Kartini di Mata Nani Zulminarni

Menyambut Hari Kartini, MAMPU ingin memperlihatkan Kartini di mata perempuan-perempuan hebat masa kini yang berjuang demi kepentingan perempuan.

Salah satunya adalah Nani Zulminarni. Akrab dipanggil Nani, ia adalah Direktur Eksekutif Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), dan telah bekerja di berbagai program pemberdayaan perempuan di tingkat akar rumput sejak tahun 1987.

Lahir pada 10 September 1962, dan meraih gelar Sarjana Ilmu Perikanan dari Institut Pertanian Bogor serta gelar Master di Sosiologi dari North Carolina State University, Nani mengkhususkan diri dalam pengembangan masyarakat.

Nani telah menggunakan berbagai titik masuk yang berbeda untuk karya-karyanya, seperti kegiatan sosial ekonomi, kesehatan reproduksi dan masalah hak, dan pendidikan politik.

PEKKA adalah salah satu mitra MAMPU yang fokus pada peningkatan akses perempuan ke program-program perlindungan sosial pemerintah.

Berikut hasil duduk bareng MAMPU dengan Nani mengenai Kartini dan nilai-nilai perjuangan Kartini yang beliau ambil untuk perjuangannya bagi perempuan Indonesia.

 

Apa yang biasanya Mbak Nani dengar tentang Kartini dan Hari Kartini?

Selama ini hari Kartini diperingati sebagai hari lahirnya seorang pejuang perempuan Indonesia yang pertama merintis pendidikan untuk perempuan.  Peringatan ini kemudian diaktualisasikan dalam simbol-simbol “keperempuanan”misalnya pada hari itu kaum perempuan akan tampil berkebaya lengkap dengan sanggul sebagaimana Kartini berbusana, lomba memasak dan simbol-simbol lainnya.

 

Sisi mana yang sebenarnya Mbak Nani ingin masyarakat lebih tahu tentang perjuangan Kartini?

Saya ingin masyarakat lebih mengenal Kartini melalui pemikiran-pemikirannya yang progresif, menembus zamannya; yaitu kesetaraan hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan dan kebebasan.

Selain itu saya juga ingin masyarakat lebih memahami bagaimana Kartini mengorbankan cita-citanya sendiri untuk sekolah dan menjadi guru, takluk pada keinginan orang tua yaitu menikah diusia yang sangat muda dalam perkawinan poligami yang sesungguhnya ditentangnya.

Namun demikian dia tidak mematikan cita-citanya, bahkan dia menggunakan posisinya sebagai istri bupati untuk mewujudkan cita-citanya membuka pendidikan bagi perempuan di wilayahnya.  Kartini melawan sebuah sistem dengan cara yang memang hanya dapat dilakukan pada saat itu.  Kartini memanfaatkan semua kesempatan dan potensinya, yaitu menjadi perempuan pintar yang terdidik dengan kemampuan bahasa dan menulis yang baik namun harus tinggal dalam pingitan.

Dia tidak menyerah dalam keterkungkungan, namun menulis untuk menyampaikan perasaan dan pemikirannya pada sahabat-sahabat yang jauh di negeri orang.

 

Apa nilai-nilai dari perjuangan Kartini yang Mbak Nani ambil dan tuangkan dalam perjuangan yang Mba Nani lakukan sekarang?

Ada beberapa hal yang menginspirasi saya dalam melakukan apa yang saya kembangkan saat ini melalui PEKKA.

Pertama; pendidikan bagi perempuan adalah penting, yaitu pendidikan seumur hidup.

Kedua; perempuan tidak boleh menyerah pada sistem yang membelenggunya. Dalam situasi yang seolah tertutup, perempuan pasti bisa menemukan “celah” untuk meneruskan apa yang menjadi cita-citanya.

Ketiga; penting untuk selalu membagi perasaan, pemikiran dan gagasan yang muncul dari dalam diri pada orang lain yang mungkin dapat membantu.

Keempat; perempuan tidak boleh berputus asa, dan harus berfikiran maju melampaui zamannya.

 

Adakah capaian yang Mbak Nani rasa paling membanggakan yang pernah diraih dalam memperjuangkan hak dan kepentingan perempuan Indonesia?

Saya merasa capaian yang paling membuat saya bahagia dalam upaya berkontribusi pada kehidupan perempuan Indonesia yang lebih baik adalah dalam mengorganisir perempuan kepala keluarga (Pekka) miskin.

Pekka yang sebelumnya berada pada strata terendah dalam masyarakat saat ini telah mampu menjadi kelompok masyarakat yang dihormati dan diakui kiprah positif nya dalam masyarakat.

Melalui proses pendidikan pemberdayaan yang kami lakukan di PEKKA, kami melihat perubahan luar biasa; mereka bertransformasi dari korban menjadi pemimpin dan penjuang bagi kelompoknya.

Mereka yang awalnya buta huruf bisa menjadi tutor-tutor pendidikan yang handal.  Mereka yang tadinya tidak faham hak nya dan selalu terpinggirkan dalam berbagai akses, sekarang bahkan mampu memfasilitasi dan membantu masyarakat untuk mendapatkan akses berbagai sumberdaya penghidupan dan perlindungan sosial.

Mereka yang tadinya terkucil dan terpinggirkan, kini terorganisir dalam organisasi Serikat Perempuan Kepala Keluarga, yang telah ada di 20 provinsi, menjadi gerakan sosial yang cukup diperhitungkan. Mereka menjadi organisasi otonom yang mandiri. Ini sangat membanggakan dan membahagiakan saya.

MAMPU Gelar Lokakarya Hasil Temuan Penelitian tentang Aksi Kolektif Perempuan

Program MAMPU bekerja sama dengan lembaga riset Migunani mengadakan Workshop Hasil Temuan Penelitian Aksi Kolektif Perempuan (AKP) di Hotel The Alana, Sleman, Yogyakarta, pada Selasa (21/2). Acara ini bertujuan untuk menjamin mutu penelitian tentang peran 8 mitra MAMPU terpilih; ‘Aisyiyah, Konsorsium Perempuan Sumatra MAMPU (PERMAMPU), Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan), Migrant CARE, Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Institut KAPAL Perempuan dan mitra pekerja rumahan dalam membangun Aksi Kolektif Perempuan (AKP).

Diharapkan melalui workshop tersebut lembaga mitra MAMPU dapat mendiskusikan hasil studi dan memberikan umpan balik untuk perbaikan di masa mendatang.

Acara ini diisi dengan presentasi dari tim Program MAMPU dan Migunani tentang hasil penelitian dan draft laporan di depan mitra terpilih. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa pengorganisasian adalah elemen yang sangat penting dan efektif untuk membuka akses perempuan ke layanan publik. Sebagai bentuk rekomendasi dihasilkan langkah-langkah yang harus diambil untuk membuka akses perempuan ke layanan tersebut, yaitu; membangun kepercayaan diri, menguatkan kepemimpinan dan membuka akses terhadap program pemberdayaan dan pengorganisasian perempuan akar rumput. Ketiga hal ini merupakan komponen penting untuk keberlanjutan capaian dari AKP.

Perempuan Kepala Keluarga NTT Berdaya lewat Program PEKKA

Perempuan kepala keluarga di Nusa Tenggara Timur (NTT) kian bertambah seiring dengan merantaunya para suami ke daerah lain atau ke luar negeri. Sebagian besar dari mereka tak kembali dan tak menafkahi istri beserta anak-anaknya di kampung halaman. Keadaan ini mendesak para perempuan, yang otomatis menjadi kepala keluarga, untuk memikul tanggung jawab menghidupi diri sendiri juga anak-anaknya.

Banyak program pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat yang masuk ke desa-desa di NTT, salah satunya ke Desa Kolipadan, Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata. Bantuan yang diberikan rata-rata hanya cukup untuk kebutuhan jangka pendek, seperti beras miskin (raskin), serta pinjaman uang tunai berbunga dan pembangunan fisik, seperti jalan dan penampungan air hujan. Bantuan tersebut membuat sebagian masyarakat tak bergerak, kurang kreatif dan bermental mengandalkan bantuan. Setelah bantuan habis, tak berdaya lagi.

Melihat kondisi ini, PEKKA (Perempuan Kepala Keluarga), sebuah organisasi yang tersebar di seluruh Indonesia yang didukung oleh MAMPU, berinisiatif untuk membentuk kelompok kader sebagai wadah untuk memberdayakan para perempuan kepala keluarga. Bernadete Deram (45) adalah salah satu fasilitator pertama di PEKKA yang bergabung sejak 2001. Ia menangani permasalahan organisasi dan menerima konsultasi kelompok. Ia menjadi koordinator kelompok PEKKA untuk Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Lembata. Amanah yang diembannya dilaksanakan dengan totalitas, sehingga tak heran jika komunitas kian berkembang dan anggota PEKKA di daerah binaannya bergabung atas motivasi mereka sendiri. Hal ini dilandasi oleh kebutuhan ilmu, informasi dan relasi. Bernadete dan tim kerap memberikan berbagai pelatihan seperti paralegal, pembukuan dan pengembalian pemahaman tentang kebersamaan, gotong royong serta ketahanan pangan.

Perubahan signifikan terlihat setelah program MAMPU masuk melalui PEKKA, yang memfasilitasi diskusi rutin. Diskusi tersebut memberikan pemahaman yang lebih dalam untuk kemandirian dan memunculkan kreativitas. Dalam diskusi MAMPU, juga diberikan pemahaman tentang hak-hak perempuan kepala keluarga yang sama dengan kepala keluarga laki-laki, seperti berhak diakui secara sah dan berhak memiliki kartu keluarga sendiri untuk kepentingan segala urusan. Dikatakan Bernadete, bahwa selama ini, budaya patriarki masih sangat kuat di wilayah NTT, termasuk di daerah binaannya sehingga mayoritas perempuan kepala keluarga tidak mendapatkan pengakuan.

“Jika ada diskusi, kami sekarang selalu melibatkan pemerintah daerah, kepala adat dan masyarakat luas sehingga dapat memberikan pemahaman yang tidak satu arah. Termasuk pemahaman tentang ketahanan pangan dan pentingnya dokumen kartu keluarga dan lain-lain untuk para perempuan kepala keluarga” , kata Bernadete.

Hasna Bengang (48) anggota PEKKA yang bertugas sebagai sekretaris di Kelompok Kabenasipe, merasakan perubahan yang baik setelah mengikuti diskusi rutin MAMPU yang diadakan empat kali dalam sebulan.

“Program MAMPU benar-benar memberikan saya kehidupan yang lebih baik dengan bantuan berupa pemahaman. Lebih dari sekadar diberikan bantuan beras, uang atau lain-lainnya. Sebab dengan bantuan pemberian pemahaman, membuat saya mendapatkan lebih apa yang saya butuhkan. Saya jadi semangat bekerja dan berkarya. Penghasilan pun selalu ada” , ujar Hasna.

Ketulusan pernyataannya tergambar saat ia menjelaskan bahwa program MAMPU memperkuat misi yang digerakkan PEKKA, seperti ketahanan pangan. Sebelumnya mereka membeli kebutuhan pokok dari luar, namun sekarang mereka sudah memanfaatkan lahan untuk ditanami jagung, kacang hijau, singkong, pisang dan lain-lain. Lumbung bersama pun disediakan sebagai cadangan jika diperlukan. Dengan demikian, penghasilan mereka berputar di desa tersebut dan perempuan kepala keluarga selalu ada solusi untuk kebutuhan sehari-harinya.

Setelah ditinggal suaminya, Fajaria Jari (42) yang kini menjabat sebagai ketua di Kelompok Kabenasipe, awalnya sering meratapi nasib dan nyaris putus asa. Setelah bergabung di PEKKA dan ikut program MAMPU, Ia tak menjadikan alasan statusnya untuk meratapi nasib.

“Hidup harus dilanjutkan, anak saya hanya bergantung pada saya, apapun saya lakukan untuk mempertahankan hidup. Saya jualan ikan, kacang hijau, menjadi nelayan dan bertenun. Saya lakukan semuanya untuk anak. Kini, anak saya sedang kuliah di Akademi Kebidanan di Jayapura, empat bulan lagi selesai” , ujar Fajaria tanpa menyembunyikan rasa haru.

Selaku ketua pengurus koperasi simpan pinjam dan asuransi berbasis masyarakat di Kelompok Kabenasipe, Fajaria menjelaskan, “Dengan adanya program ini, masyarakat tak lagi dibebani pinjaman berbunga. Asas gotong royong yang diterapkan. Setiap anggota yang berjumlah 25 orang menyetor simpanan wajib sebesar Lima Puluh Ribu Rupiah satu kali saja. Selanjutnya menyetor mulai dari seribu rupiah sampai lima ribu rupiah sebagai simpanan sukarela, tergantung kesanggupan masing-masing anggota. Selanjutnya setiap anggota dilihat apa kebutuhannya dan akan dipenuhi dari hasil simpanan mereka dalam bentuk sembako. Sedangkan untuk asuransi, anggota menyetor kas sebesar lima belas ribu rupiah untuk setiap tahunnya. Jika ada yang sakit, mereka berhak memperoleh biaya sampai rawat inap dengan biaya empat ratus ribu rupiah.”

Maria Barek (58) anggota dari Kelompok Gawe Gere, Desa Beutaran, Kecamatan Ile Ape juga merasakan perubahan setelah mengikuti perkumpulan PEKKA dan hadir di diskusi rutin MAMPU.

“Pikiran saya tidak beku dan tidak terus hanyut dalam persoalan hidup setelah ditinggal suami. Dengan ikut kegiatan di Gawe Gere, saya jadi banyak teman untuk curhat dan banyak hal bermanfaat yang bisa dilakukan, seperti bekerja di kebun bersama, masak dan makan bersama” , kata Maria.

Pernyataan Maria Barek dibenarkan oleh Yustina Ola (46) selaku Bendahara Kelompok Gawe Gere. Menurutnya, anggota kelompok semuanya diberdayakan, “Tidak ada yang menganggur dan rata-rata mereka bekerja maksimal dan berhasil membuat Desa Beutaran sebagai penghasil kacang hijau terbesar. Semua hasil kerjasama dan gotong royong antar anggota.” Yustina memberikan penjelasan.

Beralih ke Desa Tanjung Batu, Kecamatan Ile Ape. Program MAMPU di sana memberi pemahaman luas dalam mengoptimalisasikan mata pencaharian. Kelompok Kasih Ibu memberdayakan anggotanya untuk mempunyai alternatif dalam mencari penghasilan.

Menurut Mariam Mahmud (53) selaku ketua Kelompok menyatakan , “Dari hasil diskusi rutin bersama MAMPU, semakin memperkaya pemikiran masing-masing anggota. Kami menjadi lebih kritis dan berhasil menciptakan inovasi dalam berkarya. Contohnya dalam usaha tenun bersama, kami menekankan menggunakan bahan alami, mulai dari bahan baku sampai pewarna. Walau prosesnya lama, itu sudah menjadi komitmen kami. Tujuannya supaya punya ciri khas.” Kata Mariam.

Mariam juga menjelaskan bahwa mengembalikan tradisi menenun dengan bahan alami diterapkan ke muda mudi sebagai upaya regenerasi. Selain dari menenun, sumber penghasilan anggota komunitas Kasih Ibu juga berasal dari berkebun jagung, kacang hijau, kacang tanah dan menjadi nelayan. Jika musim paceklik tiba, menenun adalah kegiatan alternatif bagi mereka. Jadi, selalu ada solusi dalam mencari mata pencaharian. Koperasi simpan pinjam, lumbung bersama dan asuransi kesehatan di Komunitas Kasih Ibu sama prosedurnya dengan Komunitas Kabenasipe dan Komunitas Gawe Gere.

Ditulis oleh: Ani Berta (PEKKA)

Menabung di Lumbung Beras ala Ibu-ibu PEKKA di Kubu Raya, Kalimantan Barat

Bisakah beras terus bertambah dan berbunga ketika disimpan di lumbung padi, seperti uang yang terus bertambah dan berbunga ketika disimpan di bank? Ternyata bisa. Kelompok ibu-ibu binaan lembaga PEKKA (Perempuan Kepala Keluarga) di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat sudah membuktikannya.

“Karena banyak anggota kelompok kita yang bertani, waktu itu setelah panen, setiap anggota kumpulkan 25 kilo beras. Dulu di kelompok kita ada sekitar 19 orang, jadi itu sudah dapat lebih dari 400 kilo beras, sekitar 4 kwintal. Ini kita simpan di lumbung,” ujar Ibu Siti Komariyah dari kelompok Sumber Makmur, yang memulai Lumbung Padi mereka di tahun 2010.

“Nanti, anggota yang membutuhkan bisa meminjam beras dari lumbung. Untuk setiap 1 kwintal beras yang dipinjam, jasa atau bunganya 20 kilo per tahun. Ini nanti dibayarkan pada musim panen berikutnya. Jadi kalau kita punya 4 kwintal beras, kita bisa dapat tambahan beras 80 kilo per tahun di lumbung—hanya dari biaya orang bayar jasa saja.”

Menyimpan beras di lumbung padi bukan tak ada risikonya. Ketika disimpan dalam waktu lama, ada-ada saja yang bisa terjadi, mulai dari beras yang berkutu—atau dimakan tikus. “Tapi sekarang kita sudah tahu bagaimana cara menangkalnya,” Ibu Tri Wahyuni menambahkan. “Kita bisa iris-iris daun pandan untuk disebarkan di lumbung. Kemudian kalau malam juga kita nyalakan lampu 5 Watt di dalam. Kalau gelap itu banyak tikus, tapi kalau terang tidak.”

Kini ada tiga kelompok perempuan PEKKA di Rasau, Kabupatan Kubu Raya, yang mengelola lumbung padinya masing-masing: kelompok Sumber Makmur di Rasau Jaya III, serta kelompok Mekar Jaya dan Jaya Berkembang di Rasau Jaya Umum.

“Kita juga waktu itu kan lihat contoh dari Sumber Makmur,” kata Ibu Tri Wahyuni, ketua kelompok Jaya Berkembang.

“Awalnya kita pikir, di sini banyak yang sudah punya lumbung sendiri, bagaimana kalau nanti padi kita tidak ada yang pinjam. Tapi kan anggota kita ada juga yang tidak berladang, daripada mereka beli beras banyak-banyak di luar, bisa beli di lumbung kita saja. Ini kan menguntungkan lagi nantinya untuk kelompok kita sendiri.”

Awal membangun lumbung, ibu-ibu sempat meminjam lahan bekas warung—karena belum ada modal dan bantuan. Namun ketika turun dana bantuan dari program MAMPU bersama PEKKA, kini mereka bisa membangun lumbung sendiri. Kira-kira dibutuhkan biaya sekitar 8 juta rupiah untuk membangun satu lumbung padi. Mulai dari pembelian paku, engsel, dan lain-lain, semua pengeluaran untuk pembangunan lumbung dicatat dengan baik beserta bukti-bukti pembeliannya, untuk dilaporkan kembali.

“Kita merasa tertolong dengan adanya lumbung ini. Dulu kan kalau paceklik kita susah cari beras. Kalau pinjam di lumbung kan jasa tidak mahal. Kalau tahun berikutnya kita panen, tinggal kita kembalikan modal pokok dan jasanya,” kata Ibu Siti Qoriyatun.

Jika panen berhasil dan anggota kelompok tak membutuhkan pinjaman beras, kelompok dapat bermusyawarah untuk menjual sejumlah beras yang terkumpul di lumbung mereka. Nantinya, hasil penjualan beras ini dapat dibagikan lagi di antara semua anggota kelompok, dan bisa digunakan untuk membeli keperluan bertani seperti pupuk dan herbisida.

Peminjaman beras untuk anggota kelompok pun tak bisa dilakukan secara semena-mena. Ada batas maksimal peminjaman beras yang harus disepakati oleh seluruh anggota kelompok lewat musyawarah.

“Kita kan harus memastikan bahwa ada pemerataan,” ujar Ibu Tri. “Bagaimana kalau ada satu orang yang pinjam banyak sekali—lalu nanti ada anggota lain yang mau pinjam dan stok berasnya habis? Maka kita harus atur jatah dan diskusikan dengan semua anggota kelompok terlebih dahulu. Misalnya ada kelompok yang batas pinjam maksimalnya adalah 50 kilo.”

Saat ini, kegiatan simpan-pinjam beras ini masih dibatasi khusus untuk anggota kelompok saja—yang semuanya adalah kader PEKKA.

“Kalau ada orang luar mau pinjam, ya kita tanya apakah dia mau juga jadi kader PEKKA—dan menjalankan kewajibannya sebagai anggota PEKKA. Tidak bisa kalau dia hanya mau jadi anggota lumbung saja, tapi tidak ikut kegiatan PEKKA,” ujar Ibu Kartinah, salah satu kader aktif PEKKA dari Rasau. “Istilahnya kan, kalau mereka hanya mau ikut lumbung tapi tak mau ikut PEKKA, mereka mau senangnya saja. Padahal kan kita baiknya susah-senang itu sama-sama.”

Pengawasan dalam pengembalian peminjaman beras juga menjadi lebih mudah dilakukan jika simpan-pinjam hanya dilakukan oleh sesama anggota.

“Jadi misalnya ada yang dulu pinjam beras, kita kan bisa lihat sawahnya, oh, tahun ini panen dia berhasil! Kan kita tahu itu, jadi kita tahu dia punya modal untuk kembalikan pinjaman beras, dan dia pun tidak punya alasan untuk tidak mengembalikan, kan,” Ibu Tri Wahyuni menjelaskan.

Di luar Lumbung Padi, setiap kelompok perempuan di Rasau juga melakukan jimpitan atau arisan beras. Dalam setiap pertemuan kelompok PEKKA, anggota datang dengan membawa beras, telur, atau gula. Jumlahnya beragam sesuai dengan hasil musyawarah kelompok. Misalnya, di kelompok Mekar Jaya, tiap pertemuan kelompok mereka masing-masing menyetorkan sekilo beras dan dua butir telur. Karena mereka memiliki 28 anggota, ini berarti ada 28 kilo beras dan 56 butir telur yang terkumpul setiap dua minggu sekali.

“Nanti kita kocok nama-nama anggota, nama yang keluar akan mendapatkan beras dan telur yang terkumpul hari itu,” kata Ibu Kartinah. “Kalau ada nama yang keluar tapi orangnya tidak hadir, kita masukkan lagi namanya ke kocokan, lalu kita kocok lagi sampai keluar nama orang yang hadir. Jadi ini kan menyemangati ibu-ibu juga supaya selalu hadir di setiap pertemuan PEKKA. Kan sayang kalau dia tidak hadir, tapi namanya keluar, dia tidak bisa dapat arisannya.”

PEKKA Menyelaraskan Adat dalam Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga di NTT

Kekuatan adat istiadat di Lembata, Nusa Tenggara Timur, masih sangat kuat dan tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari perempuan di daerah tersebut. Perdebatan tentang kepemilikan dokumen legal pemerintah seperti Kartu Keluarga dan Akta Kelahiran anak bagi perempuan kepala keluarga (pekka) masih sering terjadi karena secara adat umumnya kepala keluarga adalah laki-laki. Selain itu, kuatnya adat yang mewajibkan warga tanpa pengecualian untuk memberi materi untuk pesta keluarga, kerap membebani kehidupan perempuan dan keluarganya. Kuatnya adat ini yang menurut perempuan menghambat gerak mereka.

PEKKA, dengan dukungan Program MAMPU, hadir untuk membuka pemahaman program-program perlindungan sosial pemerintah dan pentingnya dokumen legal pemerintah bagi perempuan kepala keluarga untuk mengakses program-program tersebut. Selain itu, PEKKA rutin melakukan diskusi dengan kelompok perempuan kepala keluarga di Lembata. Melalui diskusi-diskusi ini, PEKKA juga memberikan pelatihan keterampilan agar para mereka mempunyai keahlian dalam berbagai bidang.

Agnes Peni adalah ketua kelompok salah satu kelompok pekka di Lembata. Agnes bertugas untuk membuat dan melaksanakan program kerja kelompok. Agnes yang ditinggal suaminya merantau ke Batam ini merasakan tantangan menjadi seorang kepala keluarga tanpa dokumen legal. Oleh karena itu, pendampingan para perempuan kepala keluarga untuk memiliki dokumen legal adalah salah satu kegiatan yang dilakukannya.

“Di Desa Lemau ini, sebagian besar perempuan kepala keluarga sudah memiliki dokumen sah seperti kartu keluarga dan akta kelahiran anak yang boleh menyantumkan nama ibu dan anak saja. Keberhasilan ini berkat mediasi antara warga, pemerintah daerah dan kepala adat. Sekarang kita gunakan dokumen-dokumen tersebut untuk mengakses program sosial pemerintah.” Kata Agnes.

Ada beberapa kegiatan rutin yang dilakukannya dalam program kerja kelompoknya. Yang pertama adalah “Koperasi Sembilan Bahan Pokok” (sembako). Perempuan pekka dapat meminjam sembako yang dibutuhkannya, dan “membayar kembali” pinjaman tersebut dengan bahan pokok yang sama.

Kedua, PEKKA mengenalkan asuransi berbasis masyarakat. Pekka wajib mengumpulkan satu kali simpanan wajib sebesar Rp.50.000 (AUD$ 50), selanjutnya simpanan sukarela mulai Rp.1.000 (AUD 10c) sampai Rp.5.000 (AUD 50c) tergantung kesanggupan masing-masing anggota.

Ketiga, Agnes juga membuat program “Arisan Kayu Bakar”. Melalui arisan ini, setiap anggota kelompok mengumpulkan ranting-ranting kering dari kebun atau hutan dan hasilnya bergilir diberikan ke setiap anggota yang membutuhkan.

“Kayu yang kami ambil bukan hasil tebangan dengan sengaja. Kami hanya memungut ranting-ranting kering yang sudah jatuh jadi tak merusak lingkungan. Setelah semua dikumpulkan, kita membagikan hasilnya ke anggota yang membutuhkan kayu bakar.”Agnes menjelaskan.

Anggota kelompok juga bebas memberikan ide untuk Agnes dalam berkegiatan. Sebagian besar perempuan pekka adalah penenun dan berladang. Untuk ladang kopi dan jagung yang mereka punya, mereka membutuhkan pupuk. Oleh karena itu, atas kesepakatan bersama, mereka membuat “Bank Sampah”. Sampah yang dapat diperbaharui dikumpulkan menjadi bahan untuk kerajinan tangan yang dapat dijual, seperti membuat tas dan taplak meja. Sedangkan sampah organik, ditampung di bak penampungan pinggir sungai yang jauh dari pemukiman untuk dibakar dan hasilnya dijadikan pupuk yang digunakan untuk kepentingan bersama anggota kelompok.

“Sebelumnya kami membeli pupuk di luar, sejak ada bank sampah kami tertolong karena terhindar dari harga pupuk mahal dan kandungan bahan kimia pada pupuk yang biasa dibeli.” ujar Agnes.

Semua kegiatan kelompok bermaksud untuk meningkatkan kepercayaan diri dan kemandirian para perempuan kepala keluarga. Menurut Agnes, pemahaman yang diberikan dalam diskusi rutin MAMPU memberi dampak banyak perubahan baik, dalam hal kemandirian untuk memenuhi kebutuhan perempuan kepala keluarga.

“Melalui kelompok, pemahaman-pemahaman itu berhasil memberi pembeda namun bisa diselaraskan, antara memenuhi hak dasar dan memelihara adat. Sehingga dua-duanya bisa berjalan. Adat pun merupakan warisan leluhur yang patut dipelihara,” pungkasnya.

Dari Buta Huruf menjadi Pelayan Desa Lewat Program Keaksaraan Fungsional

Bu Nurjannah, 41 tahun adalah salah seorang kader Pekka di Nusa Tenggara Barat (NTB). Ia berhenti sekolah saat kelas 3 SD.

Ia menikah dua kali. Suami pertamanya meninggal dunia. Kemudian Bu Nurjannah menikah untuk yang kedua kalinya karena menjadi korban adat merarik. Adat merarikdi NTB adalah suatu adat dimana apabila seorang perempuan dilarikan seorang laki-laki, maka mereka harus dinikahkan. Jika tidak menikah, masyarakat akan memandang rendah sang perempuan. Tidak jarang, perempuan memilih untuk menikah walaupun hanya untuk satu malam, dan keesokan harinya langsung bercerai. Hal ini terjadi pada Bu Nurjannah. Pernikahan keduanya bertahan 7 bulan.

Hingga sekarang, Bu Nurjanah tidak menikah lagi karena trauma. Selain itu, ia pun sibuk bekerja karena bertanggung jawab mengurus ayahnya yang berusia 56 tahun dan bibinya yang buta. Seluruh kebutuhan mereka menjadi tanggung jawab Nurjannah.

Karena ketidakmampuannya dalam baca dan tulis, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Nurjannah bekerja menjahit kipas untuk orang yang pergi haji, dan juga berjualan es mambo seharga Rp.500-1000. Pendapatan rata-rata yang didapatnya per hari sekitar Rp. 25.000. Uang sebesar Rp. 15.000 dipakainya untuk membeli beras dan lauk. Sedangkan sisa uang Rp. 10.000, disisihkannya untuk biaya perawatan ayahnya jika sakit dan kebutuhan lainnya.

Setelah bercerai, ia diberi tahu kalau ada program PEKKA di Nusa Tenggara Barat (NTB). Nurjanah ikut bergabung ke kelompok PEKKA sehingga dapat melupakan kesulitan hidupnya. Saat PEKKA memulai program Keaksaraan Fungsional (KF), sebuah program belajar baca tulis, Nurjanah turut masuk menjadi warga belajarnya. Selama 3 tahun belajar, akhirnya ia dapat membaca dan menulis dengan lancar.

Kegiatan KF merupakan bagian dari program pendidikan yang termasuk kegiatan livelihood PEKKA di NTB yang didukung oleh Program MAMPU. Program KF ditujukan untuk meningkatkan kemampuan membaca dan menulis para anggota PEKKA, agar dapat menambah pengetahuan yang diperlukan dalam menjalani kehidupan. Para anggota PEKKA belajar KF di kelompok masing-masing sebanyak tiga kali seminggu. Kegiatan ini difasilitasi langsung oleh kader dan fasilitator lapang PEKKA.

Nurjannah tidak berhenti di situ, Ia kemudian mendaftar menjadi tutor KF. Saat ini Nurjanah bertanggung jawab menjadi tutor di 3 kelas dengan total warga belajar 62 orang; satu kelas KF dengan warga belajar yang buta huruf sama sekali, satu kelas yang warga belajarnya mulai mengenal huruf dan satu kelas hukum yaitu warga belajar yang sudah mulai pandai membaca dan saat belajar diisi dengan materi isu hukum.

Setelah mengikuti program KF PEKKA ini, saya merasakan banyak perubahan positif dalam dirinya. Yang paling berkesan itu, dapat ijazah setara SD setelah ikut Kejar Paket A. Saya berharap ijazah ini dapat membantu menggapai mimpinya mendapatkan pekerjaan. Ungkap Nurjannah.

Untuk semakin meningkatkan peranannya di masyarakat, Bu Nurjanah berkeinginan menjadi anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Namun ia kecewa karena tidak diperbolehkan oleh kepala desa karena syaratnya harus punya ijazah SMA, sedangkan Nurjannah hanya punya ijazah Paket A, setara Sekolah Dasar.

Karena peristiwa ini, Nurjannah bercita-cita untuk dapat ikut program Kejar paket B dan Kejar Paket C, sehingga suatu saat nanti, ia dapat menjadi bagian dari BPD. Alasan Bu Nurjannah ingin ikut terlibat dalam kegiatan desa adalah karena ia merasa anggota BPD yang ada saat ini tidak aktif membangun desa.

Niat Bu Nurjanah untuk aktif di desanya tidak surut. Ia menjadi anggota tim sebelas yang berperan sebagai pengawas setiap proyek yang dilakukan di desa, seperti pengawas penyaluran beasiswa anak SD, pengawas kegiatan pengolahan sampah, maupun pengawas pembangunan insfrastruktur di desanya. Selain itu, Bu Nurjannah juga aktif di PKK, kader posyandu,  membantu masyarakat membuat kartu identitas diri, memberi informasi tentang isu hukum, mendampingi masyarakat ke pengadilan mengurus gugat cerai, hak asuh anak, dan membantu masyarakat mendapatkan BPJS.

Maju terus, Nurjannah!

Kegiatan PEKKA Asah Kepercayaan Diri Perempuan Desa

Ibu Hapsah, 43 tahun, adalah salah satu kader Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) dari kelompok Alur Sabarataan, Kalimantan Selatan. Bu Hapsah mulai bergabung sebagai anggota PEKKA tahun 2013.

Menikah dengan seorang lelaki, Hapsah memiliki satu anak perempuan dan seorang cucu. Keluarganya mengandalkan hasil panen untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya sepanjang tahun. Suaminya tidak bisa membantu banyak karena pekerjaan suaminya tidak tetap, kadang menjual ikan, kadang tidak bekerja sama sekali.

Dulu, Bu Hapsah tidak bisa membaca dan menulis. Walaupun Ia pernah bersekolah di Madrasah selama 6 tahun, tetapi fokus belajarnya hanya membaca Al Quran. Dua tahun lalu, Hapsah mengikuti sebuah program PEKKA, mitra MAMPU yang bernama Keaksaraan Fungsional (KF).

Kegiatan KF merupakan bagian dari program pendidikan yang termasuk kegiatan livelihood dalam Program PEKKA-MAMPU di Kalimantan Selatan. Program ini ditujukan untuk meningkatkan kemampuan membaca dan menulis para anggota PEKKA, agar dapat menambah pengetahuan yang diperlukan dalam menjalani kehidupan. Para anggota PEKKA belajar KF di kelompok masing-masing sebanyak tiga kali seminggu. Kegiatan ini difasilitasi langsung oleh kader dan fasilitator lapang PEKKA.

Keinginan belajar Bu Hapsah sangat tinggi. Kadangkala jika ada kesempatan, ia meminta fasilitator lapang PEKKA untuk mendengarkannya membaca buku dan memeriksa kualitas membacanya.

“Saya merasa sangat senang. Sekarang saya bisa membaca buku di perpustakaan desa”, ungkap Bu Hapsah.

Sekarang setelah bisa membaca dan menulis, Bu Hapsah merasakan dampak lain dari aktivitasnya mengikuti kegiatan KF. Sekarang, ia mendapatkan kepercayaan dari masyarakat dan desa untuk membantu pekerjaan di kantor desa. Dari keterlibatan Bu Hapsah di kantor desa, ia mendapat uang sekitar Rp 200.000,-/ bulan. Uang tersebut dipergunakan untuk membantu biaya hidup sehari-hari keluarganya.

Tidak hanya itu, ia juga dipercaya masyarakat desa untuk melakukan berbagai kegiatan, misalnya membantu mengelola kegiatan posyandu di desa, mengurus dokumen di desa, mengantarkan undangan rapat desa dan membantu mengelola pembagian Beras untuk Keluarga Miskin (Raskin).

“Ini merupakan perubahan yang besar yang terjadi dalam diri saya. Sebelumnya saya bukan siapa-siapa, tidak pernah terlibat dalam kegiatan di desa. Tapi sekarang kepala desa dan masyarakat mulai melibatkan diri saya dalam kegiatan di desa”, ujar Bu Hapsah.

Hapsah juga dipercaya sebagai kader PEKKA. Dalam peranannya ini, Hapsah juga memerlukan kemampuan untuk memimpin kelompok saat pertemuan rutin bulanan. Ia pun belajar memfasilitasi kelompok dan berbicara di depan anggota kelompoknya.

Terkait kemampuan berbicara di depan umum, ada satu peristiwa yang selalu ia ingat saat mengikuti kegiatan pelatihan MAMPU di Jakarta.

“Dalam pelatihan saya diminta untuk berbicara di depan peserta pelatihan yang berasal dari berbagai provinsi. Keringat dingin mengucur, bingung. Saya berlatih berbicara sendiri menggunakan mikrofon yang masih menyala ketika yang lain makan siang. Alhasil suara saya terdengar kemana-mana. Peserta lain marah. Tetapi tidak apa, saya ingin sekali bisa bicara seperti orang lain. Mudah-mudahan saya bisa berbicara di depan publik lebih baik lagi. Hapsah mengakhiri ceritanya.

Radio Komunitas PEKKA, dari Kirim Salam, Mengaji, hingga Tersetrum

SETIAP malam Jumat, Ibu Rukiyah—yang usianya sudah mendekati akhir enam puluhan—melangkah menuju stasiun radio di Desa Sungai Ambangah, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Begitu memasuki ruang siaran, ia akan segera menyiapkan materi, duduk untuk mengatur volume suara, mengenakan headphone, kemudian mulai melantunkan Surat Yasin lewat mikrofon. Ya, setiap malam Jumat, Ibu Rukiyah ‘siaran’ di radio komunitas PEKKA (Perempuan Kepala Keluarga) Khatulistiwa 107.7 FM.

“Yang kelola ibu-ibu dan bapak-bapak,” Ibu Rukiyah menjelaskan. “Ibu-ibu siarannya dari jam 4 sampai setengah 6 sore. Nanti lepas maghrib lanjut lagi sampai tengah malam. Biasanya itu lanjut bapak-bapak yang buat pantun, puisi, atau sapa pendengar. Bisa kirim-kirim salam begitu.”

Ibu-ibu di Sungai Ambangah sendiri biasanya bergantian membacakan ‘materi’ ketika tengah siaran di radio. Mereka punya waktu sekitar satu jam untuk menyampaikan beragam isu terkait pendidikan, hukum, atau politik—yang mereka dapatkan dari pelatihan-pelatihan organisasi PEKKA. Untuk siaran radio dan mengurus radio komunitas sendiri, mereka sudah mendapatkan pelatihan dari Lembaga Penyiaran Swasta (LPS).

Awalnya mereka mengaku deg-degan juga ketika harus membacakan materi di radio, apalagi ketika mereka mengetahui bahwa ada banyak orang yang bisa mendengarkan siaran mereka—bahkan sampai di Pinang Dua, Kabupaten Kubu Raya.

“Susah itu ngomongnya kalau siaran. Beda dengan kalau ngomong sama ibu-ibu yang lain,” ujar Kak Kholilah, salah satu kader PEKKA. “Dulu saja itu Kak Magdalena (sekretaris PEKKA di Pontianak, Kalimantan Barat) sempat salah. Mau siaran dia bilang selamat-sore-menjelang-siang. Sama teman-teman komunitas langsung dikirim BBM (BlackBerry Messenger), ndak ada itu sore menjelang siang!” Kak Kholilah tertawa. “Ya, ternyata siaran kita itu selalu dipantau juga oleh sesama radio komunitas lain!”

Meski masih sebatas membacakan materi yang didapatkan dari pelatihan PEKKA, ibu-ibu ‘penyiar’ radio PEKKA Khatulistiwa mengaku senang karena bisa meneruskan materi yang mereka dapatkan kepada masyarakat. Siaran radio mereka anggap cara yang efektif untuk menyampaikan informasi mengenai undang-undang desa, pendidikan anak, asupan gizi, dan lain sebagainya kepada masyarakat luas. Pendengar pun bisa menelepon ke stasiun radio mereka.

Namun sudah sekitar empat bulan terakhir ini, radio komunitas PEKKA Khatulistiwa berhenti siaran. Frekuensi radio mereka tertimpa oleh radio lain. “Ada radio apa itu ya namanya. Jadi pas siaran suara kita tenggelam dengan suara radio lain yang masuk, ya tidak bisa dengar suara siaran kita. Sudah dilaporkan juga ke KPID (Komisi Penyiaran Indonesia Daerah), tapi belum dapat jadwal mediasinya,” Kak Kholilah menjelaskan.

“Sebelumnya juga banyak yang sudah sibuk berladang, jadi nggak sering siaran,” ujar Bu Rukiyah. “Belakangan itu alat radionya juga suka nyetrum, jadi kita agak takut-takut pegangnya.” (***)

Kunjungan Lapangan Tim MAMPU dan Kedutaan Australia ke Waowala, Lembata, NTT

Pada 29 Agustus 2016, Tim MAMPU bersama dengan Perwakilan dari Kedutaan Besar Australia untuk Indonesia melakukan kunjungan lapangan ke Serikat PEKKA di Waowala, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur. Rombongan Tim disambut oleh Ketua Adat dengan upacara tradisi khas wilayah Waowala.

Kunjungan ini dilakukan dalam rangka pertemuan langsung dengan para kader Pekka untuk mendiskusikan perkembangan dan aktivitas PEKKA di sana. Pertemuan juga membahas apa itu KLIK PEKKA, bagaimana pelaksanaan program perlindungan sosial dari pemerintah di desa mereka, kontribusi PEKKA di desa, berbagi pengalaman oleh Kader Pekka, serta bagaimana peran PEKKA dalam meningkatkan penghidupan masyarakat dan kemampuan kepemimpinan para perempuan.

BPJS Undang Tokoh Perempuan Hadiri Sosialisasi Kanker Leher Rahim di Bone, Sulawesi Selatan

Pada Selasa, 26 Juli 2016, BPJS Kesehatan Cabang Watampone melaksanakan “Sosialisasi Kanker Leher Rahim” dalam Rangka Pemeriksaan Serentak IVA dan pap smear. Sosialisasi yang bertempat di Aula Pertemuan Pesantren Biru, Kelurahan Biru, Kecamatan Tanete Riattang, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan ini, dihadiri oleh Kelompok Konstituen yang merupakan dampingan LPP (Lembaga Pemberdayaan Perempuan) Bone dan dampingan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA).

Peserta sosialisasi, sebanyak 48 orang, merupakan perempuan-perempuan yang dianggap sebagai tokoh perempuan dan penggerak masyarakat di tingkat bawah, yang dianggap dapat menyampaikan dan mengajak perempuan-perempuan lain untuk datang pada Pemeriksaan Serentak IVA dan pap smear pada 29 Juli 2016.

Dalam sambutannya, perwakilan BPJS sangat mengharapkan seluruh kaum perempuan untuk tidak malu dan segan memeriksakan kesehatannya guna pencegahan kanker leher rahim yang banyak menyerang kaum perempuan. Pihak BPJS sudah menggratiskan pemeriksaan IVA dan pap smear bagi peserta JKN (Jaminan Kesehatan Nasional).

Narasumber dalam pada kegiatan ini adalah Dr. Nuraeni  dari Rumah Sakit M. Yasin Watampone dan Dr. Elvira Sungkar M.Ked (OG) SpOG  dari Rumah Sakit Tenriawaru Bone. Selain menjelaskan penyebab gejala dari kanker leher rahim, narasumber juga menganjurkan peserta untuk mengajak perempuan-perempuan lain untuk memeriksakan dirinya sebagai bentuk pencegahan dan penanggulangan kanker leher rahim, serta pemeriksaan rutin untuk mencegah kanker leher rahim, di antaranya dengan melakukan pemeriksaan IVA, pap smear, dan HPV. Setelah paparan dari narasumber, dilakukan sesi tanya jawab dengan peserta yang disambut dengan antusias.

Di akhir kegiatan, BPJS menghimbau kepada masyarakat khususnya perempuan untuk segera memeriksakan dirinya di Puskesmas terdekat untuk deteksi dini kanker mulut rahim yang serentak dilakukan pada tanggal 29 Juli 2016. Ada beberapa titik layanan bagi peserta JKN, yaitu:

  • Titik layanan deteksi dini kanker mulut rahim dengan metode Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA):
  1. Puskesmas Watampone (Jl. Besse kajuara)
  2. Puskesmas Bajoe (Jl. Yos Sudarso)
  3. Puskesmas Ulaweng (Desa Taccipi Kel. Cinnong Kec. Ulaweng)
  4. Puskesmas Mare (Desa Tellu Boccoe, Kel. Padaelo Kec. Mare)
  • Titik layanan deteksi dini kanker mulut rahim dengan metode Pap smear: Rumah sakit TNI Tk. IV M.Yasin Watampone (Jl. Jend. Sudirman Watampone).