerja-kerja Program MAMPU di Aceh lewat publikasi berikut.

Meningkatkan Akses terhadap Program Perlindungan Sosial

Mengapa perlindungan sosial itu penting

Perlindungan sosial dapat membantu menangani kemiskinan, dengan mengurangi ketidaksetaraan dan membangun ketahanan rumah tangga dalam menghadapi hal tak terduga seperti penyakit maupun kecelakaan, yang dapat mendorong masyarakat miskin lebih jauh ke dalam kemiskinan.

Program perlindungan sosial yang efektif dapat berkontribusi pada 14 dari 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB atau SDGs). Pemerintah Indonesia berkomitmen menciptakan sistem perlindungan sosial yang komprehensif lewat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dimulai pada 2014.

Namun, banyak perempuan miskin, seperti mereka yang bekerja di sektor informal, perempuan kepala keluarga dan mereka yang tinggal di daerah terpencil yang masih tidak dapat mengakses program tersebut terutama layanan kesehatan reproduksi. Mereka memiliki pengetahuan yang rendah terhadap persyaratan program, layanan yang diberikan, atau tidak masuk dalam daftar penerima manfaat karena tidak memiliki dokumen identitas.

 

Pendekatan kami

MAMPU mendukung tiga mitra untuk meningkatkan akses perempuan terhadap program-program perlindungan sosial Pemerintah Indonesia khususnya JKN untuk penerima bantuan iuran (JKN-PBI). KAPAL Perempuan, PEKKA dan KPI membangun kepemimpinan perempuan dan memberdayakan agar mampu beradvokasi pada pengambil keputusan untuk meningkatkan akses perempuan terhadap program perlindungan sosial.

Mitra MAMPU memberdayakan perempuan miskin untuk meningkatkan pengaruh mereka dalam pengambilan keputusan. Mereka menggerakkan komunitas dengan peningkatan kesadaran lewat sosialisasi program perlindungan sosial, menangani aduan, serta melakukan pengawasan dan advokasi untuk memperbaiki kualitas data rumah tangga miskin dalam skala sub-nasional. Lewat MAMPU, mereka telah memperluas jaringan ke segala tingkat, mulai dari desa hingga pemerintah dan parlemen.

MAMPU juga memberikan mitra ruangan untuk mencoba model dan strategi baru untuk meningkatkan akses terhadap layanan dan meningkatkan peranan perempuan dalam perencanaan pembangunan di skala lokal untuk memastikan kebijakan dan anggaran memperhatikan aspirasi mereka.

  • KLIK PEKKA, model inisiatif PEKKA mendukung layanan informasi dan konsultasi untuk program perlindungan sosial pemerintah dan dokumen legal.
  • Sekolah Perempuan, inisiatif dari KAPAL Perempuan yang mengorganisasi perempuan, mengajarkan mereka tentang hak-hak perempuan serta membentuk pemimpin perempuan yang aktif terlibat dalam proses pembuatan keputusan di ranah pribadi dan publik.
  • PIPA-JKN inisiatif dari KPI, mengorganisasi kelompok perempuan (Balai Perempuan) dan membentuk pemimpin perempuan yang memonitor akses perempuan ke JKN dengan menampung keluhan masyarakat.

 

Capaian Area Tematik ini:

Berlatih Jadi Pemimpin Perempuan bersama PEKKA di Kalimantan Barat

PAGI itu, sekelompok perempuan di Sungai Ambangah, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, sibuk menggambar. Mereka tengah menggambar wajah masing-masing; tak soal apakah gambar mereka menyerupai aslinya atau tidak. Ibu Nora, misalnya, menggambar wajah seorang perempuan dengan kerudung menaungi kepala dan bibir berwarna merah menyala.

“Saya waktu muda bibirnya merah seperti itu,” ia menjelaskan, disambut tawa dari perempuan-perempuan lainnya.

Perempuan-perempuan ini bukan tengah mengikuti kursus menggambar, melainkan mereka sedang mengikuti rangkaian pelatihan kepemimpinan perempuan PEKKA tingkat provinsi yang berlangsung selama 3 hari.

“Kami meminta mereka menggambar wajah kanan dan kiri. Wajah bagian kanan diberi keterangan mengenai hal-hal positif tentang diri mereka, sedangkan wajah bagian kiri diberi keterangan hal-hal negatif. Kemudian mereka harus presentasi dan menunjukkan saya orangnya seperti ini, kekurangannya ini, kelebihannya ini,” Kak Kholilah, salah satu kader PEKKA di Kalimantan Barat yang memandu pelatihan hari itu, menjelaskan.

Pelatihan kepemimpinan perempuan hari itu diikuti sekitar 28 orang perempuan yang terpilih dari berbagai daerah di Kalimantan Barat, mulai dari Bengkayang, Singkawang, Pinyuh, Rasau Jaya, Kakap, Teluk Pakedai, Kuala Mandor, dan Sungai Raya.

“Pertama-tama, biasanya kami tekankan dulu kepada mereka, bahwa mereka semua adalah pemimpin. Misalnya, ketika ia berperan sebagai orang tua atau ketua kelompok pengajian, adakah proses memimpin di situ? Ada, kan? Kemudian, kami diskusikan juga dengan mereka apa saja kewajiban mereka sebagai pemimpin berdasarkan peran mereka. Apa kewajiban mereka sebagai anak terhadap orangtua, apa kewajiban mereka sebagai pemimpin kelompok terhadap anggota. Di sini mereka sadar akan fungsi mereka, dan tahu tanggung-jawab mereka sebagai pemimpin,” Kak Kholilah menjelaskan.

Dalam pelatihan kepemimpinan ini, para perempuan pun disadarkan akan pentingnya mengatur prioritas dalam kehidupan sehari-hari mereka. Di dinding, mereka menempelkan kertas besar bertuliskan kuadran-kuadran ‘hal penting yang selalu dilakukan’, ‘hal penting yang tidak dilakukan’, ‘hal tidak penting yang tidak dilakukan’, juga ‘hal tidak penting yang selalu dilakukan’. Untuk yang terakhir itu, kebanyakan mengaku senang bergosip dengan tetangga dan menonton telenovela. Meskipun kegiatan ini tidak penting, mereka akui bahwa mereka justru selalu melakukannya.

“Ini juga untuk mengetahui bahwa ada hal-hal penting yang justru mereka abaikan untuk melakukan hal yang tidak penting. Ini kan tentang mengatur prioritas,” ujar Kak Kholilah. “Mereka jadi bisa tahu, apa hal penting yang jadi kewajiban mereka. Jika mereka ketua kelompok, misalnya, mereka penting untuk rajin datang ke rumah anggota.”

Pelatihan kepemimpinan perempuan PEKKA hari itu memang bukan pelatihan pasif di mana peserta hanya mendengarkan—melainkan pelatihan aktif di mana peserta mengerjakan tugas, menggambar, berdiskusi, bahkan berdebat dan melakukan berbagai kegiatan simulasi. Salah satunya adalah berlatih kemampuan dalam bernegosiasi dan mengambil keputusan.

Sebuah skenario pun disusun. Kasus terjadi menjelang Hari Raya Idul Adha. Hanya ada 1 kapal yang akan berangkat ke pulau, dan kapal sudah penuh sehingga hanya bisa ditumpangi 1 orang lagi saja. Namun ada 3 orang lagi yang hendak berangkat ke pulau hari itu: Pak Khatib, Pak Camat, dan Pak Pekerja Sosial.

Pak Khatib mengaku kedatangannya ke pulau sangat penting, karena ia harus memimpin doa dan memberikan ceramah. Pak Camat juga mengaku penting untuk pergi ke pulau, karena ia adalah panitia penyembelihan kurban. Pak Pekerja Sosial juga mengaku penting baginya untuk naik kapal dan berangkat ke pulau karena ia membawa bantuan bagi anak-anak yatim. Masing-masing harus bernegosiasi dengan pemilik kapal agar bisa berangkat ke pulau—dan pemilik kapal pun harus mengambil keputusan siapa yang akan diijinkan naik ke kapal.

Skenario ini pun dimainkan oleh kelompok-kelompok perempuan yang mengikuti pelatihan hari itu; masing-masing harus menjelaskan posisi dan kewajiban mereka, serta meyakinkan pemilik kapal.

“Akhirnya kan kita simpulkan bahwa yang harus pergi Pak Khatib. Karena kalau penyembelihan kurban itu kan bisa dilakukan pada hari kedua, tidak harus hari pertama, jadi Pak Camat bisa pergi keesokan harinya. Pak Camat bisa menitip pesan pada Pak Khatib bahwa penyembelihan kurban akan dilakukan besok. Pak Pekerja Sosial juga bisa menitipkan bantuan anak yatimnya kepada Pak Khatib, dengan memberikan daftar yang harus diisi Pak Khatib sebagai laporan penerimaan bantuan. Pak Khatib memang tetap harus pergi karena tidak ada yang bisa menggantikannya memimpin doa dan memberikan ceramah di pulau,” ujar Kak Kholilah, setelah sebelumnya para peserta juga saling berdebat dan memaksakan bahwa dirinyalah sebagai Pak Camat atau Pak Pekerja Sosial yang sesungguhnya paling penting untuk berangkat ke pulau.

Pelatihan bernegosiasi dan kemampuan untuk mengambil keputusan yang bijak ini terkait dengan pelatihan mengenai jenis-jenis kepemimpinan, mulai dari yang diktator atau egois, yang pasif atau plin-plan, sampai yang asertif atau tegas.

“Intinya kita coba melatih peserta berpikir menang-menang. Dari negosiasi, lalu kita ajarkan mereka untuk bersinergi,” Kak Kholilah menjelaskan. “Sehari-hari, proses ini harus mereka lalui di masyarakat, misalnya di kelompok, bagaimana jika anggota ada yang mau pinjam uang, lalu ketika tidak diberi merajuk dan bilang mau berhenti saja. Kan ada juga proses negosiasi di situ.”

Pelatihan kepemimpinan perempuan PEKKA ini kini juga sudah bisa ditangani langsung oleh pelatih dari PEKKA dan kader-kader mereka. “Dulu kan misalnya hanya saya dan Kak Magdalena yang mengajar, tapi sekarang pelatih sudah bisa tandem dengan kader. Sebelum pelatihan kader sudah diajari untuk membawakan materi, jadi hari ini Dani (kader PEKKA) sudah bisa mengajar. Mereka sudah percaya diri sekarang. Mereka bilang, mereka lebih percaya diri ketika bicara langsung di depan ibu-ibu ini daripada ketika harus latihan membawakan materi di depan kami-kami,”Kak Kholilah tertawa.

Asuransi Berbasis Komunitas dari PEKKA Beri Perlindungan Kesehatan bagi Masyarakat Lembata, NTT

Akses jaminan kesehatan yang belum merata di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT), khususnya di wilayah kerja Yayasan PEKKA, terbantu dengan adanya asuransi berbasis komunitas. Sistemnya, setiap anggota dalam keluarga menyetor uang Rp.15.000 setiap tahun dan ditampung di Lembaga Keuangan Mikro (LKM) PEKKA. Manfaat yang diterima oleh komunitas, mereka memperoleh jaminan kesehatan dan untuk fasilitas rawat inap memperoleh fasilitas senilai Rp.400.000 per orangnya.

LKM juga mengelola koperasi tanpa jaminan, dimana semua anggota yang mengikuti program ini, menyetorkan simpanan wajib sebesar Rp.50.000 satu kali saja, untuk simpanan selanjutnya sukarela, mulai dari Rp1.000 hingga sebesar nominal yang disesuaikan dengan kemampuan anggota. Peminjam hanya dikenakan bunga 2%, sehingga tak memberatkan anggota.

Program MAMPU yang menghadirkan diskusi rutin dalam kelompok, membantu memberikan pemahaman kepada masyarakat terhadap persoalan pentingnya jaminan kesehatan dan keikutsertaan masyarakat dalam Koperasi Simpan Pinjam pun membantu perekonomian setiap keluarga. Hasna Bengang, Sekretaris dari Kelompok Kabenasipe di Desa Kolipadan Kecamatan Ile Ape. Mengungkapkan bahwa sekarang masyarakat yang telah ikut asuransi dan koperasi simpan pinjam, terselamatkan dari pinjaman berbunga tinggi yang selama ini menghampiri mereka.

Dulu kami meminjam uang dari program lain yang datang ke desa ini, sampai sekarang kami masih menyicilnya karena bunganya sangat besar. Kami bersyukur sekali setelah diberikan pemahaman oleh Program MAMPU dalam setiap pertemuan, kami jadi lebih bijak dalam mengelola keuangan termasuk saat memutuskan untuk meminjam uang, kami mulai memilah.” Kata Hasna.

Agnes Peni, Ketua Kelompok Peduli Anak dari Kecamatan Ile Ape Timur juga mengatakan bahwa asuransi berbasis komunitas ini, sangat membantu dalam menunjang jaminan kesehatan bagi setiap anggota kelompok.

Mengingat aktivitas dari anggota kelompok sangat banyak, seperti bekerja di kebun, nelayan, berjualan dan aktif di organisasi. Jadi mempunyai asuransi adalah sangat penting.” Ujarnya.

‘Bank’ At-Taqwa: Ketika Para Ibu Mengelola Asuransi & Produk Keuangan

Mulai dari asuransi kesehatan, asuransi kematian, hingga bermacam simpanan seperti SIMPEDI (Simpanan Pendidikan), SIMPAYA (Simpanan Hari Raya), hingga Simpanan Sukarela—produk keuangan ibu-ibu kelompok At-Taqwa yang dibentuk organisasi PEKKA (Perempuan Kepala Keluarga) di Sungai Ambangah, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, rasanya tak kalah bersaing dengan produk keuangan dari bank-bank nasional yang kita ketahui.

Para ibu di kelompok At-Taqwa sudah cukup lama mengelola produk keuangan mereka sendiri. Dimulai dari asuransi kematian untuk para ibu anggota kelompok di kampung, sebesar 20ribu rupiah per orang.

“Dulu kalau ada orang meninggal kan susah, kalau di kampung sini kan ekonominya kurang. Jadi kalau ada meninggal begitu kan panik, biayanya. Jadi waktu kita kumpul kelompok ada yang punya ide buat asuransi kematian. Dari teman-teman itu juga idenya,” ujar Kak Endang, salah satu anggota kelompok At-Taqwa.

Para ibu kelompok At-Taqwa ini mengaku tak pernah secara khusus belajar mengenai asuransi—dan hanya belajar pelan-pelan seraya menjalankannya. Mereka dengan rajin dan cermat mencatat semua data pemasukan dan pengeluaran di buku-buku besar yang isinya ditulis tangan.

Dari uang asuransi sebanyak 20ribu rupiah itu—yang bisa disetorkan dengan mencicil di awal tahun, ketika meninggal anggota akan mendapatkan manfaat sebesar 250ribu rupiah. Sejauh ini ada 3 orang anggota kelompok yang sudah meninggal dan mendapatkan manfaat asuransi tersebut. Belakangan, uang asuransi yang terkumpul masih banyak, namun tak ada anggota yang meninggal, karenanya berdasarkan musyawarah kelompok, mereka memutuskan untuk menaikkan manfaat asuransi menjadi 350ribu rupiah.

“Kalau untuk asuransi kesehatan itu 1000 rupiah per bulan. Biasanya dipakai untuk ongkos transport ke Puskesmas, karena kalau untuk biaya berobat kan ada yang sudah punya Jamkesmas atau BPJS. Kalau asuransi kesehatan itu membantu juga, karena saya pernah dapat dan sudah pakai,” ujar Ibu Rukiyah, salah satu anggota kelompok lainnya.

Di samping asuransi kematian dan kesehatan, kelompok At-Taqwa juga mengelola berbagai dana simpanan. SIMPEDI (Simpanan Pendidikan) merupakan dana yang dikumpulkan untuk tabungan pendidikan anak. Besaran dana diserahkan kepada kemampuan masing-masing anggota. Dana diserahkan setiap kali kelompok mengadakan pertemuan atau sekitar dua kali sebulan, dan baru bisa diambil pada awal tahun ajaran berikutnya. Biasanya simpanan ini kemudian digunakan untuk membeli berbagai perlengkapan sekolah seperti buku, seragam, dan tas.

“Seperti menabung saja. Sebenarnya bisa juga simpan sendiri, tapi kalau disimpan sendiri biasanya sih uangnya lalu habis dipakai untuk belanja,” seorang ibu berseloroh, disambut gelak tawa anggota kelompok yang lain.

SIMPAYA (Simpanan Hari Raya) juga diberlakukan dengan sistem yang kurang-lebih sama. Para ibu yang tak memiliki anak usia sekolah pun bisa mengalihkan simpanannya ke sini. Setiap pertemuan kelompok, mereka akan menyetorkan uang seadanya, untuk kemudian diambil pada Hari Lebaran. Biasanya, orang-orang yang tengah mencicil biaya asuransi akan langsung melunasi pembayaran asuransinya di Hari Lebaran—begitu menerima hasil Simpanan Hari Raya mereka.

Satu simpanan lagi yang dikelola kelompok At-Taqwa adalah simpanan sukarela. Yang satu ini berfungsi sebagai ‘jaminan’ ketika anggota kelompok hendak meminjam uang. Batas maksimal peminjaman uang adalah 10 kali dari jumlah simpanan sukarela. Jadi, ketika seorang anggota memilii simpanan sukarela sebesar 100ribu rupiah, ia berhak meminjam uang paling besar sebanyak 1juta rupiah. Selama pinjaman masih berjalan dan belum dilunasi, simpanan sukarela peminjam tak dapat diambil.

Di samping produk keuangan seperti asuransi dan simpanan, para anggota kelompok At-Taqwa pun kerap mengadakan arisan beras dan telur. Setiap pertemuan kelompok, setiap anggota datang dengan membawa 2 butir telur dan ½ kilo gula pasir. Lewat sistem kocok, anggota yang namanya keluar bisa membawa pulang seluruh telur dan gula yang dikumpulkan hari itu.

Pada setiap pertemuan kelompok, mereka pun mengumpulkan ‘jimpitan’. Jumlahnya seribu rupiah per orang. Yang 500rupiah digunakan untuk konsumsi arisan, dan yang 500rupiah lagi untuk serikat. Dana serikat nanti digunakan jika anggota kelompok perlu bepergian menghadiri acara-acara yang terkait kepentingan serikat.

Setiap bulan, uang asuransi kematian dan kesehatan dari kelompok At-Taqwa pun disetorkan ke LKM (Lembaga Keuangan Masyarakat).

“Dulu saya pernah bertugas pegang uang itu, saya tidak bisa tidur setiap malam, takut ada yang ambil itu uang,” tutur Ibu Rukiyah.

Bukan hanya kelompok At-Taqwa, kader-kader PEKKA pun memiliki asuransi mereka sendiri.

“Asuransi kader itu lebih kepada asuransi kecelakaan,” ujar Diana, salah satu kader PEKKA. “Karena ini untuk mereka yang bergerak, asuransi ini kita daftarkan ke Bumiputera. Ada polisnya. Ibu-ibu kader kan banyak yang lintas kabupaten, misalnya harus dari Pontianak ke Bengkayang, kan nggak ada asuransinya. Jadi ini cara biar mereka punya keamanan, lah, ya. Karena dulu juga ada pengalaman anggota kecelakaan, jadi penting asuransi ini.”

Untuk asuransi kader PEKKA, biaya polis yang harus dibayarkan sebesar 50ribu rupiah; namun biaya ini dibagi dua: 25ribu rupiah dari kader itu sendiri, sementara 25ribu rupiah lagi ditutup dari dana LKM (Lembaga Keuangan Masyarakat). (***)

Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA)

Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA)

Sejak 2000, Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) fokus pada pemberdayaan perempuan kepala keluarga untuk menjamin dan meningkatkan penghidupan serta aktif dalam sosial-politik. Didukung oleh Program MAMPU, PEKKA bekerja di 20 provinsi, 34 kabupaten dan 129 desa/kelurahan.

 

Pendekatan yang dikembangkan sebagai mitra MAMPU:

  • KLIK (Klinik Layanan Informasi dan Konsultasi) PEKKA: model layanan keliling untuk menjangkau dan memasukkan rumah tangga yang dikepalai perempuan dalam sistem data nasional, sehingga akses pada program perlindungan sosial meningkat.
  • Membangun kapasitas kepemimpinan dan organisasi perempuan kepala keluarga.
  • Membentuk kelompok simpan-pinjam dan mendukung kegiatan usaha kecil lewat inisiatif PEKKA MART.

 

Capaian dalam program MAMPU:

  • Terbentuknya >600 kelompok perempuan akar rumput beranggotakan >800 perempuan kepala keluarga, yang melahirkan 5.000 kader perempuan
  • Lebih dari 50.000 warga di wilayah kerja PEKKA mengkonsultasikan isu terkait program perlindungan sosial pemerintah melalui KLIK PEKKA
  • Mendorong terbitnya 1.000 akta kelahiran untuk mendukung program nasional 100.000 Akta Kelahiran Gratis
  • Replikasi KLIK PEKKA dengan dana pemerintah daerah di 4 desa di Sukabumi, Jawa Barat, dan 5 kecamatan di Kota Baubau, Sulawesi Tenggara
  • Pada 2018, Bupati Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, menandatangani peraturan untuk mengintegrasikan layanan KLIK PEKKA ke dalam Sistem Layanan dan Rujukan Terpadu (SLRT) di 386 desa untuk memperbaiki data dan akses terhadap perlindungan sosial
  • Advokasi kebijakan Layanan Identitas Hukum (Peraturan Desa tentang Itsbat Nikah, Dana Sosial dan Kesehatan) di berbagai wilayah kerja MAMPU.

Lokakarya Nasional Serikat PEKKA di Bekasi

Pada 20 – 23 Mei 2017, PEKKA (Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga) didukung oleh MAMPU, mengadakan pelatihan dan lokakarya nasional serikat Pekka di Bekasi.

Kegiatan yang mengambil tema “Meningkatkan Kualitas Kehidupan Masyarakat Miskin melalui Akses dan Kontrol terhadap Program Perlindungan Sosial” ini, bertujuan untuk:

  1. Untuk merefleksikan capaian dan perkembangan kegiatan PEKKA dalam setahun terakhir.
  2. Meningkatkan pengetahuan kader dan pengurus PEKKA mengenai program perlindungan sosial.
  3. Meningkatkan skill kader dan pengurus PEKKA dalam melaksanakan KLIK PEKKA dan advokasi kebijakan

Peserta kegiatan lokakarya nasional ini sekitar 60 orang, yang berasal dari 20 provinsi wilayah PEKKA. Mereka adalah perwakilan dari semua wilayah kerja PEKKA dari semua kabupaten/ kota yang didukung oleh MAMPU. Selama lokakarya, peserta dibagi menjadi dua kelas, yaitu:

  • Kelas yang khusus untuk wilayah yang akan melaksanakan kegiatan perlindungan sosial sebagai bagian dari kepemimpinan perempuan, dimana kader dan pengurus yang dilatih harus dapat melakukan pelatihan kembali dan mengembangkannya di wilayah-wilayah lain.
  • Kelas yang khusus untuk melaksanakan program saja. Peserta di kelas ini kebanyakan dari wilayah yang masih belum kuat pengorganisasiannya.

Pada hari ketiga kegiatan, diadakan simulasi pelaksanaan kegiatan KLIK PEKKA, dimana sebagian peserta berperan sebagai masyarakat pelapor dan sebagian lagi berperan sebagai petugas pelaksana KLIK. Terdapat empat meja dalam simulasi: meja pendaftaran, meja perlindungan sosial, meja identitas hukum dan meja pengaduan kekerasan. Hasil dari Simulasi tersebut kemudian dianalisa bersama-sama mengenai informasi apa yang belum ada termasuk apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan saat melaksanakan KLIK.

Selain simulasi, peserta juga dilatih untuk merencanakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan perlindungan sosial, membuat rencananya, mempresentasikannya pada anggota serikat dan membahas bagaimana pertanggungjawaban pelaksanaan kegiatannya. Sesi terakhir adalah bagaimana melakukan advokasi kepada kepala desa atau daerah untuk mengakses anggaran.

Pada hari terakhir, peserta membuat RKTL bersama-sama dalam bentuk poster di satu provinsi yang sama. Mereka membuat target-target kuantitatif yang dapat mereka raih dalam 6 bulan mendatang dan kapan kegiatannya akan dilaksanakan.

Dilaporkan oleh: Dewi Damayanti (Partner Engagement Officer)